Rabu, 25 Mei 2016

Madzhab Ja’fari: Madzhabnya Imam Yang Mendidik Para Pendiri Madzhab




Meski saat ini dianggap sebagai madzhabnya kaum Syiah, Imam Ja’far bukanlah tokoh yang mewakili kelompok tertentu. Ini terbukti dari murid-muridnya yang datang dari berbagai aliran.

Hingga saat ini, dalam khazanah keberagamaan kaum ahlussunnah wal jama’ah, madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali yang telah ditulis pada pada tulisan-tulisan sebelumnya secara berturut-turut dianggap sebagai empat madzhab fiqih mu’tabar yang masih ada atau tersisa hingga saat ini. Madzhab-madzhab tersebut terus bertahan dan mendunia karena dukungan penguasa. Madzhab Hanafi, misalnya, mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, diangkat menjadi qadhi dalam pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah: al-Mahdi, al-Hadi, dan al-Rasyid.
Madzhab Maliki berkembang di khilafah Timur atas dukungan Al-Manshur, di khilafah Barat atas dukungan Yahya bin Yahya ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia, dan di Afrika oleh al-Mu’iz yang mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti madzhab Maliki. Madzhab Syafi’i juga membesar di Mesir ketika Shalahuddin Al-Ayyubi menguasai negeri itu. Dan Madzhab Hanbali menjadi kuat pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil dari Dinasti Abbasiyyah. Waktu itu al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang qadhi kecuali dengan persetujuan Imam Ahmad ibn Hanbal.
Padahal dalam perjalanan tarikh tasyri’ (sejarah perkembangan ilmu fiqih), selain empat madzhab tersebut, pernah muncul banyak ahli fiqih yang mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih secara kontinyu dan terstruktur yang memuat mereka layak dianggap sebagai imam-imam madzhab.
Ahli fiqih pertama yang ijtihad dan fatwa-fatwa fiqihnya cukup populer adalah Sayyidina Umar bin Khaththab, khalifah kedua setelah Sayyidina Abu Bakar Shiddiq. Beberapa ijtihadnya belakangan dibukukan dengan judul Fiqih Umar. Setelah Umar, semakin banyak ulama dari generasi sesudahnya yang dikenal sebagai mujtahid dan fatwanya dianggap sebagai madzhab tersendiri.
Diantara mereka terdapat nama-nama besar seperti Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir (82 – 148 H), Abu Abdullah Sufyan bin Masruq Ats-Tsauri (65 – 161 H), Imam Abdurrahman bin Amr Al-Auza’i (88-157 H), Abul Harits Al-Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman Al-Fahmi (94 – 175 H), Abu Muhammad Sufyan ibn ‘Uyaiynah (wafat 198 H), Abu Sulayman Dawud ibn ‘Ali Azh-Zhahiri (202 – 270 H) dan Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir At-Thabari (224 – 310 H).
Diikuti Sunni Dan Syi’i
Meski saat ini madzhab Ja’fari diklaim sebagai madzhabnya kaum Syiah, pada awalnya fiqih Ja’fari tidak berafiliasi ke aliran aqidah mana pun. Dengan kedalaman ilmunya dan kemuliaan yang ada pada dirinya, Imam Ja’far di masa hidunya memang menjadi media bertemunya berbagai paham dan golongan pada kaum muslimin. Berbagai madzhab syariat dan tarekat merujukkan ajaran- ajarannya kepada Imam Ja’far, termasuk kaum Syiah.
Bahkan bisa dibilang Imam Ja’far adalah guru utama bagi sebagian besar ahli fiqih yang belakangan menyusun madzhab. Sebut saja Imam Sufyan Ats-Tsauri, Imam Sufyan bin Uyainah, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Yahya bin Sa’id Al-Anshary, Ibu Jarih, Al Qaththan, Muhammad bin Ishar bin Yassar, Syu’bah bin Al Hajjaj, dan Abu Ayyub as Sjistaniy yang tercatat pernah berguru kepada Imam Ja’far.
Sementara dalam ranah kesufian nama Imam Ja’far Shadiq tercatat dalam berbagai mata rantai silsilah thariqah shufiyyah seperti Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, Alawiyyah dan sebagainya. Fakta-fakta tersebut tentu menguatkan bukti bahwa sebenarnya sang Imam adalah tokoh Ahlussunnah, sebab jika sebaliknya pasti kaum sunni tidak akan menjadikannya sebagai salah satu rujukan.
Meski begitu, seiring perjalanan waktu, madzhab Ja’fari yang dikembangkan oleh ulama sesudahnya semakin kental bernuansa syiah. Karena itu, jika mengkaji madzhab Ja’fari di zaman modern ini, mau tidak mau kita akan bertemu dengan tradisi Madzhab Ja’fari ala kaum syiah. Karena hanya sumber-sumber itu saja yang hingga kini masih bisa ditemui.
Pengikut madzhab Ja’fari di zaman modern (kaum Syiah) membagi periodisasi fiqih menjadi dua : periode tasyri’ dan periode tafri’.
Periode tasyri’ (penetapan syariat) adalah periode turunnya syariat yang meliputi masa kenabian Rasulullah SAW sejak awal hingga beliau wafat. Periode ini diwarnai dengan turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan ajaran ilahi kepada Rasul SAW. Selama rentang masa 23 tahun beliau menerima wahyu yang mencakup semua hukum syariat.
Periode tafri’ (penafsiran syariat) dimulai sejak Nabi SAW wafat dan berlangsung sampai kelak Imam Mahdi as muncul di tengah-tengah umat. Tafri’ secara umum dimaknai istinbath dan penyimpulan hukum berdasarkan syariat yang diterima dan diajarkan oleh Nabi SAW.
Periode tafri’ juga terbagi menjadi beberapa tahapan lagi. Tahapan pertama adalah masa hidup para imam. Ketika itu, para pengikut Ahlussunnah sudah memasuki masa ijtihad, berbeda halnya dengan para pengikut Ahlul Bait atau Syiah. Di zaman itu, Syiah merujuk kepada pendapat dan kata-kata para imam Ahlul Bait dalam semua masalah syariat.
Di antara 12 imam tersebut, Imam Muhammad al-Baqir dan Imam Jafar Shadiq yangdianggap paling banyak mendapat kesempatan untuk berbicara dan menerangkan hukum-hukum agama. Karena itu, dalam kepustakaan hadits pengikut Madzhab Ja’fari modern, jumlah riwayat dari kedua Imam tersebut jauh lebih besar dibanding riwayat para imam yang lain.
Menolak Qiyas
Tahap kedua dimulai sejak masa ghaibnya Imam Mahdi, atau sekitar paruh pertama abad keempat hijriyah hingga paruh pertama abad kelima. Periode ini adalah masa keemasan bagi penyusunan hadis, dengan kemunculan para muhaddits dan faqih besar Syiah, diantaranya Syekh Kulaini dan Syekh Shaduq. Kitab-kitab kumpulan hadis yang ditulis pada masa ini menjadi rujukan Syiah sepanjang masa.
Tahap ketiga adalah masa ijtihad. Di masa ini para ulama melakukan aktivitas pengumpulan nash syariat secara ijtihad. Dengan berpijak pada teori ushul fiqh mereka menyimpulkan hukum dari nash-nash yang ada. Berkat kerja keras ulama di zaman itu, ilmu uhsul fiqh Syiah disusun dan menemukan bentuknya. Hal itu terjadi berkat upaya keras para ulama semisal Ibn Abi Aqil.
Tahap keempat adalah masa taqlid. Masa ini dimulai sejak wafatnya Syekh Thusi yang dikenal sebagai faqih Syiah sepanjang masa. Kepergian ulama sekaliber beliau meninggalkan luka yang amat dalam di tengah kaum Syiah. Ketinggian dan keluasan ilmu Syekh Thusi membuat ulama berpikir untuk tidak beramal selain dengan fatwa beliau. Mereka bahkan menilai orang yang berani berijtihad sebagai orang yang lancang terhadap Syekh Thusi.
Tahap kelima adalah masa maraknya kembali ijtihad. Masa ini dimulai dengan tampilnya Ibnu Idris sebagai pembaharu. Dengan menulis buku fiqh al-Sarair, Ibnu Idris mendorong para ulama untuk tidak hanya mengikuti pendapat ulama terdahulu. Kitab al-Sarair sampai saat ini menjadi rujukan para ulama. Langkah Ibnu Idris membuat para ulama berani untuk berijtihad kembali. Di masa itu studi dan riset fiqh mengalami kemajuan yang pesat dengan bermunculannya para ulama besar semisal Allamah Hilli, Muhaqqiq Hilli dan Fakhrul Muhaqqiqin.
Tahap keenam adalah periode munculnya gerakan akhbariyyin. Pada masa ini, sebagian ulama berpendapat bahwa sumber syariat hanya terbatas pada al-Qur’an dan sunnah. Mereka menolak metode ijtihad. Akibatnya ilmu ushul yang mengajarkan metode bertijtihad dengan benar, mengalami kelesuan. Umumnya kitab fiqh yang ditulis pada masa ini berporos pada riwayat dan hadis. Diantara kitab-kitab tersebut adalah al-Qafi, Wasail al-Syiah dan Bihar al-Anwar.
Tahap ketujuh adalah periode kebangkitan kembali gerakan ijtihad. Perintis periode ini adalah Muhammad Baqir bin Muhammad Akmal yang dikenal dengan sebutan Syekh Wahid Bahbahani. Beliau dengan lantang menolak cara berpikir kaum akhbari, dan dengan membawakan berbagai dalil kuat membantah klaim dan pendapat mereka. Bahbahani juga menerangkan kebutuhan umat kepada kaedah untuk istinbath. Gerakan itu membuahkan hasil gemilang dengan kemunculan ulama sekaliber Syekh Murtadha Anshari (wafat tahun 1281 hijriyah), yang dikenal sangat jeli dalam mengurai hukum dan beristinbath.
Prinsip dasar madzhab Ja’fari, selain menolak qiyas, adalah: Pertama, sumber syariat adalah al-Qur’an, al-Sunnah dan akal. Termasuk ke dalam sunnah adalah sunnah ahlul bait. Mereka tidak mau menjadikan hujjah hadits-hadits yang diriwayatkan para sahabat yang memusuhi ahl al-Bayt;
Kedua, istihsan tidak boleh dipergunakan. Qiyas hanya dipergunakan bila ‘illat-nya manshush (terdapat dalam nash). Pada hal-hal yang tak terdapat ketentuan nashnya, digunakan akal berdasarkan kaidah-kaidah tertentu;
Ketiga, Al-Qur’an dipandang telah lengkap menjawab seluruh persoalan agama. Tugas seorang mujtahid adalah mengeluarkan jawaban-jawaban umum untuk masalah-masalah yang khusus dari al-Qur’an.
Dekat Dengan Syafi’i
Mengenai hukum-hukum dalam madzhab Ja’fari Syaikh Ahmad Kaftaro, mufti madzhab Syafi’i di Mesir mengatakan, sebenarnya madzhab Ja’fari –yang modern pun– cukup dekat dengan madzhab Syafi’i, kecuali dalam 17 perkara yang memang sangat berbeda dengan fiqh yang dianut mayoritas kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah saat ini. Salah satunya adalah khums atau khumus, pajak keagamaan yang diberikan kepada Ahlul Bait seperti zakat.
Menurut madzhab Ja’fari, sebenarnya khumus telah diberlakukan pada masa nabi, namun dihapus pada masa khalifah Abu Bakar Shiddiq. Karena itu khumus tidak lagi didapati dalam fiqih-fiqih kaum sunni. (Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3, 1996)
Hal lain yang juga sangat berbeda dengan fiqih sunni adalah dalam masalah nikah mut’ah, atau nikah berjangka. Tidak sebagaimana madzhab empat yang mengharamkan nikah mut’ah, madzhab Ja’fari modern justru menghalalkannya.
Fuqaha Syi’i menganggap nikah mut’ah masih boleh diamakan berdasarkan keumuman hukum dalam ayat 24 surah an-Nisa’ dan amalan beberapa shahabat sepeninggal Nabi. Baru pada masa khalifah Umar, negara yang secara tegas melarang nikah mut’ah dengan disertai ancaman hukum rajam. Sementara menurut fuqaha sunni ayat 24 surah An-Nisa itu sudah dimansukh dengan hadit hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim. Dalam hadits tersebut dengan tegas Rasulullah SAW melarang pelaksanaan nikah mut’ah yang sebelumnya dibolehkan.
Tidak mudah memang melacak fatwa-fatwa Imam Ja’far Shadiq yang asli. Kitab Rasail Ikhwan Ash Shafa yang diklaim sebagai buku induk fatwa Imam Ja’far, misalnya, dikarang pada masa pemerintahan Dinasti Buwaihiyyah (321 H – 447 H), atau lebih dari dua ratus tahun setelah wafatnya Imam Ja`far pada tahun 148 H. Dan masih banyak lagi contoh-contoh lain.
Imam Ja’far Ash Shadiq adalah keturunan kelima Rasulullah SAW melalui Sayidah Fatimah Az-Zahra yang menikah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ayahnya, Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein Asy-Syahid bin Ali bin Abi Thalib menikah dengan Ummu Farwah yang nama aslinya Qaribah atau Fatimah binti Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shidiq. Dengan nasab yang luar biasa tersebut Imam Ja’far mewarisi darah beberapa tokoh paling utama di bumi sekaligus : Fatimah binti Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar Shiddiq.
Sedangkan nenek dari ibunya adalah Asma binti Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq. Karena nasab kakek-nenek dari pihak ibunya bermuara pada kepada Abu Bakar Shiddiq, Imam Ja`far Ash-Shadiq pun mengatakan, “Aku dilahirkan oleh Abu Bakar dua kali.” (Syiar `A`lam An Nubala : 259).
Karena ikatan darah yang sangat kuat itulah Imam Ja`far Ash Shadiq sangat mencintai datuk-datuknya, Ali Bin Abi Thalib dan Abu Bakar Ash-Shiddiq serta orang-orang yang mereka sayangi seperti Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Aisyah binti Abu Bakar dan lain-lain. Dalam berbagai literatur sejarah juga diceritakan bahwa Imam Ja`far membenci orang-orang yang membenci sahabat-sahabat Nabi tersebut dan orang-orang yang menetapkannya sebagai imam yang ma`sum.
Mencintai Abu Bakar
Diriwayatkan oleh Abdul Jabbar bin Al-Abbas Al-Hamdzani, Ja`far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir mendatangi mereka ketika mereka hendak meninggalkan Madinah, lalu berkata, “Sesunggunya kalian –insya Allah– termasuk orang-orang shalih di negeri kalian, maka sampaikanlah kepada mereka ucapanku ini, ‘Barangsiapa mengira aku adalah imam ma`shum yang wajib ditaati maka aku benar-benar tidak ada sangkut paut dengannya. Dan barangsiapa mengira bahwa aku berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar maka aku berlepas diri dari orang itu’.” (Syiar `A`lam An Nubala : 259).
Muhammad bin Fudhail menceritakan dari Salim bin Abu Hafshah, “aku bertanya kepada Abu Ja`far (Imam Muhammad Al-Baqir) dan putranya, Ja`far, tentang Abu Bakar dan Umar. Ia (Imam Muhammad) berkata, ‘Wahai Salim, cintailah keduanya dan berlepas diri musuh-musuhnya karena keduanya adalah imam al-huda (pemimpin yang mendapat petunjuk).’
Kemudian Ja`far berkata, ‘Hai Salim apakah ada orang yang mencela kakeknya sendiri? Abu Bakar adalah kakekku. Aku tidak akan mendapatkan syafaat Muhammad SAW pada hari kiamat jika aku tidak mencintai keduanya dan memusuhi musuh-musuhnya.’
Ucapan Imam Ash Shadiq seperti ini ia ucapkan di hadapan ayahnya, Imam Muhammad Al-Baqir dan dia tidak mengingkarinya. (Tarikh Al-Islam 6/46).
Hafsh bin Ghayats, murid dari Ash-Shadiq berkata, “Saya mendengar Ja`far bin Muhammad berkata, ‘Aku tidak mengharapkan syafaat untukku sedikit pun melainkan aku berharap syafaat Abu Bakar semisalnya. Sungguh dia telah melahirkanku dua kali’.”
Murid Imam Ja`far yang lain, Amr bin Qais Al-Mulai mengatakan, “Saya mendengar Ibnu Muhammad (Ash-Shadiq) berkata, ‘Allah ta`ala berlepas diri dari orang yang berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar’.” (Syiar Alam An Nubala : 260).
Zuhair bin Mu`awiyah berkata, “Bapaknya berkata kepada Imam Ja`far bin Muhammad, ‘Sesungguhnya saya memiliki tetangga yang mengira engkau berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar’. Imam Ja`far pun mejawab, “Semoga Allah berlepas diri ` dari tetanggamu itu. Demi Allah sesungguhnya saya berharap mudah-mudahan Allah memberikan manfaat kepadaku karena kekerabatanku dengan Abu Bakar. Sungguh aku telah mengadukan (rasa sakit) maka aku berwasiat kepada pamanku (dari ibu) Abdurrahman bin Al Qasim. (At Taqrib, Ibnu Hajar dan Tarikh Al-Islam, Adz Dzahabi).
Imam Ja’far bin Muhammad lahir di Madinah pada tahun 82 H, pada masa pemerintah Abd al-Malik ibn Marwan. Selama lima belas tahun ia tinggal bersama kakeknya, Ali Zainal Abidin keturunan Rasulullah yang selamat dari pembantaian di Karbala. Setelah Imam Ali wafat, ia diasuh oleh ayahnya Muhammad al-Baqir dan hidup bersama selama sembilan belas tahun.
Ia sempat menyaksikan kekejaman Al-Hajjaj, gubernur Madinah, pemberontakan Zaid ibn Ali, dan penindasan terhadap para pengikut keturunan nabi. Ia juga menyaksikan naiknya al-Saffah menjadi khalifah pertama Dinasti Abbasiyah, yang semula mendukung kaum Alawiyyin namun belakangan berbalik memusuhinya. Dalam suasana seperti itulah, Imam Ja’far tumbuh, belajar dan berdakwah untuk menyebarkan sunnah Rasulullah dan akhlak kaum Muslim.
Imam Ja’far termasuk ulama yang tidak setuju dengan penggunaan logika (ra’yu) dalam beragama. Diceritakan, suatu ketika Ibnu Abi Layla, salah seorang murid Imam Ja’far mengajak dua orang temannya Abu Hanifah dan Ibn Syabramah menghadap gurunya.
Digelari Imam Sunni
Imam Ja’far lalu bertanya kepada Ibn Abi Layla tentang kawannya (Abu Hanifah). Sang murid menjawab, “Ia orang pintar dan mengetahui agama.”
“Bukankah ia suka melakukan qiyas dalam urusan agama?,” tanya Ja’far.
“Benar.”
Ja’far bertanya kepada Abu Hanffah: “Siapa namamu?”
“Nu’man,” jawab Abu Hanifah.
Imam Ja’far mengajukan, “Hai Nu’man, ayahku memberitahukan kepadaku dari kakekku bahwa Nabi SAW bersabda, ‘Orang yang pertama kali menggunakan qiyas dalam agama adalah iblis. Karena ketika Allah menyuruhnya bersujud kepada Adam ia berdalih, Aku lebih baik dari dia karena aku Kau buat dari api dan ia Kau buat dari tanah.”
“Manakah yang lebih besar dosanya – membunuh atau berzina?,” tanya Imam Ja’far lebih lanjut.
“Membunuh,” jawab Imam Abu Hanifah.
“Lalu, mengapa Allah hanya menuntut dua orang saksi untuk pembunuhan dan empat orang saksi untuk zina.”
Imam Abu Hanifah terdiam.
“Mana yang lebih besar kewajibannya, shalat atau shaum (puasa)?”
“Shalat,” jawab Imam Abu Hanifah.
“Mengapa wanita yang haidh harus mengqadha puasanya tetapi tidak harus mengqadha shalatnya. Bagaimana kamu menggunakan qiyasmu. Bertaqwalah kepada Allah dan jangan melakukan qiyas dalam agama.”
Karena keluasan dan kedalaman ilmunya itulah, Imam Ja’far juga digelari Al-Imam oleh kaum Ahlussunnah wal Jamaah.Betapa tidak luas, tak kurang lima belas tahun ia dididik langsung oleh kakeknya, Imam Zainal Abidin, seorang ahli ibadah, ulama besar dan pemimpin ahlul bait yang paling dihormati seluruh lapisan umat Islam pada zamannya.
Selain kepada ayah dan kakeknya, Imam Ja’far juga menimba ilmu dari para sahabat besar seperti Sahl bin Sa`ad As-Sa`idi dan Anas bin Malik serta dari ulama dari generasi tabi`in seperti Atha` bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, Urwah bin Az-Zubair, Muhammad bin Al-Munkadir, Abdullah bin Abu Rafi` dan Ikrimah Mawla bin Al-Abbas.
Imam Ja’far wafat pada 25 Syawal 148 H –ada juga yang mengatakan pada bulan Rajab– dalam usia 68 tahun di kota kelahirannya, Madinah. Sang Imam meninggalkan tujuh putra yang belakangan juga dikenal sebagai permata-permata ilmu, yaitu Ismail, Abdullah, Musa Al Kazhim, Ishaq, Muhammad, Ali dan Fathimah.
Ahmad Iftah Sidik, (Santri Asal Tangerang)

http://www.thohiriyyah.com

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...