Kamis, 30 April 2020

"SENJATA BIOLOGI DI ERA PERANG BHARATAYUDHA"



(Cerita klasik pewayangan Mahabharata)

"Dengan Gugurnya Prabu Salya, Wabah Penyakit Aneh Itu Turut Sirna."

Nun, di arena Kurusetra tampak ribuan manusia menggelepar. Mereka serempak batuk-batuk sambil memegang dada yang panas & kepala yang tiba-tiba menjadi pusing, lalu ambruk di tanah.

Prabu Salya tersenyum menyaksikan kejadian yang mengerikan itu. Tujuannya adalah menunggu lawan seimbang yang akan dimajukan oleh pihak Pandawa untuk menghadapi dirinya. Pun, ajian pamungkasnya itu dikeluarkan semata-mata untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Dia tahu bahwa ajian "Candrabhirawa" miliknya itu tentu ada yang bisa menangkalnya, namun dia tak tahu siapa yang dapat menanggulanginya.

Di seberang lautan manusia yang sedang berperang itu, dengan pandangan batinnya yang tajam, Kresna menyaksikan betapa mengerikan ajian Candrabirawa yang semakin lama terus tersebar, membelah diri dari satu menjadi dua, empat, delapan, enam belas hingga kelipatannya dalam menjangkiti semua orang.

Di sebelahnya, para Pandawa menatap cemas menyaksikan ribuan manusia menjadi korban keganasan mahkluk tak kasat mata itu.

"Kini saatnya kau maju ke Medan peperangan, wahai adikku Yudhistira (Puntadewa). Tak ada yang dapat menandingi kakek Nakula dan Sadewa itu kecuali dirimu. Lihatlah perbuatannya yang begitu kejam membantai orang-orang tanpa belas kasihan lagi," kata Kresna.

Yudhistira yang berdiri di sebelahnya terhenyak ketika namanya disebut. "Mengapa harus aku yg maju, kangmas Kresna?" tanya Yudhistira.

"Apa yg kau lihat itu, hai adikku?" Kresna balik bertanya.
"Aku melihat berjuta-juta mahluk berupa raksasa kerdil sedang menyerang banyak prajurit.
Tidak hanya dari pasukan kita saja yang diserang, tapi pasukan Kurawa pun turut diserbunya. Aneh!," jawab Yudistira.

"Itulah kedahsyatan Candrabirawa. Prabu Salya dulu mendapatkan senjata itu dari Resi Bagaspati, mertuanya, dan mertuanya itu memperolehnya dari wejangan "Kesadaran Tumiba Lahir (arwah)" dari Sukrasana saat dia bertapa.

"Dan hanya manusia yang berjiwa tenanglah yang sanggup menghentikan." Majulah, hadapi kakekmu itu tanpa harus melawan. Turuti apa yang dikehendakinya. Bawalah panahku ini jika beliau memang menghendakinya," kata Kresna.

Yudhistira menerima sebuah 'panah bermata cahaya' dari tangannya, lalu maju ke tengah kecamuk perang yang mengerikan dan aneh itu.

Dada Prabu Salya bergetar ketika Yudhistira maju dihadapannya dalam jarak beberapa puluh meter dalam "sikap menyebah (anjali) sebagai tanda bakti, hormat."

"Mengapa yang maju justru engkau, hai anakku Yudhistira? Aku menginginkan yg melawanku adalah adikmu si Bima (Werkudara) yang gagah perkasa atau Arjuna yang pandai dlm hal memanah," kata Salya.

"Aku datang menghadap hanya minta tolong untuk menghentikan wabah penyakit yang kau tebarkan itu, kek." Aku tak tega menyaksikan ribuan orang yang menjadi korban keganasannya. Kalau kau tak mau, segera bunuhlah aku daripada orang yang tak bersalah itu terbunuh. Jika aku mati, maka pihak Pandawa kalah. Itu sudah cukup," jawab Yudhistira.

"Oh, Yudhistira. Tidak semudah itu dalam peperangan ini. Jika kau ingin mati, maka panahlah aku dengan senjata di tanganmu itu, biar aku pun akan memanahmu dengan senjataku," kata Prabu Salya.

Maka, dengan setengah hati Yudhistira menyanggupi tantangannya.

Senjata  "Cakra Baskara" pemberian Kresna dilesatkan tanpa semangat, pun tak ditujukan ke arah lawannya melainkan hanya menghadap ke bawah.
Matanya terpejam ketika senjata itu melesat lemah dari gandewa di tangannya.

Ajaib,...........….......
panah itu justru melesat secepat kilat ketika terantuk tanah dan menghujam tepat  di dada prabu Salya yang meremehkan semangat perang Yudhistira si lelaki lemah lembut itu.

Terdengar suara menggelegar dan seketika dia tersungkur tewas.
Pasukan manusia kerdil tak kasat mata yang sedang menyerang semua orang itu menjadi terkejut dan menghentikan perbuatannya.

Tampaklah manusia dengan sinar suci berdiri dengan tenang hingga membuat mereka menjadi lemah dan akhirnya musnah.

Sejak kematian prabu Salya itu maka berangsur-angsur wabah penyakit aneh itu pun ikut lenyap.

# Makna dalam perenungan tersebut #

Dalam kisah di atas penyakit aneh atau jaman sekarang disebut sebagai wabah penyakit itu sudah pernah ada sejak zaman purwa carita.

Yudhistira, putra Pandu yang dikenal jujur,  "berdarah putih"  itu berhasil mengatasi wabah penyakit dengan berperang. Namun, sikap berperangnya dengan cara mata terpejam (diam, bersamadhi).

Senjata Cakra Baskara adalah senjata ampuh dapat mengatasi marabahaya wabah penyakit ganas berlipat-lipat yang akhirnya musnah oleh ksatria berjiwa tenang dan jujur.

Apa yg dapat dipetik dari kisah ini?

"Marilah tetap tenang, tidak panik". Kita nantikan ksatria berjiwa jujur  dan berbudi luhur yang segera hadir menuntaskan wabah penyakit saat ini. Hingga kehidupan pulih normal kembali.

Semoga banyak Yudistira di negeri ini secara tulus untuk berkarya.
Bukan cercaan, penolakan atau olok-olok yang malah diberikan kepada sesama anak bangsa.



🍁  NGLURUG TANPO BOLO , MENANG TANPO NGASORAKE 🍁

catatan FB #Dian Widi Asmoro – Omah Dalang

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...