Selasa, 18 Agustus 2020

Maqam Mukasyafah

 Ulama sufi berkata, "Mukasyafah artinya jalinan secara rahasia antara dua batin." Maksudnya, mukasyafah adalah salah satu dari dua orang yang saling mencintai, yang mengetahui batin urusan dan rahasia yang satunya lagi. Jalinan ini terjadi secara lembut dan penuh kasih sayang. Jika seorang hamba sampai ke kedudukan ma'rifat, maka seakan-akan dia dapat melihat sifat-sifat kesempurnaan Allah dan keagungan-Nya, sehingga ruhnya merasakan kedekatan yang khusus, berbeda dengan kedekatan yang bersifat inderawi, sehingga seakan-akan dia bisa menyaksikan disingkapkannya hijab antara ruh dan hatinya dengan Rabb-nya.

Yang dimaksud kasyf menurut Al Ghazali adalah metode pengetahuan melalui
sarana kalbu yang bening, atau pemahaman intuitif langsung. kasyf
(iluminasi) adalah apa yang tadinya tertutup bagi manusia, atau tersingkap
bagi seseorang seakan ia melihat dengan matanya. Dengan demikian
pengetahuan itu diperoleh dari sumbernya secara langsung, bukan melalui
fikiran atau belajar.

Mukasyafah adalah tersingkapnya tabir yang menjadi kesenjangan antara sufi
dengan Allah. Kesenjangan tersebut adalah jarak antara mahluk dengan khaliknya.

Sementara itu Kasyf menurut Qaysari adalah penyingkapan hijab. Secara
terminologis, kasyf adalah mengetahui makna yang tersembunyi dan realitas
dibalik hijab secara wujud.

Penyingkapan-penyingkapan itu sebenarnya merupakan Tajali Nama yang
mengurusinya. Dan semuanya berada di bawah Nama Al-Alim.

Adapun yang berkaitan dengan duniawi, seperti dalam praktek memberitakan
kejadian-kejadian duniawi yang akan terjadi, termasuk dalam kasf Al Suri,
kasyf ini disebut kasy Ruhbaniyyah, karena mereka mengetahui hal-hal gaib
melalui riyadah dan mujahidah mereka.

Tetapi para ahli suluk beranggapan bahwa hal itu sebagai al istidraj, yaitu
kemunduran derajat, bahkan mereka tidak menanggapinya, karena tujuan mereka
adalah fana' fi l-Lah dan Baqa bil-Lah.

Menurut Al Qaysari, sumber mukasyafah adalah al qalb al insani dan intelek
amalinya yang bercahaya yang menggunakan indera ruhaniyah. Karena qalbu
manusia memiliki penglihatan, pendengaran dan sebagainya. Sebagaimana
diisyaratkan Allah dalam firmannya :
"Maka sesungguhnya tidak buta matanya, tetapi yang buta adalah hatinya yang
ada di dalam dada". Dan "Allah telah menutup keatas hati mereka dan
pendengarannya dan penglihatan mereka dengan tirai."

Dan indra ruhaniyyah ini adalah bathin indera jasmani. Ketika tersingkap
hijab dimensi ruhani dan dimensi kongkrit maka akan menyatu indera
ruhaniyah dan indera jasmaniyahnya. Dan dia akan mempersepsikan dengan
indera ruhanniyahnya. Ruh akan menyaksikan semuanya secara esensial, karena
hakikat yang ada akan menyatu dengan ruh dalam martabatnya dengan
keberadaan yang lengkap dan seluruh hakikat terpadu di dalamnya.

Hijab tersebut adalah nafsunya, yang disingkap Allah dengan kekuatan-Nya. Dengan begitu dia akan menyembah-Nya seakan-akan dapat melihat-Nya.

Ada tiga derajat mukasyafah, yaitu:

Mukasyafah yang menunjukkan penerapan yang benar, yang harus berjalan secara terus-menerus. Hal ini terjadi pada sekali waktu tanpa waktu yang lain, tanpa diselingi suatu pemisahan. Hijab yang tipis bisa terbentang pada kedudukannya, hanya saja hijab itu tidak membuatnya memalingkannya dan meniadakan bagiannya. Ini merupakan derajat orang yang menuju suatu tujuan. Jika berlangsung terus, maka menjadi derajat kedua.

Mukasyafah yang benar merupakan ilmu yang disusupkan Allah ke dalam hati hamba dan menampakkan kepadanya perkara-perkara yang tidak diketahui orang lain. Namun Allah juga bisa memalingkan dan menahannya karena kelalaian dan membuat tutupan di dalam hatinya. Tapi tutupan ini amat tipis, yang disebut al-ghain. Yang lebih tebal lagi disebut al-ghaim, dan yang paling tebal adalah ar-ran. Yang pertama berlaku bagi para nabi, seperti yang disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya ada tutupan dalam hatiku, dan sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali (dalam sehari)." Yang kedua berlaku bagi orang-orang Mukmin, dan yang ketiga bagi orang-orang yang menderita, seperti firman Allah, "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka." (Al-Muthaffifin: 14).

Hijab ada sepuluh macam:

1. Hijab peniadaan dan penafian hakikat asma' serta sifat. Ini merupakan hijab yang paling tebal. Orang yang memiliki hijab ini tidak mempunyai kesiapan untuk mengetahui Allah dan sama sekali tidak sampai kepada Allah, sebagaimana batu yang tidak bisa naik ke atas.

2. Hijab syirik, yaitu membuat hati menyembah kepada selain Allah.

3. Hijab bid'ah yang bersifat perkataan, seperti hijab orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan berbagai macam perkataan yang batil lagi rusak.

4. Hijab bid'ah yang bersifap ilmiah, seperti hijab para ahli thariqah yang melakukan bid'ah dalam perjalanannya kepada Allah.

5. Hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara batinnya, seperti hijab orang-orang yang takabur, ujub, riya', dengki, membanggakan diri dan lain sebagainya.

6. Hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara zhahir. Hijab mereka lebih tipis daripada hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara batin, sekalipun mereka lebih banyak ibadahnya dan lebih zuhud. Dosa besar secara zhahir lebih dekat kepada taubat daripada dosa besar secara batin. Orang yang melakukan dosa besar secara zhahir lebih bisa diselamatkan dan hatinya lebih baik daripada orang yang melakukan dosa besar secara batin.

7. Hijab orang-orang yang melakukan dosa-dosa kecil.

8. Hijab orang-orang yang berlebih-lebihan dalam hal-hal yang mubah.

9. Hijab orang-orang yang lalai melakukan tujuan penciptaannya dan yang dikehendaki dari dirinya, tidak senantiasa berdzikir, bersyukur dan beribadah kepada Allah.

10. Hijab orang-orang yang berijtihad namun menyimpang dari tujuan.

Inilah sepuluh macam hijab yang mendinding antara hati dengan Allah, menjadi penghalang di antara keduanya. Hijab-hijab ini muncul dari empat unsur: Jiwa, syetan, dunia dan nafsu. Hijab tidak bisa disingkirkan jika unsur-unsur penyebabnya masih ada. Empat unsur inilah yang merusak perkataan, perbuatan, tujuan dan jalan, tergantung dari banyak dan sedikitnya, memotong jalan perkataan, perbuatan dan tujuan untuk sampai ke hati. Sementara apa yang dipotong agar tidak sampai ke hati, juga dipotong agar tidak sampai kepada Allah. Antara perkataan dan perbuatan dengan hati terbentang jarak perjalanan. Seorang hamba menempuh jarak perjalanan itu agar sampai ke hatinya, agar dia bisa melihat berbagai macam keajaiban di sana. Dalam perjalanan ini terdapat banyak perampok jalanan seperti yang sudah disebutkan di atas. Jika dia bisa memerangi para perampok jalanan itu dan amalnya bisa sampai ke hati, maka ia akan menetap di dalam hati, lalu dari hati ini dia akan mendapatkan jendela agar dapat melihat Allah.

Sekalipun perjalanan itu sudah sampai ke hati, namun hamba tidak mendapatkan jendela untuk melihat Allah, bahkan di dalamnya bersemayam nafsu dan pasukannya, sekalipun dia orang yang zuhud dan paling banyak beribadah, maka dia adalah orang yang paling jauh dari Allah.

Bahkan orang-orang yang melakukan dosa besar, hatinya bisa lebih dekat dengan Allah daripada mereka. Lihatlah seorang ahli ibadah dan zuhud,yang di keningnya terdapat bekas sujud, tapi justru mengingkari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam karena amalnya yang kelewat batas, sehingga dia pun mencemooh orang Muslim lainnya dan menumpahkan darah para shahabat. Di sisi lain lihat seorang peminum berat,(Orang pertama adalah Dzul-Khuwaishirah At-Tamimy Al-Khariji, dan orang kedua adalah Iyadh bin Himar). yang sering mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan dia pun siap dijatuhi hukuman karena kebiasaannya itu. Karena iman, keyakinan dan kecintaannya kepada Allah serta Rasul-Nya, dia rela menerimanya, sampaisampai beliau melarang orang lain yang memakinya. Dari sini dapat diketahui bahwa orang yang melakukan kedurhakaan lebih baik kesudahannya daripada orang yang melanggar ketaatan.

Perkataan Syech (al-Mursyid), "Mukasyafah yang menunjukkan penerapan yang benar", setiap orang mengaku memiliki kesesuaian yang benar. Tidak ada penerapan yang benar kecuali yang sesuai dengan perintah. Penerapan dalam ilmu ialah pengungkapan yang sesuai dengan apa yang dikabarkan para rasul. Penerapan yang benar dalam kehendak ialah yang sesuai dengan kehendak Allah.

Mukasyafah yang sebenarnya ialah mengetahui kebenaran yang disampaikan Allah kepada para rasul-Nya dan yang diturunkan ke dalam kitab-kitab-Nya, yang dilihat dengan hatinya. Ini pula yang disebut penerapan yang benar. Sedangkan kebalikannya adalah suatu keburukan. Ini merupakan derajat pertama, yaitu derajatnya orang yang menuju ke suatu tujuan. Jika berjalan terus dan teguh hati, maka akan mencapai derajat kedua.

Syaikh berkata, "Sedangkan derajat ketiga adalah mukasyafah mata dan bukan mukasyafah ilmu, yaitu mukasyafah yang tidak membiarkan adanya pertanda yang menimbulkan kelezatan, atau yang menghentikan perjalanan atau yang singgah di satu penghalang. Tujuan dari mukasyafah ini adalah kesaksian."

Derajat ini disebut pengungkapan mata, karena banyaknya cahaya pengungkapan apa yang ada di dalam hati, lalu menggantikan kedudukan ilmu yang tidak mungkin diingkari dan didustakan. Sebagaimana melihat dengan pandangan mata yang tidak bisa dilakukan kecuali adanya kekuatan penglihatan, tidak ada pembatas, tidak gelap dan tidak jauh jaraknya, maka pengungkapan dengan mata hati mengharuskan adanya hati yang sehat dan tidak adanya perintang untuk mengungkap segala rahasianya.



Dalam Kitab Manaqib Nurul Burhan, terdapat 70 wali Allah yang sudah mukasyafah tapi berhasil disesatkan oleh Iblis (seperti pengakuan Iblis kpada Sultan al-awliya Syaikh Abdul Wadir al-jailani). Kedua, mukasyafah adalah bagian dari sebuah proses, bukan tujuan puncak dalam suluk ruhani. Selama mengalami proses mukasyafah, sufi (terutama yg masih di tengah jalan) masih harus menghadapi banyak cobaan dan godaan. Apa yang datang dari mukasyafah boleh jadi adalah, meminjam bahasa Qur'an, makr (tipu daya Allah). ia bisa jadi kasyaf syathani, atau khatir syathani. Betul bahwa hati yg suci bisa mendapatkan mukasyafah, tetapi hati yang suci bukan terminal akhir, dan karenanya mukasyafah juga bukan puncak ilmu. Dalam makna wirid- wirid besar tarekat mu'tabarah tersirat bahwa bahkan mukasyafah pun masih bisa disusupi iblis, dan karenanya selalu dibaca istiadzah (sebagian menggunakan wirid shalat istadzah setiap pagi). Kasyaf rabbani memang boleh jadi menjadi isyarat kesucian,tetapi tidak selalu ia bersifat paripurna. Ketiga, seorang yang telah mendapatkan mukasyafah boleh jadi belum mencapai kondisi fana, fana-al-fana, dan baqa. Karenanya, mukasyafah boleh jadi merupakan "hal" atau keadaan spiritual, yang tidak permanen (yang berbeda dengan "maqam" yang relatif permanen). demikian sedikit tambahan.

https://belajarilmutasawuf.blogspot.com/2011/10/maqam-mukasyafah.html

Rabu, 05 Agustus 2020

SERAT WEDHATAMA LENGKAP

K a r y a : M a n g k u n e g a r a I V

PUPUH Ke -1- PANGKUR

01

Mingkar-mingkuring ukara, akarana karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung, sinuba sinukarta, mrih kretarta pakartining ilmu luhung, kang tumrap ing tanah Jawa, agama ageming aji.

02

Jinejer ing Weddhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi, mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi sepa lir sepah asamun, samasane pakumpulan,g onyak-ganyuk nglelingsemi.

03

Nggugu karsane priyangga, nora nganggo peparah lamun angling, lumuh ingaran balilu, uger guru aleman, nanging janma ingkang wus waspadeng semu, sinamun samudana, sesadoning adu manis .

04

Si pengung nora nglegewa, sangsayarda denira cacariwis, ngandhar-andhar angendukur, kandhane nora kaprah, saya elok alangka longkangipun, si wasis waskitha ngalah, ngalingi marang si pingging.

05

Mangkono ilmu kang nyata, sanyatane mung we reseping ati, bungah ingaran cubluk, sukeng tyas yen den ina, nora kaya si penggung anggung gumunggung, ugungan sadina dina, aja mangkono wong urip.

06

Uripa sapisan rusak, nora mulur nalare ting saluwir, kadi ta guwa kang sirung, sinerang ing maruta, gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung, pindha padhane si mudha, prandene paksa kumaki.

07

Kikisane mung sapala, palayune ngendelken yayah wibi, bangkit tur bangsaning luhur, lah iya ingkang rama, balik sira sarawungan bae durung, mring atining tata krama, nggon-anggon agama suci.

08

Socaning jiwangganira, jer katara lamun pocapan pasthi, lumuh asor kudu unggul, sumengah sesongaran, yen mangkono kena ingaran katungkul, karem ing reh kaprawiran, nora enak iku kaki.

09

Kekerane ngelmu karang, kakarangan saking bangsaning gaib, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jasad, amung aneng sajabaning daging kulup, Yen kapengkok pancabaya, ubayane mbalenjani.

10

Marma ing sabisa-bisa, babasane muriha tyas basuki, puruitaa kang patut, lan traping angganira. Ana uga angger ugering kaprabun, abon aboning panembah, kang kambah ing siang ratri.

11

Iku kaki takokena, marang para sarjana kang martapi, mring tapaking tepa tulus, kawawa nahen hawa, Wruhanira mungguh sanjataning ngelmu, tan mesthi neng janma wreda, tuwin muda sudra kaki.

12

Sapantuk wahyuning Allah, gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, bangkit mikat rehmangukut, kukutaning Jiwangga, Yen mangkono kena sinebut wong sepuh, liring sepuh sepi hawa, awas roroning ngatunggil.

13

Tan samar pamoring Sukma, sinukma ya winahya ing ngasepi, sinimpen telenging kalbu, Pambukaning wana, tarlen saking liyep layaping ngaluyup, pindha pesating sumpena, sumusuping rasa jati.

14

Sajatine kang mangkono, wus kakenan nugrahaning Hyang Widi, bali alaming ngasuwung, tan karem karamean, ingkang sipat wisesa winisesa wus, mulih mula mulanira, mulane wong anom sami.

 

 

PUPUH Ke – 2 - S I N O M

 

01

Nulada laku utama, tumrape wong Tanah Jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karenak tyasing sesame

 

02

Samangsane pesasmuan, mamangun martana martani, sinambi ing saben mangsa, kala kalaning asepi, lelana teki-teki, nggayuh geyonganing kayun, kayungyun eninging tyas, sanityasa pinrihatin, puguh panggah cegah dhahar, lawan nendra.

 

03

Saben nendra saking wisma, lelana laladan sepi, ngisep sepuhing supana, mrih pana pranaweng kapti, titising tyas marsudi, mardawaning budya tulus, mese reh kasudarman, neng tepining jala nidhi, sruning brata kataman wahyu dzatmika.

 

04

Wikan wengkoning samodra, kederan wus den ideri, kinemat kamot hing driya, rinegan segegem dadi, dumadya angratoni, nenggih Kanjeng Ratu Kidul, ndedel nggayuh nggegana, umara marak maripih, sor prabawa lan Wong Agung Ngeksiganda.

 

05

Dahat denira aminta, sinupeket pangkat kanci, jroning alam palimunan, ing pasaban saben sepi, sumanggem anjanggemi, ing karsa kang wus tinamtu, pamrihe mung aminta, supangate teki-teki, nora ketang teken janggut suku jaja.

06

Prajanjine abipraja, saturun-turun wuri, Mangkono trahing ngawirya, yen amasah mesu budi, dumadya glis dumugi, iya ing sakarsanipun, wong agung Ngeksiganda, nugrahane prapteng mangkin, trah tumerah darahe para wibawa.

 

07

Ambawani tanah Jawa, kang padha jumeneng aji, satriya dibya sumbaga, tan lyan trahing Senapati, pan iku pantes ugi, tinelad labetanipun, ing sakuwasanira, enake lan jaman mangkin, sayektine tan bisa ngepleki kuna.

 

08

Luwung kalamun tinimbang, ngaurip tanpa prihatin, Nanging ta ing jaman mangkya, pra mudha kang den karemi, manulad nelad Nabi, nayakeng rad Gusti Rasul, anggung ginawe umbag, saben saba mampir masjid, ngajap-ajap mukjijat tibaning drajat.

 

09

Anggung anggubel sarengat, saringane tan den wruhi, dalil dalaning ijemak, kiyase nora mikani, katungkul mungkul sami, bengkrakan neng masjid agung, kalamun maca kutbah, lelagone dhandhanggendhis, swara arum ngumandhang cengkok palaran.

 

10

Lamun sira paksa nulad, Tuladhaning Kangjeng Nabi, O... ngger kadohan panjangkah, wateke tak betah kaki, Rehne ta sira Jawi, satitik bae wus cukup, aja ngguru aleman, nelad kas ngepleki pekih, Lamun pungkuh pangangkah yekti karamat.

 

11

Nanging enak ngupa boga, rehne ta tinitah langip, apa ta suwiteng Nata, tani tanapi agrami, Mangkono mungguh mami, padune wong dhahat cubluk, durung wruh cara Arab, Jawaku bae tan ngenting, parandene pari peksa mulang putra.

 

12

Saking duk maksih taruna, sadhela wus anglakoni, aberag marang agama, maguru anggering kaji, sawadine tyas mami, banget wedine ing besuk, pranatan ngakir jaman, Tan tutug kaselak ngabdi, nora kober sembahyang gya tininggalan.

 

13

Marang ingkang asung pangan, yen kasuwen den dukani, abubrah bawur tyas ingwang, lir kiyamat saben dino, bot Allah apa gusti, tambuh-tambuh solah ingsun, lawas-lawas graita, rehne ta suta priyayi, yen mamriha dadi kaum temah nista.

 

14

Tuwin ketib suragama, pan ingsun nora winaris, angur baya angantepana, pranatan wajibing urip, lampahan angluluri, aluraning pra luluhur, kuna kumunanira, kongsi tumekeng semangkin, Kikisane tan liyan among ngupa boga.

 

15

Bonggan kang tan mrelokena, mungguh ugering ngaurip, uripe tan tri prakara, wirya, arta, tri winasis, kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman ngulandara.

16

Kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis, wasana wosing Jiwangga, melok tanpa aling-aling, kang ngalingi kaliling, wenganing rasa tumlawung, keksi saliring jaman, angelangut tanpa tepi, yeku aran tapa tapaking Hyang Sukma

 

17

Mangkono janma utama, tuman tumanem ing sepi, ing saben rikala mangsa, masah amemasuh budi, lahire den tetepi, ing reh kasatriyanipun, susila anor raga, wignya met tyasing sesama, yeku aran wong barek berag agama.

 

18

Ing jaman mengko pan ora, arahe para turami, yen antuk tuduh kang nyata, nora pisan den lakoni, banjur njujurken kapti, kakekne arsa winuruk, ngandelken gurunira, pandhitane praja sidik, tur wus manggon pamucunge mring makrifat.

 

PUPUH Ke - 3 - PUCUNG

 

01

Ngelmu iku, kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangkese dur angkara.

 

02

Angkara gung, neng angga anggung gumulung, gogolonganira triloka, lekere kongsi, yen den umbar ambabar dadi rubeda.

 

03

Beda lamun, kang wus sengsem reh ngasamun,semune ngaksama, sasamane bangsa sisip, sarwa sareh saking mardi marto tama.

 

04

Taman limut,durgameng tyas kang weh limput,kereming karamat, karana karohaning sih, sihing Sukma ngreda sahardi gengira.

 

05

Yeku patut, tinulad-tulad tinurut, sapituduhira,aja kaya jaman mangkin, keh pramudha mundhi dhiri lapel makna.

 

06

Durung pecus, kesusu kaselak besus, amaknani lapal, kaya sayid weton Mesir, pendhak-pendhak angendhak gunaning janma.

 

07

Kang kadyeku, kalebu wong ngaku-aku, akale alangka, elok Jawane denmohi, paksa ngangkah langkah met kawruh ing Mekah.

 

08

Nora weruh, rosing rasa kang rinuruh, lumeketing angga,anggere padha marsudi, kana-kene kaanane nora beda.

 

09

Uger lugu, den ta mrih pralebdeng kalbu, yen kabul kabuka,ing drajat kajating urip,kaya kang wus winahyeng sekar srinata.

10

Basa ngelmu, mupakate lan panemu, pasahe lan tapa, yen satriya tanah Jawi, kuna-kuna kang ginilut triprakara.

 

11

Lila lamun, kelangan nora gegetun,trima yen kataman, sakserik sameng dumadi, trilegawa nalangsa srahing Batara.

 

12

Batara gung,inguger graning jajantung, jenak Hayang Wisesa, sana paseneten Suci, nora kaya si mudha mudhar angkara.

 

13

Nora uwus, kareme anguwus-uwus,uwose tan ana,mung janjine muring-muring, kaya buta-buteng betah nganiaya.

 

14

Sakeh luput, ing angga tansah linimput,linimpet ing sabda, narka tan ana udani,lumuh ala ardane ginawe gada.

 

15

Durung punjul, ing kawruh kaselak jujul, kaseselan hawa, cupet kapepetan pamrih, tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa.

 

 

PUPUH Ke - 4 - GAMBUH

 

01

Samengko ingsun tutur, sembah catur supaya lumuntur, dihin: raga, cipta, jiwa, rasa, kaki, ing kono lamun tinemu, tandha nugrahaning Manon.

 

02

Sembah raga puniku, pakartine wong amagang laku, susucine asarana saking warih, kang wus lumrah limang wektu, wantu wataking wawaton.

 

03

Inguni-uni durung, sinarawung wulang kang sinerung, lagi iki bangsa kas ngetok-ken anggit, mintoken kawignyanipun,sarengate elok-elok.

 

04

Thithik kaya santri Dul, gajeg kaya santri brahi kidul, saurute Pacitan pinggir pasisir, ewon wong kang padha nggugu, anggere guru nyalemong.

 

05

Kasusu arsa weruh, cahyaning Hyang kinira yen karuh, ngarep-arep urup arsa den kurebi, Tan wruh kang mangkoko iku, akale keliru enggon.

 

06

Yen ta jaman rumuhun, tata titi tumrah tumaruntun,bangsa srengat tan winor lan laku batin,dadi ora gawe bingung, kang padha nembah Hyang Manon.

 

07

Lire sarengat iku, kena uga ingaranan laku, dihin ajeg kapindhone ataberi, pakolehe putraningsun, nyenyeger badan mwih kaot.

 

08

Wong seger badanipun, otot daging kulit balung sungsum, tumrah ing rah memarah antenging ati, antenging ati nunungku, angruwat ruweting batos.

 

09

Mangkono mungguh ingsun, ananging ta sarehne asnafun, beda-beda panduk panduming dumadi,sayektine nora jumbuh, tekad kang padha linakon.

 

10

Nanging ta paksa tutur, rehning tuwa tuwase mung catur, bok lumuntur lantaraning reh utami, sing sapa temen tinemu, nugraha geming Kaprabon.

 

11

Samengko sembah kalbu, yen lumintu uga dadi laku, laku agung kang kagungan Narapati, patitis tetesing kawruh, meruhi marang kang momong.

 

12

Sucine tanpa banyu, mung nyenyuda mring hardaning kalbu, pambukane tata, titi, ngati-ati, atetep talaten atul, tuladhan marang waspaos.

 

13

Mring jatining pandulu, panduk ing ndon dedalan satuhu, lamun lugu leguting reh maligi, lageane tumalawung, wenganing alam kinaot.

 

14

Yen wus kambah kadyeku,sarat sareh saniskareng laku, kalakone saka eneng, ening, eling, Ilanging rasa tumlawung, kono adile Hyang Manon.

 

15

Gagare ngunggar kayun, tan kayungyun mring ayuning kayun, bangsa anggit yen ginigit nora dadi, Marma den awas den emut, mring pamurunging lelakon.

 

16

Samengko kang tinutur, sembah katri kang sayekti katur, mring Hyang Sukma sukmanen sehari-hari, arahen dipun kecakup, sembah ing Jiwa sutengong.

 

17

Sayekti luwih prelu, ingaranan pepuntoning laku, kalakuan kang tumrap bangsaning batin, sucine lan Awas Emut, mring alame alam amot.

 

18

Ruktine ngangkah ngukut, ngiket ngrukut triloka kakukut, jagad agung gimulung lan jagad cilik, Den kandel kumandel kulup, mring kelaping alam kono.

 

19

Keleme mawa limut,kalamatan jroning alam kanyut, sanyatane iku kanyatan kaki, Sajatine yen tan emut, sayekti tan bisa awor.

20

Pamete saka luyut, sarwa sareh saliring panganyut, lamun yitna kayitnan kang mitayani, tarlen mung pribadinipun, kang katon tinonton kono.

 

21

Nging aywa salah surup, kono ana sajatining Urub, yeku urup pangarep uriping Budi, sumirat sirat narawung, kadya kartika katongton.

 

22

Yeku wenganing kalbu, kabukane kang wengku winengku, wewengkone wis kawengku neng sireki, nging sira uga kawengku, mring kang pindha kartika byor.

 

23

Samengko ingsun tutur, gantya sembah ingkang kaping catur, sembah Rasa karasa rosing dumadi, dadine wis tanpa tuduh, mung kalawan kasing Batos.

 

24

Kalamun durung lugu, aja pisan wani ngaku-aku, antuk siku kang mangkono iku kaki, kena uga wenang muluk, kalamun wus pada melok.

 

25

Meloke ujar iku, yen wus ilang sumelang ing kalbu, amung kandel kumandel ngandel mring takdir, iku den awas den emut, den memet yen arsa momot.

26

Pamoring ujar iku, kudu santosa ing budi teguh, sarta sabar tawekal legaweng ati, trima lila ambeh sadu, weruh wekasing dumados.

27

Sabarang tindak-tanduk, tumindake lan sakadaripun, den ngaksama kasisipaning sesami, sumimpanga ing laku dur, hardaning budi kang ngrodon.

28

Dadya wruh iya dudu, yeku minangka pandaming kalbu, inkang buka ing kitab bullah agaib, sesengkeran kang sinerung, dumunung telenging batos.

29

Rasaning urip iku krana momor pamoring sawujud, wujuddullah sumrambah ngalam sakalir, lir manis kalawan madu, endi arane ing kono.

30

Endi manis endi madu, yen wis bisa nuksmeng pasang semu, pasamaoning hebing kang Maha Suci, kasikep ing tyas kacakup, kasat mata lair batos.

31

Ing batin tan keliru, kedhap kilap liniling ing kalbu, kang minangka colok celaking Hyang Widi, widadaning budi sadu, pandak panduking liru nggon.

32

Nggonira mrih tulus, kalaksitaning reh kang rinuruh, ngayanira mrih wikal, warananing gaib, paranta lamun tan weruh, sasmita jatining endhog.

33

Putih lan kuningpun, lamun arsa titah teka mangsul, dene nora mantra-mantra yen ing lair, bisa aliru wujud, kadadeyane ing kono.

34

Istingarah tan metu, lawan istingarah tan lumebu, dene ing njro wekasane dadi njawi, raksana kang tuwajuh, aja kongsi kabasturon.

35

Karana yen kebanjur, kajantaka tumekeng saumur, tanpa tuwas yen tiwasa ing dumadi, dadi wong ina tan wruh, dheweke den anggep dhayoh.

 

PUPUH Ke – 5 - K I N A N T H I

01

Mangka kantining tumuwuh, salami mung awas eling, eling lukitaning alam, wedi weryaning dumadi, supadi niring sangsaya, yeku pangreksaning urip.

02

Marma den taberi kulup,angulah lantiping ati,rina wengi den anedya, pandak-panduking pambudi, bengkas kahardaning driya, supadya dadya utami.

03

Pangasahe sepi samun, aywa esah ing salami, samangsa wis kawistara, lalandhepe mingis-mingis, pasah wukir reksa muka, kekes srabedaning budi.

04

Dene awas tegesipun, weruh warananing urip, miwah wisesaning tunggal, kang atunggil rina wengi, kang mukitan ing sakarsa, gumelar ngalam sakalir.

05

Aywa sembrana ing kalbu, wawasen wuwus sireki, ing kono yekti karasa,dudu ucape pribadi, marma den sembadeng sedya, wewesen praptaning uwis.

06

Sirnakna semanging kalbu, den waspada ing pangeksi, yeku dalaning kasidan, sinuda saka satitik, pamotahing nafsu hawa, jinalantih mamrih titih.

07

Aywa mamatuh malutuh, tanpa tuwas tanpa kasil, kasalibuk ing srabeda, marma dipun ngati-ati,urip keh rencananira, sambekala den kaliling.

08

Upamane wong lumaku, marga gawat den liwati, lamun kurang ing pangarah, sayekti karendet ing ri, apese kasandhung padhas, babak bundhas anemahi.

09

Lumrah bae yen kadyeku, atetamba yen wis bucik, duwea kawruh sabodag, yen ta nartani ing kapti,dadi kawruhe kinarya,ngupaya kasil lan melik.

10

Meloke yen arsa muluk, muluk ujare lir wali, wola-wali nora nyata, anggepe pandhita luwih, kaluwihane tan ana, kabeh tandha-tandha sepi.

11

Kawruhe mung ana wuwus, wuwuse gumaib baib, kasliring titik tan kena, mancereng alise gatik, apa pandhita antige, kang mangkono iku kaki.

12

Mangka ta kang aran laku, lakune ngelmu sajati, tan dahwen pati openan, tan panasten nora jail, tan njurungi ing kaardan, amung eneng mamrih ening.

13

Kunanging budi luhung, bangkit ajur ajer kaki, yen mangkono bakal cikal, thukul wijining utami, nadyan bener kawruhira, yen ana kang nyulayani.

14

Tur kang nyulayani iku, wus wruh yen kawruhe nempil, nanging laire angalah, katingala angemori, mung ngenaki tyasing liyan, aywa esak aywa serik.

15

Yeku ilapating wahyu, yen yuwana ing salami, marga wimbuh ing nugraha, saking heb kang Maha Suci, cinancang pucuking cipta, nora ucul-ucul kaki.

16

Mangkono ingkang tinamtu, tampa nugrahaning Widhi, marma ta kulup den bisa, mbusuki ujaring janmi, pakoleh lair batinnya, iyeku budi premati.

17

Pantes tinulad tinurut, laladane mrih utami, utama kembanging mulya, kamulyaning jiwa dhiri, ora yen ta ngeplekana, lir leluhur nguni-uni.

18

Ananging ta kudu-kudu, sakadarira pribadi, aywa tinggal tutuladan, lamun tan mangkono kaki, yekti tuna ing tumitah, poma kaestokna kaki.

 

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...