Kamis, 28 Mei 2015

Jendral Sebelah Paru



 15 MAY 15  Aditia Purnomo

Soedirman, Panglima Besar Tentara Republik Indonesia yang tergolek lemah akibat TBC tiba-tiba bangkit. Sehari sebelum agresi kedua belanda, ia seperti mendapat firasat jika ibukota akan diserang. Seperti mendapat mukjizat, ia yang sebelumnya tak bisa beranjak dari tempat tidur  justru berangkat ke Gedung Agung untuk meminta Soekarno meninggalkan Yogyakarta.
Sayang, Presiden Soekarno kala itu menolak untuk hengkang dari ibukota. Bung Karno memilih bertahan. Soedirman kecewa. Ia pun menolak ajakan Presiden untuk bertahan di Yogya. Baginya, haram menyerah sebagai tentara. Ia pun segera meninggalkan ibukota beserta pengawal dan pasukannya. Tujuh bulan ia menjalankan perlawanan dari tandu yang membawanya selama perang Gerilya.
Itulah Soedirman, seorang panglima besar yang digambarkan dalam buku keluaran Tempo ini. Seperti biasa, buku seri tokoh kali ini mampu menampilkan sosok Soedirman sebagai pejuang dan manusia biasa. Menggambarkan sosok Soedirman yang patuh kepada sumpah tapi juga mengisahkan kemanusiaan Soedirman kala peristiwa madiun 1948.
Mengawali kisah kepemimpinan Soedirman, buku ini menghadirkan cerita dibalik terpilihnya Soedirman sebagai Panglima Besar. Dalam sebuah rapat revolusioner yang panas, ia mengalahkan pilihan pemerintah dalam pemilihan tiga tahap. Segera setelah terpilih, masih dalam pertemuan yang sama ia mempersiapkan perang ambarawa. Perang ambarawa sendiri memiliki arti yang besar dalam hidup Pak Dirman. Sejarah mencatat perang ambarawa adalah kemenangan terbesar Soedirman.
Kisah berlanjut pada peristiwa Madiun 1948. Bagi Soedirman, ini adalah permasalahan internal angkatan perang. Bentrok yang terjadi adalah akibat Siliwangi yang hijrah ke jawa dan membuat kehidupan pasukan disana sulit. Soedirman sendiri mengutus Letkol Soeharto untuk membujuk Musso agar bentrok tak berlanjut. Musso sendiri memperlihatkan kondisi Madiun ternyata tak seperti yang digambarkan media. Tapi sayang, sebelum laporan Soeharto sampai, peintah menumpas PKI lebih dulu turun.
Sebagai tentara, jika ia diperintah menyerang, maka ia menyerang. Maka ketika perintah menyerang Madiun turun, soedirman berangkat ke Madiun. Dari sinilah penyakit Soedirman bermula. Sepulang dari madiun, ia syok menyaksikan genangan darah sedalam 5 sentimeter dan kondisi korban yang mengenaskan. Setelah bercerita, Soedirman mandi tanpa menggunakan air hangat. Sehabis mandi, Pak Dirman merasa lemas dan tergolek saja hingga sehari berikutnya. Akhirnya ia dirawat dan didiagnosa menderita Tuberkulosis.
Begitulah kisahnya. Sebagai seorang perokok berat Soedirman tak bisa lepas dari asap rokok. Pernah ketika ia dipaksa dokter untuk tidak merokok, Soedirman justru meminta istrinya menyemburkan asap rokok kepadanya. Meski ia menderita TBC, pada akhirnya ia mati karena kesalahan diagnosa dokter yang membuat sebelah paru-parunya tak berfungsi. 29 Januari 1950, ia berpulang ke haribaan Tuhan.
Dilengkapi dengan pandangan beberapa tokoh, sosok Soedirman semakin terlengkapi kisah hidupnya. Begitu juga sosoknya, sekalipun sudah meninggal yang terus dimanfaatkan oleh pejabat Republik untuk mendapat simpati rakyat. Mulai dari Soekarno, Soeharto, hingga Yudhoyono. Bagi mereka yang hanya kenal sosok Pak Dirman dari buku pelajaran sejarah sekolahan, buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca guna melihat sosok Panglima besar secara utuh.
 
ISBN         : 9789799105240
Rilis           : 2012
Halaman   : 176

Penerbit    : Kepustakaan Populer Gramedia

Sajak Sebatang Lisong

 23 MAY 15  Komunitas Kretek

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
WS Rendra

19 Agustus 1977
ITB Bandung
Potret Pembangunan dalam Puisi

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...