Jumat, 18 Juli 2014

Surat Terbuka bukan untuk Prabowo maupun Jokowi



 KOMPAS.com
Catatan Kaki Jodhi Yudono

Kemarin saya bertemu karib saya. Don namanya. Kepada saya dia mengaku sedang dimabuk rindu. Kepada siapa rindu Don dialamatkan, saya sudah tahu jawabannya. Yani, itulah nama perempuan yang sudah memenjarakan cinta Don hingga kini. Itulah sebabnya, cuma kepada Yani seorang rindu Don ditumpahkan.

Semenjak perpisahan sekira sepuluh tahun lalu di kawasan Senayan, tak pernah sekalipun pasangan ini bersua.

Don pernah bercerita, kali terakhir mereka bertemu di sebuah kafe di Plaza senayan. Hari beranjak senja saat mereka bersua. Dua gelas lemon tea dan sejumlah penganan kecil, menemani mereka berbincang. Sebelum pada akhirnya mereka sepakat untuk berpisah. "Mungkin sebulan, setahun, lima tahun, sepuluh tahun, kita baru berjumpa lagi. Mungkin juga selamanya kita tak akan bertemu," ujar Yani ketika hari telah sempurna senja.

Semenjak itulah keduanya seperti memilih jalan yang bertolak belakang. Don ke Utara, sedang Yani ke selatan, begitu seterusnya. Hingga saya ketemu Don kemarin dan dia menyatakan rindu yang menggebu kepada Yani.

"Temui saja dia, toh kamu tahu alamat kantornya, alamat rumahnya," kata saya enteng.
Don cuma menggeleng.

"Kalian berkawan di media sosial?"

Kembali Don menggeleng, lantas pergi begitu saja, seperti biasanya. Saya pun tidak mencoba untuk memintanya kembali. Saya tahu betul tabiat lelaki jomblo itu., Sebentar lagi tentu dia akan bikin kejutan buat saya.

Malam harinya, dia pun kirim pesan di HP saya. "Cek tulisanku di inbox FBmu," begitu bunyi pesan Don.

Saya pun segera membuka laptop, dan segera menemukan tulisan Don yang lumayan panjang. Begini bunyinya:

Untuk Yani kekasihku.

Demi cuaca yang labil, aku tidak sedang meniru banyak tokoh yang belakangan banyak membuat surat terbuka untuk Prabowo, calon presiden nomor urut satu. Maafkan juga aku, sebab pasti jauh dari yang disebut heroik. Sebab, sementara banyak orang berkirim surat kepada calon presiden, aku malah berkirim surat kepadamu.

Sekali lagi aku minta maaf, sebab masih menyebutmu kekasih. Padahal sudah sepuluh tahun lewat kita tak bertemu dan saling bertegur sapa. Sampai kapan pun, engkau adalah kekasih jiwaku, kendati sampai mati kita tak akan dipertemukan kembali.

Apa kabarmu? Moga-moga kau baik-baik saja.

Jujur kuakui, aku rindu padamu. Lebih dari itu, aku juga ingin bercerita banyak mengenai apa saja yang kujumpai belakangan ini. Sekedar untuk mengurangi beban, sebelum aku gila oleh peristiwa demi persitiwa yang tak masuk akal yang bisa merusak pikiran dan nuraniku.

Tentu kau tahu, Pilpres kali ini nyaris seperti perang Baratayudha. Sebab yang maju cuma dua kandidat, seperti halnya keluarga Pandawa dan Kurawa. Cuma anehnya, para tim sukses masing-masing kandidat merasa keduanya adalah keluarga Pandawa alias keluarga baik-baik. Lebih aneh lagi, jika mereka mengaku dari golongan orang-orang baik, mengapa situasi sekarang sedemikian genting justru oleh ulah kedua kubu itu yang saling melempar isu.

Kubu yang satu menuduh kubu lainnya sebagai PKI, kurang taat beragama, capres boneka, antek asing. Sementara kubuh yang dituduh lantas membalas, bahwa kubu yang menuduh adalah seorang penculik, pelanggar berat HAM, perpanjangan rezim Orde Baru, dan temperamental.

Untunglah pada hari pemilihan berlangsung dengan aman. Kedua kandidat berterimakasih kepada masyarakat dan juga kepada Presiden SBY yang sudah dengan baik menyelenggarakan Pilpres.  

Tapi lihatlah, wahai kekasihku. Rupanya konflik belum usai meski proses pencoblosan sudah berakhir. Beberapa jam setelah coblosan berakhir, kubu Jokowi mendeklarasikan kemenangannya berdasarkan penghitungan cepat hasil survei 7 lembaga survei yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum.

Aku hanya menduga, barangkali kubu Jokowi hanya menjalankan tradisi yang telah berlangsung, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Bahwa mereka yang memenangi quick count dari lembaga-lembaga yang kredibel sudah sewajarnya mengumumkan kemenangannya di hadapan publik.

Tapi apa yang terjadi? Kubu Prabowo juga mengumumkan kemenangannya, juga berdasarkan hasil penghitungan cepat empat lembaga survei versi mereka.

Prabowo menyebut semua quick count yang tidak mengunggulkan dirinya adalah bayaran dan komersil tanpa mempertimbangkan soal rekam jejak lembaga-lembaga itu. Sementara pendukung Jokowi meuduh "lantas bagaimana dengan Ines, IRC, JSN, Puskaptis, LSN, memangnya merewka bukan bayaran? Tidak komersil? Bagaimana dengan rekam jejak lima lembaga survei tersebut?

Kita pun kemudian merasai, betapa bangsa ini terbelah menjadi dua. Golongan pertama adalah mereka yang percaya Prabowo-Hatta pemenangnya. Sedang golongan kedua, meyakini Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai juaranya. Perpecahan bangsa rasanya sudah di depan mata. Sebab, media yang seharusnya berdiri di atas semua golongan, hari itu juga terpecah menjadi dua. Kandidat nomor urut satu didukung oleh TVOne, ANTV, RCTI, MNC, dan Global TV. Sementara kandidat nomor dua didukung oleh Metro TV. Sementara stasiun televisi lainnya di luar dua kelompok media itu, menayangkan quick count yang memenangkan Jokowi dan JK.

Malamnya, kedua kandidat sowan kepada Presiden SBY di Cikeas. Pesan Presiden sama untuk keduanya, agar keduanya mengendalikan massa pendukung masing-masing agar tidak terjadi benturan. Keduanya pun mematuhi hari itu dengan tidak mengerahkan massa turun ke jalan.

Tapi pada Jumat (11/7) atas nama Rakyat Palestina yang dianiaya Israel, pendukung Prabowo berhimpun di bunderan Hotel Indonesia. Di tempat itu, Prabowo sudah disebut "presiden" oleh pendukungnya. Sementara pada hari yang sama, para relawan Jokowi berkumpul di Tugu Proklamasi pada Jumat (11/7/2014) juga untuk mendoakan warga Palestina.


Hmmm... lucu ya? Kadang kita menyaksikan kebengisan mereka, tapi di saat yang lain, kita juga menyaksikan betapa manisnya mereka. Kadang kita sampai bergidik membaca dan mendengar fitnah keji mereka atas kelompok lainnya, tapi di lain waktu mereka bagai malaikat yang penuh welas asih dengan mendoakan sesama yang sedang teraniaya.

Yani kekasihku, aku gemetar oleh cuaca pancaroba. Angin dingin menusuk kulitku. Semoga ini bukan pertanda buruk bagi bangsa ini. Semoga ini hanya fenomena alam belaka yang disebabkan oleh angin yang datang dari Timur Tenggara yang cenderung teduh dan menghasilkan suhu dingin.

Aku khawatir, kekasihku. Apalagi belakangan santer beredar pesan-pesan gelap yang seolah-olah bakal terjadi "perang badar" seperti yang diisyaratkan oleh Amien Rais beberapa waktu silam.

Sungguh kekasihku, aku menulis surat ini semata karena aku rindu kepadamu, bukan karena urusan yang lain. Bukan juga ikut-ikutan Arswendo Atmowiloto, Romo Magnis, Mira Lesmana, Happy Salma, Nina Tamam, dan Riri Riza, serta yang lainnya, yang mengirim surat ke Prabowo untuk mempertanyakan kredibilitas hasil penghitungan cepat empat lembaga survei yang menempatkan Prabowo-Hatta sebagai pemenang Pilpres 2014.

Yani kekasihku, sambil menunggu pengumuman KPU pada 22 Juli nanti, marilah kita terus berdoa dan berharap, semoga Tuhan Semesta Alam menjauhkan bangsa kita dari marabahaya dan perpecahan. Semoga mereka yang sedang dibutakan oleh kekuasan, segera diterangi akal dan hatinya. Semoga mereka yang sedang "bermusuhan" segera diakurkan. Mereka yang sedang dikuasai oleh amarah, segera diterbitkan senyumnya.

Sekian surat dariku yang selalu rindu, kepadamu.

Don

@JodhiY

Minggu, 13 Juli 2014

Muhammadiyah Itu NU! Dokumen Fiqih yang Terlupakan



Senin, 30/06/2014 14:02


‘Tembok Berlin’ yang selama ini memisahkan Muhammadiyah dan NU membuat jarak yang cukup lebar. Tembok ini sejatinya bukanlah masalah yang besar, hanya saja tembok yang dimaksud adalah khilafiyyah pada masalah  furu’ yang sering menjadi kambing hitam persoalan dalam masyarakat muslim Indonesia. Sehingga pada kondisi-kondisi tentu kedua ormas tersebut nampak sulit untuk mencapai kata bersatu.

Ratusan juta orang yang bernaung dalam ormas Muhammadiyah dan NU barangkali bakal berubah dan tergugah seiring diterbitkannya buku “Muhammadiyah itu NU: Dokumen Fiqih yang Terlupakan”. Buku yang ditulis oleh Mochammad Ali Shodiqin ini benar-benar suara dari dalam Muhammadiyah sendiri, bukan intervensi atau kepentingan dari pihak-pihak tertentu.

Bahwa pada dasarnya, dulu Muhammadiyah itu sama persis dengan NU, demikian pula sebaliknya. Namun berita besar ini menyimpan dilema, sebab jika disampaikan akan menurunkan hujah fitnah yang dapat menyuburkan benalu perongrong ukhuwah. Kalau tidak disampaikan, seolah menggelapkan kebenaran yang sepatutnya didakwahkan kepada yang berhak. Jadi dilema ini bagaikan makan buah simalakama (hlm. 2).

Bermula ketika penulis mendapatkan kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 dari tokoh Muhammadiyah di Yogyakarta. kemudian ia merasa terpanggil untuk menyampaikan sejarah tersebut, lalu  berinisiatif untuk menerbitkannya menjadi sebuah buku.

Kitab Muhammadiyah 1924, yang aslinya ditulis dengan bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Bahasa Jawa memang tak bisa dihindari kalau membahas periode awal Muhammadiyah di pusat kebudayaan Jawa, yaitu Kesultanan Yogyakarta (hlm. vii).

Kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 yang dikarang dan diterbitkan oleh Bagian Taman Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1924 sesungguhnya bukan hanya warisan berharga kaum Muhammadiyah saja, melainkan juga bagi NU. Kitab itu juga kitabnya NU. Isinya sama dengan kitab-kitab pesantren yang banyak diajarkan dalam dunia NU (hlm. 12). Masalahya hanyalah satu hal, bahwa di tahun 1924 itu, NU belum lahir, karena NU lahir tahun 1926. Dua tahun setelah kitab itu terbit. Dan hingga hari ini, isi ajaran fiqih yang diajarkan kitab itu masih terpelihara sebagai amalan orang NU. Amalan itu pula yang telah turun-temurun sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu di perairan Nusantara ini, yaitu fiqih mazhab Syafi’i. Jadi walaupun NU belum lahir, namun ulama-ulama pesantren yang kemudian mendirikan NU itu tiap harinya mengamalkan ajaran fiqih, sebagaimana yang ada di dalam kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 (hlm. 13).

Muhammadiyah adalah gerakan dakwah, yaitu menyampaikan ajaran Islam yang sudah ada kala itu di Kesultanan Yogyakarta yang menganut mazhab Syafi’i, bukan berdakwah dengan mengarang ajarannya sendiri dari mulai nol. Pertanyaan mengapa bisa demikian? Dalam buku ini dijelaskan bahwa setelah meninggalnya Kiai Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammmadiyah pada tahun 1912, generasi Muhammadiyah pada beberapa masa selanjutnya tercampur dengan paham Wahabi imbas dari kebijakan-kebijakan pemerintahan Ibnu Saud di negeri Arab pada saat itu. Untuk itu, pada tahun 1926 NU lahir untuk merespon pemerintahan yang membawa paham Wahabi tersebut.

Metamorfosis Muhammadiyah setidaknya dapat dibagi menjadi empat masa, yaitu Masa Syafi’i tahun 1912-1925; masa pembauran Syafi’i-Wahabi tahun 1925-1967; masa Himpunan Putusan Tarjih (HPT) tahun 1967-1995; dan masa pembauran HPT-Globalisasi tahun 1995 hingga kini (hlm. 16).

Penerbitan HPT cetakan ke-1 dilakukan oleh Kiai Badawi tahun 1967. Penerbitan HPT ini sekaligus memulai babak baru sejarah (tarikh tasyri’) fiqih Muhammadiyah yaitu pada masa Himpunan Putusan Tarjih. Hingga cetakan ke-4, yakni pada tahun 1974 di dalamnya memuat 9 buah putusan Muktamar Tarjih 1972 di Pekalongan yang memuat salah satunya adalah penghapusan qunut (hlm. 82). Tidak dimuatnya qunut ini dimaksudkan untuk menghilangkan keraguan, sekaligus untuk perbaikan menurut putusan Muktamar Tarjih tahun 1972. Dengan demikian, seiring hilangnya keraguan dan adanya keyakinan umat serta kebiasaan shalat subuh tanpa qunut maka terhapus pula sejarah bahwa di masa lalu Muhammadiyah pernah melaksanakan qunut sebagaimana qunut-nya umat Islam lain (hlm. 119).

Masih banyak lagi hasil Himpunan Putusan Tarjih, di antaranya masalah menyentuh lawan jenis, niat membaca “ushalli”, shalawat tanpa Sayyidina, mengacungkan jari saat duduk tahiyat, zikir setelah salam, azan Jum’at satu kali, shalat ‘Id di lapangan, dan lain-lain.

Sementara itu, isi kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 memuat bab-bab ubudiyah, misalnya Bab Bersuci yang rinciannya meliputi persoalan air, najis, dan tata cara penyuciannya. Bab shalat yan cakupannya meliputi waktu shalat, rukun, sunnah, pembatalan. Bab Jama’ah yang membahas makruhnya jamaah, dan bab-babnya lainnya.

Guna menghadirkan cita rasa sejarah asli masa kiai Dahlan itu, bagi pembaca luar Jawa dan juga generasi Jawa masa kini yang sudah tidak nyambung dengan Jawanya. Maka buku ini disuguhkan dengan tidak  menghilangkan bahasa Jawa, melatinkan teks Arabnya, kemudian mengindonesiakannya. Jadi komposisi bahasa Jawa sekitar 20 persen, dan bukti keaslian ajaran Kiai Dahlan yang bertutur bahasa Jawa dalam kesehariannya.

Yang jelas, buku ini tujuannya bukan untuk menyalahkan satu sama lain. Namun untuk memadamkan api yang selama ini membakar jarak antara Muhammadiyah dan NU. Harapannya masing-masing dapat memahami perbedaan untuk melahirkan persatuan yang lebih erat bagi Indonesia.Judul : Muhammadiyah Itu NU! Dokumen Fiqih yang Terlupakan

Penulis : Mochammad Ali Shodiqin
Penerbit : Noura Books (PT. Mizan Publika)
Cetakan : I, Februari 2014
Tebal : xxii + 310 halaman
ISBN : 978-602-1306-01-1
Peresensi : Muhammad Zidni Nafi’, alumni Ma’had Qudsiyyah Kudus, Ketua CSS MORA (Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs) UIN SGD Bandung 2013-2014.
http://www.nu.or.id/

Jokowi di Mata Kiai Lokal



Senin, 30/06/2014 08:01
Oleh Irfan Nuruddin



Berawal dari seringnya mendapat pertanyaan dari teman-teman alumni Pondok  Langitan, perihal sosok Jokowi,  bagaimana keislamannya dan kiprah dia sewaktu menjadi Wali Kota Solo. Pertanyaan tersebut ada mungkin karena seringnya kampanye hitam yang mereka terima, baik melalui SMS, transkrip pembicaraan, media cetak maupun di sosial media.
Awalnya saya jawab, “Menurutku, sepengetahuanku….” Tapi jawaban seperti itu, bagiku sendiri juga tidak afdhol, kurang begitu shohih, tsiqoh, aku iki lho sopo (saya bukan siapa-siapa)?
Kemudian saya berinisiatif untuk mendapatkan info tentang Jokowi dari sumber yang tsiqoh, yang tahu dan kenal dekat dengan Jokowi, dan yang aku tahu adalah KH. Abdul Kareem, seorang hafidzul Qur’an dan juga Pengasuh Pondok Pesantren Az-Zayyady, Laweyan, Solo. Untuk masyarakat Solo dan sekitarnya pasti tahu siapa beliau. Beliau juga sahabat sekaligus mentor Jokowi.
“Pak, keislaman Jokowi niku pripun (bagaimana sebenarnya keislaman Jokowi)?” tanyaku langsung ke masalah. Siang itu, Ahad  22 Juni di ndalem beliau, Tegal Ayu, Laweyan, Solo.
 “Islam-imanipun Jokowi miturut kulo sae, saestu sae (baik, benar-benar baik). Saya kenal Jokowi jauh sebelum dia menjadi walikota, ketika dia menjadi ketua Asmindo, Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia, dia punya perusahaan mebel namanya ‘Rakabu’. Dia aktif mengikuti pengajian-pengajian saya. Dan dikemudian hari membentuk majlis pengajian Pengusaha Islam Muda yang namanya Bening Ati, pengasuhnya kulo kiyambak (saya sendiri), Pak Yai Nahar, (Pengasuh PP Ta’mirul Islam waktu itu) dan juga PakYai Rozaq, (Pengasuh PP Al Muayyad).
Tapi beberapa tahun majelis pengajian berlangsung, kemudian goyah, karena beberapa anggotanya sama mencalonkan dirimenjadi Wali Kota, Pak Jokowi sendiri, Pak Purnomo, (sekarang menjadi Wakil WaliKota Solo) dan Pak Hardono. Lah kulo ‘kebagian’ mendukung Pak Jokowi, dan pada saat itulah saya tahu betul bagaimana Pak Jokowi, sebab renteng-renteng bareng kemana-mana, puasa Senin-Kemisnya tidak pernah ketinggalan, tahajudnya juga luar biasa, sama sekali tidak pernah tinggal Jum’atan, apalagi cuma sholat lima waktu yang memang dah kewajiban. Keluarga Jokowi juga Islamnya taat, adik-adiknya putri semua berjilbab itu juga sejak dulu, dan juga diambil mantu oleh orang-orang  yang Islamnya baik semua, Jenengan ngertos kiyambak tho Gus?” jawab beliau lugas.
  “Tapi kulo gih tidak habis pikir, kenapa orang yang jelas-jelas keislamannya kok diisukan kafir, keturunan nasrani, cina dan lain-lain, hanya karena perbedaan politik, tur itu yang mengisukan yo wong islam dewe… Kulo ape meneng wae opo yo trimo, opo yo pantes, dulur Islam dikafir-kafirke kok meneng ora mbelani, opo yo pantes…” ucap beliau dengan berusaha keras menahan air mata sehingga mata beliau memerah. Suara beliau sengau menahan isak.
Melihat pemandangan seperti itu, hatiku rasanya ngilu, seperti diremas-remas oleh kekuatan dunia lain, betapa ringannya orang mempolitisasi agama untuk kekuasaan, aku terdiam lama, untuk meneruskan pertanyaan rasanya tidak mampu.Terbawa suasana yang tiba-tiba mengiris-ngiris kalbu.
 “Ya memang Pak Jokowi bukanlah santri ndeles kados Jenengan Gus, bacaannya tidak sebagus santri-santri Muayyad, tapi opo terus kekurangan seperti itu menjadikan dia pantas dicap abangan, gak ngerti agomo…apalagi kafir?” Dengan menahan isak pertanyaan tersebut terucap.
Memang isu Jokowi sebagai orang abangan atau kejawen itu dimunculkan sejak Jokowi mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta dua tahun lalu, dan setahuku Jokowi waktu itu sama sekali tidak menggubris isu-isu tersebut. Dan rupanya isu-isu tersebut dimunculkan lagi saat pilpres ini dan lebih masih dan dasyhat, sehingga pada waktu  Jokowi sowan ke Pak Dul Kareem (begitu aku biasa menyebut KH Abdul Kareem Ahmad), 6 Juni lalu, JOKOWI madul, “Kulo kiyambak Gus Kareem, bisa menahan diri difitnah-fitnah seperti itu, tetapi menawi kalau itu ibu saya, ibu saya difitnah kafir, nasrani,… kulo sing mboten saget nrimo (tidak apa saya difitnah, tapi kalau ibu saya yang difitnah kafir, nasrani, saya tidak terima),” kata Jokowi ditrukan Pak Dul Kareem. Lah dalah, aku merinding mendengar cerita tersebut.
Mungkin juga, Jokowi dianggap orang abangan karena dia diusung oleh PDIP yang identik dengan abang-abang, padahal PDIP Solo, sangat agamis, punya masjid sendiri di depan Kantor PDIP di Brengosan, dan masjidnya makmur, setiap minggu ada kegiatan semaan Al Qur’an bil ghoib dan pengajian rutin. Tur juga, partai yang terkuat di Solo adalah PDIP, partai-partai lain yang berbasis Islam seperti PPP, dan PKB sama sekali gak ada baunya, kecuali PAN dan PKS-mambu-mambu sitik (partai Islam di Solo tidak terlalu kuat).
Sebetulnya obrolan tersebut sangat panjang dan beragam masalah yang didawuhkan oleh Pak Dul Kareem, tapi karena terbatasnya halaman, aku singkat semua obrolan tersebut dengan sebuah pertanyaan, “Bagaimana kepemimpinan Jokowi selama menjadi wali kota Solo, ketegasannya dan juga kebijakannya, terutamapada umat Islam?”
 “Kebijakkan Pak Jokowi selama di Solo, sama sekali tidak ada yang merugikan umat Islam, kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan masalah agama selalu dikonsultasikan dulu pada ulama Solo, terutamanya pada Kyai Durrohim, Mustasyar NU waktu itu. Dan kebijakan Pak Jokowi itu bersifat Islam subtantif Gus, tur yo merakyat tenan, umat Islam di Solo itu kan mayoritas dan juga kalangan bawah, jadi  Pak Jokowi untuk mengangkat ekonomi rakyat kecil dengan menbangun banyak pasar-pasar tradisional, minimarket tidak boleh buka 24 jam, tidak mengizinkan mall-mall ada lagi,jarene Pak Jokowi, kalo umat Islam sejahtera maka masjid dengan sendirinya akan dipenuhi jama’ah, gitu Gus,” jelas Pak Dul Kareem padaku.
Memang yang kudengar selama ini ya begitu itu, bahkan Jokowi berani menentang kebijakan Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Tengah yang mengizinkan  dibangunnya mall di Sari Petojo, sebab memang tanah Sari Petojo adalah milik propinsi, dan berhubung itu berada di daerah Solo, pembangunan tersebut tidak diizinkan oleh Jokowi, karena tidak berpihak pada ekonomi rakyat kecil di sekitarnya.
 “Contoh lain, lokalisasi Shilir yang ada di Semanggi setahun menjadi Wali Kota, ditutup oleh Pak Jokowi, dan kemudian dibangun sebuah pasar untukmenghidupkan perekonomian warga sekitar. Dan yang mengisi pasar tersebut adalah para pedagang loak yang di Banjarsari, di sana itu ada sebuah monument yang menjadi cagar budaya, kumuh dan kotor karena di tempati oleh PKL-PKL yang tidak teratur. Dan cara memindahkannya pun, Masya Alloh, sangat manusiawi, nguwongke uwong tenan, perwakilan PKL di undang makan di Lodji Gandrung sampai puluhan kali kalau tidak  salah untuk berdiplomasi dengan para pedagang, dan ketika para pedagang menerima dipindah, mindahnya pun tidak dengan kekerasan, dipawaikan… dikirab dengan marak… podo ditumpakke  jaran, seneng tenan… podo diuwongke mbek Wali Kotane… (proses pemindahan tidak dengan kekerasan, semua pihak merasa dihargai),”  cerita PakDul Kareem panjang lebar.
Aku membayangkan kemeriahan tersebut dan kegembiraan warganya yang merasa dimanusiakan oleh pemimpinnya. Selama sebelum Jokowi, Solo kumuh dan semrawut, dan  sekarang terlihat lebih hijau dan rapi, meskipun tidak semuanya, tapi itu jauh lebih baik dari pada masa-masa sebelum Wali Kota Jokowi. Dan ketika Shilir di tutup, Habib Syekh yang memang tinggal di Semanggi mendirikan majelis “Shilir Berdzikir” yang menjadi cikal bakal Ahbabul Musthofa saat ini.
Solo saat ini jadi lebih hijau dhohiron wa bathinan, peringatan hari besar Islam juga lebih semarak, ada Parade Hadrah setiap Rajab, Festival Sholawat, kegiatan dzikir tahlil dan barzanji semakin marak, ada setiap saat, tidak hanya di masjid-masjid tapi juga di hotel-hotel mewah. Itu semua sebab kebijakan-kebijakan Jokowi dalam membangun Solo sebagai Kota Sholawat dan juga Spirit of Java. Sholawat Barzanji yang awalnya sesuatu yang jarang, karena NU di Solo adalah minoritas, sekarang menjadi hal yang seakan harus hadir dalam setiap moment, iya, sejak Jokowi menjadikan Majelis Dzikir dan Sholawatan sebagai tamu rutin di Balai Kota setiap Rabiul Awwal. Tidak hanya itu, di Rumah Dinas beliau, Lodji Gandrung dijadikan tempat rutin taraweh ala Masjidil Haram, 23 rakaat beserta witir dan mengkhatamkan Al Qur’an.
 “Ketika Jamuro pertama kali diundang di Balai Kota, Pak Jokowi memberi kenang-kenangan, dalam bungkusan yang sangat tebal, kulo ngiro niku isinya arto Gus, tapi jebule stiker (saya kira isinya uang, tapi sertanya isinya stiker) bertuliskan, “Jamuro, dengan Bershalawat Kita Semua Selamat Dunia Akhirat.”
Aku tertawa mendengar cerita tersebut, sebab kenang-kenangan tumpukan 5000 stiker sebesar uang kertas, dibungkus dengan rapi kertas coklat, yang dibuka di depan umum, bisa menjadikan orang menyangka itu adalah uang puluhan juta. Jebule cuma stiker.
Jamuro, singkatan dari Jam’ah Muji Rosul, awalnya hanya majlis dzikir tahlil dan pembacaan Barjanji yang menjadi rutinan segelintir jamaah, tapi sekarang jama’ahnya puluhan ribu dari Solo dan sekitarnya. Dan Pak Jokowi adalah salah satu pembinanya.
 “Lah ndilalah, Pak Jokowi satu tahun jadi wali kota, kulo kebetulan dados ketua PCNU Solo, jadi gih saget bersinergi dengan Pak Wali, dan Pak Jokowilah yang mengusulkan dan yang ngobrak-ngobrakki agar di bentuk Ranting NU di seluruh Solo, ada 51 Ranting, dan ini baru pertama kalinya PCNU Solo punya ranting, itu berkat Pak Jokowi dan Pak Jokowi juga yang membuatkan 51 papan nama untuk ranting NU tersebut,” cerita Pak Dul Kareem dengan antusias.
 “Di antara juga, shalat Idul Fitri bisa terlaksana di Balai Kota, itu juga kebijakan Pak Jokowi dan Pak Jokowi sendiri yang menutupi dua arca yang di depan balai kota itu, pakai kain mori, ditutup sendiri, padahal untuk hal seperti itu, nyuruh ajudan kan bisa.” Saya jadi teringat ketika Jokowi ngangkati gong yang mau ditabuh oleh SBY, entah dalam pembukaan apa itu, aku lupa.
 Hal-hal seperti itu tentu tidak pernah kita dengar dari mulut Jokowi sendiri, yang kita dengar hanyalah pembelaan, “Saya Islam, dan saya meyakini kebenaran Islam saya.” Dan pembelaan diri Jokowi bahwa dirinya dari keluarga muslim yang baik,  yang juga telah melakukan rukun Islam kelima, itu juga baru kita dengar setelah begitu gencarnya fitnah yang meragukan keislaman dia selama Pilpres 2014 ini. Selama Pilkada Jakarta, dua tahun lalu, JOKOWI membiarkan fitnah-fitnah itu bagai angin lalu, Islamku yo Islamku, lapo dipamer-pamerke… mungkin seperti itu pikirnya.  Padahal sekarang yang lagi naik daun adalah  “Akulah yang paling Islam, Akulah yang paling benar” yang lain KW.
Pak Kiai Dul Kareem, memang tidak semasyhur poro masyayih maupun poro mursyid, tapi beliau adalah orang yang ikhlas, dan juga salah satu tokoh yang nasehatnya di dengar Jokowi. Dan Jokowi pun tidak pernah menarik Pak Dul Kareem dalam ranah politik dia.
“Gus Kareem, saya minta dikawal sampai saya selesai, tapi Panjenengan hanya bisa menasehati kulo atau memberi usul, tidak bisa merubah kebijakan saya dalam hal pemerintahan. Kalo dalam hal wudhu, atau sholat, atau ibadah kulo yang salah, kulo menawi mboten nurut Jenengan, kulo monggo Jenengan sampluk. (Kalau dala urusan wudhu dan shalat saya salah, tolong saya diluruskan), itu perkataan Jokowi sendiri ketika dia menjadi Wali Kota Solo, begitu itu sosok Pak Jokowi Gus, tegas, semua bawahannya pasti tahu itu.” Akhir cerita PakDul Kareem, allohu yarham.
Terlepas dari penuturan di atas, Jokowi juga mempunyai banyak kekurangan, dalam pemerintahannya maupun perilaku. Dan itu kalau ditulis bisa jauh berlampir-lampir, beredisi-edisi, sebab mengurai kekurangan orang lain tidak akan habisnya. Ia hanyalah manusia biasa. Tapi aku hanya mengfokuskan diri menjawab pertanyaan teman-temanku selama ini.
Wallohu a’lam bisshowab.
Irfan Nuruddin, santri Pondok Pesantren Langitan, Khodimul ma’had Al Muayyad, Mangkuyudan, Solo

http://www.nu.or.id/

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...