Selasa, 31 Januari 2017

MEMAHAMI TENTANG SAKRATUL MAUT

SAKRATULMAUT






◙ KETAKJUBAN TERHADAP SAKRATULMAUT

Yang dibahas dalam pasal ini adalah bagaimana memperoleh keselamatan tatkala sakratulmaut. Syarat apa yang di perlukan untuk menghadapi sakratulmaut? Ada empat syarat. Yaitu ikhlas, rela pada hukum Allah, merasa tidak memiliki, dan berserah diri pada kehendak Allah.

  1. IKHLAS / RELA [RIDHO]
Ikhlas dalam menghadapi sekarat itu ya menerima sekarat atas kemauan sendiri. Tanpa merasa terpaksa. Sadar bahwa sekarat itu di tetapkan oleh Tuhan untuk hamba-Nya. Jadi, sekarat bukan sesuatu yang harus di hindari. Tapi, juga bukan untuk di tantang. Yaitu mereka yang minta di matikan.
Kita memang harus rela terhadap Tuhan yang menguasai hidup kita. Sebelum manusia mampu memberdayakan fungsi jasmani dan rohaninya, Tuhan telah menempatkan berbagai organ yang kerjanya tidak kita kendalikan. Jantung, paru-paru, hati, limpa, usus, dan ginjal bekerja secara otomatis. Sistem peredaran darah, pernapasan, dan pembuangan bekerja di luar kendali kita. Jika pada mulanya manusia rela di atur di luar kesadarannya, maka pada akhirnya manusia juga harus rela di atur berdasarkan kesadarannya. Kerelaan sejati adalah kerelaan yang tumbuh dari dalam. Dari kesadaran sendiri. Bukan karena bujuk rayu dari siapa pun. Atau, dari mana pun datangnya. Betul-betul kerelaan yang tumbuh dari keyakinan. Ikhlas atau rela sebenarnya merupakan pekerjaan hati yang paling pokok.
Mengenai kerelaan dalam mengahadapi kematian ini, telah di jelaskan dalam kitabul mukmin (Layang Mu’min), sebagai berikut :
“ SEKARAT TANANA NYAMUR, JA MELU YEN SIRA WEDI, LAN JA MẼLU- MẼLU ALLAH, IKU ARAN SAKARATIL RUH ILAPI MATI TANANA URIP MATI MATI URIP”.
Artinya :
Penderitaan sekarat itu tidak ada. Jangan takut menghadapinya. Dan, jangan ikut-ikutan takut bertemu Allah. Perasaan takut itulah yang disebut sekarat. Roh Ilafi tidak terkena kematian. Hidup mati, mati hidup.
Dipertegas dalam Q.S. Fushilat : 30 :
SESUNGGUHNYA ORANG-ORANG YANG MENYATAKAN [RABB KAMI ADALAH ALLAH], DAN MEREKA MENEGUHKAN PENDIRIAN MEREKA; MAKA MALAIKAT MENDATANGI DAN BERKATA “JANGANLAH KAMU MERASA TAKUT DAN SEDIH, DAN KAMU DI GEMBIRAKAN DENGAN KABAR BAHWA KALIAN MENDAPAT TAMAN YANG DI JANJIKAN”.
Ada dasarnya bahwa dalam menghadapi sakratulmaut, seseorang tak boleh khawatir. Tak boleh takut. Tak boleh bersedih hati. Asal jiwa ini tetap teguh pendirian dalam menjungjung kebenaran, taman yang luas terbentang dihadapannya. Mengapa mesti takut? Malaikat-malaikat yang disebut dalam Al-qur’an akan memberikan perlindungan. Atau, saudara empat (sedulur papat) yang ghaib, akan turut serta menjaga Sang Diri dalam melanjutkan perjalanannya. Bahkan dalam ayat berikutnya, Yaitu ayat 31, disebutkan bahwa para malaikat itu menyatakan sebagai pelindung-pelindung orang yang mantap dalam keimanannya, di dunia dan di akhirat.


  1. RELA PADA HUKUM ALLAH
Banyak orang Islam yang menyempitkan makna “hukum Allah”. Hanya di mengerti sebagai syariat. Atau, sebatas hukum agama. Dalam menyambut sakratulmaut, hukum Allah itu ya kodrat. Ketetapan Allah yang digelar di alam raya ini. Manusia tumbuh dari bayi menjadi orang tua, itu salah satu hukum Allah. Karena itu, tidak usah membaca kitab untuk bisa mengetahui hukum Allah.
Kita akan mengetahui hukum Allah. Perhatikanlah hukum Allah pada manusia. Ada yang menjadi perempuan. Laki-laki. Yang perempuan mempunyai rahim untuk melahirkan. Kulitnya lebih halus daripada laki-laki. Yang laki-laki bisa berkumis, atau berjanggut. Secara normal, badannya lebih kekar. Dan, salah satu dari sekian banyaknya hukum Allah itu, antara lain “Kematian”. Tanpa sekolah pun orang mengetahui bahwa orang hidup akan mengalami kematian. Tanpa baca kitab suci pun, akan tahu bahwa setiap manusia merasakan kematian. Dan, kematian pun tidak selalu datang pada usia senja. Ada yang mati ketika masih janin. Mati setelah dilahirkan. Mati semasa bayi. Mati semasa kanak-kanak. Remaja. Pemuda. Dewasa. Tua renta. Sebabnya pun beraneka. Ada yang karena sakit. Karena kecelakaan. Terbunuh. Atau, karena usia tua. Kapan datangnya, atau apa sebabnya, tidak perlu mengetahui kita. Karena itu semua berjalan berdasarkan hukum Allah. Tuhan mengatur dan menentukan semuanya ini berdasarkan sifat kasihNya. Namun, sifat dunia ini fana. Tidak tetap. Lenyap. Apa yang ada ‘saat ini’, sesaat kemudian sudah tiada. Kefanaan inilah sebenarnya yang menghantui manusia. Yang membuat derita pada kehidupan ini.
  1. MERASA TIDAK MEMILIKI APA-APA (LAHAWLA)
Ya, ini yang seharusnya harus kita lenyapkan. Yaitu merasa diri punya segalanya, merasa kaya, merasa berkuasa, merasa memiliki rumah, tanah, mobil, gedung bertingkat dsb. Pengakuan terhadap sesuatu yang tidak dimiliki inilah yang menyebabkan aneka penderitaan dan kesedihan pada manusia. Kenyataannya, kita tidak memiliki apa-apa. Hakikatnya semua ini kepunyaan Allah. Karena itu, manusia tidak membawa dunia ini kea lam kematian. Apa yang telah diperoleh dalam hidup ini hendaknya tidak di akui sebagai milik. Semua pencapaian itu hanyalah anugerah Ilahi. Sesuatu yang di karuniakan oleh Pemilik sejatinya kepada manusia. Sesuatu yang dipercayakan kepada manusia, agar dijaga dan dipeliharanya. Negara pun bukan kepunyaan kita. Bukan kepunyaan para raja. Tetapi, itu semua hanyalah anugerah Tuhan. Dunia atau bagian dunia ini bukan kepunyaan kita. Karena itu, kita harus merasa tidak memiliki apa-apa. Dengan cara ini, tak ada kekecewaan dalam hati kita. Tak ada penderitaan yang menimpa kita. Tak ada kesedihan yang menerpa kita. Dan, hidup akan tenang hingga ajal menjemput kita, dan sesudahnya. Karena kita merasa tidak memiliki. Tetapi, milik-Nya.

  1. BERSERAH DIRI KEPADA KEHENDAK ALLAH
Kematian itu sendiri hukum Allah. Tapi, bentuk kematian merupakan Kehendak Allah. Dalam hidup ini ada kehendak manusia. Juga ada Kehendak Allah. Kehendak manusia ya kehendak yang bisa di lakukan oleh manusia. Sedangkan Kehendak Tuhan adalah kehendak yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Agar perjalanan hidup ini bisa mencapai titik kesempurnaan, maka “kehendak” harus diperjuangkan untuk bisa bertemu “Kehendak”. Sehingga manunggal! Menjadi satu. Bukan dua kehendak, tapi hanya ada satu kehendak.
Dengan memahami Kehendak Allah, kita tidak ragu-ragu dalam menjalani hidup ini. Kita mantap dalam hidup ini. Bila amanat Tuhan selalu kita jaga. Maka, tak perlu ada yang dikhawatirkan bila sewaktu-waktu di ambil-Nya kembali. Termasuk nyawa kita. Bukankah hidup dan mati kita ini kepunyaan-Nya? Hakikatnya, Tuhan lah yang berkehendak adanya hidup dan mati ini. Allah menjadikan mati dan hidup. Dengan cara itu, Allah mendidik dan melatih manusia untuk menyempurnakan dirinya. Dengan cara mematikan dan menghidupkan, Allah menguji manusia. Agar manusia dapat meraih tempat yang layak bagi dirinya. Yaitu kembali kepada-Nya. Ilayhi rẫji’un.Manunggal dengan-Nya.




☼ MELEWATI PINTU KEMATIAN

Tepat melewati pintu maut. Maka, seseorang harus yakin bahwa dirinya ada di Pangkuan Tuhan Yang Maha Pengasih. Pada saat itu, pujian dihadirkan, diungkapkan atau dinyatakan dalam batin. Adapun pujian itu dalam bahasa para Wali sebagai berikut :
ALHAMDU LILLAHI RABBIL ẪLAMIN.
SI ENING MANJING SARIRA ENING, TETEPA JUMENENG ANGEUN-ANGEUN, TANSAH MURBA WIŚESANING ALLAH TA’ALA”.
Artinya :
Segala puji kepunyaan Allah Tuhan Semesta Alam.
Yang hening masuk ke dalam badan yang hening, semoga tetap menjadi “angeun-angeun”, senantiasa berada dalam kekuasaan Allah Yang Maha Tinggi.

Hening atau wening sebenarnya sebuah pencapaian dalam zikir. Tahap khusyuk. Sehingga pikiran benar-benar menjadi bening, jernih. Tak ada suatu noda pun yang melekat dalam kondisi jernih. Bagi yang pernah mengalami kondisi ini, akan mengerti apa yang dinamakan pikiran yang terang sekali. Dalam kondisi hening tak ada beban sedikit pun.
Nah, pada saat sekarat itu tiba. Pada saat heningnya kematian itu datang. Maka, dipujilah Tuhan dengan pernyataan “Yang hening masuk kedalam badan yang hening”. Sebenarnya, keheningan itu sendiri merupakan Sifatullah (Sifat Tuhan).
Kalimat berikutnya, “semoga tetap menjadi angen-angen”. Kata “angen-angen” disitu bermakna keyakinan dan pengamalannya. Tentang kebenaran yang dipegangnya. Jadi, yang dimaksud dengan kalimat tersebut adalah agar kita tetap teguh pendirian dalam iman tauhid, tidak berubah oleh keadaan yang kita hadapi.
Penutup pujiannya adalah “semoga senantiasa berada dalam kekuasaan Allah Yang Maha Tinggi”. Inilah keyakinan iman tauhid di akhir hayat. Kita sadari bahwa Ada kenyataan yang paling tinggi, paling besar, paling agung, dan paling berkuasa di jagat raya ini. Dan, ketika seseorang melewati pintu kematian maka pada saat itu pula lahir pengakuan asli bahwa dirinya itu nihil. Nol! Keberadaan dirinya ada di dalam kekuasaan Tuhan Yang Mahatinggi.
Hakikat manusia adalah pendakian spiritual. Perjalanan “Diri Sejati”! bagaikan korpus (paket) cahaya yang terpancar dari sumber Asal. Yaa, sumber Asal itu adalah Tuhan Yang Maha Esa! Inna Li Allah. Kita kepunyaan Allah. Kita berasal dari Allah. Kita ini memang melakukan perjalanan. Mulainya dari Allah dan akihirnya pun kembali kepada-Nya.

Adapun Pintu atau Pase Alam yang akan di laluinya setelah sakratulmaut adalah sebagai berikut :

  1. ALAM RUHIYAH
Begitu sakratulmaut dilampaui, maka masuklah Sang Diri ke alam ruhiyahAlam nyawa. Suatu alam yang terang. Tetapi bukan terangnya siang hari. Dengan kata lain, terangnya itu bukan karena sinar matahari. Suatu terang yang tanpa panas. Dan, tidak tahu sumber terangnya itu.
Di alam ruhiyah arah tidak diketahui lagi. Mengapa? Karena tidak ada patokan. Di alam syahadah [alam dunia] ini kita tahu timur, karena kita membuat patokan bahwa matahari terbit di timur. Sedangkan di alam ruhiyah itu yang namanya timur, barat, utara, dan selatan, tidak kita ketahui lagi. Jika kita melihat lautan, maka kita tidak bisa melihat tepinya atau pantai dari pulau lain. Ternyata, lautan tanpa tepi itu sebenarnya perwujudan dari “Hati” yang terkena pancaran otak. Unsure-unsur kimia otak memancarkan sinar yang tak tertangkap oleh mata. Tapi, pancarannya terlihat oleh mata hati.
Di tengah-tengah samudra tanpa tepi itu, memancarlah cahaya dari Pancamaya. Pancaran warna cahayanya terang. Yang merupakan perwujudan dari jantung yang mendapatkan pancaran cahaya dari Roh Ilafi. Cahayanya meliputi hakikat hati. Dan, menjadi sumber sifat-sifat mulia manusia. Yaitu, Mukasyafah. Disebut juga mukasifat, yang menuntun semua sifat mulia.
  1. ALAM SIRRIYAH
Setelah alam ruhiyah terlampaui, maka masuklah ke alam Sirriyahi. Suatu alam yang mempunyai 4 (empat) macam warna. Yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Semua itu merupakan perwujudan budi, yang menimbulkan nafsu.
    • CAHAYA HITAM
Memancar dari perut dan keluar melalui mulut. Dalam cahaya hitam ini muncul berbagai macam binatang yang masing-masing mendesak untuk mengakui dirinya sebagai Tuhan. Cahaya hitam ini jangan sampai menghanyutkan perjalanan spiritual dari jiwa setelah melewati kematian. Ingat pujian pada saat sakratulmaut. Iman tauhid tak boleh goyah. Begitu goyah dan terhanyut kekuatan cahaya hitam itu, maka Sang Diri akan menitis [terlahir kembali] di alam binatang. Jangan heran bila kita menyaksikan binatang, ada yang begitu dekat dengan manusia, dan ada yang ketakutan terhadap manusia.


    • CAHAYA MERAH
Memancar dari empedu dan keluar melalui telinga. Yang muncul dalam cahaya merah itu adalah berbagai jenis setan alas, makhluk halus yang jahat. Tampak seperti api raksasa yang menyala-nyala. Sama seperti pada makhluk pada cahaya hitam, mereka juga mengaku-ngaku sebagai Tuhan. Angen-angen yang tidak goyah, tak akan mau menerima desakan mereka. Jika sampai takluk, atau terbujuk, maka Sang Diri akan terlahir kembali ke dalam alam setan alas.
    • CAHAYA KUNING
Memancar dari limpa dan keluar melalui mata. Dalam cahaya kuning ini akan kelihatan berbagai macam burung yang terbang menggoda. Dayanya seperti angina rebut. Masing-masing mendesak untuk mengakuinya sebagai Tuhan. Bilamana terjebak desakan mereka, maka akan terlahir kembali sebagai burung. Hidup lagi dalam bangsa burung.

    • CAHAYA PUTIH
Cahaya memancar dari tulang dan keluar melalui hidung. Yang menampakan diri dalam lautan cahaya putih adalah berbagai jenis ikan dan binatang yang hidup di air. Mereka juga menggoda Sang Diri untuk mengakui mereka sebagai Tuhan. Berbagai istana tampak di lautan cahaya putih. Tapi, itu semua hanyalah godaan. Tentu, itu bukan istana yang sesungguhnya. Kalau sampai terpesona dan masuk kedalamnya, maka akan terlahir kembali kedunia ikan atau binatang air.

  1. ALAM NURIYAH
Memasuki alam nuriyah. Kata “Nur” berate cahaya. Jadi, alam ini merupakan alam yang dipenuhi cahaya. Alam yang dipenuhi cahaya tak terbatas. Cahaya yang amat terang. Melebihi terangnya alam sirriyah.
Di alam nuriyah ini, selepas adanya cahaya yang terang benderang, muncullah cahaya terang berwarna hitam, merah, kuning, putih, dan hijau. Semua cahaya itu terbentang di hadapan Sang Diri. Disekeliling roh orang yang meninggal. Tampaklah istana-istana. Tapi, bukan istana yang sesungguhnya yang di atur oleh Tuhan Yang Mahamulia. Hanya pantulan istana. Pantulan yang berasal dari cahaya yang berwarna lima macam tersebut.
Di dalam lautan cahaya yang berwarna Hitam tampak istana-istana yang dihuni oleh bangsa binatang. Istana yang muncul dari cahaya berwarna Merah merupakan wilayah yang dihuni bangsa makhluk halus yang jahat [setan alas, bekakasan]. Dalam cahaya warna Kuning terdapat istana-istana yang merupakan hunian bangsa burung. Dalam cahaya Putih ada istana-istana pantulan dari bangsa ikan. Sedangkan dalam lautan cahaya yang berwarna Hijautampak istana yang berasal dari dunia tumbuhan.
Di saat kelihatan beragam istana ini, ada suara-suara. Anehnya suara-suara ini mau memandu Sang Diri. Masing-masing suara itu menunjukan kelembutannya. Seakan-akan menawarkan jasa peristirahatan bagi Sang Diri atau roh orang yang mati. Tentu saja itu semua jebakan. Tak ada istana yang perlu dipilih. Semua bisa menyebabkan kelahiran kembali ke alam yang dimasukinya.
  1. SUB ALAM NURIAH (ALAM PERMANA atau ALAM ISYQ [Kecintaan] ).
Pada sub alam nuriah ini cahayanya bening sekali. Di dalam cahaya itu tampaklah sebuah nyala yang tegak sebesar Lidi. Nyala itu mempunyai delapan warna cahaya, Yaitu Hitam, merah, kuning, putih, hijau, biru, ungu,dan merah dadu [merah muda].
Semua warna terhampar, dan masing-masing memperlihatkan surga serba indah. Itulah perwujudan Permana yang di tambah cahaya yang dipancarkan oleh sukma. Alam permana disebut alam kecintaan. Pada saat itu Sang Diri mengalami kerinduan akan surga. Surga tampak asri. Tetapi, ternyata juga belum surga yang sebenarnya. Bukan tempatnya kenikmatan yang membawa manfaat bagi kehidupan Sang Diri. Juga bukan tempatnya rahmat Allah sebagaimana yang dinyatakan dalam Alqur’an.
Surga di alam nuriyah ini bukan surga sejati, tetapi hanyalah kahyangan atau tempat bangsanya makhluk halus, makhluk tersembunyi. Kedelapan macam surga itu mengeluarkan bau harum semerbak. Harumnya bisa membuat Sang Diri tertarik. Sebenarnya surga yang tampak oleh Sang Diri ini hanyalah perwujudan dari angan-angan atau ciptaan dari manusia sendiri. Jika tertarik kesitu, ya akan menjadi raja dari makhluk halus di alamnya masing-masing.
  1. ALAM ULUHIYAH
Jika lolos dari berbagai rintangan di alam-alam sebelumnya, maka berikutnya Sang Diri memasuki alam uluhiyah. Inilah yang disebut alam ketuhanan. Terangnya alam ini melebihi alam nuriyah. Di alam ini tampak cahaya yang memancar. Di dalam cahaya itu tampak suatu perwujudan seperti lebah yang masih berada di dalam sarangnya. Keadaan ini ada di maqam Fana. Dengan demikian, cahaya yang terpancar itu sebenarnya berasal dari sukma. Pancaran cahayanya menambahi segala macam warna. Pancaran cahayanya meliputi seluruh alam, baik alam kecil, besar, dengan segala isinya.
Hidupnya warna-warni cahaya itu berasal dari permananya rahsa. Pada saat itu datanglah malaikat-malaikat yang menyerupai ayah, kakek, dan leluhur lelaki. Mereka mengaku sebagai utusan-utusan Tuhan yang akan mengantarkan ke alam karamattullohYaitu, alam kemuliaan Tuhan Yang Mahasuci. Meskipun demikian, Sang Diri harus tetap kokoh dengan pendiriannya semula, dan tidak mudah percaya.

  1. SUB BAGIAN ALAM ULUHIYAH (LAPISAN KE 2)
Masih berada di sub-bagian alam ruhiyah. pada sub-alam ini cahayanya lebih terang lagi keadaannya. Di ala mini tampak cahaya yang bersinar cemerlang. Cahaya yang berkilauan. Di ala mini tampak perwujudan bagaikan boneka gading yang bertahtakan mutiara. Gebyar-gebyar cahayanya. Dilihat dari jenis kelaminnya, ternyata wujud itu bukan laki-laki. Bukan perempuan. Bukan pula banci.
Itulah maqom baqa, alam baka. Keadaan di ala mini berasal dari permanya rahsa yang menguasai semesta alam. Keberadaan ala mini berasal dari atma. Di alam ini Sang Diri didatangi para bidadari yang menyerupai ibu, nenek, dan para leluhur yang berasal dari pihak ibu. Mereka semua juga mengaku sebagai utusan-utusan Tuhan Yang Mahasuci. Mereka menyatakan diri sanggup mengantarkan Sang Diri kea lam karamattullah. Pada tahap ini pun diharapkan Sang Diri tidak mengimani mereka. Sang Diri harus terus melakukan pendakian. Meneruskan perjalanan.

  1. SUB BAGIAN ALAM ULUHIYAH (LAPISAN KE 3)
Masih berada di sub-bagian alam uluhiyah. Tentu alam yang lebih tinggi lagi. Jadi, ada 3 (tiga) lapis alam uluhiyah. Dan, ini adalah bagian tertinggi dari alam uluhiyah. Cahayanya, luar biasa terangnya! Sudah tidak lagi bisa melihat sesuatu karena terangnya. Bagaikan kita menatap langsung seribu matahari di siang hari. Meskipun terang benderang, tapi ketika kita menatap satu matahari saja, membuat kita tidak akan mampu melihat keadaan di sekitar kita. Yang ada hanyalah cahaya yang terang cemerlang tanpa bayangan.
Keadaan ini sebenarnya merupakan perwujudan dari Dzat Atma. Yang sebenarnya merupakan dzat yang bersifat esa. Alam tanpa arah dan tanpa ruang. Tanpa warna. Tanpa rupa. Suatu keadaan yang azali dan abadi. Dzat Atma inilah yang berkuasa dan yang menguasai seluruh alam. Meliputi seluruh alam. Dan, memancarkan segala maqomsempurna.
Dzat Atma hidup tanpa ada yang menghidupi. Sebagai hakikat dari Tuhan Yang Mahasuci. Mahaagung Dzat-Nya. Mahamulia sifat-Nya. Mahakuasa Asma-Nya. Mahasempurna tidakan Af’al-Nya. Ternyata Dzat itu berada pada Sang Diri Pribadi. Tak ada jarak lagi antara hamba dan Tuhan. Nah, disitulah wujud manunggaling kawula klawan Gusti.Menunggalnya hamba dan Tuhan. Wujud final dari “ilayhi raji’un”, kepada-Nya kita kembali! Nah, surga yang sejati itu sebenarnya manunggalnya Sang Diri dengan Tuhan Yang Maha Esa.

MAKNA FANA & BAQA

◙ PENGERTIAN FANA DAN BAKA
Ketika seseorang berada dalam tahap puncak pendakian spiritualnya adalah masuk ke alam “Fana dan Baka”. Dan hal ini dijelaskan oleh Syekh Malaya / Sunan Kalijaga. Dia memaparkan pengetahuannya : Hendaknya waspada pada yang berikut ini. Jangan ragu-ragu. Lihatlah Tuhan secara jelas! Tapi, bagaimana melihat-Nya? Karena Tuhan itu tidak memiliki rupa. Tuhan tidak berarah dan tidak berwarna. Tidak ada wujud-Nya. Tidak terikat oleh waktu dan tempat. Sebenarnya Ada-Nya itu tiada. Seandainya Dia tidak ada, maka alam raya ini kosong dan tak ada wujudnya.
Dan tatkala sesorang ber-Dzikir atau ber-Tafakur [dalam salat] sudah sangat khusyu/intens, segala rupa yang muncul harus di lewatinya. Semua yang muncul itu hanyalah ilusi. Bayangan ke-Diri-an akan muncul. Seperti munculnya malaikat gunung yang menawarkan diri kepada Nabi Muhammad sehabis beliau dianiaya orang-orang Thaif. Nabi menolak pertolongannya. Justru beliau berdoa agar masyarakat Thaif diberi petunjuk.
Meskipun seorang mediator sudah bisa melewati berbagai godaan dan gangguan. Bisa melewati berbagai pesona. Bisa meninggalkan ajakan dari mereka-mereka yang menampakkan diri sebagai sanak saudara dan orang-orang lain yang telah meninggal. Bisa mengabaikan orang-orang yang tak dikenal dan menawarkan jasa. Tetapi, belum tentu mampu meloloskan diri dari jeratan Artadaya. Sang Artadaya ini menutupi Diri Sejati. Dia unjuk kekuatan. Dia pamer kekuasaan. Dia menawarkan kepada sang pendaki spiritual : “Apa yang kau minta? Apakah kau minta berlian-sambil menunjukan berlian dihadapan orang yang berzikir itu bagaikan butiran-butiran jagung? Apakah kau ingin menguasai itu-sambil menunjukan daerah kekuasaan? Tetapi, seorang pe-zikir yang tawakal, tak tertarik berbagai iming-iming. Seorang pe-zikir akan terus melanjutkan pendakiannya. Mendaki sendiri. Karena pada akhirnya pengiring kita pun tak mampu. Semua malaikat tak mampu mengiringi perjalanan sang pendaki. Malaikat Jibril pun tak mampu. Semua saudara gaib kita juga tak mampu. Hanya Tuhan yang membimbingnya. Dengan demikian apa yang diungkapkan Syekh Malaya [Sunan Kalijaga] yang meminta sang pe-zikir untuk melihat Tuhan dengan jelas. Terang. Tanpa samara-samar! Harus yakin tanpa keraguan sekecil apapun. Dengan cara ini sang pe-zikir akan sampai di puncak Ma’rifat.
Bagaimana cara melihat-Nya? Bukankah Tuhan itu tidak memiliki rupa. tidak ada arah dan warna-Nya. Bukankah Dia Tidak ada wujud-Nya. Tidak terikat oleh waktu dan tempat. Lalu, apa yang harus dilihat? Itulah ke-Fana-an! Fana bukanlah kesadaran tentang tiada. Fana bukanlah perasaan bahwa kita telah sampai di keadaan Fana. Fana bukanlah terciptanya konsentrasi / ke-khusyuan. Fana bukanlah perasaan bahwa kita merasa hilang. Fana bukanlah kita merasa tidak melihat apa-apa. Lalu, apa yang dimaksud Fana oleh orang-orang Sufi itu? Dalam serat Syekh Malaya tersebut di ungkapkannya bahwa jika Dia tidak ada maka kosonglah semesta raya ini. Apa yang disebut dalam serat itu merupakan bagian dari pembahasan para Wali tentang Ma’rifat. Tentunya itu bukan kalimat biasa. Dalam bahasa kata, pengetahuan tingkat tinggi itu tidak berbeda dengan pengetahuan orang awam. Itulah keterbatasan kata! Amat sulit mengungkapkan pengalaman spiritual dengan kata-kata. Karena melibatkan pengalaman batin.
Tak ada kata buat mendefinisikan kata Fana. Tak ada kata untuk batasan bagi Fana. Secara kata, Fana itu artinya lenyap. Hilang. Siapa yang hilang disitu? Apa kita menjadi hilang sehingga tak bisa dilihat orang lain ketika ber-zikir? Atau ada perasaan bahwa kita ini hilang tatkala ber-zikir?
Jawabannya bukan seperti itu. Kita tetap bisa dilihat orang ketika ber-zikir. Kita pun ada dalam kesadaran. Pada saat kita mengalami Fana, kita tidak tidur. Kita tidak mengantuk. Sehingga zikir kita tetap teguh, tidak berubah. Pada saat Fana itu, kita seperti orang yang tidur nyenyak-tapi nyatanya tidak tidur. Seperti tidur nyenyak yang tidak merasakan apa-apa. Tidak ada mimpi meski sekelebatan. Tidak ada kilatan apa-apa. Tidak ada kesadaran maupun ketidak sadaran. Keadaannya blanko! Kosong, tiada goresan. Tidak ada perasaan bahwa saya ini hamba dan yang dihadapi itu Tuhan. Itulah Fana! Ya, memang seperti orang tidur pulas tanpa sebuah impian.
Dus, yang membedakan antara orang yang ber-zikir [khusyu] dan orang yang tidur pulas itu keadaannya. Jika orang tidur, meski posisi awalnya duduk, badannya akan roboh ketika tertidur atau terkantuk. Kalau ia terlentang, maka dengus nafasnya ya sama dengan orang tidur. Dengusnya kasar. Bunyi napas orang tidur itu kasar. Sedangkan bunyi napas orang yang ber-zikir itu tidak terdengar. Seolah-olah tidak bernapas. Seorang ahli ma’rifat mereka berujar : KULLU NAFSIN ARIFIN KHOIRUN MIN IBADATI SAB’I’YAN SANATAN MIN KHOIRI AARIFIN (Artinya : Setiap nafas seorang yang ‘Arif Billah, lebih berharga dari 70 tahun ibadat orang yang bukan ‘Arif [awam] ). Yang berarti Nafas seorang yang mengerti dan sadar terhadap diri dan kediriannya (khuluk), nafas yang memanfaatkan hidup dan kehidupannya untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan serta alam lingkungan (khalaq), nafas cinta kasih yang tenggelam dan sirna (Fana) dalam buaian cinta kasih Allah Yang Maha Pengasih (kholik). Bukan seperti nafasnya seorang yang hanya untuk dirinya sendiri dan karena dirinya sendiri yang penuh kesombongan diri, melibatkan diri dalam kebohongan dunia, meskipun ibadatnya 70 tahun.
Pada saat Fana dalam ber-zikir, bisa terjadi apa yang dinamakan “Majdzub”. Pada saat majdzub, hilang kesadaran manusiawinya. Dan, keadaan Fana ini bukan hanya terjadi pada saat duduk ber-zikir. Tidak demikian! Fana bisa terjadi ketika lagi berjalan, atau beraktivitas.
Dengan tidak disadarinya, muncul ucapan “Subhani”, Mahasuci Aku. Ana Al-Haqq, Saya adalah Yang Mahabenar. Dan, berbagai ucapan lainnya, yang sepatutnya itu ucapan Tuhan. Itu, memang ucapan Tuhan. Orang yang majdzub itu hanyalah alat bagi Tuhan yang hendak memuji diri-Nya. “Dalam arti hakiki, hilang sirnalah (Fana) segala Af’al hamba dan seluruh makhluk ini. Yang tampak dan jelas adalah Af’al Allah swt”. Kesimpulan itu adalah suara batin dengan penuh kejujuran. Bukan karena ujaran guru dan Kitab, bukan pula karena kata si ‘Arif atau Waliulloh’. Semua guru, kitab-kitab dan ucapan-ucapan para ‘Arif hanyalah penuntun dan penunjuk jalan ke arah itu.
FAMINHU KHOIRU WASSYARU WANNAF’U WADDHURRU WAL’IMANU WAL’KUFRU’ (Maka dari Dialah (Allah); kebaikan dan keburukan, manfaat dan mudarat, iman dan kufur). Imam Al-Ghazali : ‘Minhajul ‘Abidin

Didalam hadist qudsi di sebutkan :
ﻤـﺎاﺗـﻘـﺮبااﻠﻲاﻠﻤﺗـﻘـﺮﺒـﻮﻥ ﺒـﻤـﺜـﻞاﺪاﺀ ﻤﺎاﻓـﺗﺮﻀﺖ ﻋـﻠﻴـﻬـﻢ ﻮﻻﻴـﺰاﻞ اﻠﻌﺒـﺪﻴـﺗـﻘﺮﺐاﻠﻲ ﺒﺎﻠﻧﻮاﻓﻞ ﺤـﺗﻰاﺤـﺒـﻪ ﻓﺎﺀ ﺬااﺠـﺒﻠـﺗـﻪ ﻜـﻧـﺖ ﺴـﻤـﻌـﻪاﻠـﺬﻱ ﻴﺴﻤـﻊﺒـﻪ ﻮﺒﺼﺮﻩاﻠﺬﻱ ﻴﺒﺼﺮﺒـﻪ ﻮﻠﺴﺎ ﻧـﻪاﻠﺬﻱ ﻴـﻧﻃﻖ ﺒـﻪ ﻮﻴﺪﻩاﻠﺗﻰ ﻴـﺒﻃﺶ ﺒـﻬﺎﻮﺮﺠﻠـﻪاﻠﺗﻲ ﻴـﻤﺷﻰ ﺒﻬﺎ ﻮﻗﻠﺒـﻪاﻠﺬﻱ ﻴـﻀﻤﺮﺒـﻪ

MA ATAQARRABA ILAYYAL MUTAQARRIBUNA BIMISTLI ADA’I MAFTARADLTU’ALAIHIM, WALA YAZALUL’ABDU YATAQARRABU ILAYYA BIN NAWAFIL, HATTA UHIBBAHU, FA IDZA AHBABTUHU KUNTU SAM’AHULLADZI YASMA’U BIHI WABASHARAHUL LADZI YUBSHIRU BIHI WA LISANUHUL LADZI YANTHIQU BIHI WAYADAHUL LATI YABTHISYU BIHA WA RIJLAHUL LATI YAMSYI BIHA WA QALBAHUL LADZI YADLMIRU BIHI”
Artinya :
Orang-orang yang merasa dekat kepada-KU, tidak hanya melaksanakan apa yang aku fardhukan kepada mereka, malah si hamba itu merasa dekat kepadaku dengan melaksanakan amal-amal Nawafil (tambahan) hingga akupun mencintainya. Apabila AKU sudah mencintainya, Aku-lah menjadi pendengarannya yang dengan itulah dia mendengar, Aku-lah yang menjadi matanya untuk melihat, Aku-lah yang menjadi tangannya untuk menggenggam, Aku-lah yang menjadi kakinya untuk berjalan, dan Aku pulalah yang menjadi hatinya yang dengan itu ia dapat berfikir dan bercita-cita. (Riwayat Imam Bukhari).
Dengan penjelasan dalil diatas benar-benar sang hamba tersebut menjadi alat. Namanya saja “alat” ya tergantung yang menggunakannya. Cuma alat yang berbentuk manusia. Dalam Injil Yohanes 5 : 19, disebutkan bahwa Nabi Isa (Yesus) bersabda : “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari dirinya sendiri, jikalau ia tidak melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan anak”. Pada ayat 5 : 30 juga disebutkan, “Aku tidak bisa berbuat apa-apa dari diriku sendiri, Aku menghakimi sesuai dengan apa yang aku dengar, dan penghakimanku adil, sebab aku tidak menuruti kehendak (Nafsuku) sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus aku”.

Didalam Al-Qur’an :
ﻮﻴﻧﻄﻖﻋﻦ ﻠﻬﻮﻯ ﺍﻦﻫﻮﺍﻻﻮﺤﻲ ﻳﻮﺤﻰ ـ ﺍﻠﻧﺠﻢ؛٣ـ٢
WAYANTHIQU ANIL HAWA INHUWA ILA WAHYUN YUHA (Q.S. AN-NAJM : 2-3)
Dan temanmu (Muhammad) itu, tidaklah sesat apalagi keliru. Apa yang diucapkannya itu berasal dari Tuhan-Nya, bukan kehendak (nafsu-nya) sendiri.

Dari Syekh Sayidina Abi Abdullah Muhammad bin Sulaeman Aliazli r.a. di katakana :
WALLAHU KHOLAQOKUM WAMAA YA’MALUNA WA LA YASHDURU MIN AHADIN MIN A’BIYDIHI QOWLUN WA HARAKATUN WASYUKUNUN ILLA QOD SYABAQO FI I’LMIHI WA QODHOO I’HI WA QODARIHI
Artinya :
Dan Allah yang telah menciptakan kamu, dan menciptakan apa yang kamu lakukan, tak ada seorangpun diantara hamba-hambaNya yang melahirkan ucapan, perbuatan, gerak ataupun diam, melainkan sudah ada lebih dahulu pada ilmu-Nya Qodho dan Qodar-Nya.
Orang yang tidak mengerti Ma’rifat biasanya menolak kejadian madjzub. Mereka tidak mau tahu adanya hadist atau dalil-dalil tersebut. Mereka tidak tahu bahwa Nabi Muhammad pun sering mengalami madjzub di depan istri-istri beliau. Misalnya, dihadapan Siti Aisyah. Nabi pun pernah bersabda “ANA AHMAD BI LA MIM”, (Saya Ahmad tanpa mim). Artinya apa? Ahad! Dalam bahasa awam, itu berarti Nabi menyebut dirinya Tuhan. Tapi, karena para sahabat termasuk istri-istri beliau sudah di didik tentang hal-hal yang sifatnya spiritual, makanya tidak timbul kekacauan pandangan di tengah masyarakat. Atau juga seperti yang telah diperbuat oleh Maulana Ibnu Ar-Arabi, dimana dia berujar Ana Arrabi bi la ain”, “Saya Arrabi tanpa huruf Ain”, artinya apa ? Rabbi! Dalam bahasa awam, itu berarti Ibnu Arrabi telah menyebut dirinya Tuhan.
Dalam Injil Yohanes Pasal 14 ayat 6, Nabi Isa (Yesus) berkata kepada muridnya Tomas, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa (Tuhan), kalau tidak melalui aku”.
Bagi mereka yang sudah memahami makrifat, tidak akan heran terhadap sabda Kanjeng Nabi Isa tersebut. Tak ada orang makrifat menyebut orang lain Tuhan. Bahkan Syekh Siti Jenar pun tidak pernah menyuruh orang lain menyebut dirinya Tuhan. Mengapa? Karena tingkat makrifat setiap orang bisa menjadi manifestasi Tuhan. Jadi, sebutan “ingsun Allah”, “saya ini Allah”, tidak berarti memper-Tuhan-dirinya, atau menyuruh orang lain menyebut dirinya sebagai Tuhan. Itulah kesadaran orang yang lagi majdzub. Itulah sebabnya Kanjeng Nabi Isa pun mengatakan itu di depan muridnya [Tomas]. Bukan sebagai deklarasi tentang ketuhanan beliau di depan orang banyak.
Setelah tahap Fana tercapai, maka dirinya akan terserap oleh Tuhan. Masuk ke dalam wilayah ketuhanan. Secara otomatis memasuki keadaan Baqa alias baka. Yaitu, memasuki alam kekekalan. Di alam ini pengalaman orang satu dengan yang lainnya akan sama. Itulah sebabnya semua nabi merasa melihat sesuatu yang sama. Mereka melihat kebenaran yang sama. Makanya, tidak ada nabi yang satu konflik dengan nabi lainnya. Masing-masing menerima kodrat kenabiannya. Tanpa melakukan klaim bahwa dirinyalah Nabi yang benar sedang nabi lainnya salah.
Lihatlah, Kanjeng Nabi Musa tidak pernah menyalahkan nabi yang lain setelah dia mencapai tahap baka, Yaitu setelah bertemu Nabi Hidir. Tak ada seorang nabi pun yang di cela oleh Kanjeng Nabi Isa di dalam Injil. Kabjeng Nabi Muhammad pun tak akan mencela nabi dan rasul lainnya. Tak pernah menyalahkan ajaran para nabi lainnya. Termasuk tidak menyalahkan Musailamah. Justru Musailamah yang merasa tersaingi kenabiannya oleh Nabi Muhammad. Ya, siapa saja yang mengaku sebagai nabi tapi masih menyalahkan naibi-nabi lainnya, jelas dia bukan nabi. Wali sejati pun tidak pernah menyalahkan wali lainnya. Tidak mengusik ajaran yang disampaikan oleh wali lainnya. Mengapa? Karena dia menyadari bahwa kebenaran itu datangnya dari Tuhan yang sama [AL-HAQU MIRABBIKUM]. Lha, masa ajaran wali lain diprotes. Bukankah wali sejati sudah sampai tahap baka? Orang yang sudah sampai pada tahap ini tidak ada lagi perasaan dengki. Karena kedengkian itu perbuatan setan. Wali sejati itu wahananya Tuhan. Disebutkan di dalam Al-Qur’an bahwa para wali Allah, karena keimanan dan ketakwaan mereka, maka mereka tak tersentuh ketakutan dan penderitaan dalam hidupnya. [INNA AWLIYAA A’LLAHI LAA KHAUFUN A’LAIYHIM WA LAHUM YAHZANUN Q.S. 10 : 62].
Keimanan bukan semata-mata karena kepercayaan. Tetapi buah dari Ma’rifatnya. Sedangkan ketakwaan bukan hanya di bibir. Tapi, benar-benar wujud dari zikirnya kepada Tuhan yang di amalkan setiap saat. Tahap Fana sudah di lalui. Tahap baka dimasukinya. Akhirnya dia melihat hakikatnya sesuatu. Jika sudah demikian apanya yang perlu ditakutkan? Apanya yang perlu di khawatirkan? Semua penderitaan lenyap, karena Tuhan sendiri yang menjaganya. Ia bisa hidup tanpa tergantung pada orang lain, karena Tuhan sendiri yang menjadi gantungannya. Ia bisa memecahkan persoalan hidup ini karena Tuhan sendiri yang mengajarinya. Intinya setelah seseorang bisa mencapai tahap Fana dan Baka, maka sebenarnya dia telah menemukan pusat dirinya. Dia sudah menemukan Kabah/Mekah sejatinya. Dia sudah mengenal Dirinya. Dia sudah sampai pada Al-Haqq. Tahap akhir sepiritualnya! Tak secuil pun pikiran ikut mempengaruhi perilakunya. Tak ada rekayasa yang timbul dari hawa nafsunya. Semua perilakunya adalah manifestasi Tuhan.

PENCAPAIAN PADA NUR ILLAHI

☼ MENUJU CAHAYA ALLAH
(NUR ILLAHI)

Apakah sesungguhnya cahaya Allah itu ? Perlu dipahami bahwa jika sinar matahari itu terdiri dari sinar yang beraneka warna dan setiap sinar mempunyai gelombang sendiri, maka sinar Allah yang diturunkan atas Nabi Muhammad saw. Terpencar pula menjadi 6666 sinar (ayat) yang tersusun menjadi kitab suci yaitu Al-Qur’an. Setiap ayat memiliki gelombang sendiri-sendiri, yang panjang gelombangnya dapat ditetapkan dari bentuk dan susunan ayat tersebut. Sebagai kata kunci, tak ada yang mampu menandingi al-Qur’an, karena Kalam Allah ini sarat dengan dimensi keilmuan dan kecerdasan. Itulah yang menjadi tumpuan hakiki dari segala ilmu di jagat raya seisinya, itulah “Ulul Abrar”. Adapun penjelasan tentang cahaya Allah itu didalam Al-qur’an Surat An-Nur di jelaskan :

ALLAAHU NUURUSSAMAAWAATI WAL’ARDHI
MATSALU NUURIHII KAMISYKAATIN FIIHAA MISHBAAHUN
ALMISHBAAHU FIIZU JAAJATIN. A’ZZUJAAJATU KA’ANNAHAA
KAWKABUN DURRIYUN YYUUQADU MIN SYAJARATIN
MMUBAARAKATIN ZAYTUUNATIN’LLAASYARQIYYATIN
WALAA GHARBIYYATIN YYAKAADU ZAYTUHAA YUDHII’U WALAW
LAM TAMSHASHU NAARUN. NUURUN ALAA NUURIN.
YAHDILLAAHU LI NUURIHII MAN YYASYAA’U.
WA YADHRIBU ‘LLAAHU ‘AMTSAALA LINNAASI
WA LLAAHU BIKULLI SYAI’IN ALIMUN //.
Q.S (24) AN-NUR : 35

Artinya :
Allahunur (Allah Cahaya) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada PELITA besar. Pelita itu didalam kaca, dan kaca itu seakan-akan bintang yangBERCAHAYA seperti Mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu Pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur dan tidak pula disebelah barat. Yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. CAHAYA DI ATAS CAHAYA (Yang berlapis-lapis), Allah membingbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Pada Ayat di atas, dijelaskan mula-mula dinyatakan bahwa Allah merupakan Cahaya langit dan bumi. Disitu telah dijelaskan bahwa cahaya Allah itu seolah-olah sebuah lubang yang berisi PELITA (Lampu), dikatakan seolah-olah karena keberadaan Allah itu tidak dapat digambarkan seperti apapun. Tak ada yang menyerupai Allah, meskipun (Allah) tidak bisa diserupakan tapi perlu perumpamaan untuk memudahkan manusia me-Ma’rifatinya (Mengenalnya).
Dalam perumpamaan itu disebutkan bahwa Cahaya-Nya itu seolah-olah Lampu yang ada disebuah Lubang yang ditutup kaca, yang kacanya itu sendiri memancarkan cahaya gemerlapan seperti bintang di langit. Sumbu itu dinyalakan dengan minyak Zaitun yang tidak tumbuh di timur maupun di barat, bahkan minyaknyapun ber-Cahaya, meski tanpa sentuhan Api.
Adapun arti dari pada lampu dalam Ceruk (Lubang) yang ditutupi kaca itu, kalau di pahami secara mendalam “ sebagai hati yang jernih” Artinya apa ?, Allah adalah Cahaya di atas Cahaya, dan dirinya di lukiskan sebagai cahaya langit dan bumi, dan diri-Nya di lukiskan sebagai cahaya langit dan bumi, dan cahaya ini ter-Manisfestasikan (terpantul/mewujud) dalam HATI (Qalbu) yang jernih dan kemilau, dan hati yang demikian merupakan wujud dari Al-Islam, Al-Iman dan Al-ihsan, yang jika ketiganya berada dalam keseimbangan, maka yang terpancarkan adalah Al-Ikhlas.
Al-Islam, Al-Iman, dan Al-Ihsan yang sudah menjadi Al-Ikhlas yaitu suatu wujud ke-Ikhlasan hidup secara nyata bukan basa basi, karena merupakan minyak dari hati yang jernih itu. Minyak yang demikian tidak berasal dari pemikiran timur dan barat, tetapi berasal dari pusat kebenaran yang UNIVERSAL (Al-Haqqu Mubin), Yaitu Allah sendiri, minyak demikian juga mengeluarkan cahaya meskipun belum disentuh api, meski minyak itu belum di aktifkan, kerena itu jangan heran bila dibeberapa ayat yang lain disebutkan bahwa hanya orang-orang yang hidupnya dipenuhi ke-Ikhlasan yang tidak dapat di sentuh ataupun digoda oleh Iblis, bukankah iblis sendiri adalah symbol nyata dari Api. Semua pintu masuk yang tersedia buat iblis tertutup bagi orang-orang yang dipenuhi ke-Ikhlasan.
Allah adalah Cahaya diatas cahaya, itulah perumpamaan bagi Allah. Dia bagaikan CAHAYA, DIA menerangi, DIA yang menjadikan semua yang tersamar jadi jelas, Yang benar jadi tampak, Yang gelap tersingkir, dan Cahaya-Nya itu di atas ribuan lapisan Cahaya, maka hanya orang yang berkehendak kuat menuju Cahaya-Nya yang ditunjuki-Nya. Jadi keliru sekali orang-orang yang mengatakan bahwa Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki Allah, dan jika demikian berarti Allah berbuat sewenang-wenang kepada makhluknya, dan berarti Allah tidak Rahman-Rahim, padahal Allah telah menetapkan Rahmat bagi segenap ciptaanNya, yang menghendaki Cahaya-Nya, yang akan dituntun untuk mendapatkannya. Dari sebuah Hadist kita ketahui bahwa Allah memancarkan Cahaya dari Cahaya-Nya, terwujudlah Nur Muhammad, nah dari Nur Muhammad inilah Allah menjadikan Alam Semesta, dan sebenarnya dari Nur Muhammadinilah proses pemancaran Cahaya yang berlapis-lapis, sehingga terwujudlah (terbentuk) JAGAT RAYA, sebagaimana yang ada sekarang ini.
Hal ini tidak diragukan lagi dari sudut Fisika modern, ternyata apa yang disebut materi (benda-benda), sebenarnya merupakan perwujudan dari Cahaya. Cahayalah yang dapat kita saksikan dalam ber-Meditasi dan Shalat, ketika kembara pikiran sudah berhenti. Warna cahaya yang tampak oleh Pe-Zikir. Ada yang melihat Cahaya pertama kalinya, cahaya berwarna merah, kuning, hitam dan cahaya putih. Ada yang melihat pertama kalinya, cahaya biru, ungu dll. Semakin Intens (Khusyu) ber-Zikir, semakin hilang warna warni itu, bahkan kita tidak menyadari bahwa kita sedang ber-Zikir atau ber-Meditasi, yang ada ialah keheningan dan kesenyapan. 


☼ PENCAPAIAN KEPADA “NUR ILLAHI”

Pencapaian kepada Kurnia Allah, dalam istilah Ma’rifat orang-orang terdahulu disebut dengan Neng, Ning, Nung, Nang, dan hal ini sama sekali berbeda dengan istilah-istilah di dalam ilmu Tasawuf, tapi dalam prakteknya sangat dominan dan diikuti oleh berbagai kalangan, baik dari kalangan tasawuf sendiri maupun dari kangan Filsafat.
Adapun pencapaian Zikir Menurut Kitab Tertua Ini.


  • PENCAPAIAN TAHAP PERTAMA “NENG”
Diambil dari kata Meneng yang berarti Diam yaitu sikap duduk yang tak bergerak kesana kemari. Ini harus dilatih, bukan karena kita bisa melakukan secara tiba-tiba, mula-mula kaki mungkin terasa kesemutan atau ada rasa penat, atau mungkin terasa nyeri. Tapi dengan kehendak yang kuat, pada latihan-latihan berikutnya, rasa penat, nyeri dan kesemutan itu akan hilang, perhatian kita dengan mata terpejam menjadi terkonsentrasikan dan terpusatkan. Dalam keadaan diam total ini akan terungkapkan berbagai manifestasi pikiran yang tak pernah terpikirkan dalam kesadaran.
  • PENCAPAIAN TAHAP KEDUA “NING”
Diambil dari kata Wening / Bening, dimana dalam keadaan kondisi ini kita masuk ke alam hening/jernih. Yang kita saksikan adalah cahaya terang, sejuk, tak berwarna. Suasana jernih, sunyi senyap, tak ada apapun yang mengusik, seolah-olah kita Fana (lenyap), tapi kita menyadari bahwa itu Fana !, ini bukan karena kita mengosongkan pikiran, atau dalam istilah Sufi disebut Hal. Kondisi ini muncul karena tarikan Allah, bukan karena di upayakan dalam kondisi Fana ini. Sebenarnya pe-Zikir telah membuka pintu hati dan pikirannya untuk kehadiran Allah. Dalam keadaan Hening tak ada lagi ilusi atau rekayasa pikiran, tak ada angan-angan dan khayalan. Pikiran dan hati tak bergerak !, sehingga terciptalah layer kosong, lalu, apa yang terjadi ?, Ya Allah sendiri yang akan memancarkan isyarat pada layar yang bersih itu, Allah sendiri yang akan mengisikan lukisan pada hati yang bening itu, dalam kondisi demikianlah sebenarnya terjadinya proses peng-Ilhaman / proses peng-Wahyuan dalam kategori ke-Nabian.
Jalan Neng, Ning dan Zikir-Pikir sebenarnya untuk mencapai tujuan untuk mendapatkan Hidayah dari Allah, yang dalam bahasa Qur’an Surat An-Nur (24) : 35 disebutkan : “YAHDILLAAHU LI NUURIHII MAN YYASYAA’U”. Yang artinya : Allah memberi petunjuk kepada Cahaya-Nya, terhadap orang-orang yang menghendaki petunjuk itu, dilanjutkan pada Qur’an Surat An-Nur (24) : 36, dimana dalam ayat ini dijelaskan, bahwa orang yang sungguh-sungguh menuju Cahaya-Nya akan dibimbingNya untuk memasuki rumah-rumah yang diperkenankan Allah untuk di mulyakan. Adapun maksud rumah yang dimulyakan adalah Hati yang bersih atau Al-Qalbu Salim (Hati yang damai). Dan dalam hati yang damailah Allah senantiasa di ingat dari pagi hingga petang. Allah di ingat sepanjang hari baik ketika mata dalam keadaan melek, maupun terpejam Allah selalu disebut dalam keadaan bangun maupun tidur, yang demikian itu hanya dapat dipenuhi oleh orang-orang yang mencapai Maqom Rijalah yaitu orang-orang yang mempunyai pendirian dan keyakinan yang kokoh.

  • Dan setelah melampaui tahap “Hening” atau “Pikir”, pe-Zikir memasuki tahap berikutnya, yaitu “NUNG” ia menjadi manusia Dunung artinya tahu arah dan tujuannya. Tahu makna hidup dirinya, kalau diumpamakan sebagai orang yang membeli emas dan bukan loyang, kalau makan yang tahu apa yang di makan, gizi apa yang diperoleh dari makanan tersebut. Jadi bukan sekedar ramai-ramai mengikuti doktrin atau didikte oleh orang lain.

Bila seseorang sudah tahu arah yang ditujunya, maka Tahap terakhirnya adalah “NANG”. Ia yang telah sampai pada tahap “Nang”, tentu saja memiliki kewenangan untuk mengambil langkah ke arah yang hendak dicapainya itu. Seperti halnya kita sudah tahu ke Jakarta, maka kita punya kewenangan untuk memilih jalan mana yang harus saya lalui, dan menggunakan kendaraan macam apa. Dengan melatih program “Neng, Ning, Nung, Nang” ini, akan terciptalah suasana batin yang tenang, karena semuanya menjadi jelas, oleh karena kita telah di tuntun Allah menuju Cahaya-Nya. 


◘ KEGELAPAN BAGI ORANG YANG
JAUH DARI CAHAYA ALLAH
Orang yang mengingkari kebenaran, berada dijalan Thagut, dan sekaligus menjadikan Thagut sebagai pelindung mereka. Thagut akan mengeluarkan mereka dari Cahaya, menuju DZULUMAT, yakni kegelapan. Kata “Dzulumat” seakar kata dengan Zalim/lalim yaitu perbuatan yang menyakitkan atau merugikan, baik terhadap orang lain maupun dirinya sendiri. Karena itu “Dzulumat” diterjemahkan kegelapan, dengan demikian orang yang mengabdi pada Thagut ialah orang yang hidup diwilayah yang gelap. Ditempat yang gelap manusia tak akan mampu mengetahui arah, tak akan bisa membedakan sesuatu yang menguntungkan / yang merugikan. Tak akan tahu mana yang benar dan mana yang salah, dani itulah wilayah Thagut. Jadi didaerah yang gelap, meski mata tidak buta tapi tak akan bisa melihat, meski telinga tidak tuli, tapi tak akan dapat menuntun ke sumber kebenaran. Lain halnya dengan orang yang menjadikan Allah sebagai pelindungnya. DIA mengeluarkannya dari kegelapan kepada Cahaya-Nya. “YUKHRIJUHUM MINAL DZHULUMATI ILLAL’ NUR” (DIA-lah yang mengeluarkan mereka, yang menjadikan Allah sebagai pelindung dari kegelapan menuju CAHAYA).

◘ MENJAUHI THAGUT
Makna Thagut berasal dari kata Arab. Thagut (ﻄﺎﻏـﻮﺖ yang berasal dari kata Thagha yang artinya : Melewati atau melampaui batas-batas yang sebenarnya. Dalam hidup di dunia ini ada batas-batas yang tidak boleh dilanggar, agar manusia selamat. Pada mulanya batas itu bersifat alami !, batas-batas yang bebas dari kepentingan politik maupun golongan. Batas ini sudah dipasang oleh Allah, baik di alam dunia ini maupun pada diri manusia.
Batas-batas di alam yang merupakan faktor penentu bagi lingkungan hidup, lingkungan hidup yang benar, ya bila didaur energi yang lengkap ada didalamnya. Ada binatang, ada tumbuhan, baik pepohonan, semak, maupun rumput-rumputan. Ada kecukupan lingkungan abiotik, seperti cahaya, udara dan air. Lha kalau batas-batas ini dirusak yang artinya mengikuti Thagut berjalan ke dunia gelap, contoh nyatanya orang yang mengikuti Thagut adalah orang yang memerintahkan penebangan hutan tanpa memperhitungkan keselamatan masyarakat, mereka yang punya wewenang untuk mencegah, tapi malah membiarkan terjadinya penebangan liar juga termasuk penyembah Thagut.
Di alam ada batas-batas, pada diri manusia juga ada batas-batas, lapar dan kenyang adalah batas-batas alami pada diri manusia, kalau lapar dan tidak diisi makanan yang cukup, akan terjadi kelaparan, kalau sudah kenyang dan tidak berhenti makan maka akan terjadi kekenyangan yang selanjutnya mengundang penyakit. Tetapi yang paling berbahaya adalah Hawa Nafsu atau keinginan. Batas keinginan amat Abstrak, sehinga ada ungkapan “hanya keimginan manusia yang tak ada batasnya”, manusia harus dapat mengerem keinginan, kalau tak di erem, maka keinginan itulah yang merupakan wujud sejati dari Thagut. Adanya keinginan melahirkan kepentingan, keinginan atau hasrat manusia merupakan sumber segala penderitaan manusia. Tapi tanpa keinginan yang kuat keserakahan tak akan ada kesuksesan dalam hal apapun Keinginan tidak untuk dimusnahkan akan tetapi dikendalikan, kalau tidak di kendalikan, maka manusianya yang akan dikendalikan oleh keinginan hawa nafsunya.
Arti Hawa Nafsu sebenarnya ?
Hawa artinya jatuh, tenggelam atau keinginan yang kuat tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Mengikuti Hawa Nafsu berarti memperturutkan keinginan tanpa pikiran akan dapat menjatuhkan diri kedunia hampa, dunia yang tidak kekal, dunia yang penuh kegelapan. Karena itu dari segala macam jenis berhala, yang paling berbahaya bagi manusia adalah mempertuhankan kepada Hawa Nafsu, alias Thagut lihat Q.S. 25 : 43 dan Q.S. 45 : 23. Jangan sampai keimanan gugur gara-gara secara tak sadar kita ber-Tuhankan pada hawa nafsu kita sendiri.
Thagut berasal dari kata Thaga, Thaghi, Thagiya yang artinya melampaui batas-batas yang telah ditetapkan. Bukankah alam raya ini dibangun oleh Allah dengan ukuran Qadar yang tepat. Ada tumbuhan ada batas, begitu juga didalam diri manusia ada batas-batasnya. Jadi inti hidup ber-Agama adalah mengingkari Thagut, menolak ber-Tuhan pada Hawa Nafsu. Adapun Jenis Thagut yang ada di Jaman sekarang adalah Penyembahan kepada Kekuasaan, Kekayaan, Kecantikan, Kedudukan, Pangkat dan Jabatan, serta Uang. Karna uang pada jaman sekarang ini adalah merupakan segala-galanya. Adanya orang kaya karna uangnya, begitu juga adanya orang miskin karena uang, Mereka kaya karena banyak uangnya, dan mereka miskin karena sedikit uangnya. Maka hanya merekalah yang ber-Duit yang akan menjadi Tuan dan Tuhan bagi simiskin yang tidak ber-Tuhan kepada Tuhan Yang Sebenarnya.
Dulu Nabi Muhammad SAW diutus untuk membasmi para penyembah Thagut, mereka ditaklukan bukan karena mereka itu menyembah patung dalam pengertian lahiriah, bukan demikian !. Tetapi mereka itu menyembah patung yang ada di dalam hatinya. Penyembah Thagut, mengapa patung mereka disekitar Ka’bah dihancurkan ?
Karena patung-patung itu sudah dikaitkan dengan kekuatan Thagut dalam diri mereka. Nah Thagut yang disembah oleh mereka para elit-elit Quraes itulah yang dihancurkan. Oleh karena patung-patung sudah menjadi symbol kekuasaan Thagut, sudah diberhalakan ! sehingga tatanan masyarakat Quraes hancur, masyarakatnya rusak, mentalitasnya lemah, maka patung-patung itu pun perlu dihancurkan. Itu semua yang membuat masyarakat Quraes pra Islam disebut masyarakat Jahiliah..
Dalam masyarakat Jahiliah, manusia tidak dimanusiakan, kemiskinan dan perampokan meraja lela, dunia yang diciptakan Allah dengan segala keindahannya di korupsi. Keadilan hanya omong kosong ! itu yang menyebabkan bencana alam datang silih berganti dengan berbagai macam bentuknya. Sehingga dunia sudah menjadi neraka, kalau demikian lha apa ya bisa menjadi Sorga ?. . 

 
□ TUJUAN HIDUP

Tujuan hidup kita adalah Selamat, yang juga mempunyai makna Widada yaitu selamat dimana saja dan kapan saja, hingga selama-lamanya. Suatu keselamatan yang bebas dari ruang dan waktu. Karena itu konsep Neraka dan Sorga pada mulanya tidak dikenal, konsep yang ada dan digunakan adalah Rahayu, dalam konsep ini terkandung kebenaran, keselamatan, kebaikan, dan ketepatan. Jadi kehidupan yang rahayu adalah hidup yang teratur, tertib, sejahtera, sehat, indah, dan penuh kebajikan.
Hidup di dunia ini hanya untuk meminum air (kehidupan), hanya datang untuk minum, dengan minum itu kita mempunyai tenaga untuk melanjutkan perjalanan, Perjalanan kemana ? Perjalanan ke kehidupan Sejati ! hidup yang tidak tersentuh oleh kematian, yang dalam istilah Islam disebut Akhirat, dan akhirat sebenarnya tidak harus datang setelah alam raya ini hancur. Karena akhirat yang sebenarnya adalah “keadaan” yang bisa di alami sekarang ini, ia tidak terikat waktu, bukan dulu atau nanti. Karena hidup sekarang ini merupakan wahana (Jalan) untuk menuju kekehidupan sejati, hidup yang rahayu, maka dalam hidup sekarang ini, manusia harus tahu dulu pintu-pintu atau jalan yang harus dilewati. Harus mengetahui dengan benar air yang di minum, jangan sampai minum air yang kotor atau mengandung racun.
Adapun jalan yang harus dilewati/ dilalui itu adalah Jalan Hati, Hati yang bisa mencapai kebenaran, hati yang demikian itu harus bebas dari berbagai penyakit atau kotoran, tanpa pamrih dalam bertindak, tidak dengki dan mendengki, Hati yang pemaaf, Sombong.., sudah jauh-jauh harus ditinggalkan, tidak dumeh, tidak mentang-mentang berkuasa atau punya kuasa, lalu berbuat semaunya. Tentunya jika hati sudah lurus itu tercermin dalam perilakunya, tercermin tutur katanya, terepleksi dalam cahaya wajahnya, terpantul dalam suaranya ketika berbicara!.
Dalam kondisi hati yang jernih seseorang akan dapat melihat jalan hidup yang harus di laluinya. Dengan hati yang tulus, kita yang sekarang hidup di alam dunia ini, harus berusaha mengetahui rahasia alam. Rahasia alam yang paling rahasia adalah pintu-pintu kematian, setiap seseorang menyadari bahwa dirinya pasti mati.

□ PENCAPAIAN MANUSIA SEJATI

Manusia Sejati merupakan kenyataan yang satu, karena itu ia berasal dari Agama Islam, Hindu, Budha atau yang lainnya, satu wujud Cuma namanya berbeda. Tak perlu mempermasalahkan nama, kemanusiaan adalah Universal !, tak ada satupun Kitab Suci yang mengklaim, bahwa hanya dirinya yang menjadi petunjuk bagi manusia, justru yang ada ialah penafsiran manusia terhadap Kitab Suci.
Manusia Sejati mempunyai Sifat 20 AllahWujud, Qidam, dan Baqa adalah hak bagi Manusia Sejati. Manusia dapat disebut hidup sejati bila dia dapat mengepresikan dirinya tidak dikuasai oleh orang lain, bahwa didalam ini manusia berinteraksi dengan yang lain, itu merupakan kodratnya, tapi manusia tidak boleh saling menguasai dalam kehidupan ini, menguasai orang lain itu sama halnya dengan melanggar Hak Hidup.
Hidup bersifat Qidam = Dari dulu, ini hidup dalam artinya yang hakiki, bukan hidup dalam arti fisik / jasmani sebagai kenyataan, bakat dan potensi manusia bukanlah warisan dari orang tuanya, juga tidak diterima dari orang lain, ia merupakan hak dalam dirinya, karena itu bila kehidupan di bumi sekarang ini, wujud dari hidup sejati, setiap orang akan bisa mengekpresikan bakat dan potensinya.
Hidup juga bersifat Baqa = Kekal, berarti hidup tak tersentuh kematian, tapi di bumi ini hidup telah terperangkap oleh badan jasmani yang dapat mengalami kematian. Sifat Baqa manusia telah terbungkus oleh badan yang bersifat bangkai, akhirnya hidup mengalami keterbatasan, ada duka, derita, sengsara, sakit, Neraka dan Sorga saling mengisi satu sama lain, ada bahagia dan nestapa saling menutupi. Baqa juga berarti tetap, manusia sejati ini tetap dari awal hingga akhir. Secara jasmani, dia memang merasakan sifat-sifat kejasmanian, seperti duka, bahagia, sakit, dan sehat dll. Hidup di bumi manapun jika kita masih terbungkus badan jasmani, kita tetap tersentuh duka, meskipun di dalam Sorga ! lho, kan di Sorga manusia tidak mengalami keletihan, tidak tersentuh kematian, dan bahagia terus menerus ?. Jika seandainya kita yakin Sorga seperti itu bisa memilih kesenangan apa saja didalamnya, tak putus-putus pohon berbuah, penghuninya dapat memetik buahnya dengan mudah, bidadari dan bidadara berada di sekililingnya, tapi selama itu berupa hiburan dan kesenangan dari luar dirinya, maka penghuni Sorga akan pilih-pilih mana yang lebih menyenangkan, artinya apa ?, berarti di Sorga pun kita masih ada Duka.
Dalam satu hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang berasal dari Sahabat Anas bin Malik R.a. disebutkan : “Bahwa ada orang yang dimasukan kedalam Sorga karena Mati Syahid, tapi di Sorga dia minta di kembalikan lagi ke Dunia untuk mati Syahid 10 kali, ternyata orang yang mati syahid itu tidak puas dengan Sorga yang dihuninya, karena yang ia inginkan adalah Sorga yang lebih nikmat. Jadi jelas bahwa selama diri manusia itu masih menemukan badan jasmaninya, ia tak bisa lepas dari duka dan derita, meskipun ia telah menemukan berbagai macam kenikmatan.
Manusia Sejati itu bersifat Baqa, Ia bergeming dengan adanya bahagia dan derita di dunia. Tak terpengaruh oleh duka dan sentosa, ia menyadari bahwa dunia itu Fana, tidak Baqa !. Derita, duka dan nestapa itu lenyap bila ia mampu menjadi manusia sejati. Di bumi senantiasa untuk memenuhi kewajibannya, tidak mau konflik, apalagi Cuma konflik pandangan. Orang yang suka berebut pandangan entah itu karena beda Agama, kepercayaan, suku, Ideologi atau apapun yang bisa menimbulkan konflik, sama saja dengan orang yang berebut kulit tanpa isi, berebut tulang tanpa daging. Wujud, Qidam, Baqa adalah hidup Hak seseorang. Sifat manusia sejati berbeda dengan yang baru atauMukhalafatun Lilhawaditsi, ia memang dilahirkan sebagai Bayi yang baru, tetapi setelah dia dewasa dan nglakoni, mengamalkan hidup sejati, dia memang unik. Dia berbeda dengan manusia umumnya yang masih mengejar kenikmatan duniawi. Dia tidak ikut menderita bila ada bencana atau musibah. Berbeda dengan sesuatu yang baru adalah kemandirian, orang tidap disebut mandiri bila masih tergantung kepada orang lain, fisik memang bersifat baru, tapi jiwanya berbeda dengan segala yang baru. Amal Saleh adalah buah bagi manusia sejati, dia beramal bukan karena ingin masuk Sorga, ataupun dia beramal karena takut akan ancaman Neraka. Ia yakin dan tahu bahwa tak ada Neraka yang hinggap pada diri manusia sejati. Kesalehan adalah Budhi Pekert. Manusia adalah Khalifah Allah, Ia berbuat kesalehan merupakan wujud Khalifah Allah di bumi, tak ada konfromi antara Kesalehan dan Neraka. Karena itu tak perlu ada yang diharapkan dan tak perlu ada yang di takuti. Amal Saleh sejati memang amal yang tumbuh dari Hati Nurani
Manusia Sejati adalah sifat Qiyamuhu bi Nafsihi, dimana hidupnya tidak ingin di topang atau dibantu orang lain, apalagi membebani. Dia tidak merugikan orang lain. Tetapi bagi orang yang masih tertutup pintu hatinya, kehadirang seorang yang mandiri ini, dianggap merugikan dirinya, karena dipandang mengurangi kewibawaannya, karena orang yang mandiri itu tidak tunduk pada kekuasaan ataupun perintah orang lain. Ia indah bukan untuk dirinya tapi bagi mereka yang memandangnya, bukan agar dikagumi. Keindahan sebagai manifestasi (perwujudan) kemandiriannya. Kehadirannya, sebenarnya berkah bagi sekelilingnya, berkah bagi bumi. Agamanya adalah Agama Sejati, yang tumbuh dari dalam dirinya.
Semua manusia sejati bersifat Wahdaniat, mereka bersatu walau berbeda-beda tetapi satu tujuan yakni Tak ada kebenaran yang mendua, perbedaan hanyalah pancaran ke-Agungan-Nya. Jadi hidup sejati atau Hidup Hakiki merupakan wujud Haq kemandirian dan Qodrat yang di sifati dengan Sifat 20 Allah, dengan demikian sifat Qudrat, Iradat, Sama, Bashar, Kalam, Ilmu dan Hayat , merupakan Sifat Qudrat dari manusia sejati. Dia sadar bahwa dirinya meruapakn Qodrat. Wujud dari qodrat, kuasa yang ada di dalam benih diri. Qodrat itu tersimpan didalam Biji, Yakni benih dari manusia itu sendiri. Karena itu Wahdaniat disebut “Siji Sawiji” yaitu satu bagaikan biji, biji yang tampak mati itu bila di lingkungan yang subur, akan tumbuh akar, batang, daun dan akhirnya berbunga dan berbuah, begitupun perkembangan manusia.
Pertumbuhan dan perkembangan dirinya itu merupakan Qodrat, bukan orang lain yang memberikan kekuasaan, juga bukan ibunya, orang lain hanya memberikan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhannya. Manusia sejati memiliki Kodrat, Dia tidak tunduk dibawah kekuasaan siapapun, tapi juga tidak menundukan siapapun. Tidak merugikan dan tidak pula dirugikan.
Manusia Sejati adalah manusia yang berkehendak, berbudhi luhur, dan bukan dibawah kehendak orang lain. Dia berbuat baik, beramal saleh, bukan karena di iming-iming Sorga oleh orang lain, juga bukan karena di takut-takuti Neraka. Semua tumbuh dari Iradat-nya sendiri. Berbuat baik itu merupakan kesadaran hidupnya. Qudrat dan Iradatmanusia sejati adalah untuk menjalani kebaikan. Mendengar dan mendengarkan suara Illahi, melihat dan menyaksikan kebenaran, berkata dan senantiasa berbicara tentang kenyataan, tahu dan selalu mengetahui yang benar. Hidup semua itu kodratnya manusia sejati.
Sifat 20 Allah juga dapat menjadi keinginan duniawi yang melelahkan, apabila sifat ini dikuasai oleh Panca Indera, bukan manusia sejati yang tercipta, tetapi yang ada hanyalah manusia-manusia yang durhaka. Semua sifat Mulia tadi menjadi kotor dan racun bagi kehidupan. Apa tidak beracun, bila keinginan manusia menjadi Iradat tanpa arah ?
Keinginan yang terbentuk karena berbagai warna dan bentuk ilusif dunia ini. Keinginan yang demikian ini, yang membuat manusia menjadi nestapa hidup di dunia, baik di darat dan di laut manapun, di angkasa akan rusak binasa akibat ulah manusia yang telah mengumbar Nafsu dan Iradat-nya tanpa arah.
Hidup harus sejiwa dengan Dzat-Nya, berbudi pekerti seperti budi pekerti-Nya. Hidup Wahdaniat, wujud hamba hanya sebagai wadah bagi keberadaan-Nya, dalam keadaan demikian manusia akan menjadi arif dan bijaksana. Bila manusia sudah manunggal dengan Gusti-Nya, maka sungguh hanya manusia yang merupakan eksistensi-Nya (keberadaanNya). Bumi dan langit menjadi milik manusia sejati, segala daya yang ada di luar dirinya tidak mengikat keberadaannya, karena bumi dan langit itu miliknya, sarang kehidupannya. Maka dia serta merta menjaga memeliharanya, apa ada manusia berbudi yang merusak tempat tinggal sendiri ?.
Sifat 20 Allah, harus tumbuh dari dalam diri, bukan sifat yang dirangsang oleh Inderawi/nafsunya. Segala yang tumbuh karena rangsangan Indera/nafsu, akan mendorong keinginan yang melampaui batas. Bukankah di dalam tubuh manusia ada batas-batasan, seperti minum untuk hidup, tetapi bila minumnya berlebihan akan membuat sakit, untuk hidup manusia perlu makan, tapi kalau yang dimakannya berlebihan, maka makanan itu akan menjadi racun/sumber penyakit bagi tubuh, dan akhirnya sama saja dengan membunuh jasad diri sendiri. Orang hidup pasti punya keinginan, sama dengan makan, keinginan diperlukan untuk hidup. Bayangkan jika orang tidak mau makan dan minum, maka tidak akan ada energi/tenaga untuk hidupnya. Tapi keinginan untuk makan dan minum itu harus tumbuh secara alami, sesuai dengan keperluannya. Namun indera kita mendorong keinginan manusia tanpa arah dan tanpa batas, yang akhirnya apa ?. keinginan, meracuni kehidupan manusia, yang akhirnya manusia mati dalam belenggu keinginan hawa nafsu atau keinginan diluar kendali. Inilah yang akan menjerat kehidupan manusia di alam Barzah, yakni alam antara dua kehidupan. Hal inilah yang disebut sebagai Neraka dunia, orang jatuh kedalam Neraka dunia, karena ditarik oleh Panca Indera, menuruti Nafsu Catur Warna yaitu Hitam, Merah, Kuning, dan Putih, dalam jumlah yang besar sekali masuk kedalam jiwa raga. Jadi walaupun raganya sudah hancur binasa, jiwanya masih terikat Hawa Nafsu. Sungguh tersiksa dan merana.


PENCAPAIAN ILMU SEJATI

Hakikat Ilmu Sejati atau sejatiningg ngelmu, “LUNGGUHE CIPTA PRIBADI, PUSTINING PANGESTINIRA GINELENG DADYA SAWIJI, WIJANGING NGELMU DYATMIKA NENG KAHANAN ENENG-ENING //.
Yang Artinya :Hakikat ilmu yang sejati itu terletak pada Cipta pribadi, adapun maksud dan tujuannya adalah disatukan adanya. Lahirnya ilmu unggul hanya dapat dicapai dalam keadaan sunyi dan jernih.
Yang dimaksud ilmu unggul disini adalah pengetahuan murni, yang terlahir dari kreasi pribadi, yang lahir dari satunya tekad dan tujuan, serta hanya dapat diperoleh dalam keadaan sunyi sepi dan pikiran yang jernih. Karena ilmu itu tersembunyi di kedalaman Jiwa. Untuk mendapatkan ilmu sejati, manusia harus sunyi dari pamrih, harus bening pikirannya, bebas dari segala kedengkian, sehingga Qalbu betul-betul diam, tak ada gemerisik. Hati dan pikiran menjadi satu, sehingga tak ada lagi konflik batin, maka dalam kondisi yang sepi dan tenang ini mengalirlah ilmu dari kedalaman pribadi, mengetahui kenyataan panca indera tak berfungsi, mengetahui bukan karena kata orang lain dan bukan pula karena membaca buku-buku.
Dan jika hati sudah sampai pada kebenaran, sehingga hati sudah terbebas dari berbagai macam penyakit dan kotoran yang telah sirna dari badan, mencegah segala keburukan, bagaikan tubuh yang bersinar, dan yang demikian itu jika telah sampai pada luar dan dalamnya, akhirnya seimbang bersih, jernih, tanpa campuran. Akhirnya dapat dikatakan lenyap sudah sifat awam manusianya.

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...