Selasa, 27 Desember 2016

RISALAH MULLAH FAIZ KASYANI



Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah wa salamun ‘ala ibadihilladzinashtafaa, amma ba’du:
Ini adalah suatu risalah yang diberi nama “Zaadussalik” (Bekal Para Pesuluk) yang ditulis dalam rangka memberi jawaban pada salah seorang dari saudara-saudara ruhani,
dimana dia menanyakan tentang bagaimana suluk pada jalan Haq .
Ketahuilah ; semoga Allah ta’ala menguatkanmu dengan ruh-Nya ! Seperti perjalanan materi yang terdiri dari permulaan, akhir, jarak, tempat-tempat, penuntun, kendaraan, teman dan penunjuk, demikian pula perjalanan maknawi yang merupakan perjalanan ruh semuanya ke sisi Haq SWT.
Permulaannya: Kebodohan dan kekurangan natural yang terbawa dengan sendirinya dari perut ibu. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibu kamu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu.” (QS. An-Nahl : 78). Tujuannya : adalah Kesempurnaan hakiki diatas dari seluruh kesempurnaan-kesempurnaan. Dan ini adalah wusul pada Haq SWT. “Dan sesungguhnya kepada Tuhanmu berakhir.” (QS. An-Najm : 42). “Wahai manusia kamu dengan penuh kesungguhan kepada Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq : 6).
Jarak dalam perjalanan: Tingkatan-tingkatan keilmuan dan pengamalan dimana ruh akan melewati semuanya setapak demi setapak. Apabila memulai pada jalan yang lurus (Shirat Mustaqim)- merupakan jalan para auliya dan orang-orang suci- maka dia adalah pesuluk.
“Dan ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan maka mencerai- beraikanmu dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’am : 153 ).
Dan kesempurnaan ini terurut sebagian diatas sebagian, sehingga kalau kesempurnaan terdahulu tidak terlewati, maka tidak akan sanggup berpindah pada kesempurnaan berikutnya. Seperti dalam perjalanan materi, kalau jarak terdahulu belum terlewati tidak akan sanggup melangkah pada jarak yang berikutnya.
Tempat-tempat perjalanan (Tingkatan-tingkatan) : Sifat-sifat terpuji dan akhlak mulia dimana merupakan kondisi-kondisi dan kedudukan-kedudukan ruh (maqam-maqam ruh), yang akan berpindah dari yang satu kepada yang lain, yang lebih atas tingkatannya secara gradual.
Tempat pertama (tingkatan pertama) adalah “Bangkit” yaitu kesadaran, sedangkan tingkatan akhir adalah “Tauhid”- dimana dia adalah tujuan tertinggi dari perjalanan.
Dan adapun secara detail tingkatan-tingkatan ini disebutkan dalam kitab Manazil Sairin.
Penuntun didalam safar : Totalitas kesungguhan dan perjuangan maksimal serta keseriusan dalam menempuh tingkatan-tingkatan dalam bentuk mujahadah dan riyadah nafs, menanggung beban-beban tanggung jawab syariat dari fardhu-fardhu, sunat-sunat dan
adab-adab . Mengawasi dan menghisab nafs- detik demi detik- memutuskan dan memastikan tekad hanya pada Allah SWT. “Bersungguh-sungguhlah beribadah hanya kepada-Nya.” (QS. Al-Muzammil : 8). “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh pada Kami , niscaya Kami akan menunjukkan pada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al-Ankabut : 69).
Bekal dalam safar : Dan bekal pada safar ini adalah ketaqwaan. “Dan berbekallah kamu, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa.” (QS. Al-Baqarah : 197).
Dan taqwa ibarat menegakkan apa yang diperintahkan padanya oleh pembuat syariat dan meninggalkan apa yang dilarang oleh-Nya atas dasar bashirat, sehingga hati dengan cahaya syariat dan pancaran taklif siap untuk menerima manifestasi makrifat dari Haq Azza wa Jalla. “Dan bertaqwalah pada Allah, niscaya Dia akan mengajarmu.” (QS. Al-Baqarah : 282).
Sama halnya perjalanan materi, jika dari bekal tidak mendapatkan kekuatan, badan tidak akan sanggup menempuh perjalanan. Begitu juga musafir maknawi , jika taqwa dan kesucian yang tersyariatkan -lahir dan batin- tidak menyangga dan menguatkan ruhnya, maka ilmu, makrifat dan akhlak terpuji yang terurut atas taqwa , dimana taqwa diperoleh darinya (bukan atas cara daur) tidak akan memanifestasi padanya.
Perumpamaan ini seperti seorang di malam gelap gulita di tangannya ada pelita. Dengan cahaya pelita itu dia melihat jalan dan bepergian. Setiap satu langkah dia melangkah, setapak jalan itu menjadi terang dan dengan itu dia melangkah berikutnya. Demikianlah sampai dia tidak dapat melangkah lagi dan tidak dapat bepergian , tidak ada terang, dan jika tidak ada terang, dia tidak akan dapat melangkah lagi. Penglihatan itu adalah kedudukan makrifat, sedangkan bepergian itu adalah kedudukan amal dan taqwa.
“Barangsiapa mengamalkan apa yang dia ketahui, Allah mewariskan padanya ilmu yang sebelumnya dia tidak ketahui.” (Hadis).
“Allah tidak akan menerima amal tanpa makrifat, dan tidak ada makrifat kecuali dengan amal. Maka barangsiapa yang memiliki pengetahuan hendaklah pengetahuannya diarahkan pada pengamalan. Dan barangsiapa yang tidak mengamalkannya maka tidak ada makrifat baginya. Ingatlah sesungguhnya iman itu sebagiannya dari sebagian.” Demikianlah riwayat dari Imam Shadiq. Dalam perjalanan materi juga, seseorang yang tidak mengetahui jalan, tidak akan mencapai tujuan. Dalam perjalanan maknawi, siapa yang tidak memiliki bashirat dalam beramal tidak akan mencapai tujuan. “Orang yang beramal tanpa bashirat seperti orang yang berjalan tanpa arah, tidaklah menambah padanya dengan banyak perjalanan itu kecuali kejauhan.”
Kendaraan safar ini : adalah badan beserta kekuatannya. Didalam perjalanan materi jika kendaraan lemah dan cacat, tidak akan dapat menempuh jalan. Demikian juga dalam safar maknawi, jika badan tidak sehat dan tidak punya kekuatan, tidak akan sanggup mengerjakan apa-apa. Maka memenuhi kebutuhan hidup dari sisi ini adalah darurat. Dan apa yang untuk darurat harus dengan kadar yang darurat. Oleh sebab itu menuntut yang lebih dari cukup untuk kehidupan akan menjadi penghalang dari suluk – dan dunia itu tercela – dimana telah diberitakan tentang kerendahannya. Adapun perumpamaan kelebihan itu atas pemiliknya hanyalah seperti kerumitan dan kesulitan. Tetapi adapun kadar darurat darinya, masuk dalam perkara akhirat dan memperolehnya merupakan ibadat. Dan demikian pula jika seseorang tidak memberi kesempatan singgah kendaraan dalam safar badan disela-sela perjalanan untuk merumput, dia tidak akan dapat meneruskan perjalanannya. Dalam safar maknawi, jika badan dan kekuatan dibiarkan saja sehingga apa saja keinginan-keinginannya dilakukan, dan tidak mengikatnya dengan adab-adab dan sunat-sunat tersyariatkan, serta tali kendalinya tidak dikekang, jalan Haq tidak mungkin akan dapat ditelusuri.
Teman dalam perjalanan : Para ulama, orang-orang saleh, dan orang-orang yang banyak ibadah dalam suluk, dimana satu sama lain saling membantu dan saling menolong , karena setiap orang tidak cepat mengenal aibnya sendiri tetapi cepat tahu pada aib orang lain. Jadi jika beberapa orang bersama-sama menyempurnakan diri, dan satu sama lain saling memberitahukan aib dan celanya, maka mereka bisa melewati jalan tersebut, dan mereka bisa aman dari pencurian dan pelanggaran pada agama. Sebab syetan itu lebih dekat pada orang yang sendirian daripada orang yang berjamaah, dan tangan Allah diatas orang-orang yang berjamaah. Jika salah seorang keluar dari jalan, maka yang lainnya akan mengingatkannya. Tetapi kalau sendirian, jika berhenti akan berhenti seterusnya. Pembimbing dalam safar : Nabi SAW serta para Imam ma’shum.  Mereka semua adalah penunjuk dan pembimbing jalan, dan mereka telah letakkan sunat-sunat dan adab-adab, dan mereka telah sampaikan mana jalan yang baik dan mana jalan yang buruk. Dan beliau sendiri telah melewati jalan ini. Serta beliau telah memesan umatnya untuk mengikutinya dan meneladaninya. “Sungguh telah ada bagi kamu pada diri Rasul Allah teladan yang baik.” (QS. Al-Ahzab : 21). “Katakanlah jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kamu.” (QS. Al-Imran : 31).
Dan apa yang telah mereka dapatkan, mereka perintahkan pada pengikutnya. Demikianlah telah diketahui dari riwayat-riwayat muktabar lewat jalur Ahlul Bait tentang perkara yang salik (pesuluk) wajib atasnya dan tidak boleh sama sekali mengabaikannya – perkara tersebut sesudah mendapatkan aqidah yang hak – yang terdiri atas 25 perkara :
Pertama: Memelihara shalat lima waktu, maksudnya melaksanakan shalat tersebut pada awal waktu secara berjamaah beserta sunnah dan adab-adabnya. Maka jika tanpa sebab dan alasan mengakhirkan dari awal waktu, atau tidak hadir dalam shalat jamaah , atau sunat-sunat dan adab-adabnya terlalaikan – kecuali sangat sedikit – maka telah keluar dari jalan suluk dan sama saja dengan orang awam – sibuk memamah dalam belantara kebodohan dan kesesatan, tak tahu jalan dan tujuan – dan mereka selamanya tak akan dapat terangkat.
Kedua: Menjaga shalat jumat, shalat idul fitri dan idul adha, serta shalat ayat dengan seluruh syarat-syarat, kecuali ada uzur (halangan) yang menyebabkan terangkatnya taklif.
Apabila tiga jumat berturut-turut shalat jumat ditinggalkan tanpa sebab, maka hatinya akan membatu sampai derajat tak dapat menerima perbaikan.
Ketiga: Menjaga shalat-shalat rawatib mustahab (nawafil) hari-hari, dan apabila ditinggalkan dihitung sebagai maksiat, kecuali empat rakaat dari nafilah ashar dan dua rakaat nafilah magrib dan wutairah isya (dua rakaat nafilah isya yang dikerjakan dengan duduk), dapat ditinggalkan tanpa halangan.
Keempat: Memelihara puasa ramadhan beserta kesempurnaannya, seperti menjaga lidah dari bersenda gurau, gibah,dusta, perkataan buruk dan semacamnya, juga anggota-anggota badan lainnya dari penindasan, khianat,berbuka dari haram atau syubhat, lebih banyak dijaga dibanding hari-hari lain.
Kelima: Memelihara puasa sunat tiga hari yang ma’ruf dari setiap bulan, dimana puasa ini sebanding dengan puasa dahr (puasa selama setahun), dan tidak ditinggalkan tanpa halangan, dan jika ditinggalkan harus diganti atau bersedekah dengan satu mud makanan.
Keenam: Menjaga zakat, dengan cara jika punya kemampuan tak boleh mengakhirkannya, kecuali ada uzur, misalnya tidak ada mustahiq (orang yang berhak menerima zakat), atau menunggu orang yang lebih utama menerima zakat dan semacamnya.
Ketujuh: Menjaga atas infak hak diketahui dari harta , maksudnya menjadikan infak itu sebagai tetap, dimana setiap hari atau setiap pekan atau setiap bulan memberikan sesuatu pada peminta atau orang miskin (yang tidak dapat bagian) dengan kadar harta yang sepatutnya, dan jangan sampai itu tidak dilakukan. Dan jika tak ada orang yang tahu akan hal itu (perbuatan infak) adalah lebih baik. “Dan orang-orang dalam harta-harta mereka hak yang maklum untuk peminta dan mahrum.” (QS. Al- Ma’arif : 24-25). Dan didalam hadis, itu bukan tergolong dari zakat. Telah diriwayatkan bahwa hak yang diisyaratkan dalam ayat tersebut bukanlah dari zakat.
Kedelapan: Menjaga haji tepat pada tahun kewajiban yang harus dilaksanakan dan tanpa halangan tidak boleh mengakhirkan (menelatkan).
Kesembilan: Ziarah kubur suci Nabi SAW  Dan para Imam Maksum  khususnya Imam Husain  yang dalam hadis disebutkan : Ziarah pada Imam Husain  adalah wajib atas mukmin, barang siapa meninggalkannya maka dia meninggalkan hak Tuhan dan Nabi. Dalam hadis lain disebutkan : Setiap Imam ada tanggung jawab (Ahd) atas pundak para wali dan pengikutnya dan dari keseluruhan pemenuhan pada tanggung jawab tersebut adalah menziarahi kuburan mereka.
Kesepuluh: Memelihara hak-hak saudara (saudara islam) dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Perkara ini sangat ditekankan bahkan lebih didahulukan (diutamakan) atas kebanyakan fardhu-fardhu.
Kesebelas: Mengganti dari setiap apa yang teringat yang telah wafat (lewat), pada saat menyadarinya (dalam jumlah yang mungkin).
Kedua belas: Dengan riyadah dan penolakan terhadap akhlak tercela seperti kibr (sombong), bakhil (kikir), dengki dan semacamnya harus ditinggalkan. Dan akhlak terpuji seperti ramah, dermawan, sabar dan semacamnya diikatkan pada diri sampai menjadi malakah (terkristalisasi).
Ketiga belas: Meninggalkan larangan-larangan (sekuat mungkin), dan jika lewat cara yang sedikit terjadi maksiat, maka segera mohon ampun dan bertobat sehingga menjadi dicintai Haq. “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat.” (QS. Al-Baqarah : 222).
Keempat belas: Meninggalkan syubhat-syubhat yang mendorong terciptanya haram. Dan dikatakan : Setiap adab yang ditinggalkan maka akan menjadi mahrum (tak dapat bagian) dari yang sunat, dan setiap sunat ditinggalkan akan menjadi mahrum dari fardhu.
Kelima belas: Jangan menyelam pada sesuatu yang tidak dituju (jadi sasaran), yang akan menjadi sebab kesulitan dan kerugian. Didalam hadis: “Barang siapa yang mencari apa yang bukan menjadi tujuannya (tidak manfaat baginya), maka akan hilang apa yang sebenarnya jadi tujuannya.” Dan jika karena kelupaan hal itu dilakukan, setelah menyadari segera mengganti dengan istigfar dan bertobat. “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa, ketika menyentuh mereka golongan dari syetan, mereka lantas mengingat, maka ketika itu mereka menjadi orang-orang yang melihat. Dan (syetan-syetan) membantu saudara-saudara mereka dalam kesesatan, kemudian tak ada mereka menjadi berkurang.” (QS. Al-A‘Araf : 201-202). Sehingga jika dia tidak meninggalkan majlis-majlis orang batil, orang-orang mugtabin (penggibah), serta orang-orang yang pembicaraannya tak terarah dan hanya melewatkan hari-harinya dengan percuma, maka akan terpenjara pada sesuatu yang bukan menjadi tujuan (maa laa ya’nii), dimana tidak ada sesuatu yang lebih dari ini yang bisa menyebabkan qaswat (kesulitan), kelalaian dan buang-buang waktu.
Keenambelas: Sedikit makan, sedikit tidur dan sedikit bicara jadi syi’ar, yang memiliki pengaruh dalam memberi pancaran cahaya pada qalbu.
Ketujuhbelas: Setiap hari membaca beberapa ayat dari Al-Quran, dan paling sedikit lima puluh ayat, dengan penuh tadabbur, perenungan dan khudhu (merendah diri). Dan jika sebagian dari ayat tersebut dibaca dalam shalat, itu lebih utama.
Kedelepanbelas: Sejumlah dari zikir-zikir dan doa-doa wirid-nya diamalkan pada waktu-waktu tertentu, khususnya setelah shalat-shalat fardhu. Dan jika mampu, lidahnya disibukkan berzikir pada Haq SWT dalam sebagian besar waktu – kendatipun badan fisiknya digunakan dalam pekerjaan-pekerjaan lain – (alangkah memberi kebahagiaan). Dari Hadrat Imam Muhammad Baqir dinukil bahwa Lidah penuh berkah beliau pada kebanyakan waktu dalam keadaan basah dengan kalimat tayyibah “laa ilaha illallah”, meskipun beliau dalam kondisi makan, atau dalam kondisi berbicara, atau dalam kondisi berjalan, serta kondisi-kondisi lainnya. Dan ini adalah penolong kuat bagi para pesuluk. Dan jika zikir lisan dibarengi juga dengan zikir hati, dalam waktu singkat dapat memberi keberhasilan, sehingga sanggup sedikit demi sedikit senantiasa dalam kondisi mengingat Haq SWT, dan tidak menjadi lupa, karena tidak akan tercapai suatu perkara dalam suluk dengan lupa. Dan zikir ini juga adalah kekuatan penolong untuk meninggalkan penentangan-penentangan pada Haq SWT ( bermaksiat).
Kesembilan belas: Berbicara dengan alim dan bertanya dari beliau serta memanfaatkan menimba ilmu-ilmu agama dengan kadar kesempatannya, sehingga bisa menambah ilmunya yang telah ada. “Yang paling pintarnya orang adalah orang yang senantiasa menambah ilmunya dari ilmu-ilmu orang lain.” Dan perbincangan dengan orang yang lebih alim darinya merupakan keuntungan besar. Dan jika seorang alim mesti mengamalkan ilmunya, itu adalah keniscayaan yang harus dikutinya dan dia tidak akan keluar dari hukum itu. Dan ketuaan yang para sufi katakan adalah ibarat seperti orang ini. Adapun ilmu yang dimaksud adalah ilmu akhirat, bukan ilmu dunia. Dan jika ia tidak mendapatkan orang yang lebih alim dari dirinya, maka dengan kitab dia harus berbicara. Dan dia bergaul dengan masyarakat secara baik yang mana dia berusaha mendapatkan akhlak terpuji dari mereka. Dan setiap pembicaraan yang membuat dia memanfaatkan waktu, mengingat Haq SWT, dan keadaan-keadaan akhirat, kesempatan itu tidak dibiarkan hilang.
Kedua puluh: Hidup ditengah masyarakat dengan akhlak mulia, sehingga tidak menjadi beban atas seseorang, dan senantiasa berprasangka baik dengan prilaku-prilaku mereka serta tidak punya persangkaan buruk terhadap seorangpun.
Kedua puluh satu: Menjadikan benar dalam perkataan-perkataan serta perbuatan-perbuatan sebagai syi’arnya.
Keduapuluh dua: Bertawakkal pada Allah SWT dalam segala perkara, dan tidak memandang pada sebab-sebab, tidak berlebihan dalam mencari rezeki, dan tidak antusias dalam mendapatkannya, serta tidak berpikir jauh kearah itu sehingga sanggup qanaah dengan yang sedikit dan meninggalkan berlebihan.
Kedua puluh tiga: Bersabar atas perlakuan buruk keluarga dan yang punya hubungan dengannya, tidak memutuskan hubungan dan tidak berburuk sangka meskipun perlakuan buruk semakin bertambah dan bencana semakin meningkat, tetapi ini akan membuat kita lebih cepat mencapai tujuan.
Kedua puluh empat: Memerintahkan pada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran (amar ma’ruf nahi munkar) dalam kadar kesanggupan dan kekuatan, dan menjadikan orang lain juga berserikat dalam suluk dengan dirinya jika mempunyai kekuatan jiwa, dan jika tidak punya sebaiknya menjauh dari pembicaraan mereka dengan ramah dan taqiyyah sehingga tidak memunculkan kekhawatiran.
Kedua puluh lima: Mengatur waktu-waktunya, dan meletakkan wirid pada setiap waktu siang dan malam yang dengannya senantiasa dalam keadaan sibuk sehingga tidak hilang percuma waktu-waktunya, sebab setiap waktu mengikat pada diwaktukan baginya, dan ini merupakan pilar dalam suluk.
Ini semua yang sampai pada kita dari Imam-Imam Ma’shum, yang mana mereka sendiri telah mengamalkannya dan mereka sabdakan pada umat-umatnya.
Adapun amalan 40 hari, tidak mengkonsumsi daging hewan (vegetarian), zikir khafi (halus dan pelan) dan zikir jalii (terang), serta selain itu yang dinukil dari kaum sufi, tidak termasuk dari Para Imam Suci. Secara zahir sebagian dari para syekh (pembimbing spiritual dalam tradisi sufi) memandang hal seperti itu dari segi kesesuaian sebagian nafs orang (jiwa orang) untuk memudahkan dalam suluk, oleh karena itu mereka perintahkan hal demikian itu. Dan sumber amalan 40 hari mungkin hadis nabi yang berbunyi : “Barang siapa yang ikhlas pada Allah selama 40 hari, maka akan mengalir sumber-sumber hikmat dari kalbunya pada lisannya.” Dan sumber tentang tidak memakan daging hewan adalah hadis yang berbunyi : “Jangan kamu jadikan perut-perut kamu sebagai kuburan hewan-hewan.” Dan tidak ada syak pada ini bahwa sedikit makan daging, duduk berkhalwat, mengosongkan pikiran dan memusatkan secara sempurna dalam kesibukan berzikir memiliki efek dalam penyinaran kalbu, tetapi dengan syarat tidak menghalangi shalat jumat dan shalat jamaah.
Diantara perkara yang mempunyai pilar utama dalam suluk adalah kemerdekaan. Yaitu bebas dari aib-aib tabiat dan adat was-was (godaan-godaan yang sudah menjadi adat), serta perinsip-perinsip awam, yang mana tidak ada lagi penghalang yang lebih besar bagi para pesuluk kecuali tiga perkara tersebut. Sebagian dari hukama menamakan tiga perkara tersebut sebagai ketuanya para syetan (rais syayatiin). Karena itu setiap keburukan dimana orang terjebak melakukannya (karena dia memandangnya baik) berakhir pada salah satu dari tiga itu (ujung pangkalnya).
Adapun aib-aib tabiat: seperti syahwat dan gadzab serta turunannya dari cinta harta dan kedudukan serta selainnya. “Kampung akhirat itu kami jadikan dia untuk orang-orang yang tidak menginginkan kedudukan tinggi di bumi dan tidak melakukan kerusakan.” (QS. Al-Qashash : 83).
Adapun adat was-was : seperti perhiasan-perhiasan nafsu ammarah dan manik-maniknya, dan amal-amal buruk karena khayalan-khayalan rusak dan imajinasi-imajinasi dusta serta perangkat keharusannya yang tergolong akhlak hina dan sifat lekat yang tercela. “Katakanlah apakah akan kuceritakan padamu amal-amal yang paling rugi, adalah orang-orang yang usaha-usaha mereka sesat dalam kehidupan dunia dan mereka menyangka bahwa mereka melakukan perbuatan baik.” (QS. Al-Kahfi : 104).
Adapun prinsip-prinsip (keyakinan-keyakinan) awam : seperti mengikuti penguasa atau taklid secara jahil pada ulama pemerintah, memenuhi keinginan dan kesesatan syetan-syetan dari jin dan manusia, terpedaya pada tipu daya dan pakaian-pakaian mereka. “Wahai Tuhan kami ! Nampakkanlah pada kami orang-orang yang menyesatkan kami dari jin dan manusia, supaya kami jadikan mereka di bawah telapak kaki kami sehingga jadilah keduanya dari golongan yang paling rendah.” (QS. Al-Fushilat : 29).
Adapun sebagian dari tata cara dan model hidup seperti pakain dan pergaulan yang sudah terkondisikan menurut konteks zaman – harus mengikuti masyarakat dalam hal itu sesuai dengan lahiriah, sehingga tidak terjatuh sebagai orang paling rendah, karena kelangkaan bisa menyebabkan keasingan dan keganjilan. Kecuali jika mengikuti mereka malah menyebabkan tertinggalkannya aturan penting agama yang mengakibatkan rusaknya suluk. Dalam konteks ini tidak harus mengikuti mereka, kecuali jika taqiyyah. Dan perkara-perkara semisal ini harus dilihat dalam takaran tinjauan zaman.
Apabila 25 hal tersebut diwajibkan atas diri dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh secara ikhlas – yakni hanya mengharapkan wajah Allah semata, bukan untuk tujuan dunia, maka hari demi hari kondisi spiritual akan semakin meningkat, kebaikan akan semakin bertambah, dan keburukan-keburukan akan terampuni, serta derajatnya akan semakin tinggi. Jika dia adalah ahli ilmu, yakni masalah-masalah ilmiah ilahiyyah (ketuhanan) dari mabda (permulaan penciptaan, permulaan maujud) dan ma’ad ( akhir kembali maujud), makrifat nafs dan semisal itu dia gali dan melihatnya sebagai keharusan serta memandangnya sebagai tujuan paling tinggi, memiliki kesempurnaan kesungguhan untuk memakrifatinya dan memahami bahwa dirinya adalah bagian ahli itu, maka hari demi hari makrifatnya akan semakin bertambah yang didapatnya lewat ilham Haq SWT, sesuai kadar persiapan yang diusahakan lewat ibadah, pembicaraan dengan para ulama, dan wejangan-wejangan mereka. Kecuali itu dia akan memperoleh kebersihan batin, doa yang terkabulkan dan semisalnya dari kesempurnaan usaha dan konsentrasi diri. Dan dia juga akan mendapatkan takdirnya berupa kedekatan pada Haq SWT, kecintaan, dan cahaya.
Kecintaan kamil dan cahaya tak berhingga adalah buah dari makrifat. Dan suatu saat makrifat akan mencapai dimana dia akan menyaksikan sangat banyak perkara-perkara akhiratnya. Dalam bentuk ini telah dinukil hal dari Harisah bin Nu’man, dan hadisnya disebutkan dalam kitab Al-Kafi (Usul Al-Kafi jilid 2 : 54)
Dan setiap kali kecintaan semakin kuat dan mencapai batas isyq, dan menjadi tergila menyebut Haq SWT serta isyq, maka mereka menta’birkan hal itu sebagai liqaa, wusul, fana fillah, baqa billah dan semisalnya. Ini adalah akhir dan tujuan penciptaan makhluk yang disebutkan dalam hadis qudsi: “KUNTU KANZAN MAKHFIYYAN FA AHBABTU AN U’RAF FA KHALAQTUL KHALQA LIKAY AN ‘URAF” (Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, karena Aku mencintai untuk diketahui, maka Aku menciptakan makhluk supaya Aku diketahui), dalam Al-Quran Allah SWT berfirman : “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi pada-Ku.” (QS. Al-Dzariyat : 56). Dikatakan : (kecuali untuk mengabdi pada-Ku) adalah kecuali untuk mengetahui-Ku, karena keharusan dari mengetahui adalah ibadah, dan makrifat tidak dapat dipisahkan dari ibadah. Dan adapun penta’biran dari lazim dengan dilazimkan (niscaya dengan diniscayakan) supaya tidak ada yang menyangka bahwa maksudnya apa saja makrifat yang ada, tetapi adalah makrifat khusus yang tidak akan dapat diperoleh kecuali dengan jalan ibadah.
Sebab makrifat bermacam-macam dan metode adalah banyak, tetapi tidak semua makrifat akan mengakibatkan Qurb dan Wusul (kedekatan dan sampai). Sebab kebanyakan orang awam juga memiliki makrifat yang diperolehnya dari jalan taklid, dan para ahli kalam (mutakallimin) juga memiliki makrifat yang didapatkannya dari jalan dalil-dalil jadaliyyah yang premis-premisnya tersusun dari musallamat (hal-hal yang sudah disepakati), maqbulaat (hal-hal yang sudah diterima) dan madznunaat (asumsi-asumsi), dan para filosof juga memilika makrifat dari jalan argumentasi rasional yang premis-premisnya tersusun dari yaqiniyyat (hal-hal yang pasti), tetapi tidak ada satupun dari itu semua dapat menyebabkan Wusul dan Mahabbat. Oleh sebab itu setiap makrifat yang didapat dari jalan ibadat pada-Nya, itu adalah buah dari pohon penciptaan. Dan maksud dari penciptaan alam dan lainnya, seluruhnya maujud sebagai parasit eksistensi Dia dan hanya untuk berkhidmat pada Dia.
Parasit eksistensi adalah isyq manusia dan bidadari. Kehendak menampak hingga tergapai kebahagiaan sejati. Oleh sebab itu terdapat pada hadis qudsi pembicaraan pada Nabi SAW :     “Sekiranya bukan karena kamu (nabi), niscaya tidak Aku ciptakan alam ini (jagad raya ini).”
“Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah padaku.” (QS. Al-Dzariyat:56). Jadi setiap memiliki kesungguhan tinggi, menjumpai dalam diri jauhar (barang sangat bernilai), harus semakin berusaha, sehingga dengan jalan ubudiyyat, ibadat, taqwa dan pensucian, dapat mendekatkannya pada tingkatan ini (wusul).
Meskipun sampainya tidak dengan usaha
Wahai hati bersungguhlah dengan kadar kemampuan
Jika kamu sampai pada tujuan, alangkah bahagianya
Dan jika di jalan ini kamu mati, alangkah baik mati syahidnya
Jika dijalan Dia ajal menjemputmu, kamu mati syahid
Dan jika kamu menang, menjadi mahkota perhiasan para abid
“Dan barang siapa yang keluar dari rumahnya
berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mati menjemputnya,
maka sungguh Allah telah tetapkan pahalanya.”(QS. An-Nisa :100).
Dalam tipudaya hawa ini, meskipun aku berikan jiwa
Aku berikan pada hati yang di rumah dan di warung
Dan taufik dari Allah yang maha Perkasa dan maha Bijaksana,
segala puji milik Allah, Tuhan seluruh alam.
Usul Al-kafi, jilid 2:54, Kitab Hakikat Iman dan Kufur, Bab Hakikat Iman. ·
Harits bin Nu’man adalah salah seorang dari sahabat Nabi SAW, dan dari Imam Shadiq  Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW suatu hari bertemu dengan dia dan bertanya padanya. “Harits bagaimana keadaanmu? Dia menjawab: “Mukmin pada Haq wahai Rasulullah” Rasulullah SAW berkata: “Setiap sesuatu memiliki hakikat, maka apa hakikat perkataanmu? Dia menjawab: “Jiwa saya telah membelakangi dunia, saya penuhi malam dengan tak tidur, dan saya lewati siang dengan dahaga, dan begitulah saya, sehingga kadang saya memandang pada Arsy Tuhan yang mana telah terhitung balasannya, dan kadang saya melihat para ahli surga dimana mereka sedang bertemu di surga, dan kadang saya mendengar teriakan para ahli neraka yang tersiksa di api neraka. Rasulullah SAW berkata: Seorang hamba yang Tuhan telah berikan cahaya pada hatinya, dia akan mendapatkan penglihatan (penglihatan malakuti), dengan ini istiqamalah!

Rabu, 23 November 2016

Ibn Arabi: Hidup Ini Hanyalah Mimpi (Bagian Ketiga)




Salah satu cara menarik Ibn Arabi dalam memaparkan pemikirannya ialah dengan menarik kita ke dalam perasaan atau pengalamannya. Dia ingin mengatakan kepada kita bahwa meskipun alam wujud ini bertingkat-tingkat, namun bentuknya bukan seperti bangunan bertingkat yang bersifat ‘spasiotemporal’. Yang terjadi ialah satu tingkatan selalu ada bersamaan dengan tingkatan lainnya. Hanya saja, berbagai tingkatan itu layaknya kelap kelip cahaya yang ketika di sini mati, di sana tetap menyala dan demikian pula sebalinya. Lampu yang jadi media cahaya di tiap tingkatan pun selalu tersedia meski tidak selalu terpakai.
Sebagai ilustrasi, Ibn Arabi membawakan pada kita kisah Nabi Idris dan Nabi Ilyas. Menurutnya, kedua nabi ini jatidirinya sama meski punya dua sosok yang berbeda. Nabi Idris mendaki alam malakut dan sesampainya di tempat tertinggi, Allah mengatakan pada nabi yang diutus sebelum Nabi Nuh itu untuk turun lagi dan mengulang secara terbalik. Allah tidak hanya menyuruhnya turun ke alam manusia, tapi memintanya turun hingga ke alam paling bawah dan hidup layaknya benda-benda mineral. Untuk itu, Dia mengutus Nabi Idris dalam sosok Nabi Ilyas.
Nabi Ilyas, menurut Ibn Arabi, merupakan nabi yang mengaktualisasikan semua potensi biologisnya sampai dia turun dari alam binatang menuju ke alam bebatuan dan mineral, lalu mengaktualisasikan seluruh potensi mineralnya hingga turun lagi ke alam yang paling rendah. Kata Ibn Arabi, di alam yang paling rendah ini dia menemukan hakikat yang sama yang dia temukan di alam yang tinggi (malakut). Karena kedua alam itu bertemu kembali, kedua alam itu adalah dua dimensi dari Wajah Al-Haq yang berbeda.
Perjalanan kita, menurut Ibn Arabi, dari alam dzarra, rahim, dan seterusnya adalah perjalanan yang tiada henti. Manusia saja yang mengira bahwa perjalanannya akan berhenti. Padahal Allah tidak menghentikan apapun. Mustahil bagi-Nya menghentikan sesuatu. Toh, Dia Maha Kaya dan tidak takut kehilangan apa-apa. Allah Maha Pemurah lagi Maha Pemberi tidak mungkin menghentikan kemurahan dan pemberian. Dia akan memberi semua sarana bagi tiap makhluk untuk terus menyempurna. Dan inilah yang dimaksud dengan wahdatul wujud: penyatuan wujud dalam berbagai tingkatan, derajat dan dimensi yang berbeda-beda.
Wahdatul wujud berarti wujud yang berderajat atau bertingkat. Tapi dalam setiap tingkatannya, ada kesadaran yang berbeda-beda. Misalnya, ketika kita ada pada kesadaran indrawi dan biologis, maka kesadaran kita pada tingkatan wujud lainnya untuk sementara ‘off’. Begitu pula dengan tingkat wujud yang lain lagi juga ‘off’.  Nah, saat kita ‘off” atau mati dari kesadaran indrawi dan biologis, barulah kita ‘on’ di kesadaran tingkatan lain. Begitu kita mati dari kesadaran indrawi ini, maka kita memasuki kesadaran alam selanjutnya. Sesaat setelah  tingkatan ini ‘off’, kesadaran pada tingkatan lainnya akan ‘on’.
Namun, menurut Ibn Arabi, ‘off’ bukan berarti tidak ada, atau baru diciptakan. Hal ini karena prinsip Ibn Arabi bukan prinsip penciptaan, tapi prinsip penyadaran dan kebangkitan sebagaimana hadis Nabi yang berbunyi: “Semua manusia tidur. Setelah mati (off) barulah mereka terbangun.”
Pada titik ini, pandangan Ibn Arabi berbedan dengan para teolog. Para teolog berpijak pada ‘creatio ex nihilo’ atau ‘penciptaan dari ketiadaan’. Kata Ibn Arabi, mengapa Allah (harus) mengadakan dan menciptakan sesuatu? Bukankah Allah selalu Ada?! Dan karena Dia selalu Ada, maka tentu tajalli dan penampakan-Nya selalu ada. Dan Allah memberikan tajalli kepada siapa saja, dan kepada seluruh titik alam ini dengan pancaran cahaya-Nya, bayang-bayang eksistensi-Nya, dengan kehendak-Nya, tanpa batas.
Jadi, penciptaan segala sesuatu itu bukan dari suatu ketiadaan, karena ketiadaan itu bukan sesuatu untuk dapat menjadi sumber bagi penciptaan. Atau bahwa Dia menciptakan satu tingkatan lalu setelah sekian lama menciptakan tingkatan lain lagi. Mengapa (harus) menunggu? Kesadaran manusia-lah yang melihat demikian, lantaran -“on-off”-kesadarannya. Manusia mimpi memasuk satu tingkatan dan kesadarannya di tingkatan lain “off” sampai dia “off” (baca: mati) dari tingkatan yang pertama dan “on” di tingkatan berikutnya dan begitu seterusnya.
Menariknya, dengan pemaparannya ini, Ibn Arabi telah ‘menghangatkan’ cara berfikir filsafat yang cenderung kering dan dingin. Bahkan, dia telah ‘mendidihkan’ filsafat hingga bergolak. Sedemikian sehingga orang yang memiliki latar belakang filsafat saat membaca Ibn Arabi akan menemukan suatu pergolakan, pendidihan, dan penghangatan. Ketika filsuf berbicara tentang konsep-konsep universal yang seolah tidak ada wujudnya di alam ini, Ibn Arabi mampu mengamati dan menafsirkan isyarat-isyarat yang detail dan kecil di alam ini. Termasuk mengamati kisah-kisah hagiografis para nabi.
Oleh sebab itu, dalam otobiografinya, Ibn Arabi mengisahkan perjalanan hidupnya sejak kecil dengan detail, termasuk pertemuannya dengan tokoh lain seperti Ibn Rusyd, bagaimana dia menghafal Al-Qur’an, berjalan dari Andalusia dan sebagainya yang semuanya diingat dengan baik. Hal ini berbeda dengan filsuf yang cenderung tidak suka dengan hal-hal yang detail atau partikular. Karena kelebihan ini, para filsuf Islam juga memiliki ketertarikan pada pemikiran Ibn Arabi.
Boleh dikatakan, Ibn Arabi turut mempengaruhi perjalanan filsafat Islam sebagaimana dia mempengaruhi perjalanan tasawuf dalam Islam. Hal ini tidak lepas dari kekayaan dan kehangatan pemikirannya, imajinasinya yang melanglang buana serta ‘eksploitasnya’ yang mendalam dan cantik terhadap Al-Qur’an. Termasuk bagaimana dia menggunakan keunggulan bahasa Al-Qur’an ini dalam membuka cakrawala pemikiran Islam.
Sebagai contoh, dalam tema tanzih dan tasybih, biasanya orang mengatakan ‘subhanallah’ diartikan Allah itu tidak menyerupai (tasybih) makhluk. Kemudian kita nafikan (tanzih) keserupaan antara Allah dan makhluk-Nya. Sementara kata Ibn Arabi, ketika Allah menyatakan ‘laisa kamitslihi syaiun wa hua as-sami’ul bashir’, itu berarti; ‘tiada keserupaan yang menyerupai-Nya,’ pada saat yang sama Dia menyatakan; ‘dan Dia Maha Mendengar dan Melihat’.
Bukankah mendengar dan melihat juga pekerjaan makhluk? Tentu tidak serupa dengan dengan makhluk-Nya tapi (tetap) ada penyerupaan. Oleh sebab itu, ketika berbicara tentang Nabi Nuh dan kaumnya, Ibn Arabi mengatakan bahwa Nabi Nuh dan kaumnya saling bertentangan. Kaumnya menyembah berhala (tasybih) sedang Nabi Nuh ingin menafikan berhala (tanzih). Menurut Ibn Arabi, ini adalah mazhab Furqan atau memisahkan antara tasybih dan tanzih. Yang benar, bagi Ibn Arabi, ialah mazhab Qur’an. Arti Qur’an adalah ‘al-jam’u bayna al-tasybih wa al-tanzih’ (mengumpulkan antara tasybih dan tanzih).
Kembali kepada Nabi Nuh. Kata Ibn Arabi, sekiranya Nabi Nuh menganut mazhab Qur’an maka beliau tidak akan menafikan umatnya. Dan inilah (keunggulan) mazhab Rasulullah Saw. Mazhab Rasulullah Saw tidak menafikan penyembah berhala apalagi menghancurkannya. Beliau menggabungkan semua dalam rahmat dan kasih sayang. Bukankah orang yang menyembah berhala juga bermaksud menyembah Allah Swt? Jadi, beliau bisa menerima sekalipun berhala-berhala itu tidak boleh di tempat-tempat tertentu dimana tanzih harus dilakukan. []

Edy/Islam Indonesia/Ditranskrip dari Bedah Buku Taoisme dan Sufisme karya Toshihiko Izutsu. 2 Maret 2016 di UIN Sunan kalijaga

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...