Rabu, 21 Juli 2010

MEMBANGUN PERCAYA DIRI PADA ANAK.

oleh : Dr. Martin Leman

Salah satu kunci utama kesuksesan seseorang adalah ada tidaknya rasa percaya diri. Berkembangnya rasa percaya diri atau citra diri yang positif dalam diri anak sangatlah penting untuk kebahagiaan dan kesuksean mereka.


Rasa percaya diri adalah bagaimana kita merasakan tentang diri kita sendiri, dan perilaku kita akan merefleksikannya tanpa kita sadari. Sebagai contoh, anak yang penuh percaya diri akan memiliki sifat-sifat antara lain :
Bersifat lebih independen, tidak terlalu tergantung orang lain
Mampu memikul tanggung jawab yang diberikan.
Bisa menghargai diri dan usahanya sendiri
Tidak mudah mengalami rasa frustasi
Mampu menerima tantangan atau tugas baru.
Memiliki emosi yang lebih hidup, tetapi tetap stabil
Mudah berkomunikasi dan membantu orang lain.
Pada sisi lain, anak yang memiliki percaya diri yang rendah / kurang, akan memiliki sifat dan perilaku antara lain :
Tidak mau mencoba suatu hal yang baru.
Merasa tidak dicintai dan tidak diinginkan
Punya kecenderunganmelempar kesalahan pada orang lain
Memiliki emosi yang kaku dan disembunyikan
Mudah mengalami rasa frustrasi dan tertekan
Meremehkan bakat dan kemampuannya sendiri
Mudah terpengaruh orang lain.
Orang tua , adalah pemegang peran utama yang menentukan perkembangan rasa percaya diri anak. Sebenarnya hal ini sama sekali tidak sulit, bahkan banyak orang tua melakukannya tanpa mereka sadari sendiri. Orang tua kadang kurang menyadari betapa segala perkataan dan perbuatannya dapat memberi dampak yang besar bagi anak dalam perkembangannya. Berikut ini beberapa saran yang ada baiknya diingat dan dicoba :
Saat kita merasa senang atau bangga terhadap anak kita, katakanlah padanya. Orang tua kadang jauh lebih mudah untuk memarahi atau mengomel atas tingkah laku anak yang kurang baik. Sebaliknya bila anak melakukan sesuatu yang baik atau menyenangkan orang tuanya, sering kita tidak memberinya respons apa-apa. Seorang anak tidaklah tahu saat orang tuanya bangga atau senang pada dirinya, dan ia butuh untuk mendengar dari orang tuanya bahwa ia dikehendaki dan disayangi. Anak memiliki ingatan yang kuat terhadap perkataan orang tuanya, dan ingatan itu seakan-akan ada terus dalam kepala si anak. Demikian juga terhadap perkataan yang menyatakan kegembiraan dan kebanggan orang tuanya akan kehadirannya, akan tetap ia ingat dan menguatkan percaya dirinya.
Berilah pujian pada anak.
Gunakan pujian yang bersifat deskriptif, agar anak tahu tindakan apa yang membuahkan pujian itu. Perhatikanlah tingkah laku, perbuatan si anak, dan aktivitas anak. Saat ia selesai mengerjakan tugasnya, kita dapat ucapkan padanya, “ Ibu senang sekali karena kamu membereskan kamarmu dengan rapi…” Atau misalnya anak menunjukkan hasil gambarnya / hasil karyanya yang bagus , kita dapat ucapkan , “ Wah… gambarmu bagus … Nampaknya kamu cukup berbakat…”
Jangan sungkan-sungkan untuk memuji anak, bahkan jika di depan anggota keluarga lain dan kerabat. Pujilah tingkah lakunya yang positif, misalnya , “ wah… kamu memang anak yang ramah…” Kita juga dapat memberi pujian untuk hal yang tidak ia lakukan, misalnya ,” Ibu senang, kamu menurut untuk tidak bermain hujan-hujanan…”
Ajari anak untuk membuat pernyataan yang positif tentang dirinya sendiri. Berbicara pada diri sendiri adalah hal yang cukup penting. Bahkan para psikolog menemukan bahwa banyak kasus depresi dan kecemasan berasal dari kebiasaan untuk mengatakan hal negatif pada diri sendiri. Apa yang kita pikirkan, menentukan bagaimana perasaan kita, dan bagaimana perasaan kita menentukan perilaku kita. Oleh karena itu, adalah hal yang penting untuk mengajari anak untuk bersikap positif dalam berbicara dengan diri sendiri. Sebuah contoh berbicara pada diri sendiri yang positif misalnya, “ Tak apa-apa kita kalah dalam bermain bola kali ini,.. toh kita sudah berusaha semaksimal mungkin…. Dan tidak mungkin selalu menang dalam permainan…”
Hindari kritik yang bersifat mempermalukan si anak.Kadangkala orang tua memang harus mengkritik sikap atau perilaku anak agar ia memiliki karakter yang lebih baik. Kritik yang ditujukan pada diri anak sebagai personal dapat membuat anak merasa dipermalukan atau diserang. Oleh karena itu, lebih baik menggunakan kata “saya / ibu/ bapak” daripada kata “kamu” saat memberi kritik atau teguran pada anak. Sebagai contoh, akan lebih baik mengatakan , “ Ibu akan senang sekali kalau kamu mau membereskan kamarmu tiap pagi…” daripada mengatakan ,”Kamu ini kok jadi anak malas sekali…Tidak bisakan kamu membereskan kamarmu ?”
Ajari anak untuk membuat keputusan yang bijaksana. Tanpa disadari, setiap saat anak membuat suatu keputusan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan orang tua untuk meningkatkan kemampuan anak dalam mengambil keputusan yang baik :
Bantu anak untuk mengenali suatu permasalahan. Tuntun anak untuk memahami suatu permasalahan dan bagaimana melihatnya.
Diskusikan dengan anak, apa saja yang mungkin menjadi solusinya. Diskusikan baik buruknya, konsekuensi, kelebihan dan kekurangan masing-masing solusi.
Biarkan anak mengambil pilihannya, bila ia telah benar-benar memahami permasalahan dan kemungkinan solusi berikut konsekuensinya.
Setelah keputusan diambil dan dijalankan, diskusikan hasilnya dengan si anak. Bantu ia mengevaluasi solusi pilihannya itu, dan tuntun ia untuk memperbaikinya di lain kesempatan.
Tips tambahan untuk membantu perkembangan citra diri yang positif dalam diri anak :
Ajari anak bahwa tidaklah mungkin setiap keinginan seseorang selalu terpenuhi. Doronglah ia untuk bisa mengatasi kekecewaan atau kemarahannya secara rasional dan proporsional , atas tidak terpenuhinya keinginannya .
Biasakan anak untuk mengutarakan kemauannya secara jelas, sehingga orang lain bisa mengerti apa yang dikehendaki. Akan tetapi tetap harus ditekankan bahwa tidak ada jaminan keinginannya itu bisa selalu terpenuhi.
Ajari anak agar ia sadar bahwa mereka sendiri yang membuat dan bertanggung jawab atas segala perasaan yang dialaminya. Tekankan padanya untuk tidak menyalahkan orang lain atas perasaan yang ia alami.
Doronglah anak untuk mengembangkan hobi dan minatnya, yang bisa memberinya kesenangan dan bisa mereka peroleh sendiri, tanpa tergantung orang lain.
Ajari anak untuk mengenali dirinya sendiri, baik kelebihan maupun kekurangannya. Tuntun ia untuk menerima keadaan dirinya, kemudian untuk memperbaiki kekurangan dirinya.
Ajari anak untuk memperlakukan orang lain dengan cara sebagaimana ia ingin diperlakukan oleh mereka.
Bantu anak untuk selalu memikirkan alternatif dan kemungkinan lain ketimbang hanya tergantung pada satu pilihan saja. Seorang anak yang hanya memiliki satu teman, jika ia kehilangan temannya itu ia akan kesepian dan merasa sendirian. Tetapi bila ia memiliki banyak teman, ia akan masih memiliki teman yang lain.
Tertawalah bersama anak, dan doronglah ia untuk mampu mentertawakan diri sendiri. Orang yang memandang dirinya dengan terlalu serius, akan menjadi kurang bisa menikmati hidup. Rasa humor dan kemampuan untuk menciptakan keceriaan, adalah hal penting yang bisa membuat hidup lebih menyenangkan. Lagipula, bukankah setiap orang pernah berbuat sesuatu yang konyol…..

Akhir kata, nikmati hidup bersama anak kita. Habiskanlah waktu sebanyak mungkin dengan mereka. Lakukanlah kegiatan bersama sebagai sebuah keluarga, tetapi tetap sediakan waktu khusus bagi masing-masing anak. Bagaimanapun keadaannya, anak belajar tentang segalanya dari contoh yang orang tuanya berikan. Dengan menghabiskan waktu bersama dengan anak, memungkinkan orang tua berkomunikasi akrab dengan anak. Anak dapat berbagi perasaan dan pikirannya dengan bebas, dan sebaliknya orang tua bisa memberi bantuan dan bimbingan baginya……
23/08/00
Majalah 'Anakku' ed.4, thn 2000

Remunerasi

sumber:
hrcentro.com dan apindo.or.id


Arti harafiah remunerasi adalah "payment" atau penggajian, bisa juga uang ataupun substitusi dari uang yang ditetapkan dengan peraturan tertentu sebagai imbal balik suatu pekerjaan dan bersifat rutin.
Sedangkan pengertian resmi menurut kamus Bahasa Indonesia adalah pembelian hadiah (penghargaan atas jasa dsb); imbalan. Remunerasi berasal dari bahasa Inggris yaitu Remuneration. Wikipedia memberi penjelasan, "Remuneration is pay or salary, typically a monetary payment for services rendered, as in an employment. Usage of the word is considered formal."


Besar kecilnya gaji seseorang dapat dikira-kira atau ditentukan oelh faktor-faktor antara lain :

1. Jenis profesi

Gaji seorang engineer (tehnis) akan berbeda dengan gaji seorang lawyer (hukum) . Dalam satu perusahaan minyak, sesama fresh graduate bisa jadi gaji engineer akan berbeda dengan gajinya orang finance. Namun di "lawfirm", atau lembaga bantuan hukum bisa saja gajinya lawyer (ahli hukum) akan jauh lebih bersar dibanding finance (keuangan). Hanya saja bisa terbalik ketika di perbank-an.

2. Posisi dalam perusahaan

Posisi ini bisa berbagai macam cara pandangnya. Misalnya manajerial vs bukan manager (tehnikal). Dalam banyak perusahaan posisi manajer biasanya mendapatkan porsi gaji dan fasilitas (benefit) yang lebih karena keputusannya dianggap lebih mempengaruhi jalannya (untung-rugi) perusahaan. Namun dalam perusahaan moderen sekarang sudah lain bisa saja berbeda. Perusahaan-perusahaan berbasis teknologi kebanyakan sudah menghargai para profesionalnya.
Gaji seorang manajer engineering bisa saja hampir sama dengan konsultan engineer-nya. Posisi ini bisa juga dalam artian departemen atau bagian. Ada bagian-bagian dalam sebuah perusahaan yang rata-rata pekerjanya bergaji lebih walaupun dalam skala yang sama. Hal ini sering terlihat pada perusahaan yang

3. Jenis industri/usaha

Setiap industri juga memiliki struktur penggajian yang berbeda. Disebelah kanan ini menggambarkan variasi besarnya gaji seorang lulusan dalam bidang ilmu science dan engineering. Setiap jenis usaha memiliki rentang gaji yang berbeda-beda. Hal ini akan sesuai dengan skala pekerjaannya, waktu yang diperlukan seseorang, tanggung jawabnya, dan besarnya pengaruh keputusan berdasarkan hasil kerjanya. Di industri migas keputusan seorang finance manajer mungkin berbeda dengan keputusan geologi manager nya. Namun seorang yang berpengalaman 10 tahun sebagai geologist tidak sama dengan ahli ekonom di bank tersebut, walaupun pengalamannya sama-sama 10 tahun, kan ?

4. Lama kerja (pengalaman)

Jelas semakin lama pengalaman kerjanya akan semakin tinggi nilai jual seseorang. Namun yang perlu diperhatikan bila anda seorang recruiter ketika membaca pengalaman kerja. Menggambar design mobil lengkap, mungkin memerlukan waktu 1 tahun. Ketika seseorang berpengalaman kerja selama 10 tahun dimana selama 5 tahun hanya menggambar kursinya saja. Apakah disebut berpengalaman 10 tahun mendesign mobil ?

5. Lokasi bekerja

Bekerja di luar kantor seringkali terkesan bekerja fisik yang keras, dan sedikit memerlukan otak. Dimana akhirnya sering terlihat pekerja di luar kantor posisinya lebih rendah dari yang duduk manis di kantor. Dengan demikian pekerja kantor akan memiliki gaji lebih besar ketimbang pekerja di luar kantor. Namun dalam industri tertentu salah satunya migas justru yang bekerja di luar kantor seringkali mendapatkan fasilitas khusus sebagai pengganti kenyamanan bekerja di kantor. Ada yang disebut "Field Allowance" ada yang menyebutkan "Out of town allowance". Allowance atau tunjangan tambahan ini tidak sama disetiap daerah. Ada yang memberikan dalam bentuk prosentase dari gaji, ada pula yang fixed.

6. Status pekerja

Status pekerjaan ini dapat sebagai pegawai tetap, pegawai kontrak waktu tertentu (PKWT), ada pula pegawai dari kontraktor (consultant). Pegwai kontrakan level dibawah (non-staff) ini biasanya gajinya lebih kecil dibanding pegawai tetapnya. Namun untuk level staff keatas seringkali justru yang pekerja kontrak bergaji lebih besar ketimbang pegawai tetapnya.

Senin, 19 April 2010

Pentingnya Kebersamaan Ibu dan Anak

Oleh: AsianBrain.com Content Team

"
Siapa yang tidak menyayangi, dia tidak disayangi. Jika Orang Tua gagal mengungkapkan rasa sayang kepada anaknya, mereka tidak akan mampu mencintai orang orang tua.." (Nabi Muhammad saw)
Kadang, kita sebagai orang tua tidak sadar bahwa kebersamaan antara ibu dan anak adalah hal prinsip dan tidak boleh diabaikan. Ketika seorang ibu sudah asyik meniti karir, kadang melalaikan tugas pokoknya untuk mendidik anaknya.



Kadang kita tidak menyadari, tiba-tiba saja anak kita sudah dewasa. Kemudian kita mulai berandai-andai jika saja dulu bisa meluangkan lebih banyak waktu bersama anak-anak. Mungkin kita akan menyesal, jika kesuksesan kita di karir harus dibayar mahal dengan menghilangkan banyak waktu kebersamaan ibu dan anak.
Hubungan emosional yang terjalin antara ibu dan anak bisa saja berkurang. Tidak hanya itu saja, kadang minimnya kebersamaan tersebut masih harus dibayar mahal dengan terjerumusnya anak ke hal-hal negatif, seperti narkoba atau tindakan kriminal lain. Betapa sakit perasaan kita sebagai seorang ibu. Atau, bahkan ketika anak sukses dan berprestasi, kita tidak sepenuhnya merasa bahagia karena tidak merasa memiliki andil dalam hal ini.
Berikut ini adalah beberapa hal untuk menyadarkan kita pentingnya kebersamaan antara ibu dan anak.
1. Menangis
Menangis adalah satu cara yang digunakan oleh bayi untuk berkomunikasi dengan orang lain. Bayi akan menangis ketika lapar, haus, BAK dan BAB ataupun merasa sakit.
Sering juga bayi menangis karena ingin dekat dengan ibunya, tatkala ibunya sudah mendekat, dia pun terdiam. Ini adalah cara bayi untuk merasa nyaman bersama ibunya. Betapa tangisan adalah obat ampuh untuk mendekatkan hubungan ibu dan anak.

2. Menyusui bayi secara langsung
Bagaimanapun kesibukan seorang ibu, hendaknya dia tidak melupakan dan melalaikan untuk menyusui anaknya secara langsung, bukan melalui botol. Dari sisi kesehatan, banyak keistimewaan menyusui secara langsung dibanding dengan botol.
Secara psikologis, menyusui secara langsung akan membuahkan keterkaitan antara ibu dan anak. Anak akan merasa nyaman dan bahagia ketika dia bisa memandang wajah ibunya dan menyusu dari tubuhnya terutama di bulan-bulan awal.
3. Menggendong anak
Cara ini akan membuat ikatan khusus antara ibu dan anak secara batiniah. Karena anak akan merasa lebih dekat dengan tubuh orang tuanya. Berbeda apabila anak diletakkan dalam kereta dorong, meskipun dia masih bisa memandang wajah orang tuanya.

4. Bermain bersama anak
Riset membuktikan bahwa anak-anak sudah bisa mendengar dan melihat sejak hari pertama. Bayi akan merasa senang melihat wajah orang, apalagi sedang menyuarakan sesuatu yang indah. Itulah sebabnya kita mengetahui, anak dapat mencium aroma ibunya tatkala berada di dekatnya. Maka bermainlah bersama anak anda. Posisikan diri Anda sebagai anak, untuk memahami indahnya kebersamaan ibu dan anak yang sedang berlangsung.
Hidup memang pilihan. Namun, apakah dengan melakukan pilihan, Anda harus mengorbankan sesuatu yang berharga, apalagi hal itu adalah waktu kebersamaan ibu dan anak? Anda tentu lebih tahu jawabannya...

Apa Gaya Belajar Anak Anda?

Senin, 8 Maret 2010 | 12:04 WIB

KOMPAS.com - Tidak semua orang memproses informasi dengan cara yang sama.
Itu sebabnya kita perlu mengetahui bagaimana gaya bekerja otak diterjemahkan ke
dalam gaya belajar yang berbeda-beda pula. Para orangtua dapat mengetahui potensi
dan gaya belajar anak secara detil dengan melakukan tes potensi dan bakat anak.



Dengan mengenal perbedaan gaya-gaya yang mendasar ini, orangtua dan guru akan
lebih mudah menemukan referensi gaya belajar yang paling efektif untuk anak atau
siswa didiknya. Menurut para pakar, ada beberapa model gaya belajar :
1. Tipe VISUAL
Ini merupakan kecenderungan gaya belajar dengan menggunakan indera penglihatan.
Pada model gaya belajar ini, informasi data visual terbagi menjadi data berupa teks
(tulisan, huruf, angka, simbol) dan berupa gambar (foto, diagram).

Ciri anak tipe Visual:
Lebih mudah ingat dengan melihat, lebih suka membaca, saat mendapat petunjuk untuk
melakukan sesuatu, biasanya akan melihat orang lain melakukan dulu baru kemudian
dia sendiri yang bertindak. Anak dalam kelompok ini juga dapat duduk tenang saat
belajar di tengah situasi yang ribut dan ramai tanpa merasa terganggu.

Kendala dari tipe visual antara lain tak suka berbicara di depan kelompok dan tak suka
mendengarkan orang lain, tahu apa yang harus dikatakan tapi tak bisa mengungkapkan
dengan kata-kata, serta tulisan tangannya berantakan sehingga tak terbaca. Anak dari
kelompok visual juga biasanya kurang mampu mengingat informasi yang disampaikan
secara lisan.

Cara menstimulasi:
Gunakan beragam bentuk grafis untuk menyampaikan informasi atau materi pelajaran.
Perangkat grafis bisa berupa film, slide, ilustrasi, coretan, atau kartu-kartu gambar berseri
yang bisa dipakai untuk menjelaskan informasi secara berurutan. Mintalah anak untuk
menghapal dengan membayangkan obyek atau materi yang sedang dipelajarinya.

2. Tipe AUDITORY
Tipe Auditory merupakan kecenderungan gaya belajar dengan menggunakan indera
pendengaran. Pada model gaya belajar ini informasi terbagi menjadi data berupa bahasa
dan nada.

Ciri anak tipe Auditory:
Mudah ingat dari apa yang didengarnya dan didiskusikannya. Senang dibacakan atau
mendengarkan, lebih suka menuliskan kembali sesuatu, senang membaca dengan suara
keras, bisa mengulangi apa yang didengarnya, senang diskusi, bicara atau menjelaskan
panjang lebar. Anak dengan tipe auditory pada umumnya menyenangi seni musik dan
mudah mempelajari bahasa asing.

Kendala anak dengan tipe auditory antara lain cenderung banyak omong, tak bisa belajar
dalam suasana berisik atau ribut, apalagi bila anak memiliki konsentrasi yang lemah.
Anak juga lebih memperhatikan informasi yang didengarnya, jadi kurang tertarik
memperhatikan hal-hal baru di lingkungannya.

Cara menstimulasi:
Bekali anak dengan tape recorder untuk merekam semua materi pelajaran yang diajarkan
di sekolah. Libatkan anak dalam kegiatan diskusi, coba bacakan informasi, kemudian
meringkasnya dengan bentuk lisan dan direkam untuk selanjutnya diperdengarkan dan dipahami.

3. Tipe KINESTETIK
Kecenderungan gaya belajar dengan menggunakan indera tubuh. Pada model gaya belajar
kinestetik, informasi terbagi menjadi data berupa gerakan dan sentuhan.

Ciri anak tipe Kinestetik:
Gemar menyentuh segala sesuatu yang dijumpainya, suka mengerjakan segala sesuatu yang
memungkinkan tangannya sedemikian aktif, banyak gerak fisik dan memiliki koordinasi
tubuh yang baik, menyukai kegiatan/permainan yang menyibukkan secara fisik, lebih suka
mendemonstrasikan sesuatu daripada menjelaskan.

Kendalanya, anak sulit mempelajari hal-hal yang abstrak, tak bisa belajar di sekolah-sekolah
yang bergaya konvensional di mana guru menjelaskan dan anak duduk diam. Kapasitas
energi anak cukup tinggi, sehingga bila tidak disalurkan akan berpengaruh terhadap
konsentrasi belajarnya.

Cara menstimulasi:
Bersekolah pada sekolah yang menganut sistem active learning di mana siswa banyak terlibat
dalam proses belajar. Dengan begitu, kemampuannya dapat berkembang optimal. Untuk siswa
yang memiliki kapasitas energi berlebih, sebaiknya diberikan aktivitas fisik, seperti kegiatan
olahraga atau kesenian. Salurkan energi dengan memberikan kebebasan beraktivitas sebelum
belajar, sehingga anak bisa duduk tenang selama belajar.

Selasa, 06 April 2010

Perkembangan Anak

Oleh: AsianBrain.com Content Team

Perkembangan anak penting dijadikan perhatian khusus bagi orangtua. Sebab, proses tumbuh kembang anak akan mempengaruhi kehidupan mereka pada masa mendatang.

Jika perkembangan anak luput dari perhatian orangtua (tanpa arahan dan pendampingan orangtua), maka anak akan tumbuh seadanya sesuai dengan yang hadir dan menghampiri mereka.

Kelak, orangtua akan mengalami penyesalan yang mendalam.



Apa saja tahapan perkembangan anak?
Perkembangan anak merupakan segala perubahan yang terjadi pada usia anak, yaitu pada masa:
• Infancy toddlerhood (usia 0-3 tahun)
• Early childhood (usia 3-6 tahun)
• Middle childhood (usia 6-11 tahun)
Perubahan yang terjadi pada diri anak tersebut meliputi perubahan pada aspek berikut:
• fisik (motorik)
• emosi
• kognitif
• psikososial
Aspek-aspek perkembangan anak
1. Perkembangan Fisik (Motorik)
Perkembangan fisik (motorik) merupakan proses tumbuh kembang kemampuan gerak seorang anak. Setiap gerakan yang dilakukan anak merupakan hasil pola interaksi yang kompleks dari berbagai bagian dan sistem dalam tubuh yang dikontrol oleh otak.

Perkembangan fisik (motorik) meliputi perkembangan motorik kasar dan motorik halus.
o Perkembangan motorik kasar
Kemampuan anak untuk duduk, berlari, dan melompat termasuk contoh perkembangan motorik kasar. Otot-otot besar dan sebagian atau seluruh anggota tubuh digunakan oleh anak untuk melakukan gerakan tubuh.

Perkembangan motorik kasar dipengaruhi oleh proses kematangan anak. Karena proses kematangan setiap anak berbeda, maka laju perkembangan seorang anak bisa saja berbeda dengan anak lainnya.
o Perkembangan motorik halus
Adapun perkembangan motorik halus merupakan perkembangan gerakan anak yang menggunakan otot-otot kecil atau sebagian anggota tubuh tertentu.

Perkembangan pada aspek ini dipengaruhi oleh kesempatan anak untuk belajar dan berlatih. Kemampuan menulis, menggunting, dan menyusun balok termasuk contoh gerakan motorik halus.
2. Perkembangan Emosi
Perkembangan pada aspek ini meliputi kemampuan anak untuk mencintai; merasa nyaman, berani, gembira, takut, dan marah; serta bentuk-bentuk emosi lainnya. Pada aspek ini, anak sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan orangtua dan orang-orang di sekitarnya.

Emosi yang berkembang akan sesuai dengan impuls emosi yang diterimanya. Misalnya, jika anak mendapatkan curahan kasih sayang, mereka akan belajar untuk menyayangi.
3. Perkembangan Kognitif
Pada aspek koginitif, perkembangan anak nampak pada kemampuannya dalam menerima, mengolah, dan memahami informasi-informasi yang sampai kepadanya. Kemampuan kognitif berkaitan dengan perkembangan berbahasa (bahasa lisan maupun isyarat), memahami kata, dan berbicara.
4. Perkembangan Psikososial
Aspek psikososial berkaitan dengan kemampuan anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Misalnya, kemampuan anak untuk menyapa dan bermain bersama teman-teman sebayanya.

Dengan mengetahui aspek-aspek perkembangan anak, orangtua dan pendidik bisa merancang dan memberikan rangsangan serta latihan agar keempat aspek tersebut berkembang secara seimbang.

Rangsangan atau latihan tidak bisa terfokus hanya pada satu atau sebagian aspek. Tentunya, rangsangan dan latihan tersebut diberikan dengan tetap memerhatikan kesiapan anak, bukan dengan paksaan.

KONSEP DIN DAN ISLAM: EKSKLUSIF DAN INKLUSIF

March 24, 2010 by ahmadsamantho
Oleh: KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc


Dan barangsiapa menganut Dîn selain Islam, maka sekali-kali ia tidak akan diterima daripadanya dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran 85).
Berdasarkan Ali Imran ayat 85, ada dua pandangan yang berbeda tentang kriteria agama yang benar. Sebagian besar mufasir menjelaskan bahwa agama yang benar, din al-haqq adalah dan hanyalah Islam. Agama apa pun selain Islam ditolak. Termasuk kepada kelompok ini adalah Dr Aflatun Muchtar, dalam bukunya Konsep Din dalam Al-Quran, ia menulis:



Bertolak dari konsep dîn al-haqq di atas, maka din itu dapat dibedakan menjadi dua: dîn al-haqq, yaitu Islam yang membawa ajaran dasar tauhid, akhlak, dan ajaran yang berhubungan dengan aspek jiwa, akal, materi, dan sosial dan din yang dianut orang-orang Yahudi dan Nasrani yang juga mengklaim diri sebagai pengikut dîn al-haqq dan golongan lain yang telah mengubah petunjuk-Nya dengan mereka. Mereka yang disebut terakhir, secara prinsip telah mengubah hakikat din yang benar. Oleh karena itu, Allah memberikan penegasan bahwa siapa saja yang menganut dîn selain Islam akan tertolak dan mereka itu di akhirat akan digolongkan sebagai orang-orang yang merugi.
Sebagian ulama lainnya, yang digolongkan Muthahhari dalam kelompok mufakkirûn mustanîrûn, berpendapat —masih berdasarkan ayat yang sama— bahwa yang dimaksud dengan Islam di sini adalah kepasrahan kepada al-Haqq, Kebenaran atau Allah dan bukan agama terakhir yang dibawa Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, siapa saja yang berserah diri pada Kebenaran, yang ia temukan dalam perjalanan hidupnya, kemudian ia memberikan komitmen total kepadanya, ia telah menganut dîn yang benar. Tidak jadi soal apakah kebenaran yang diyakininya itu Islam atau pun agama lainnya. Menurut Muthahhari, yang menganut paham ini, sebagai contoh adalah George Jordac, penulis buku Ali: Shaut al-‘Adalat al-Insaniyyah, dan penyair Kahlil Gibran. Saya akan memasukkan ke dalam kelompok ini juga Dr. Abdul Karim Soroush, pemikir Islam kontemporer dari . Soroush, pada gilirannya, menyebut Thabathabai, penulis tafsir Mizan, ke dalam kelompoknya juga.
Perbedaan pendapat di antara kedua kelompok ini bersumber pada konsep Dîn dan Islam. Aflatun Muchtar telah meneliti konsep Dîn dalam Al-Quran dengan merujuk pada asal-usul semantiknya, perkembangan pengertiannya dalam periode Mekah dan Medinah, serta kandungan maknanya. Ia juga menjelaskan berbagai Dîn dalam perpektif Al-Quran dari segi ajarannya dan keabsahannya. Ia sampai pada kesimpulan bahwa Islam, dalam pengertian “Dîn yang diwahyukan kepada kepada Nabi Muhammad saw atau segala segala yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan Muhammad Rasul-Nya yang terakhir.” Walhasil, Dîn yang absah dan benar, yang diterima Allah pada zaman ini hanyalah agama Islam yang dibawa Muhammad saw.
Saya tidak mau dan tidak mampu untuk melihat kesalahan logis yang dilakukan Muchtar dalam penelitiannya. Muchtar telah dengan bagus mewakili pandangan kelompok pertama. Saya ingin memberikan pandangan kelompok kedua. Kita akan melihat kembali makna konsep Dîn, dengan menggunakan metode yang sama yang dilakukan Muchtar, tetapi dengan kesimpulan akhir yang berbeda. Saya akan mulai dengan kembali lagi melihat berbagai kamus untuk melacak makna semantiknya.
Makna Din Secara Bahasa
“ Dîn: sejenis kepasrahan dan kerendahan. Inilah makna yang pokok dan makna-makna yang lain kembali ke sini. Maka al-dîn artinya ketaatan. Dikatakan dâna —yadînu-dînan, bila ia menyertai, menyerah kepada, dan menaati (seseorang). Qawm din: yakni, kaum yang berserah diri dan taat. Madînah, tempat ketaatan, disebut demikian karena di tempat itu ditegakkan ketaatan kepada pemerintahan. Madînah juga berarti budak perempuan (Budak laki-laki: madîn).”
Banyak penulis kamus sepakat dengan al-Mushtafawi bahwa makna pokok —primary meaning— dari Din adalah kepatuhan. Makna pokok lainnya —seperti dihimpun Edward William Lane — adalah a state of abasement, submissiveness, al-Din lillah, obedience to, and the service of God. Dari makna pokok inilah kemudian berkembang makna-makna lainnya:
1. Religion, yang menurut al-Shihhah, disebut demikian karena agama adalah kepatuhan dan kepasrahan kepada hukum; karena itu din juga berarti syariat dan wara’, menghindarkan diri dari perbuatan yang melanggar hukum. Dalam pengertian ini, lihat Al-Quran Ali Imran ayat 17.
2. A particular law; a statue; or an ordinance. Dalam Al-Quran, makna ini dapat dipahami dari Ma kana li ya’khudza akhahu fi din al-malik (QS. Yusuf; 76): Yusuf tidak akan mengambil saudaranya (sebagai budak karena mencuri) menurut hukum Raja Mesir.
3. A system of usages, or rites and ceremonies etc., inherited from a series of ancestors, seperti disebutkan dalam hadits Nabi saw kana ‘ala dini qawmih. Ia mengikuti kebiasaan lama yang didapatnya pada kaumnya, yang diwarisi dari Ibrahim dan Ismail, dalam hal haji dan pernikahan; ada juga yang menyebutkan, dalam hal akhlak seperti kedermawanan dan keberanian.
4. Custom, habit, or business. Seperti dalam kalimat ma zala dzalika dini. Itu selalu menjadi kebiasaanku.
5. A way, a course, mode, or manner, of acting, or conduct, or the like.
6. Management, conduct, or regulations, of affairs,
7. Retaliation, by slaying for slaying, or wounding for wounding, or mutilating for mutilating.
8. A reckoning, seperti dalam Al-Quran surat Al-Taubah ayat 36.
Bila kita perhatikan makna-makna tambahan itu, kita masih bisa melihat makna asalnya; yakni, kepatuhan atau kepasrahan. Hukum disebut Dîn, karena peraturan tidak bisa tegak tanpa kepatuhan. Tradisi atau adat kebiasaan disebut Dîn karena perilaku tertentu dipatuhi dan dijalankan terus menerus; lalu, seluruh anggota komunitas harus pasrah padanya. Cara mengatur tingkah laku menurut prosedur tertentu juga terbentuk karena kepatuhan yang berlangsung lama, sehingga menjadi kebiasaan. Bila kepatuhan itu dilanggar, bila aturan yang baku iti tidak dipenuhi, orang mendapat hukuman dari masyarakatnya. Karena itu, balasan disebut juga Dîn.
Menurut makna asalnya, Dîn sama saja dengan Islam. Saya mengutip lagi dari Muchtar:
Secara etimologi Islam berasal dari kata aslama yang mengandung pengertian khadla’a (tunduk) dan istaslama (sikap berserah diri), dan juga addâ (menyerahkan atau menyampaikan). Pengertian lain dari Islam adalah al-inqiyâd (tunduk patuh), dan al-ikhlâsh (tulus) di samping itu diartikan juga dengan al-tha’ah (taat) serta al-salâm (damai atau selamat) .
Muchtar menegaskan makna kepatuhan dan ketundukan ini dengan mengutip Al-Mawdudi, yang mengartikan Islam sebagai “tunduk, berserah diri, taat, dan patuh kepada perintah dan larangan yang berkuasa (al-amir) tanpa membantah.”
Dengan menggunakan makna asal dari kedua kata itu —Din dan Islam— kita lihat lagi Al-Quran surat Ali Imran ayat 83 dan 85: “Maka apakah mereka mencari selain kepatuhan kepada Allah (ghayr dîn Allah), padahal kepadanya pasrah tunduk patuh (aslama) semua yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa. Hanya kepada Allah sajalah mereka dikembalikan…. Barangsiapa yang mencari kepatuhan (dîn) selain kepasrahan diri (al-islâm), maka ia tidak akan diterima dan dia di akhirat termasuk orang yang merugi.”
Jadi secara denotatif, din dan Islam itu bermakna sama. Secara konotatif, din menunjukkan kepatuhan yang umum. Orang bisa patuh pada tradisi, kebiasaan, hukum, prosedur perilaku, atau sanksi dan hukuman. Orang juga bisa hanya patuh kepada Allah saja, dîn Allah. Kepatuhan pada selain Dia diletakkan din bawah kepatuhan kepada Dia. Al-Quran menyebut kepatuhan kepada Allah itu sebagai kepatuhan kepada Kebenaran, din al-Haqq. Nabi Muhammad saw diutus Tuhan untuk membawa petunjuk dan kepatuhan kepada Kebenaran, agar segala kepatuhan kepada yang lain ditundukkan. Tuhan berfirman: Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan kepatuhan kepada kebenaran agar Dia mengunggulkannya di atas semua kepatuhan… (QS. Al-Taubah; 33, QS. Al-Fath; 28, QS. Al-Shaf; 9)
Makna Islâm Secara Bahasa
Tanpa harus melacak makna kata Islam dari kata-kata asalnya seperti salam, silm, dan sebagainya, kita kan mengutip apa yang dikatakan kamus-kamus bahasa Arab tentang makna Islâm. Sekali lagi, kita merujuk pada Lane. Islâm berasal dari kata aslama yang berarti:
• Sama dengan sallama, yang berarti menyerahkan sesuatu, menyerahkan diri pada kekuasaan orang lain, meninggalkan orang di bawah kekuasaan orang lain, meninggalkan (seseorang) bersama (musuhnya), berserah diri kepada (Tuhan); menurut Al-Shihhah, al-Qamûs, al-Muhkam, al-Mishbâh, Ibn Atsîr, Taj al-Arûs.
• Membayar di muka, seperti dalam kalimat aslama fi al-tha’âm; menurut Al-Shihhah, al-Muhkam, al-Mughrib, al-Mishbah.
• Sama dengan kata istaslama: Menyerah, menyerahkan diri, pasrah; memasuki perdamaian; menurut Al-Shihhah, al-Muhkam, al-Mishbah, al-Qamûs.
• Sama dengan tasallama: menjadi Islam. Al-Shihhah dan al-Mishbah men-definisikan Islam sebagai “ungkapan kerendahan hati atau kepasrahan dan ketaatan secara lahiriah kepada hukum Tuhan serta mewajibkan diri untuk melakukan atau mengatakan apa yang telah dilakukan dan dikatakan oleh Nabi saw”. Menurut al-Tahdzîb dan al-Muhkam, bila ketaatan itu juga diikuti dengan hati, maka ia disebut iman. Ini menurut madzhab Syafi’I; tetapi menurut madzhab Abu Hanifah, tidak ada perbedaan antara kedua istilah itu.
• Aslamtu ‘anhu, berarti aku meninggal-kannya setelah aku terlibat di dalamnya; seperti di dalam kalimat kâna râ’iya ghanamin tsumma aslama.
Jadi jika kita merujuk beberapa kamus Al-Quran , kita menemukan makna asal aslama adalah patuh, pasrah, atau berserah diri. Beberapa kamus Al-Quran lainnya yang lebih klasik tidak secara eksplisit menyebutkan makna asal ini, tetapi menyebutkan tingkatan-tingkatan Islam, yang menunjukkan sebenarnya pada tingkatan kepasrahan.
Al-Raghib al-Ishfahani menulis:
Di dalam syarak, Islam itu ada dua macam: Pertama, di bawah iman, yakni hanya mengakui dengan lidah saja. Dengan begitu, darahnya terpelihara; tidak jadi soal apakah keyakinan masuk ke dalamnya atau tidak. Inilah yang dimaksud dengan firman-Nya – Berkata orang Arab Badwi itu: Kami telah beriman. Katakan: Kamu belum beriman. Tetapi katakanlah: kami telah islam (QS. Al-Hujurat; 14); Kedua, di atas iman, bersamaan dengan pengakuan ada juga keyakinan dalam hati, pelaksanaan dalam tindakan, dan penyerahan diri kepada Allah dalam segala hal yang telah Ia tetapkan dan tentukan. Seperti yang diingatkan dalam kisah Ibrahim: Ketika Tuhan berkata kepadanya: Islamlah (pasrahlah), Ibrahim berkata: Aku pasrah kepada Pemelihara Seluruh Alam (QS. Al-Baqarah; 131); dan firman Allah: Sesungguhnya kepatuhan di sisi Allah adalah kepasrahan (QS. Ali Imran; 19)
Al-Mushtafawi menulis:
Islam itu bertingkat-tingkat: Pertama, kepasrahan dalam amal lahiriah, gerakan badaniah, dan anggota-anggota jasmaniah seperti dalam ayat: “Berkata orang Arab Badwi itu: Kami telah beriman. Katakan: Kamu belum beriman. Tetapi katakanlah: kami telah islam” (QS. Al-Hujurat; 14).
Kedua, menjadikan diri sesuai atau sejalan secara lahir dan batin, sehingga tidak terjadi pertentangan dalam amalnya, niatnya, dan hatinya, seperti dalam Kamu tidak akan dapat memperdengarkan kepada mereka (petunjuk) kecuali kepada orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, maka mereka itulah yang berserah diri (QS. Al-Rum; 53).
Ketiga, menghilangkan kontradiksi sama sekali. Baik dalam amal, niat, maupun eksistensi zat. Pada tingkat ini tidak ada lagi eksistensi diri atau melihat diri. Seluruh wujudnya tenggelam dalam samudra wujud Yang Haq, fana dalam kebesaran cahaya Dia. Pada tingkat ini tercerabutlah bekas kontradiksi itu dari akarnya. Yang tampak adalah hakikat makna penyerahan diri dan penyesuaian diri kepada Al-Haq yang Mutlak— Sesung-guhnya kepatuhan di sisi Allah adalah kepasrahan penuh (QS. Ali Imran; 19)
Tiga tingkatan Islam yang diuraikan Al-Mushtafawi, sekali pun ia penulis kamus, lebih bersifat esoteris ketimbang linguistis. Tetapi, baik Al-Isfahani maupun al-Mushtafawi, menyebutkan tingkatan Islam itu karena menghadapi kemusykilan makna Islam dalam ayat-ayat yang berlainan dalam Al-Quran. Pada satu sisi, kata Islam dipergunakan dalam posisi lebih rendah dari iman; seperti “islam”-nya orang Arab Badwi. Pada sisi lain, kepada Ibrahim yang sudah jelas-jelas Muslim, Tuhan menyuruhnya untuk Islam lagi. Tentulah Islam yang kedua ini lebih tinggi dari Islam yang pertama.
Pada Al-Mushtafawi, kata Islam dalam menunjukkan tingkat Islam yang paling tinggi; yakni, dalam istilah irfan, ketika orang sudah meninggalkan al-katsrah dan tiba di al-wahdah.
Walhasil dengan merujuk pada kamus-kamus itu, segera kita ketahui bahwa orang yang mengatakan bahwa bukan Muslim tidak diterima amalnya mengacaukan makna Islam dalam berbagai tingkatannya. Kata Islam dalam Inna al-Dîn ‘ind Allâh al-Islâm menunjukkan Islam yang tinggi, Islamnya Ibrahim as, bukan Islam seperti tercatat dalam kartu penduduk. Dan Islam pada tingkatan itu boleh jadi meliputi semua pengikut agama. Dalam tulisan Muthahhari, inilah Islam waqi’i sebagai lawan dari Islam geografis.
Tiga Tingkat Islam menurut Muthahhari
Muthahhari membagi makna Islam pada tiga tingkat karena keinginannya untuk menjawab pertanyaan: Apakah amal saleh orang yang tidak beragama Islam diterima Allah. Banyak orang, dengan merujuk antara lain pada Al-Baqarah 62, Al-Maidah 69, dan ayat-ayat lainnya yang bermakna sama, menyatakan bahwa amal saleh bukan orang Islam diterima Allah juga. Bukankah apa yang disebut amal saleh itu tetap amal saleh apa pun agamanya? Bukankah membahagiakan orang yang menderita itu disepakati sebagai amal saleh apa pun agama para pelakunya?
Secara akal, kita dengan mudah menerima argumentasi di atas. Tetapi kita mengalamai kesulitan untuk memahami ayat Inna al-Dîn ‘ind Allâh al-Islâm dan wa man yabtaghi ghayr al-Islam dinan fa lan yuqbala minhu wa huwa fi al-akhirat min al-khasirin (Ali Imran 85). Bukankah agama di sisi Allah itu hanya Islam? Bukankah orang yang mencari selain Islam sebagai agama ia tidak akan diterima dan pada hari akhirat menjadi orang-orang yang merugi. Lagi pula, bila Tuhan menerima amal saleh dari siapa pun, maka apa perlunya kita memeluk agama Islam? Apa juga gunanya kita memanggil manusia kepada Islam?
Dengan kembali kepada makna asal Islam —berserah diri, kepasrahan— Muthahhari menjelaskan tiga macam kepasrahan. Pertama, Islam fisik. Di sini orang pasrah kepada seseorang atau sesuatu karena terpaksa atau karena mengikuti lingkungannya. Muthahhari menyebut istilah al-islam al-jughrafiy kepada mereka yang lahir, hidup, dan mati dalam lingkungan Islam. Jika Anda memeluk Islam sekarang ini, karena orangtua Anda juga Muslim dan lingkungan Anda juga Muslim, padahal Anda tidak pernah mempelajari Islam, Anda baru masuk Islam secara fisik saja. Muthahhari menulis, “Kebanyakan kita hanyalah muslim tradisional dan geografis. Kita menjadi Muslim karena orangtua kita Muslim. Kita juga hidup dan tumbuh besar di tengah-tengah masyarakat Muslim.”
Di samping Islam geografis ada Islam aktual, al-islam al-waqi’iy. Inilah Islam yang “memikul nilai ruhiyah samawiyah”. Menurut Muthahhari, Islam aktual ialah Islamnya orang yang sudah pasrah kepada kebenaran dengan hatinya. Ia mengamalkan kebenaran yang diyakininya setelah ia menerima kebenaran itu melalui penelitian dan tanpa fanatisme. Bila ada orang yang telah berusaha mencari kebenaran, lalu ia menerima kebenaran itu dengan sepenuh hati, tetapi ia tidak memeluk agama Islam, Tuhan tidak akan mengazabnya. Berdasarkan firman Tuhan —Kami tidak akan mengazab mereka sebelum Kami bangkitkan Rasul (Al:Isra 15)— dan kaidah Ushul yang menyatakan “buruknya sanksi tanpa keterangan”, mustahil Tuhan menghukum orang di luar kemampuannya. Bila seseorang hanya mampu mengetahui kebenaran Kristen, misalnya, dan mengikutinya dengan setia, pada hakikatnya ia sudah menerima Islam dalam pengertian kepasrahan yang tulus.
Muthahhari memberikan contoh Descartes. Dalam pencarian kebenaran, Descartes menerima Kristen sebagai agama yang benar, seraya mengatakan bahwa itulah agama yang dikenalnya dengan baik. Ia tidak menolak kemungkinan agama lain juga benar, hanya saja ia tidak mengetahuinya.
Muthahhari menulis,
Orang-orang seperti Descartes tidak mungkin kita sebut kafir, karena mereka tidak mempunyai sifat membangkang kepada kebenaran dan tidak menyembunyikan kebenaran. Bukankah kekafiran adalah pembangkangan dan penutupan kebenaran. Mereka adalah Muslim secara fitriah. Jika kita tidak dapat menyebut mereka Muslim, kita juga tidak dapat menyebut mereka kafir.
Dalam pandangan kelompok al-mutasyaddidun —menurut sebutan Muthahhari— Descartes tetap saja kafir. Amal salehnya tidak akan diterima Allah. Akhirnya ia masuk neraka. Ada lagi kelompok yang lebih menyempitkan lagi pengertian Islam. Buat mereka, yang diterima Allah hanyalah Islam yang benar; yakni, yang mengikuti paham kelompok-nya. Orang Sunni menganggap amal saleh orang Syiah tidak akan diterima Allah. Orang Syiah beranggapan amal saleh orang Sunni justru akan ditolak. Di Indonesia, Islam yang diterima dibatasi jauh lebih sempit lagi— pada kotak kecil yang bernama jamaah, harakah, atau kelompok satu imam.
Alkisah, Imam Ja’far al-Shadiq ingin menasehati kelompok mutasyaddidun, yang menganggap bahwa orang yang tidak mengenal imamah adalah kafir. Kita turunkan kembali dialog antara Imam dengan para pengikutnya:
Pada suatu hari, aku (Hasyim), Muhammad bin Muslim, Abu Al-Khattab, sedang berkumpul. Abu Al-Khattab berkata kepada kami: Apa pendapat kalian tentang orang yang tidak mengetahui urusan ini (imamah)? Aku berkata: Barang siapa yang tidak mengetahui urusan ini, ia kafir. Berkata Abu Al-Khattab: Tidak disebut kafir sebelum tegak di atasnya hujjah (keterangan). Bila sudah tegak keterangan tapi ia tidak mengetahuinya, ia kafir. Berkata kepadanya Muhammad bin Muslim: Subhanallah, bagaimana kau sebut kafir orang yang tidak mengetahui dan tidak membangkang? Tidak disebut kafir orang yang tidak membangkang. Ia berkata: Setelah aku berdebat, aku masuk ke kediaman Abu Abdillah as dan aku kabarkan kepadanya peristiwa itu. Imam berkata: Kamu hadir sekarang ini tapi kedua orang sahabatmu tidak ada. Marilah kita bertemu dan tempat pertemuan kalian adalah malam ini di Jumrah Wustha, Mina.
Pada malam tersebut, kami berkumpul di hadapannya bersama Abu Al-Khattab dan Muhammad bin Muslim. Ia mengambil bantal dan meletakkannya di dadanya seraya berkata kepada kami: Bagaimana pendapat kalian tentang pembantu kalian, istri-istri kalian, keluarga kalian. Apakah mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah? Aku (Hasyim) berkata: Benar. Ia bersabda: Bukankah mereka bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah? Aku berkata: Benar. Ia bersabda: Bukankah mereka salat, puasa, dan haji? Aku berkata: Benar. Ia bersabda: Apakah mereka mengetahui Imamah yang kalian ketahui? Aku berkata: Tidak. Ia bersabda: Bagaimana mereka menurut kalian? Aku berkata: Barangsiapa yang tidak mengetahui dia kafir. Ia bersabda: Subhanallah, apakah kau mengenal para petunjuk jalan dan para pelayan air? Aku berkata: Benar. Ia bersabda: Bukankah mereka salat, puasa, dan haji? Bukankah mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Aku berkata: Benar. Ia bersabda: Apakah mereka mengetahui apa yang kalian ketahui? Aku berkata: Tidak. Bagaimana mereka menurut kalian? Aku berkata: Barangsiapa yang tidak tahu dia kafir.
Ia bersabda: Subhanallah, tidakkah kamu lihat Ka’bah dan orang-orang yang thawaf serta penduduk Yaman dan keadaan mereka ketika bergantung di tirai Ka’bah? Aku berkata: Benar. Ia bersabda: Bukankah mereka bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah, salat, saum, dan haji? Aku berkata: Benar. Ia bersabda: Apakah mereka mengetahui apa yang kalian ketahui? Aku berkata: Tidak. Ia bersabda: Bagaimana pendapat kalian tentang mereka? Aku berkata: Barangsiapa yang tidak mengetahui, ia kafir.
Subhanallah, ini ucapan Khawarij. Kemudian ia bersabda: Jika kalian mau aku akan beritahukan kepada kalian. Aku berkata: Tidak. (Menurut Almarhum Al-Faydh, Hasyim mengatakan tidak karena ia tahu bahwa Imam akan mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pendapatnya.) Imam bersabda: Sangat buruklah bagi kalian untuk mengatakan sesuatu yang tidak kalian dengar dari kami.
Pelajaran dari kisah ini sederhana saja. Kita tidak boleh menetapkan seorang kafir karena tidak mengetahui keyakinan yang kita ketahui. Orang-orang yang disebut Imam Ja’far sebagai orang —orang yang salat, saum, haji, dan menangis ketika bergantung pada tirai Ka’bah tidak boleh serta-merta disebut kafir, hanya karena mereka tidak meyakini Imamah yang diyakini oleh orang-orang Syi’ah. Bandingkanlah dengan sebagaian saudara kita yang “sangat saleh” yang menetapkan dengan tegas bahwa Syiah itu kafir dan bahkan halal darahnya. Setelah menyimak tulisan berikutnya, maukah Anda menyebut Thabathabai —mufasir Syiah mutakhir— sebagai seorang kafir?
Tingkatan Islam dan Iman menurut Thabathabai
Setelah Tuhan mengisahkan perjuangan Ibrahim as sebagai tauladan yang utama, contoh orang yang pasrah sepenuhnya kepada Tuhan; setelah Ibrahim dan Ismail melaksanakan perintah Tuhan untuk membangun kembali Ka’bah; setelah keduanya berdoa agar dijadikan orang-orang Islam, Tuhan memanggil Ibrahim. Ketika Tuhannya berkata kepadanya: Islamlah kamu. Ibrahim berkata: Aku berislam kepada Tuhan Semesta Alam. (QS. Al-Baqarah; 131) Bukankah Ibrahim sudah Islam, dengan mematuhi semua perintah Allah swt? Mengapa ia disuruh Islam lagi? Untuk menjawab pertanyaan ini Thabathabai menulis tentang tingkatan keislaman dan keimanan. Saya mengutipnya agak lengkap di bawah ini:
Orang-orang berbeda dalam tingkat kepasrahannya kepada aturan Tuhan. Mereka juga berbeda dalam tingkat keislamannya.
Pertama, tingkat pertama Islam adalah menerima dan mematuhi perintah dan larangan dengan membaca dua kalimat syahadat, tidak jadi soal apakah iman sudah atau belum memasuki hatinya. Allah berfirman: Orang Arab dari dusun itu berkata: Kami beriman. Katakan, “Kamu tidak beriman. Tapi katakanlah: Kami Islam; karena iman belum masuk pada hati kamu.” (QS. Al-Hujurat; 14)
Kedua, Islam tingkat ini diikuti dengan tingkat pertama iman yaitu penyerahan dan kepasrahan hati untuk menerima keyakinan yang benar secara terperinci dengan diikuti oleh amal-amal salih; walaupun sewaktu-waktu mungkin saja berbuat salah. Allah Ta’ala berfirman tentang sikap orang yang takwa: Orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami dan mereka itu muslim (QS. Al-Zukhruf; 69) Dan Ia berfirman: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kepada Islam secara keseluruhan. (QS. Al-Baqarah; 208) Jelaslah Islam yang datang setelah iman ini bukanlah Islam pada tingkat yang pertama. Setelah Islam ini, datanglah tingkat kedua dari iman; yaitu keyakinan yang penuh kepada hakikat agama. Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian tidak ragu-ragu dan berjuang di jalan Allah dengan harta dan diri mereka. Mereka itulah orang-orang yang beriman tulus. (QS. Al-Hujurat; 15)
Ia juga berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apakah Aku tunjukkan kepada kalian perdagangan yang a kan menyelamatkan kalian dari azab yang pedih. Kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjuang di jalan Allah dengan harta dan diri kamu. (QS. Al-Shaf; 10-11). Di sini, kaum mukminin diberi petunjuk kepada iman yang bukan iman sebelumnya.
Ketiga, tahap kedua iman itu membawa kita kepada Islam pada tingkat yang ketiga. Ketika jiwa sudah dipenuhi dengan iman tersebut di atas dan mulai berakhlak dengan akhlak berdasarkan iman itu, maka tunduklah kepadanya semua kekuatan hewani, yaitu semua kecenderungan ke arah dunia dan segala godaannya. Sekarang manusia menyembah Allah seakan-akan ia melihatnya dan jika ia tidak melihatnya sekalipun, ia meyakini bahwa Allah melihatnya. Di dalam batinnya dan dirinya yang paling dalam, tidak ada lagi apa pun yang tidak tunduk kepada perintah-Nya dan larangan-Nya atau kecewa kepada ketentuan-Nya. Allah berfirman: Maka demi Tuhanmu, tidak beriman mereka sampai mereka mengambil kamu sebagai pengutus untuk apa-apa yang mereka pertikaikan di antara mereka. Lalu mereka tidak dapatkan dalam diri mereka keberatan atas apa-apa yang engkau tentukan dan pasrah dengan kepasrahan yang sebenarnya. (QS. Al-Nisa; 65) Setelah tingkat keislaman ini, sampailah orang kepada tingkat iman berikutnya. Allah berfirman: Berbahagialah orang-orang yang beriman, sampai kepada firmannya. Dan orang-orang yang berpaling dari hal-hal yang tidak berguna. (QS. Al-Mukminun; 1-3) Begitu juga firman Allah: Ketika Tuhannya berkata kepadanya: Islamlah kamu. Ibrahim berkata: Aku berislam kepada Tuhan Semesta Alam. (QS. Al-Baqarah 131) Akhlak-akhlak yang mulia seperti rida, kepasrahan, keteguhan hati, kesabaran dalam menaati perintah Allah, kesempurnaan zuhud dan wara’, cinta dan benci karena Allah termasuk akhlak orang yang mencapai tingkat ini.
Keempat, tingkat Islam yang keempat datang setelah tingkat iman yang ketiga. Pada tingkat iman sebelumnya, hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan budak dengan tuannya. Karena ia melakukan sebenar-benarnya pengabdian dan tunduk sepenuhnya kepada kehendak Tuannya, menerima apa yang dicintainya dan diridainya. Memang tidak bisa dibandingkan antara kepemilikan dan kekuasaan seorang tuan atas budaknya dengan kepemilikan dan kekuasaan Tuhan semesta alam di atas makhluk-makhluk-Nya. Kepemilikan dia adalah kepemilikan yang sebenarnya. Selain Tuhan, tidak ada yang memiliki wujud yang mandiri secara zat, sifat, maupun perbuatan. Kadang-kadang setelah manusia sampai pada tingkat kepasrahan yang ketiga ini, bantuan Ilahi menariknya dan menampakkan kepadanya hakikat yang sebenarnya, bahwa seluruh kerajaan kepunyaan Allah semata-mata. Tidak sesuatu pun dapat memiliki sesuatu kecuali karena Dia. Tidak ada Tuhan kecuali Dia.
Pengungkapan realitas seperti ini adalah anugerah Ilahi yang Tuhan berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Orang tidak akan sampai kepada tingkat ini semata-mata karena kemauannya. Mungkin inilah yang dimaksud dengan firman Allah yang digambarkan dengan doa Ibrahim dan Ismail: Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang pasrah kepadamu dan jadikan juga keturunan kami orang yang pasrah kepadamu. Dan tunjukkan kepada kami, cara pengabdian kami kepada-Mu. (QS. Al-Baqarah; 128) Bandingkanlah ini dengan ayat: Ketika Tuhannya berkata kepadanya: Islamlah kamu. Ibrahim berkata: Aku berislam kepada Tuhan Semesta Alam. (QS. Al-Baqarah; 131). Ayat ini secara lahiriah menunjukkan perintah tasyri’i bukan takwini; perintah legislatif bukan perintah kreatif. Ibrahim sudah Islam dengan pilihannya sendiri, memenuhi panggilan Tuhannya dan menjalankan perintahnya. Inilah perintah yang diterimanya pada awal hidupnya. Kemudian dalam ayat yang baru saja disebut, pada akhir hayatnya, Ibrahim dan anaknya Ismail berdoa memohonkan Islam dan agar ditunjuki cara pengabdian. Permohonan Ibrahim ini jelaslah bukan sesuatu yang sudah dimilikinya. Ia memohonkan sesuatu yang tidak berada di dalam kemampuannya. Pendeknya, Islam dalam doa Ibrahim dan Ismail adalah Islam pada tingkat yang keempat, dan yang paling tinggi.
Tingkat Islam ini diikuti dengan tingkat iman yang keempat. Pada tingkat ini, seluruh keadaan dan perbuatannya dipenuhi oleh keadaan yang disebut di atas. Allah berfirman: Ketahuilah bahwa para kekasih Allah itu, tidak ada takut pada mereka dan tidaklah mereka berduka cita, orang-orang yang beriman dan mereka itu bertakwa. (QS. Yunus; 42). Kaum mukminin yang disebutkan dalam ayat ini, sudah berada pada tingkat keyakinan bahwa tidak ada sesuatu pun yang terlepas dari Allah. Tidak ada suatu peristiwa pun terjadi tanpa seizin Allah, karena itu mereka tidak berduka cita karena hal yang dibenci menimpa mereka. Tidak juga takut karena ancaman bahaya yang menghadang mereka. Inilah iman yang datang setelah Allah melimpahkan anugerahnya. Renungkanlah.
Penutup
Marilah kita kembali pada pertanyaan awal kita: Apakah hanya Islam agama yang diterima Allah? Jawaban kita bisa “ya” dan “tidak”. Ya, bila yang kita maksud adalah Islam sebagai kepasrahan sepenuh hati kepada kebenaran, yang kita peroleh melalui proses pencarian yang tulus dan sungguh-sungguh. Tidak, bila yang dimaksud dengan Islam adalah institusi keagamaan seperti yang tercantum dalam kartu identitas kita. Bila pertanyaan ini kita sampaikan lebih spesifik: Apakah orang yang beragama selain Islam, seperti Kristen, Hindu, Budha, akan diterima di sisi Allah? Jawabannya tergantung kepada ideologi yang Anda anut. Sebagai al-mutasyaddidun, Anda hanya akan mengatakan Islam saja yang diterima Allah. Sebagai al-mustanîrun, Anda akan berkata bahwa agama adalah jalan menuju Tuhan. Seperti dikatakan para sufi, jalan menuju Tuhan sebanyak nafas manusia. Mengapa kita harus menyempitkan kasih Tuhan, yang meliputi langit dan bumi.
Ketika menjelaskan orang yang “spiritually intelligent”, Zohar dan Marshall menulis, “Sebagai orang Masehi, Muslim, Budha atau siapa saja yang cerdas secara spiritual, saya mencintai dan menghormati tradisi saya -tetapi saya mencintainya karena ia adalah salah satu di antara banyak bentuk untuk mengungkapkan potensialitas dari inti jiwa kita. Saya memiliki penghormatan yang mendalam dan setia pada tradisi-tradisi dan bentuk-bentuk keberagamaan lainnya.” Boleh jadi saya juga membayangkan diri saya mampu menghayati bentuk-bentuk keberagamaan tersebut. Seperti dinyatakan oleh Ibn ‘Arabi, sufi abad ke-13:
Hatiku telah mampu menerima berbagai bentuk:
padang gembala rusa atau biara pendeta Kristen,
dan kuil berhala, Ka’bah tempat penziarah,
dan Kitab Taurat dan Al-Qur’an,
aku mengikuti agama cinta;
ke mana pun unta cinta membawaku, ke situlah agamaku dan keimananku.
(AYS Sumber: jalal-center)

Masalah Kecerdasan: Perlu Keseimbangan Otak Kiri dan Kanan

Selasa, 30 Agustus, 2005 oleh: Gsianturi


Masalah Kecerdasan: Perlu Keseimbangan Otak Kiri dan Kanan
Gizi.net - Masalah Kecerdasan: Perlu Keseimbangan Otak Kiri dan Kanan

Masyarakat sering kali menilai IQ (intelligence quotient) disamakan dengan intelegensi atau kecakapan. Padahal, IQ hanya mengukur sebagian kecil dari kecakapan.

''Justru anak yang cerdas itu adalah anak yang bisa bereaksi secara logis dan berguna terhadap apa yang dialami di lingkungannya,'' jelas Eileen Rachman, psikolog yang juga Direktur Experd, konsultan sumber daya manusia pada seminar 10 Cara Mempertajam IQ dan EQ (emotional quotient) Anak, Sabtu (27/8) di Jakarta. Pada seminar yang sama juga diluncurkan buku berjudul Mengoptimalkan Kecerdasan Anak.


Eileen menjelaskan, IQ merupakan angka yang dipakai untuk menggambarkan kapasitas berpikir seseorang dibandingkan dengan rata-rata orang lain. Pada umumnya IQ rata-rata orang diberi angka 100.

"IQ hanya digunakan antara lain membayangkan ruang, melihat lingkungan sekeliling secara runtut dan mencari hubungan antara satu bentuk dan bentuk lainnya. Tetapi IQ tidak mengukur kreativitas, kemampuan sosial, dan kearifannya,'' katanya.

Sementara itu, kecerdasan anak dilihat dari pemahaman dan kesadaran terhadap apa yang dialaminya. Kemudian di dalam pikirannya, pengalaman itu diubah menjadi kata-kata atau angka. Karena itu, Eileen menekankan pentingnya pemahaman. ''Karena pemahaman adalah kombinasi antara upaya memperbanyak masukan melalui pancaindra dan pengetahuan yang sudah dimiliki,'' jelas Eileen.

Bagaimana mengoptimalkan kecerdasan anak? Eileen menyarankan agar para orang tua meningkatkan cara belajar, membaca, dan mengulang. Misalnya, untuk memperkenalkan cara membaca, ibu membantu anak dengan memberi garis di bawah kata-kata yang penting, meminta anak membaca dengan suara keras dan menjelaskan makna bacaannya.

Selain itu, orang tua juga mengenalkan strategi, mengambil keputusan yang rasional, mencetuskan ide selancar mungkin, midmapping, meningkatkan perbendaharaan kata-kata, berpikir sambil membayangkan, humor, berpikir kritis, dan bermain. Tujuannya menyeimbangkan kerja otak kiri dan kanan, karena struktur otak belahan kiri dan kanan mempunyai tugas yang berbeda.

Kenapa perlu menyeimbangkan kerja otak kiri dan kanan? Eileen mengatakan agar anak bisa membaca lancar dengan pemahaman penuh, menulis secara kreatif, mengeja, mengingat, mendengar, berpikir sekaligus pada saat yang sama atau menjadi juara pada cabang olahraga tertentu. Semua itu dibutuhkan koordinasi otak kiri dan kanan dengan baik serta terlatih.

Tetapi menyeimbangkan kerja otak kiri dan kanan bisa pula melalui kebiasaan. Eileen menjelaskan, misalnya dengan menikmati musik dan kesenian, menikmati warna, ruang dan bentuk, menghargai kreativitas dan menghargai kepekaan perasaan.

Sementara itu, dr Andre Meaza mengatakan bahwa masa usia dini merupakan periode emas untuk melakukan proses stimulasi aktif melalui proses pengindraan dengan tujuan membentuk wiring system. ''Tahapan awal kehidupan anak merupakan tahapan penting karena anak sudah mampu menerima keterampilan dan pengajaran sebagai dasar pengetahuan dan proses berpikir.''

Andre juga menjelaskan, separuh perkembangan intelektual anak berlangsung sebelum memasuki usia 4 tahun. Justru perkembangan kognitif usia 17 tahun merupakan akumulasi perkembangan dari anak lahir.

Menurut Andre, anak berusia 0-4 tahun memiliki perkembangan kognitif sebesar 50%, 4-8 tahun sebesar 30% dan 9-17 tahun sebesar 20%. ''Memang perkembangan otak sebelum usia 1 tahun lebih cepat, tetapi kematangan otak berlangsung sesudah anak lahir,'' katanya.

Dia mengingatkan bahwa pengaruh lingkungan awal pada perkembangan otak akan berdampak lama. Oleh karena itu, anak yang mendapat stimulasi lingkungan yang baik, fungsi otaknya akan berkembang lebih baik. (Drd/H-4).

Sumber:
http://www.mediaindo.co.id
29 Agustus 2005

Selasa, 02 Maret 2010

Gangguan Keterlambatan Bicara dan Faktor Penyebab

Kategori Anak
Oleh : Jacinta F. Rini
Jakarta, 9/4/2001


Banyak orang tua yang khawatir jika anaknya belum lancar bicara padahal dilihat dari segi usia sepertinya sudah lewat dan jika dibandingkan dengan anak-anak tetangganya, teman-temannya, saudara-saudaranya kok ketinggalan jauh. Kenyataan tersebut pada akhirnya sering mengundang pertanyaan yang diajukan kepada e-psikologi. Untuk itu lah kami akan mengulas persoalan keterlambatan bicara pada balita.


Gangguan kemampuan bicara atau keterlambatan bicara dan berbahasa ini haruslah dideteksi dan ditangani sejak dini dan dengan metode yang tepat. Bagaimana pun juga, bicara dan bahasa merupakan media utama seseorang untuk mengekspresikan emosi, pikiran, pendapat dan keinginannya. Bayangkan saja, jika ia mengalami masalah dalam mengekspresikan diri, untuk bisa dimengerti oleh orang lain atau orang tuanya, guru dan teman-temannya, maka bisa membuat ia frustrasi. Mungkin pula ia akan merasa frustrasi dan malu karena teman-temannya memperlakukan dia secara berbeda, entah mengucilkan atau pun membuatnya jadi bahan tertawaan. Jika tidak ada yang bisa mengerti apa sih yang jadi keinginannya atau apa yang dimaksudkannya, maka tidak heran jika lama kelamaan ia akan berhenti untuk berusaha membuat orang lain mengerti. Padahal, belajar melalui proses interaksi adalah proses penting dalam menjadikan seorang manusia bertumbuh dan berhasil menjadi orang seperti yang diharapkannya.
Untuk memahami lebih lanjut tentang keterlambatan bicara, maka Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak perlu mengetahui beberapa hal sebagai berikut:

Bila Anak Terlambat Bicara
Gangguan keterlambatan bicara adalah istilah yang dipergunakan untuk mendeskripsikan adanya hambatan pada kemampuan bicara dan perkembangan bahasa pada anak-anak, tanpa disertai keterlambatan aspek perkembangan lainnya. Pada umumnya mereka mempunyai perkembangan intelegensi dan sosial-emosional yang normal. Menurut penelitian, problem ini terjadi atau dialami 5 sampai 10% anak-anak usia prasekolah dan lebih cenderung dialami oleh anak laki-laki dari pada perempuan. Pada kasus-kasus tertentu, hambatan berbicara dan berbahasa terlihat dari adanya hambatan dalam menulis.

Adapun penyebab dari keterlambatan bicara ini disebabkan oleh beragam faktor, seperti:
1. Hambatan pendengaran
Pada beberapa kasus, hambatan pada pendengaran berkaitan dengan keterlambatan bicara. Jika si anak mengalami kesulitan pendengaran, maka dia akan mengalami hambatan pula dalam memahami, meniru dan menggunakan bahasa. Salah satu penyebab gangguan pendengaran anak adalah karena adanya infeksi telinga.
2. Hambatan perkembangan pada otak yang menguasai kemampuan oral-motor
Ada kasus keterlambatan bicara yang disebabkan adanya masalah pada area oral-motor di otak sehingga kondisi ini menyebabkan terjadinya ketidakefisienan hubungan di daerah otak yang bertanggung jawab menghasilkan bicara. Akibatnya, si anak mengalami kesulitan menggunakan bibir, lidah bahkan rahangnya untuk menghasilkan bunyi kata tertentu.
3. Masalah keturunan
Masalah keturunan sejauh ini belum banyak diteliti korelasinya dengan etiologi dari hambatan pendengaran. Namun, sejumlah fakta menunjukkan pula bahwa pada beberapa kasus di mana seorang anak anak mengalami keterlambatan bicara, ditemukan adanya kasus serupa pada generasi sebelumnya atau pada keluarganya. Dengan demikian kesimpulan sementara hanya menunjukkan adanya kemungkinan masalah keturunan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi.
4. Masalah pembelajaran dan komunikasi dengan orang tua
Masalah komunikasi dan interaksi dengan orang tua tanpa disadari memiliki peran yang penting dalam membuat anak mempunyai kemampuan berbicara dan berbahasa yang tinggi. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa cara mereka berkomunikasi dengan si anak lah yang juga membuat anak tidak punya banyak perbendaharaan kata-kata, kurang dipacu untuk berpikir logis, analisa atau membuat kesimpulan dari kalimat-kalimat yang sangat sederhana sekali pun. Sering orang tua malas mengajak anaknya bicara panjang lebar dan hanya bicara satu dua patah kata saja yang isinya instruksi atau jawaban sangat singkat. Selain itu, anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri sejak dini (lebih banyak menjadi pendengar pasif) karena orang tua terlalu memaksakan dan "memasukkan" segala instruksi, pandangan mereka sendiri atau keinginan mereka sendiri tanpa memberi kesempatan pada anaknya untuk memberi umpan balik, juga menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan bicara, menggunakan kalimat dan berbahasa.

5. Faktor Televisi
Anak batita yang banyak nonton TV cenderung akan menjadi pendengar pasif, hanya menerima tanpa harus mencerna dan memproses informasi yang masuk. Belum lagi suguhan yang ditayangkan berisi adegan-adegan yang seringkali tidak dimengerti oleh anak dan bahkan sebenarnya traumatis (karena menyaksikan adegan perkelahian, kekerasan, seksual, atau pun acara yang tidak disangka memberi kesan yang mendalam karena egosentrisme yang kuat pada anak dan karena kemampuan kognitif yang masih belum berkembang). Akibatnya, dalam jangka waktu tertentu yang mana seharusnya otak mendapat banyak stimulasi dari lingkungan/orang tua untuk kemudian memberikan feedback kembali, namun karena yang lebih banyak memberikan stimulasi adalah televisi (yang tidak membutuhkan respon apa-apa dari penontonnya), maka sel-sel otak yang mengurusi masalah bahasa dan bicara akan terhambat perkembangannya.

EVALUASI PEMERIKSAAN
Jika orang tua mencurigai anaknya mengalami hambatan bicara, maka hal ini haruslah diteliti dan diperiksa oleh ahli yang memang berkompeten di bidangnya, untuk menghindari terjadinya salah diagnosa dan penanganan. Untuk itu, diperlukan pemeriksaan lengkap dari aspek-aspek:
1. Fisiologis dan Neurologis
Dokter memeriksa secara menyeluruh, untuk mengetahui apakah keterlambatan tersebut disebabkan masalah pada alat pendengaran, sistem pendengarannya, atau pun pada areal otak yang mengatur mekanisme pendengaran-bicara dan otak yang memproduksi kemampuan berbicara. Tidak hanya itu, pemeriksaan lengkap akan menghasilkan diagnosa yang jauh lebih pasti tidak hanya faktor penghambatnya, namun juga metode penanganan yang paling sesuai untuk anak yang bersangkutan.
2. Psikologis
Pemeriksaan secara psikologis juga diperlukan untuk memahami fungsi-fungsi lain yang berhubungan dengan kemampuan berbicara dan berbahasa, seperti tingkat intelegensi serta tingkat perkembangan sosial-emosional anak. Pemeriksaan secara psikologis ini juga dimaksudkan untuk melihat sejauh mana pengaruh dari hambatan yang dialami anak terhadap kemampuan emosional dan intelektualnya. Pemeriksaan ini juga harus ditangani oleh ahli atau psikolog yang berkompeten dan berpengalaman dalam menangani anak dengan problem keterlambatan bicara.
Setelah hasil pemeriksaan keluar, maka orang tua dengan rekomendasi ahlinya dapat mengambil langkah tepat seperti misalnya, melakukan terapi bicara atau jika usia anak sudah harus sekolah, maka dimasukkan pada sekolah yang dapat memberikan perlakuan dan perhatian yang tepat sesuai dengan masalah anak tersebut.
Sebenarnya hal ini masih bisa didiagnosa dan dilakukan penanganan yang tepat supaya kemampuan tersebut akhirnya berkembang seperti anak-anak lain seusianya. Jika sejak awal hambatan bicara ini sudah didiagnosa secara tepat, dan jika pihak keluarga mempunyai kepedulian yang tinggi untuk memberikan dukungan bagi program pemulihan si anak, maka akan besar kemungkinan bagi si anak untuk kembali memiliki kemampuan yang normal. Meski pada proses awal akan terkesan lamban, namun kemungkinan besar masalah keterlambatan bicara akan teratasi ketika anak mulai memasuki sekolah dasar.

Semoga bermanfaat.

Selasa, 16 Februari 2010

Mengenal Nafs (Jiwa)

2010 February 12
by ahmadsamantho
by Quito Riantori
Sunday, February 7, 2010 at 7:59pm


Di dalam kitab Mizan al-Hikmah diriwayatkan sebuah hadits bahwa seseorang bernama Majasyi’ datang kepada Rasulullah saww dan bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan menuju pengenalan kepada Allah (al-Haq)?”
Rasul saww menjawab, “Pengenalan diri (nafs)”
Orang itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara menyesuaikan diri dengan Allah?”
Rasulullah saww menjawab, “Menyelisihi ego (nafs)”
Orang itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan menuju keridhaan Allah?”
Jawab Nabi, “Membenci ego (nafs)”
Dia bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara untuk sampai kepada Allah?”
Jawab Nabi, “Hijrah dari ego (nafs)”.


Orang itu masih bertanya lagi, “Wahai Rasulullah bagaimana jalan untuk taat kepada Allah”
Jawab Nabi, “Menentang ego (nafs)”.
Orang itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara berdzikir kepada Allah?”,
Jawab Nabi, “Melupakan ego (nafs)”
Dia terus bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara mendekat kepada Allah?”
Jawab Nabi, “Menjauhi ego (nafs)”
Dia bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara berakraban dengan Allah?”,
Nabi menjawab, “Melepaskan diri dari ego (nafs)”.
Sampai pada akhirnya orang itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan untuk mencapai-Nya”
Rasulullah saww menjawab, “Memohon pertolongan kepada Allah di dalam mengatasi ego (nafs)” [1]
Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saww mengajarkan cara berdzikir kepada Allah. Ketika seseorang yang bernama Majasyi’ bertanya kepada beliau, bagaimana cara berdzikir kepada Allah, maka Rasulullah saww menjawab, “Melupakan nafs”. Lalu apakah nafs itu?

APA ITU NAFS?
SALAH satu jalan untuk mencapai Ma’rifatullah atau mengenal Allah adalah Ma’rifat al-Nafs atau mengenal diri. Di dalam hadits yang cukup masyhur di kalangan kaum Irfan atau pun Sufi, Nabi saww pernah bersabda : “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu : “Barangsiapa yang mengenal nafs-nya (dirinya) maka sungguh dia akan mengenal Tuhannya” [2].
Hadits ini secara gamblang menjelaskan keniscayaan pengenalan diri menuju kepada pengenalan kepada Tuhan. Mungkin karena itulah di dalam hadits lainnya Imam Ali as berkata: “Aku heran kepada orang yang tidak (berusaha untuk) mengenal dirinya, bagaimana (mungkin) ia bisa mengenal Tuhannya” [3]
DUALITAS NAFS
SYAHID Ayatullah Murtadha Muthahhari di dalam tulisannya Falsafe Akhlaq mencoba menjelaskan dualitas Nafs. Beliau mengatakan : “Kerap kali Al-Qur’an berbicara tentang Nafs manusia, yang mana manusia harus berperang melawannya, karena kecenderungannya yang buruk, seperti :
“Dan adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri (Nafs) dari hawa-nafs, maka surgalah tempat tinggalnya” (QS 79 : 40), dan ayat lainnya : “Sesungguhnya Nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali Nafs yang mendapatkan ke-Rahim-an Tuhanku” (QS 12 : 53).
Namun di lain ayat, Al-Qur’an menghormati dan menyanjung Nafs : “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada Nafs (diri) mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasiq” (QS 59:19).
Al-Syahid Muthahhari mengatakan : Sekiranya Nafs ini adalah Nafs yang pertama (yang cenderung kepada yang buruk) maka alangkah baiknya jika mereka lupa. Dengan alasan inilah Ayatullah Murtadha Muthahhari membagi nafs menjadi dua macam: Nafs (Diri) Sejati dan Nafs (Diri) Fantasi. Agar lebih mudah dipahami, saya menyebut Diri Sejati dengan Nafs Insani dan Diri Fantasi dengan Nafs Basyari. Saya akan menjelaskan alasan saya nanti.
MAKNA NAFS DAN HUBUNGANNYA DENGAN RUH
Sachiko Murata di dalam bukunya The Tao of Islam juga mencoba menjelaskan makna Nafs secara lebih rinci dan jelas. [4]
Beliau mengatakan bahwa banyak pengarang tidak membedakan antara Nafs dan Ruh. Memang dengan tidak membedakan keduanya kita akan bingung. Karenanya Sachiko Murata berusaha membedakan keduanya dan menjelaskan potensinya masing-masing. Ruh tercipta dari cahaya (nur) dan sebagaimana para malaikat, sepenuhnya terpisah dengan dunia jasadi (materi).
Sebaliknya jasad atau tubuh manusia yang tercipta dari tanah liat bersifat gelap. Sementara Nafs memiliki sifat-sifat dari kedua pihak tersebut dan bertindak sebagai perantara keduanya (Ruh dan Jasad).
Nafs menjadi lembut dan bercahaya ketika menjalin hubungan dengan Ruh, sebaliknya menjadi keras, padat dan gelap ketika menjalin hubungan dengan jasad. Posisi nafs berada di antara Ruh dan Jasad, ia menjadi barzakh (tanah genting) antara keduanya.
Biasanya Nafs dianggap berada pada tingkat yang lebih rendah dari Ruh, karena Ruh berasal lang¬sung dari Tuhan: “Dan telah Kutiupkan ke dalam jasadnya Ruh-Ku” (QS 15:29) Al-Qur’an tidak menyarankan bahwa Nafs manusia dan Tuhan terkait erat, sebagaimana Ruh manusia dengan Tuhan, dalam pengertian bahwa Nafs muncul setelah Ruh, karenanya sering diacu sebagai anak Ruh.
Dari Ruh sifat-sifat Ilahi mengalir kedalam Nafs, seperti sifat-sifat kehidupan, pengetahuan, kehendak (iradah), kekuasaan (qudrah), pembicaraan, pendengaran dan penglihatan. Nafs bersikap reseptif dengan mewujudkan sifat-sifat ini melalui jasad.
Ruh menyuburkan Nafs dan Nafs melahirkan aktivitas-aktivitas jasadi di dunia terlihat. Begitu Ruh dan Nafs hidup dalam keselarasan, yaitu masing-masing menjalankan fungsinya sesuai dengan hubungan itu maka dimensi batin manusia akan merasakan kedamaian.
Sebaliknya jika terjadi kegagalan di dalam mewujudkan keselarasan dan keharmonisan antara Ruh dan Nafs maka manusia akan merasakan kegelisahan atau ketidaknyamanan. Sachiko Murata menggambarkan posisi Ruh, nafs dan jasad dengan mengatakan: “Tuhan adalah langit dan Ruh adalah bumi Ruh adalah langit dan Nafs adalah bumi Nafs adalah langit dan Jasad adalah bumi (The Tao of Islam)
NAFS BASYARI DAN NAFS INSANI
“Dan Nafs serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada Nafs itu kefasikan dan ketaqwaannya” (QS 91:7-8) Ruh Ilahi yang merupakan unsur Ketuhanan menarik Nafs kepada ketaqwaan, sebaliknya Jasad yang mewakili unsur materi menariknya kepada kefasikan.
Jadi seluruh gerak dan tindak tanduk manusia didorong oleh dua macam kekuatan yang berusaha mempengaruhi Nafs tadi. Nafs yang condong kepada Ruh Ilahi mengarahkan aktivitasnya kepada taqwa, inilah yang disebut Nafs Insani. Adapun Nafs yang ditarik oleh unsur jasadinya kepada kefasikan disebut Nafs Basyari.
Nafs Basyari mendorong manusia berbuat dan bertindak berdasarkan kecenderungan jasadinya (fisiknya), seperti makan minum, berhubungan seks dan segala aktivitas yang juga dilakukan oleh hewan.
Karena itu Murtadha Muthahhari juga menyebutnya dengan Nafs hewani (diri hewani). Tatkala Iblis membangkang untuk bersujud kepada Adam, ia berkata: “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia (basyar) yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk!” (QS 15 : 33).
Iblis menggunakan kata basyar mengacu kepada penciptaan jasad manusia. Ia tertipu dan terhijabi oleh kecongkakannya sehingga ia melupakan bahwa manusia telah disempurnakan Allah dengan Ruh-Nya: “Dan telah Kutiupkan ke dalam (jasad)-nya Ruh-Ku”(QS 15:29)
Ada secercah cahaya Ilahi dalam diri manusia. Seluruh manusia termasuk Nabi saww juga sama memiliki kedua macam Nafs ini. Allah SwT memerintahkan kepada Nabi saww untuk mengatakan kepada manusia bahwa dari sisi basyari-nya beliau memang sama seperti manusia lainnya. “Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia (basyar) seperti kamu” (QS 18:110)
Dalam banyak kesempatan Nabi saww berkata kepada khalayak manusia : “Aku ini juga manusia seperti kalian, makan, minum, berkumpul dengan isteri dan berjalan di pasar-pasar”. Namun kita tidak bisa menilai Rasulullah saww hanya dari sisi basyari-nya saja, seperti yang dilakukan oleh kaum Wahabi-Salafi.
Jangan kau seperti Iblis,
Hanya melihat air dan lumpur ketika
memandang Adam. Lihatlah di balik lumpur,
beratus-ratus ribu taman yang indah!
(Mawlawi Rumi, Diwan i Syams 18226)
Menilai Nabi saww atau orang-orang suci hanya dari sisi basyariyahnya saja merupakan suatu kesalahan yang besar dan berbahaya. Anda bisa lihat bagaimana Iblis menilai Adam as, bukanlah dia hanya melihat Adam dari sisi tanah-nya dan melupakan sisi Ruh Allah-nya.
Karena bangga diri dan buta hati
Seperti Iblis, manusia-manusia ini tak lagi memuliakan orang suci
Katanya, “Bagi Tuhan saja, sujud kupersembahkan.”
Pada mereka Adam memberikan jawaban:
“Sujud kepadaku ini untuk-Nya
Kalian melihatnya berupa dua sujud
Karena ketersesatan dan keingkaran!”
(Mawlawi Rumi, Diwan i Syamsi 9605-9606)
Sesungguhnya kecenderungan Nafs Basyari ini tidak seluruhnya buruk. Maksudnya adalah bahwa selama kecenderungan-kecenderungan ini diletakkan pada proporsi yang semestinya, Allah justru memberi pahala untuknya, tetapi jika kecenderungan ini keluar dari batas-batas yang proporsional maka hal inilah yang dicela agama.
Diriwayatkan oleh Abu Dzar ra bahwa para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saww tentang hubungan sebadan antara suami isteri. “Bukankah kita merasakan nikmatnya, ya Rasulullah. Mengapa kita masih mendapat pahala juga?” Beliau menjawab: “Bukankah bila kamu menyalurkannya di jalan yang haram kamu berdosa?” sahabat menjawab, “Ya” Rasul berkata lagi, “Begitu juga kamu akan diberi pahala jika menyalurkannya pada jalan yang halal!” [5]
TARIK MENARIK UNSUR TANAH DAN RUH ALLAH
RUH Allah yang ditiupkan ke dalam jasad manusia merupakan sebuah potensialitas yang mampu menarik Nafs dan mengangkatnya ke puncak kesadaran Ilahiyah. Dengan Ruh Ilahi inilah Nafs sanggup mengadakan mi’raj melalui tafakkur, zikir, dan shalatnya.
Dengan Ruh Allah pulalah Nafs mampu mencapai kesadaran pada keberadaannya yang bergantung pada Khaliq-Nya. Dan dengan kesadaran seperti ini pula Nafs mampu membentuk manusia yang arif, kuat, kreatif, serta memiliki tujuan yang luhur.
Nafs yang mampu mencerap kekuatan ruh Ilahi dan sanggup mengontrol kecenderungan jasadnya, akan mampu menarik manusia ke kesempurnaan Ilahi yang tiada batas. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya” (QS 95:4-5) Kata taqwiim mempunyai asal dan akar kata yang sama dengan al-qawiim yang berarti bagus, benar atau lurus.
Nafs Insani mengarahkan manusia kepada Shirath al-Mustaqim, jalan yang lurus ke kesempurnaan Insaniyyah (al-Jannah). Sebaliknya Nafs Basyari menjatuhkan manusia ke derajat yang paling rendah, Asfala Safilin (serendah-rendahnya derajat).
Tarikan-tarikan yang berlawanan arah inilah yang senantiasa terjadi dalam diri (Nafs) manusia. Karena itu jika manusia yang tidak segera mengambil langkah pasti untuk bermujahadah (berjihad terhadap Nafs basyarinya) niscaya ia akan dihinggapi keraguan. Ia menjadi seperti tangkai pendulum yang berayun-ayun antara ke dua arah itu.
Nafs manusia diberikan kehendak bebas untuk memilih, Ruh Allah (kecenderungan Insani-nya) atau tanah (fisik:kecenderungan basyari-nya) “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (QS 90:10),
“Sesungguhnya beruntunglah manusia yang mensucikan Nafs (diri) nya dan sesungguhnya merugilah dia yang mengotori Nafs-nya” (QS 91:9-10)
Jika manusia sanggup memenuhi panggilan (ilham) Ruh-Nya niscaya ia akan menjadi makhluk Tuhan yang terbaik. Kita bisa melihat manusia-manusia yang telah mencapai kemuliaan ruhani, keagungan, keindahan, kesadaran, kesalihan, keberanian, keimanan, kedermawanan, toleransi yang tinggi serta integri¬tas watak yang menakjubkan.
Tidak ada zat, baik material maupun immaterial, malaikat ataupun jin yang mampu berkembang sedemikian rupa! Namun kita juga bisa melihat manusia-manusia keji, nista, lemah, pengecut, dan kriminal, merosot lebih rendah dan lebih jelek dari hewan, kuman bahkan setan! Lihatlah manusia-manusia semacam Fir’aun, Hitler, Saddam Hussein, George W. Bush, Ehud Olmert, atau bahkan Syimr al-Jausan. “Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi” (QS 7:179)
Nafs yang terseret kepada kecenderungan-kecenderungan basyarinya saja niscaya terselimuti oleh kegelapan. Nafs yang seperti inilah inilah yang wajib dilupakan di dalam hadits di atas yang dikatakan oleh Rasulullah saww.
Di dalam al-Qur’an, Nafs yang terseret kepada kecenderungan basyari yang melampaui batas adalah Nafs Ammarah, atau nafs yang memerintah kepada kejahatan atau pun kemunkaran.
Buanglah seluruh keakuanmu,
karena ia tidak lain adalah rumput liar dan belukar
Pergilah, bersihkan relung hatimu,
tatalah sebagai tempat semayam Sang Kekasih.
Ketika kau beranjak, Dia akan masuk,
dan kepadamu, dengan keakuan yang terbuang,
Dia kan menyingkap Keindahan-Nya.
(Mahmud Syabistari, Kebun Mawar Rahasia h. 112, Gulshan i Raz)
Catatan Kaki :
1. Mizan al-Hikmah 6:142-143
2. Bihar al-Anwar 2 : 32
3. Mizan al-Hikmah 6 : 142
4. Sachiko Murata, The Tao of Islam, Edisi terjemahan, Penerbit Mizan, Cet II
Sepetember 1996
5. Mustadrak al-Wasail 2 : 531

Kamis, 28 Januari 2010

SAMKHYA: FILSAFAT YANG MENGAJARKAN OPTIMISME

2010 January 19
by ahmadsamantho

Oleh: Prof.Dr. Abdul Hadi W. M.

Dalam filsafat India yang bersumber dari kitab suci Hindu — Veda, Brahmakanda dan Upanishad – terdapat enam aliran utama yang menjadi cikal bakal aliran-aliran lain dalam masa-masa berikutnya. Keenam aliran atau madzab itu ialah Nyaya, Vaishesika, Samkhya, Yoga, Mimamsaka dan Vedanta. Aliran yang akan kita bicarakan sekarang ialah Samkhya, lazim dipasangkan dengan aliran lain yang merupakan penjabarannya dalam bentuk disiplin kerohanian yaitu Yoga.

Arti kata Samkhya ialah jumlah, hitungan, sintesa atau perpaduan. Istilah samkhya dijumpai dalam Upanishad dan Mahabharata. Nama ini diberikan kepada sistem filsafat ini karena filsof-filosof Samkhya secara umum mengemukakan bahwa terjadinya alam semesta beserta perkembangan dan perubahan obyek-obyek yang ada di dalamnya didasarkan atas 25 asas atau kategori keberadaan. Corak filsafatnya bersifat dualis dan sering disebut sebagai sistem filsafat yang mengajarkan teori evolusi (Parinama Vada).
Ada anggapan bahwa Samkhya merupakan sistem filsafat Hindu yang paling tua. Pengasasnya ialah Rsi Kapila Muni, hidup sekitar tahun 700-600 SM. Nama Kapila dikaitkan dengan nama kota Kapilavastu, pusat pemerintahan Dinasti Maurya da kota tempat lahirnya Siddharta Gautama, yang lahir sekitar satu setengah abad setelah Kapila Muni. Pengaitan ini bukanlah tanpa alasan. Filsafat Buddha banyak mengambil dasar dari ajaran filsafat Samkhya yang non-theistik.

Kapila Muni dan Ajarannya
Menurut legenda, Rsi Kapla Muni merupakan orang pertama yang menyangkal faham monisme (advaita) yang terbaca dalam Upanishad dan meng Istilah Samkhya juga diartikan sebagai “vicara” atau “perenungan filsafat”. Selain berkecenderungan non-theistik dan berpandangan bahwa materi (prakrti) kekal sebagaimana ruh (purusha), Samkhya juga memiliki ciri yang membedakannya secara menyolok dari sistem filsafat Hindu yang lain. Yaitu penekanannya pada persoalan dualitas dan pluralitas. Pendukung sistem ini menyangkal bahwa dunia ini dicipta dari tiada atau ketiadaan.
Dalam mencari pengetahuan yang benar, filosof Samkhya menggariskan tiga metode. Yaitu: (1) Pratyaksa pramana atau pengamatan langsung; (2) Anumana pramana (penyimpulan); (3) Apta Vakya atau penegasan yang pantas, berlandaskan apa yang diajarkan kitab Veda atau ucapan para maharesi.
Penekanan pada dualitas dapat dilihat pada ajarannya yang menyatakan bahwa awal terjadinya dunia atau alam semesta ialah purusha dan prakrti. ‘Purusha’ ialah asas ruhani, dan ‘prakrti’ ialah asas kebendaan atau jasmani. Keduanya tanpa awal (anadi) dan tanpa akhir (ananta). Purusha adalah ruh yang jumlahnya banyak, sedangkan prakrti ialah materi yang kacau balau yang tidak berbentuk, jumlahnya tidak terkira banyaknya dan berpusing dalam kegelapan. Prakrti mendapat bentuk tertentu setelah bercampur dengan purusha. Dalam kehidupan keduanya tidak dapat dibedakan dan dipisahkan. Jika purusha dan prakrti terpisah maka kehidupan akan berakhir dan kelahiran baru akan mulai.
Tentang purusha dan prakrti dapat diuraikan seperti berikut. Purusha itu ‘nyata’ (sat) dan dapat dikatakan sebagai suatu kesadaran yang meresapi segala sesuatu dan abadi. Prakrti adalah pelaku kehidupan yang mengandung unsur ruhani dan benda. Arti prakrti ialah yang mula-mula dan yang mendahului semua kejadian. Pra= sebelum; kri= membuat sesuatu yang mirip, yaitu dengan alam maya yang digambarkan oleh Vedanta. Prakrti disebut pradhana, pokok asal segala sesuatu. Bergerak dan berkembangnya prakrti menjadi obyek-obyek hidup yang banyak di alam semesta, disebabkan adanya tiga guna atau sifat (triguna) yang melekat dalam dirinya dan ketiganya bersama-sama melakukan aktivitas tanpa henti. Tiga guna itu ialah Sattva, Rajas dan Tamas.
Sattva ialah kesesuaian, keseimbangan, kebaikan, kepantasan atau kepatutan. Rajas ialah kegiatan, kegairahan, gerak tanpa henti, tindakan maju ke depan. Tamas ialah kelesuan, kebekuan, kekebalan dan kekokohan. Apabila sattva yang berpengaruh, tumbuhlah gejolak, keresahan, gonjang-ganjing dan dinamika. Rajas dinyatakan sebagai raga dvesa yaitu suka dan tidak suka, cinta dan benci, senang dan tidak senang, menarik simpati dan memualkan. Tamas menimbulkan kelesuan, kemalasan, kemasabodohan, kegiatan yang dungu dan ketidakpedulian. Ketiga guna itu ada pada manusia dengan keseimbangan yang berbeda-beda, serta menentukan watak, perangai dan pribadi seseorang. Dengan kata lain Sattva ialah unsur terang atau cahaya. Rajas ialah unsur aktif dan penggerak. Tamas ialah unsur gelap dan berat’
Sebagai sistem filsafat, Samkhya Darsana memiliki banyak pendukung dan penafsie. Di antara tokoh-tokoh yang menonjol sebagai penafsir dan perumus-perumus baru ajaran Kapila Muni ialah Isvara Krisna (abad ke-3 M), Vacaspati Misra (abad ke-9 M), Ganganatha Jha (abad ke-10 M), Anirudha (abad ke-15), Vijnana Bhiksu (abad ke-16 M), Mahadeva Vedantin (abad ke-18 M) dan masih banyak lagi yang lain.

Teori Evolusi
Sebagai sistem filsafat yang menguraikan masalah evolusi, yaitu perkembangan dan perubahan segala sesuatu yang ada di alam semesta, barangkali dapat dijelaskan sebagai berikut. Samkhya bertolak dari kategori-kategori jamak yang dijumpai dalam kitab Veda dan dikemukakan secara rumit dan kompleks oleh filsafat Nyaya dan Vaisesika. Berdasarkan kategori tersebut kemudian filosof Samkhya menyederhanakannya menjadi dua asas, yaitu purusha dan prakrti. Purusha adalah subyek yang mengetahui segala sesuatu, sedangkan prakrti adalah obyek yang diketahui.
Prakrti yang sering diartikan sebagai alam merupakan material primordial yang merupakan asas dari semua keberadaan obyektif, baik keberadaan jasadi maupun keberadaan jiwani (psikologis). Pakrti adalah obyek yang senantiasa berubah dan merupakan sumber dari alam yang menjadi atau kejadian-kejadian di alam semesta. Di dalamnya semua keberadaan yang ditentukan tersimpan dan tersembunyi sebagai benih potensial bagi terjadinya sesuatu. Ia bukan wujud, tetapi suatu daya atau kekuatan yang selalu dalam keadaan tegang. Ketegangan yang dialaminya disebabkan adanya tiga guna (sifat asas) yang melekat dalam dirinya secara abadi. Ketiga guna itu ialah sattva, rajas dan tamas.
Dengan perkataan lain prakrti adalah tali senar yang menjadi sarana kegiatan atau permainan tiga guna itu. Perpaduan ketiga guna ini melahirkan kesenangan, duka, kebencian, kemalasan dan seterusnya tergantung guna yang mana yang paling kuat. Bila ketiganya seimbang maka tidak ada gerak dari prakrti, alias diam dan hening. Bila keseimbangan terganggu, ketegangan akan muncul dan bermulalah proses evolusi itu.
Seperti telah dijelaskan prakrti merupakan kekuatan buta yang tidak memiliki kesadaran. Ia bisa beevolusi atau menjadi sesuatu obyek actual disebabkan hadirnya purusha pada dirinya. Purusha adalah kebuatan sadar dan kehadirannya bagi prakrti akan membuat prkrti melakukan aktivtas dan gerakan. Keseimbangannya menjadi goyah. Purusha sering diumpamakan orang lumpuh yang mempunyai penglihatan terang. Prkrti adalah orang yang kuat berjalan tetapi buta. Apabila purusha mengendarai prakrti maka mulailah prakrti aktif dan mengenal arah dalam melakukan aktivitasnya.
Proses evolusi dapat dilukiskan tatanan menurun sebagai berikut: Dari perpaduan purusha dan prakrti lantas muncul mahat. Mahat arti harfiahnya ialah besar atau maha besar. Mahat ini adalah aktualitas yang muncul dari potensi prakrti setelah hadirnya purusha. Dengan munculnya mahat maka evolusi bermula. Mahat merupakan dasar dari buddhi (inteligensia). Dalam proses awal evolusi ini, mahat mengeluarkan aspek-aspek semesta dari prakrti, sedangkan buddhi merupakan padanan dari aspek semesta yang terdapat jiwa manusia. Buddhi bukan purusha, tetapi atman (jiwa individual) yang jumlahnya banyak dan merupakan substansi halus dari semua proses kehidupan mental. Dari buddhi, muncul ahamkara (rasa keakuan) dari segala sesuatu yang merupakan prinsip individuasi.
Ada tiga garis perkembangan yang muncul sebagai akibat dari gerak ahamkara, yaitu sebagai berikut:
Pertama, dari berkembang dan berubahnya sattva muncul manas (pikiran yang diekspresikan), disertai lima indera dan organ motoris yang merupakan sarana gerakan atau tindakan. Kedua, dari berkembang dan berubahnya tamas muncul ahamkara (hawa nafsu, rasa keakuan) dan lima unsur halus, selanjutnya lima unsure kasar. Ketiga, rajas mensuplai energi terhadap kedua perkembangan tersebut.
Demikianlah proses evolusi dari prakrti, setelah campur tangan purusha, menjelma 24 kategori yang keseluruhannya adalah sebagai berikut: (a) Prakrti ; (b) Mahat, artinya yang agung, dalam jiwa manusia disebut buddhi, yang perannya ialah mengatur informasi yang diterima dari indera. Buddhi (budi) disebut juga sebagai common sense, akal sehat; (c) Lima organ indera – 5 kategori; (d) Lima organ motoris atau penggerak tubuh: alat bicara, tangan, kaki, alat pelepasan dan alat perkembangan tubuh – semuanya 5 kategori; (e) Lima unsur halus sebagai padanan panca indera, yaitu obyek penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan pencecapan; (f) Lima unsur kasar yang berasal dari lima unsur halus, yaitu ‘ruang’ dari penglihatan, ‘api’ dari penglihatan, ‘udara’ dari perabaan, ‘air’ dari pencecapan dan ‘tanah’ dari penciuman – semuanya 5 kategori. Mahat muncul langsung dari alam; (g) Ahamkara, prinsip ego muncul dari mahat sebagai akibat kerja tamas.
Atman adalah pribadi yang dialami dan mengalami, diri yang dibatasi oleh jasmani dan pancaindera. Ia merupakan bagian dari alam dunia. Setiap atman dalam diri jasmaninya memiliki tubuh halus yang dibentuk dari sarana mental. Pancaindera termasuk ke dalam kategori tubuh halus. Ada pun unsure halus yang ada pada alam sebagai akibat dari prkrti memiliki tiga guna juga seperti prkrti. Karena kehadiran purusha maka atman atau diri individual yang empiris terdiri dari dua perkara, yaitu roh yang merupakan wakil dari purusha dan badan jasmani yang merupakan aktualisasi prkrti.
Karena lupa pada kodrat asalnya, purusha dalam diri manusia sering meluluhkan dirinya dalam pikiran, perasaan dan tindakan yang membuat dia (roh) tidak bebas. Pembebasan purusha atau atman dapat dilakukan apabila seseorang mampu menarik rintangan yang menghalangi purusha merealisasikan dirinya secara penuh. Realisasi diri secara penuh dapat dilakukan melalui disiplin diri seperti meditasi dan samadhi, serta melakukan kebajikan atau dharma.Tetapi sistem ini tidak menjelaskan bagaimana bentuk disiplin diri dan samadhi yang harus dilakukan. Keterangan tentang itu dikemukakan dalam filsafat Yoga, karenanya Samkhya selalu dipasangkan dengan Yoga.
Jika dirumuskan prinsip-prinsip dasar filsafat Samkhya menjadi sebagai berikut:
1. Apa saja yang ada selalu ada, apa saja yang tidak ada, ia tidak akan pernah ada;
2. Perubahan meliputi segala sesuatu yang berubah;
3. Secara hakiki, akibat dari terjadinyaa sesuatu itu sama saja dengan sebab- sebab jasmani dari
terjadinya sesuatu;
4. Segala sesuatu yang aneka ragam dapat dikembalikan kepada tiga guna atau sumbernya,
sedangkan sesuatu yang tidak dapat dikembalikan kepada sumber, bebas (memiliki kewujudan
tersendiri) sekalipun (keberadaan masing-masing saling tergantung;
5. Materi selalu dalam gerak yang menjadi secara terus-menerus;
6. Pikiran tidak berasal dari materi, materi tidak berasal dari pikiran. Keberadaan pikiran bebas dari materi, walaupun memerlukan materi.
Samkhya dalam Bhagavat Gita
Faham Samkhya mengenai dharma tidak saja dapat dijumpai dalam sutra-sutra dan karika yang disusun oleh para filosof yang secara nyata berpegang pada sistem filsafat ini. Butir-butir hikmah dan ajaran filsafat ini juga dapat dijumpai dalam kitab Mahabharata dan Bhagavad Gita. Dalam Bhagavad Gita malahan diletakkan pada bagian awal perbincangan, yaitu percakapan kedua antara Krishna dan Arjuna. Dalam percakapan ini Krishna mengatakan kepada Arjuna bahwa mereka yang mengerti tentang hakikat kehidupan dan dharma, tidak akan pernah bersedih menghadapi baik kematian maupun kehidupan. Kematian hanyalah pergantian badan jasmani, dan jiwa yang menghuni badan jasmani ini akan berpindah-pindah ke badan jasmani lain, bagaikan mengambil baju lama dengan baju baru (Nyoman S. Pendit 1978).
Lebih jauh Krishna mengatakan agar Arjuna memusatkan pikiran pada kesucian, bertindak tanpa mengharapkan pahala kerja, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Dia Yang Maha Tahu. Disarankan pula agar Arjuna meneguhkan iman untuk bisa samadhi, menghilangkan nafsu rendah, rasa takut dan angkara murka, serta mampu menjaga keseimbangan jiwa menghadapi senang dan duka. Penulis Bhagavad Gita pada bagian ini menggandengkan ajaran filsafat Samkhya dan amalan disiplin rorani dari Yoga Darsana.
Sribhagavan avacha:
Kutas tva kasmalam idam
Vishame samupasthitam
Anaryajustam asvagyam
Akirtikaram arjuna
Klaibyam masma gamah partha
Nai `tat tvayy upapadyate
Kashudra, hridayadaurnalyam
Tyaktvo `ttishtha paramtapa
Artinya:
Sri Bhagawan (krishna) berkata:
Dari mana duka dan kelemahan hati datang
Pada saat-saat gentiing seperti ini?
Ini bukan semangat seorang kestria
Tidak terpuji dan memalukan, o Arjuna!
Jangan biarkan kelemahan itu, o Parta
Sebab itu tidak sesuai bagimu
Enyahkan rasa lemah dan kecut itu
Bangkitlah, o pahlawan jaya
Selanjutnya Krishna mengatakan dengan meminjam kearifan dari filosof Shamkya:
Tidak pernah ada saat di mana
Aku, engkau dan para raja ini tidak ada
Dan tidak akan ada saat di mana
Kita berhenti ada, sekalipun sesudah ini
Setelah memakai badan ini dari masa kecil
Hingga masa muda dan tua
Demikian jiwa berpindah ke badan lain
Ia yang budiman tidak akan tergoyahkan
Hubungan dengan benda jasmani, o Arjuna
Menimbulkan panas dan dingin, senang dan duka
Dan semua itu datang dan pergi, tidak abadi
Karenanya pikullah, wahai Kuntiputra
Ajaran tentang ‘eternal recurrence’ (perulangan kekal) yang dikemukakan filosof Jerman Fridriech Nietzsche, yang lebih dua ribu tahun sebelumnya telah dikemukakan oleh Rsi Kapila Muni, bergaung kembali dalam Bhagavad Gita. Begitu pula keyakinan bahwa Dzat Maha Tahu yang dipandang meresapi segala sesuatu, bertolak dari pandangan filsafat Samkhya. Misalnya sebagaimana dikemukakan dalam percakapan kedua dalam kitab itu seperti berikut:
Apa yang tiada, tidak akan pernah ada
Apa yang ada, tidak akan berhenti ada
Keduanya hanya dapat dimengerti
Oleh orang-orang yang melihat kebenaran
Ketahuilah yang meliputi semua ini
Tidak dapat dihancurkan
Tidak seorang pun dapat memusnahkan
Dia yang tidak mengenal kemusnahan
Badan jasmani — yang membungkus Dia
Akan binasa – Dialah yang abadi
Tak terhancurkan dan tak terhingga
Sebab itu bertempurlah, wahai Bharata!
Keabadian Dia Yang Maha Tahu, yang identik dengan Purusha, dan sifat-sifat-Nya yang tidak bisa dihancurkan oleh apa pun dan siapa pun diuraikan sebagai berikut:
Nai `nam chhindantii sastrani
Nai `nam dahati pavakah
Nai chai `nam kledyanty apo
Na soshayati marutah
Senjata tidak dapat melukai-Nya
Api pun tidak bisa membakar-Nya
Angin tidak dapat mengeringkan Dia
Air tidak dapat membuat Dia basah
Dalam bait-bait dari Bhagavad Gita jelas bahwa selain pengetahuan yang benar tentang dunia dan hakikat kehidupan, manusia perlu menjalankan dharma atau tugas kewajibannya di dunia memerangi kejahatan dan menegakkan kebajikan. Dalam ajaran Islam istilahnya ialah amar ma’ruf nahiy munkar wa tu’minuna billah (Menegakkan kebaikan, memerangi kemungkaran, dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa).

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...