Selasa, 14 Juni 2011

Kisah Sahabat Nabi: Abu Dzar Al-Ghifari, Tokoh Gerakan Hidup Sederhana

Senin, 13 Juni 2011 16:32 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Ia datang ke Makkah sambil terhuyung-huyung, namun sinar matanya bersinar bahagia. Memang, sulitnya perjalanan dan teriknya matahari yang menyengat tubuhnya cukup menyakitkan. Namun tujuan yang hendak dicapainya telah meringankan penderitaan dan meniupkan semangat kegembiraan.

Ia memasuki kota dengan menyamar seolah-olah hendak melakukan thawaf mengelilingi berhala-berhala di sekitar Ka'bah, atau seolah-olah musafir yang sesat dalam perjalanan, yang memerlukan istirahat dan menambah perbekalan.

Padahal seandainya orang-orang Makkah tahu bahwa kedatangannya itu untuk menjumpai Nabi Muhammad SAW dan mendengarkan keterangan beliau, pastilah mereka akan membunuhnya.
Ia terus melangkah sambil memasang telinga, dan setiap didengarnya orang mengatakan tentang Rasulullah, ia pun mendekat dan menyimak dengan hati-hati. Sehingga dari cerita yang tersebar di sana-sini, diperolehnya petunjuk yang dapat mengarahkannya ke kediaman Nabi Muhammad dan mempertemukannya dengan beliau.

Pada suatu pagi, lelaki itu, Abu Dzar Al-Ghifari, pergi ke tempat tersebut. Didapatinya Rasulullah sedang duduk seorang diri. Ia mendekat kemudian menyapa, "Selamat pagi, wahai kawan sebangsa."

"Wa alaikum salam, wahai sahabat," jawab Rasulullah.

"Bacakanlah kepadaku hasil gubahan anda!"

"Ia bukan syair hingga dapat digubah, tetapi Al-Qur'an yang mulia," kata Rasulullah, kemudian membacakan wahyu Allah SWT.

Tak berselang lama, Abu Dzar berseru, "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bahwa bersaksi bahwa engkau adalah hamba dan utusan-Nya."

"Anda dari mana, kawan sebangsa?" tanya Rasulullah.

"Dari Ghifar," jawabnya.

Bibir Rasulullah menyunggingkan senyum dan wajahnya diliputi rasa kagum dan takjub. Abu Dzar juga tersenyum, karena ia mengetahui rasa terpendam di balik kekaguman Rasulullah setelah mendengar bahwa orang yang telah mengaku Islam di hadapannya secara terus terang itu adalah seorang laki-laki dari Ghifar.

Ghifar adalah suatu kabilah atau suku yang tidak ada taranya dalam soal menempuh jarak. Mereka jadi contoh perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam yang kelam dan gelap gulita tak jadi soal bagi mereka. Dan celakalah orang yang kesasar atau jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam.

Rasulullah pun bersabda, "Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada yang disukainya..."

Benar, Allah menunjuki siapa saja yang Dia kehendaki. Abu Dzar adalah salah seorang yang dikehendaki-Nya memperoleh petunjuk, orang yang dipilih-Nya akan mendapat kebaikan. Ia termasuk orang yang pertama-tama masuk Islam. Urutannya di kalangan Muslimin adalah yang kelima atau keenam. Jadi ia telah memeluk agama itu di masa-masa awal, hingga keislamannya termasuk dalam barisan terdepan.

Lelaki yang bernama Jundub bin Junadah ini termasuk seorang radikal dan revolusioner. Telah menjadi watak dan tabiatnya menentang kebatilan di mana pun ia berada. Dan kini kebatilan itu nampak di hadapannya, berhala-berhala yang disembah oleh para pemujanya—orang-orang yang merendahkan kepala dan akal mereka.

Baru saja masuk Islam, ia sudah mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah. "Wahai Rasulullah, apa yang sebaiknya saya kerjakan menurut anda?"

"Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti!" jawab Rasulullah.

"Demi Tuhan yang menguasai jiwaku," kata Abu Dzar, "Saya takkan kembali sebelum meneriakkan Islam di depan Ka'bah."

Ia pun menuju menuju Haram dan menyerukan syahadat dengan suara lantang. Akibatnya, ia dipukuli dan disiksa oleh orang-orang musyrik yang tengah berkumpul di sana. Rasulullah kembali menyuruhnya pulang dan menemui keluarganya. Ia pun pulang ke Bani Ghifar dan mengajak sanak kerabatnya memeluk agama baru ini.

Ketika Rasulullah dan kaum Muslimin telah berhijrah ke Madinah dan menetap di sana, pada suatu hari, barisan panjang yang terdiri atas para pengendara dan pejalan kaki menuju pinggiran kota. Kalau bukan karena takbir yang mereka teriakkan dengan suara bergemuruh, tentulah yang melihat akan menyangka mereka adalah pasukan tentara musyrik yang akan menyerang kota.

Begitu rombongan besar itu mendekat, lalu masuk ke dalam kota dan masuk ke Masjid Rasulullah, ternyata mereka tiada lain adalah kabilah Bani Ghifar. Semuanya telah masuk Islam tanpa kecuali; laki-laki, perempuan, orang tua, remaja dan anak-anak.

Rasulullah semakin takjub dan kagum. Beliau bersabda, "Takkan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar. Benar batinnya, benar juga lahirnya. Benar akidahnya, benar juga ucapannya."

Pada suatu ketika, Rasulullah SAW mengajukan pertanyaan kepadanya. "Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil upeti untuk diri mereka?"

Ia menjawab, "Demi Allah yang telah mengutus anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku!"

"Maukah kau kutunjukkan jalan yang lebih baik dari itu? Bersabarlah hingga kau menemuiku!"

Abu Dzar akan selalu ingat wasiat guru dan Rasul ini. Ia tidak akan menggunakan ketajaman pedang terhadap para pembesar yang mengambil kekayaan dari harta rakyat sebagaimana ancamannya dulu. Namun ia juga tidak akan bungkam atau berdiam diri mengetahui kesesatan mereka.

Ketika kepemimpinan Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin telah berlalu, dan godaan harta mulai menjangkiti para pembesar dan penguasa Islam, Abu Dzar turun tangan. Ia pergi ke pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dengan lisannya yang tajam dan benar untuk merubah sikap dan mental mereka satu per satu.

Dalam beberapa hari saja tak ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya bernaung rakyat banyak dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri jauh yang penduduknya pun belum pernah melihatnya. Nama Abu Dzar bagaikan terbang ke sana, dan tak satu pun daerah yang dilaluinya, bahkan walaupun baru namanya yang sampai ke sana, sudah menimbulkan rasa takut dan ngeri pihak penguasa dan golongan berharta yang berlaku curang.

Penggerak hidup sederhana ini selalu mengulang-ulang pesannya, dan bahkan diulang-ulang juga oleh para pengikutnya, seolah lagu perjuangan. "Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak. Mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, menyeterika kening dan pinggang mereka di hari kiamat!"

Abu Dzar telah mencurahkan segala tenaga dan kemampuannya untuk melakukan perlawanan secara damai dan menjauhkan diri dari segala kehidupan dunia. Ia menjadi maha guru dalam seni menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan.

Abu Dzar mengakhiri hidupnya di tempat sunyi bernama Rabadzah, pinggiran Madinah. Ketika menghadapi sakaratul maut, istrinya menangis di sisinya. Ia bertanya, "Apa yang kau tangiskan, padahal maut itu pasti datang?"

Istrinya menjawab, "Karena engkau akan meninggal, padahal kita tidak mempunyai kain kafan untukmu!"

"Janganlah menangis," kata Abu Dzar, "Pada suatu hari, ketika aku berada di majelis Rasulullah bersama beberapa sahabat, aku mendengar beliau bersabda, 'Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar, dan disaksikan oleh serombongan orang beriman.'

Semua yang ada di majelis itu sudah meninggal di kampung, di hadapan kaum Muslimin. Tak ada lagi yang masih hidup selain aku. Inilah aku sekarang, menghadapi sakaratul maut di padang pasir. Maka perhatikanlah jalan itu, siapa tahu kalau rombongan orang-orang beriman itu sudah datang. Demi Allah, aku tidak bohong, dan tidak juga dibohongi!"

Ruhnya pun kembali ke hadirat Ilahi... Dan benarlah, ada rombongan kaum Muslimin yang lewat yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas'ud. Sebelum sampai ke tujuan, Ibnu Mas'ud melihat sosok tubuh terbujur kaku, sedang di sisinya terdapat seorang wanita tua dan seorang anak kecil, kedua-duanya menangis.

Ketika pandangan Ibnu Mas'ud jatuh ke mayat tersebut, tampaklah Abu Dzar Al-Ghifari. Air matanya mengucur deras. Di hadapan jenazah itu, Ibnu Mas'ud berkata, "Benarlah ucapan Rasulullah, anda berjalan sendirian, mati sendirian, dan dibangkitkan kembali seorang diri!"


Redaktur: cr01
Sumber: 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni

Senin, 13 Juni 2011

PERJALANAN DAHLAN ISKAN*) KE IRAN

By. Muchsin Labib

Baru sekali ini saya ke Iran. Kalau saja PLN tak kesulitan dapat gas dalam negeri, barangkali takkan ada pikiran untuk melihat kemungkinan mengimpor gas dari Negara Para Mullah ini.
Sudah setahun lebih PLN berjuang untuk dapat gas dari negeri sendiri. Tapi, hasilnya malah sebaliknya. Jatah gas PLN justru diturunkan terus.
Kalau awal 2010 PLN masih dapat jatah gas 1.100 MMSCFD (million metric standard cubic feet per day atau juta standar metrik kaki kubik per hari), saat tulisan ini dibuat justru tinggal 900 MMSCFD. Perjuangan untuk dapat tambahan gas yang semula menunjukkan tanda-tanda berhasil belakangan redup kembali.
Gas memang sulit diraba sehingga tak bisa terlihat ke mana larinya. Bisa jadi gas itu akan berbelok-belok dulu entah ke mana, baru dari sana dijual ke PLN dengan harga yang sudah berbeda. Padahal, PLN perlu 1,5 juta MMSCFD gas. Kalau saja PLN bisa dapat gas sebanyak itu, penghematannya bisa mencapai Rp15 triliun tiap tahun. Angka penghematan yang mestinya menggiurkan siapapun.

Maka, saya memutuskan ke Iran. Apalagi, upaya mengatasi krisis listrik sudah berhasil dan menuntaskan daftar tunggu yang panjang itu pasti bisa selesai bulan depan. Kini waktunya perjuangan dapat gas ditingkatkan. Termasuk, apa boleh buat, ke negara yang sudah sejak 1980-an diisolasi AS dan sekutu-sekutunya itu. Siapa tahu ada harapan untuk menyelesaikan persoalan pokok PLN sekarang ini: efisiensi.

Sumber pemborosan terbesar PLN adalah banyaknya pembangkit listrik yang ‘salah makan’. Sekitar 5.000 MW pembangkit yang seharusnya diberi makan gas sudah puluhan tahun diberi makan minyak solar yang amat mahal. Salah makan itulah yang membuat kembung perut PLN selama ini.

Kebetulan Iran memang sedang memasarkan gas dalam bentuk cair (LNG). Iran sedang membangun proyek LNG besar-besaran di kota Asaleuyah di pantai Teluk Parsi. Saya ingin tahu benarkah proyek itu bisa jadi? Bukankah Iran sudah 30 tahun lebih dimusuhi dan diisolasi secara ekonomi oleh AS dan sekutu-sekutunya dari seluruh dunia?

Bukankah begitu banyak yang meragukan Iran bisa dapat teknologi tinggi untuk membangun proyek LNG besar-besaran? Saya pun terbang ke Asaleuyah, dua jam penerbangan dari Teheran. Meski Asaleuyah kota kecil, ternyata banyak sekali penerbangan ke kota yang hanya dipisahkan oleh laut 600 Km dari Qatar itu.

Bandaranya kecil, tapi cukup baik. Masih baru dan statusnya internasional. Pesawat-pesawat lokal, seperti Aseman Air, terbang ke sana. Itulah kota yang memang baru saja berkembang dengan pesatnya.
Iran memang menjadikan kota Asaleuyah sebagai pusat industri minyak, gas, dan petrokimia. Beratus-ratus hektare tanah di sepanjang pantai itu kini dipenuhi rangkaian pipa-pipa kilang minyak, kilang petrokimia, dan instalasi pembuatan LNG.
Saya heran bagaimana Iran bisa dapat semua teknologi itu saat Iran diisolasi dunia Barat. Memang terasa jalannya proyek tak bisa cepat, tapi sebagian besar sudah jadi. Kilang minyaknya, kilang petrokimianya, kilang etanolnya sudah beroperasi dalam skala raksasa. Hanya kilang LNG-nya yang masih dalam pembangunan dan kelihatannya akan selesai dua tahun lagi.

Memang, kalau saja Iran tak diembargo, proyek-proyek itu pasti bisa lebih cepat. Namun, Iran tak menyerah. Iran membuat sendiri banyak teknologi yang dibutuhkan di situ. Hanya bagian-bagian tertentu yang masih didatangkan dari luar. Entah dengan cara apa dan entah lewat mana. Yang jelas, barang-barang itu bisa ada. Orang, kalau kepepet, biasanya memang banyak akal. Asal tak mudah menyerah. Demikian juga Iran.

Bahkan, untuk memenuhi keperluan listrik untuk industri petrokimia itu, Iran akhirnya bisa membuat pembangkit sendiri. Termasuk bisa membuat bagian yang paling sulit di pembangkit listrik: turbin. Maka, Iran kini sudah berhasil menguasai teknologi pembangkit listrik tenaga gas, baik open cycle maupun combine cycle. Kemampuan membuat pembangkit listrik itu pun semula agak saya ragukan. Belum pernah terdengar ada negara Islam yang mampu membuat pembangkit listrik secara utuh.

Karena itu, setelah meninjau proyek LNG, saya minta diantar ke pabrik turbin itu. Saya ingin lihat sendiri bagaimana Iran dipaksa keadaan untuk mengatasi sendiri kesulitan teknologinya. Ternyata benar. Pabrik turbin itu sangat besar. Bukan hanya bisa merangkai, tapi juga membuat keseluruhannya. Bahkan, sudah mampu membuat blade-blade turbin sendiri.

Termasuk mampu menguasai teknologi coating blade yang bisa meningkatkan efisiensi turbin. Baru sepuluh tahun Iran menekuni alih teknologi pembangkit listrik itu. Sekarang Iran sudah memproduksi 225 unit turbin dari berbagai ukuran. Mulai 25 MW hingga 167 MW. Bahkan, Iran sudah mulai mengekspor turbin ke Lebanon, Syria, dan Irak. Bulan depan sudah pula mengekspor suku cadang turbin ke India. Bulan lalu pabrik turbin Iran merayakan produksi blade-nya yang ke-80.000 unit!

Kesimpulan saya: inilah negara Islam pertama yang mampu membuat turbin dan keseluruhan pembangkit listriknya. Saya dan rombongan PLN diberi kesempatan meninjau semua proses produksinya. Mulai A hingga Z. Termasuk memasuki laboratorium metalurginya. Dengan kemampuannya itu, untuk urusan listrik, Iran bisa mandiri. Bahkan, untuk pemeliharaan pembangkit-pembangkit listrik yang lama, Iran tak bergantung lagi ke pabrik asalnya. Mesin-mesin Siemens lama dari Jerman atau GE dari AS bisa dirawat sendiri.

Iran sudah bisa memproduksi suku cadang untuk semua mesin pembangkit Siemens dan GE. Bahkan, mereka sudah dipercaya Siemens untuk memasok ke negara lain.
‘’Anak perusahaan kami sanggup memelihara pembangkit-pembangkit listrik PLN dengan suku cadang dari sini,’’ kata manajer di situ.
Pabrik ini memiliki 32 anak perusahaan, masing-masing mengurus bidang yang berbeda di sektor listrik. Termasuk ada anak perusahaan yang khusus bergerak di bidang pemeliharaan dan operasi pembangkitan.

Bisnis kelihatannya tetap bisnis. Saya tak habis pikir bagaimana Iran tetap bisa dapat alat-alat produksi turbin berupa mesin-mesin dasar kelas satu buatan Eropa: Italia, Jerman, Swiss, dan seterusnya. Saya juga tak habis pikir bagaimana pabrik pembuatan turbin itu bisa dapat lisensi Siemens.

Rupanya, meski membenci AS dan sekutunya, Iran tak sampai membenci produk-produknya. Iran membenci AS hanya karena AS membantu Israel. Itu jauh dari bayangan saya sebelum datang ke Iran. Saya pikir Iran membenci apapun yang datang dari AS. Ternyata tidak. Bahkan, Coca-Cola dijual secara luas di Iran. Demikian juga, Pepsi dan Miranda. Belum lagi Gucci, Prada, dan seterusnya.

Intinya: dengan diembargo AS dan sekutunya, Iran hanya kesulitan pada tahun-tahun pertama. Kesulitan itu membuat Iran kepepet, bangkit, dan mandiri. Kesulitan itu tak sampai membuatnya miskin, apalagi bangkrut. Justru Iran dipaksa menguasai beberapa teknologi yang semula jadi ketergantungannya.

Banyaknya proyek yang sedang dikerjakan sekarang menunjukkan, pembangunan ekonomi Iran terus berjalan. Mulai pengembangan bandara di mana-mana, pembangunan jalan layang, hingga ke industri dasar. Tak ketinggalan pula industri mobil.

Kegiatan ekonomi di Iran memang tak gegap gempita seperti Cina, tapi tetap terasa menggeliat. Pertumbuhan ekonominya sudah bisa direncanakan enam persen tahun ini. Mulai meningkat drastis jika dibanding tahun-tahun pertama sanksi ekonomi diberlakukan.

‘’Sebelum ada sanksi ekonomi, Iran hanya mampu memproduksi 300 ribu mobil setahun. Kini Iran memproduksi 1,5 juta mobil setahun,’’ ujar seorang CEO perusahaan terkemuka di Iran.(bersambung)

Di Antara Sepuluh Wanita, Sebelas Yang Cantik

KAMI mendarat di Bandara Internasional Imam Khomeini, Teheran, menjelang waktu salat Jumat. Maka, saya pun ingin segera ke masjid: sembahyang Jumat. Saya tahu tidak ada kampung di sekitar bandara itu. Dari atas terlihat bandara tersebut seperti benda jatuh di tengah gurun tandus yang mahaluas. Tapi, setidaknya pasti ada masjid di bandara itu.

Memang ada masjid di bandara itu, tapi tidak dipakai sembahyang Jumat. Saya pun minta diantarkan ke desa atau kota kecil terdekat. Ternyata saya kecele. Di Iran tidak banyak tempat yang menyelenggarakan sembahyang Jumat. Bahkan, di kota sebesar Teheran, ibu kota negara dengan penduduk 16 juta orang itu, hanya ada satu tempat sembahyang Jumat.

Itu pun bukan di masjid, tapi di Universitas Teheran. Dari bandara memerlukan waktu perjalanan 1 jam. Atau bisa juga ke kota suci Qum. Tapi, jaraknya lebih jauh lagi. Di negara Islam Iran, Jumatan hanya diselenggarakan di satu tempat di setiap kota besar.
"Jadi, tidak ada tempat Jumatan di bandara ini?" tanya saya.
"Tidak ada. Kalau kita mau Jumatan, harus ke Teheran (40 km) atau ke Qum (70 km). Sampai di sana waktunya sudah lewat," katanya. Salat Jumat ternyata memang tidak wajib di negara Islam Iran yang menganut aliran Syiah itu. Juga tidak menggantikan salat Duhur. Jadi, siapa pun yang salat Jumat tetap harus salat duhur.

Karena Jumat adalah hari libur, saya tidak dijadwalkan rapat atau meninjau proyek. Maka, waktu setengah hari itu saya manfaatkan untuk ke kota suci Qum. Jalan tolnya tidak terlalu mulus, tapi sangat OK: enam jalur dan tarifnya hanya Rp 4.000. Tarif itu kelihatannya memang hanya dimaksudkan untuk biaya pemeliharaan.

Sepanjang perjalanan ke Qum tidak terlihat apa pun. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya gurun, gunung tandus, dan jaringan listrik. Saya bayangkan alangkah enaknya membangun SUTET (saluran udara tegangan ekstratinggi) di Iran. Tidak ada urusan dengan penduduk. Alangkah kecilnya gangguan listrik karena tidak ada jaringan yang terkena pohon. Pohon begitu langka di sini.

Begitu juga letak kota suci Qum. Kota ini seperti berada di tengah-tengah padang yang tandus. Karena itu, bangunan masjidnya yang amat besar, yang berada dalam satu kompleks dengan madrasah yang juga besar, kelihatan sekali menonjol sejak dari jauh.

Tujuan utama kami tentu ke masjid itu. Inilah masjid yang luar biasa terkenalnya di kalangan umat Islam Syiah. Kalau pemerintahan Iran dikontrol ketat oleh para mullah, di Qum inilah pusat mullah. Demokrasi di Iran memang demokrasi yang dikontrol oleh ulama. Presidennya dipilih secara demokratis untuk masa jabatan paling lama dua kali. Tapi, sang presiden harus taat kepada pemimpin tertinggi agama yang sekarang dipegang Imam Khamenei. Siapa pun bisa mencalonkan diri sebagai presiden (tidak harus dari partai), tapi harus lolos seleksi oleh dewan ulama.

Tapi, sang imam bukan seorang diktator mutlak. Dia dipilih secara demokratis oleh sebuah lembaga yang beranggota 85 mullah. Setiap mullah itu pun dipilih langsung secara demokratis oleh rakyat.
Dalam praktik sehari-hari, ternyata tidak seseram yang kita bayangkan. Amat jarang lembaga keagamaan itu mengintervensi pemerintah. "Dalam lima tahun terakhir, kami belum pernah mendengar campur tangan mullah ke pemerintah," ujar seorang CEO perusahaan besar di Teheran.

Saya memang kaget melihat kehidupan sehari-hari di Iran, termasuk di kota suci Qum. Banyak sekali wanita yang mengendarai mobil. Tidak seperti di negara-negara di jazirah Arab yang wanitanya dilarang mengendarai mobil. Bahkan, orang Iran menilai negara yang melarang wanita mengendarai mobil dan melarang wanita memilih dalam pemilu bukanlah negara yang bisa menyebut dirinya negara Islam.

Dan lihatlah cara wanita Iran berpakaian. Termasuk di kota suci Qum. Memang, semua wanita diwajibkan mengenakan kerudung (termasuk wanita asing), tapi ya tidak lebih dari kerudung itu. Bukan jilbab, apalagi burqa. Kerudung itu menutup rapi kepala, tapi boleh menyisakan bagian depan rambut mereka. Maka, siapa pun bisa melihat mode bagian depan rambut wanita Iran. Ada yang dibuat modis sedikit keriting dan sedikit dijuntaikan keluar dari kerudung. Ada pula yang terlihat dibuat modis dengan cara mewarnai rambut mereka. Ada yang blonde, ada pula yang kemerah-merahan.

Bagaimana baju mereka? Pakaian atas wanita Iran umumnya juga sangat modis. Baju panjang sebatas lutut atau sampai ke mata kaki. Pakaian bawahnya hampir 100 persen celana panjang yang cukup ketat. Ada yang terbuat dari kain biasa, tapi banyak juga yang celana jins. Dengan tampilan pakaian seperti itu, ditambah dengan tubuh mereka yang umumnya langsing, wanita Iran terlihat sangat modis.

Apalagi, seperti kata orang Iran, di antara sepuluh wanita Iran, yang cantik ada sebelas! Sedikit sekali saya melihat wanita Iran yang memakai burqa, itu pun tidak ada yang sampai menutup wajah.

Sampai di kota Qum, sembahyang Jumatnya memang sudah selesai. Ribuan orang bubaran keluar dari masjid. Saya pun melawan arus masuk ke masjid melalui pintu 15. Setelah salat Duhur, saya ikut ziarah ke makam Fatimah yang dikunjungi ribuan jamaah itu. Makam itu berada di dalam masjid sehingga suasananya mengesankan seperti ziarah ke makan Rasulullah di Masjid Nabawi. Apalagi, banyak juga orang yang kemudian salat dan membaca Alquran di dekat situ yang mengesankan orang seperti berada di Raudlah.

Yang juga menarik adalah strata sosialnya. Kota Metropolitan Teheran berpenduduk 16 juta dan dengan ukuran 50 km garis tengah adalah kota yang sangat besar. Sebanding dengan Jakarta dengan Jabotabek-nya. Tetapi, tidak terlihat ada keruwetan lalu lintas di Teheran. Memang, Teheran tidak memiliki kawasan yang cantik seperti Jalan Thamrin-Sudirman, namun sama sekali tidak terlihat ada kawasan kumuh seperti Pejompongan dan Bendungan Hilir. Memang, tidak banyak gedung pencakar langit yang cantik, tapi juga tidak terlihat gubuk dan bangunan kumuh.

Kota Teheran tidak memiliki bagian kota yang terlihat mewah, tetapi juga tidak terlihat ada bagian kota yang miskin. Teheran bukan kota yang sangat bersih, tapi juga tidak terasa kotor. Di jalan-jalan yang penuh dengan mobil itu saya tidak melihat ada Mercy mewah, apalagi Ferrari, tapi juga tidak ada bajaj, motor, atau mobil kelas 600 hingga 1.000 cc. Lebih dari 90 persen mobil yang memenuhi jalan adalah sedan kelas 1.500 hingga 2.000 cc. Saya tidak melihat ada mal-mal yang besar di Teheran. Tapi, saya juga sama sekali tidak melihat ada pedagang kaki lima, apalagi pengemis. Wanitanya juga tidak ada yang sampai pakai burqa, tapi juga tidak ada yang berpakaian merangsang. Orangnya rata-rata juga ramah dan sopan. Baik dalam sikap maupun kata-kata.

Pemerataan pembangunan terasa sekali berhasil diwujudkan di Iran. Semua rumah bisa masak dengan gas yang dialirkan melalui pipa tersentral. Demikian juga, 99 persen rumah di Iran menikmati listrik "untuk tidak menyebutkan 100 persen.
Melihat Iran seperti itu saya jadi teringat makna kata yang ditempatkan di bagian tengah-tengah Alquran: Wal Yatalaththaf! (bersambung)


*) Dahlan Iskan
CEO PLN

Rabu, 08 Juni 2011

METAFISIKA WAHDATUL WUJUD

http://wongalus.wordpress.com

PROBLEM seputar masalah YANG ADA merupakan problem yang berat. Artikel ini bersandar pada teori YANG ADA dari khasanah Metafisika Islam yaitu Mulla Sadra. Meskipun pendek, diharapkan agar bisa menjadi titik pijak untuk memahami metafisika KESATUAN TUHAN atau WAHDATUL WUJUD yang terkenal dengan tokoh-tokoh sufinya seperti Al Hallaj maupun Syeh Siti Jenar.

Dasar dari Filsafat adalah Metafisika. Metafisika dibagi menjadi METAFISIKA UMUM disebut dengan ONTOLOGI, dan METAFISIKA KHUSUS yang terdiri dari KOSMOLOGI, FILSAFAT MANUSIA atau ANTROPOLOGI METAFISIK dan FILSAFAT KETUHANAN atau TEODICEA.

Di antara tema-tema METAFISIKA UMUM yang paling banyak melahirkan kontroversi adalah problema YANG ADA. Sebab hakikatnya terasa ribet dan ruwet. Hal ini lantaran YANG ADA merupakan sesuatu yang repot bila didefinisikan, mengingat untuk mendefinisikan suatu objek, kita butuh sesuatu yang lain yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Sementara YANG ADA itu adalah obyek sekaligus juga subyek karena kita ada didalam YANG ADA.

Menurut para filsuf, konsepsi YANG ADA sedemikian terangnya, sehingga ia persis menyerupai matahari. Dan karena sedemikian terangnya, ia tak mungkin bisa dilihat manusia. Demikianlah YANG ADA. Begitu jelasnya YANG ADA, maka ia tak mungkin bisa didefinisikan lewat genus dan diferensia, yang secara otomatis berarti harus lebih terang ketimbang YANG ADA itu sendiri.

Secara historis, tema YANG ADA menjadi tema fundamental metafisika yang didiskusikan oleh hampir seluruh filsuf klasik sejak Thales di era Yunani Kuno sampai Josiah Royce di era Modern. Namun harus digarisbawahi di sini bahwa mereka masih sekadar menempatkan problematika YANG ADA sebagai bagian dari tema-tema universalitas saja, sama seperti masalah-masalah universalitas yang lain seperti problematika substansi dan aksidensi, unitas dan pluralitas, dan sebagainya.

Sejak kehadiran Mulla sadra, lahirlah mazhab filsafat EKSISTENSIalisme dalam komunitas Muslim. Namun, EKSISTENSIalisme Sadra sangat berbeda dengan mazhab EKSISTENSIalisme seperti Kierkegaard, Jean Paul Sartre, atau Heidegger.
EKSISTENSIalisme Islam adalah sebuah mazhab filsafat metafisis yang murni. Tujuan utamanya adalah ingin mencari tahu dan bahkan ingin sampai kepada YANG ADA SEBAGAIMANA YANG ADA yang sebenarnya (the Ultimate Reality). Dengan demikian, nuansa metafisika YANG ADA dalam Islam lebih bersifat teistik bahkan sufistik; sementara aliran filsafat EKSISTENSIalisme barat sebagiannya condong pada ATEISME.
Untuk bisa memahami metafisika YANG ADA, ada baiknya kita batasi pembahasan hanya pada teori Mulla Sadra tentang YANG ADA. Konsep Sadra berdiri di atas tiga prinsip dasar yang sangat fundamental. Dengan memahami ketiga prinsip ini, diharapkan kita akan dengan mudah memahami teori-teori filsafatnya yang lain, baik yang berkaitan dengan kosmologi, epistimologi, dan bahkan teologinya. Ketiga prinsip tersebut adalah sebagai berikut: WAHDATUL WUJUD (KESATUAN YANG ADA), TASYKIKUL WUJUD dan ASALATUL WUJUD. Kita akan mengelaborasi ketiga prinsip ini secara sederhana.
Secara historis, teori WAHDATUL WUJUD pada mulanya adalah teori yang disusun Ibnu Arabi. Ia lebih bernuansa sufistik ketimbang filsafat. Banyak penafsiran telah diberikan tentang teori ini, dari yang sangat ekstrem sampai moderat. Mungkin yang paling ekstrem adalah Ibnu Sab’in yang menyatakan bahwa hanya TUHAN YANG EKSIS sementara selain Tuhan tak ada yang eksis. Ada lagi yang ekstrem yang menyatakan bahwa SELURUH YANG BERWUJUD SELAIN TUHAN HANYALAH TAJALLIYAT (MANIFESTASI) DARI ASMA’ DAN SIFAT-SIFAT TUHAN.

Namun Sadra melihat bahwa YANG ADA SEBAGAI YANG ADA meskipun SATU, namun ia memiliki intensitas yang membentang dari yang nama YANG ADA. Sifat YANG ADA-nya TUHAN MUTLAK, sementara yang ada lain hanya bersifat YANG ADA DALAM KEMUNGKINAN. Ia persis seperti matahari dan sinarnya. Matahari tentu berbeda dengan sinarnya. Namun dalam masa yang sama, sinar matahari tiada lain adalah matahari itu sendiri. YANG HARUS ADA berbeda dengan YANG MUNGKIN ADA.

Teori WAHDATUL WUJUD sebagai teori tentang YANG ADA menekankan pada KESATUAN YANG ADA yang hadir pada segala sesuatu. Tuhan MEMILIKI SIFAT YANG ADA, begitu juga dengan manusia, benda-benda mati. Apakah YANG ADA setiap satu dari mereka sifatnya berdiri sendiri (self-subsistence) atau justru ADA KARENA ADANYA YANG LAIN. Lalu kalau pilihannya adalah yang kedua, apa beda antara YANG ADA-NYA TUHAN dengan YANG ADA selainnya? Lalu bagaimana mungkin kita bisa membayangkan bahwa YANG ADA itu SATU, sementara di dunia YANG ADA kita menemukan entitas-entitas yang sepertinya berdiri sendiri. Lalu berapa jumlah YANG ADA?

Persoalan itu dalam metafisika dikenal dengan istilah problem antara YANG SATU DAN YANG BANYAK. Pertama, ada yang disebut dengan istilah composite existence dimana keberadaan entitas tersebut bergantung pada unsur-unsur pokoknya. Segala sesuatu yang termasuk dalam kategori ini maka YANG ADAnya pasti akan terbatas.
Kedua, the Simple Existent, di mana jenis YANG ADAnya tak pernah bergantung pada unsur-unsur. Karenanya ia tidak pernah terbatas. YANG ADA ini hanya milik TUHAN saja di mana YANG ADANYA merupakan WUJUD-Nya itu sendiri. Simplifikasi jenis YANG ADA TUHAN ini disebut Sadra dengan istilah basitul haqiqah kullu syaiy (bahwa YANG ADA yang bersifat sederhana adalah YANG ADA yang mencakup seluruh entitas yang disebut “sesuatu”.) Karenanya mengikut formula ini, YANG ADA manusia adalah bagian inheren dari YANG ADA TUHAN.

Prinsip WAHDATUL -WUJUD atau KESATUAN YANG ADA dalam filsafat Sadra ini yang melihat KESATUAN YANG ADA terbentang lebar pada segala apa yang disebut sebagai YANG ADA INDIVIDUAL sampai YANG MUNGKIN ADA yang beraneka ragam dan bervariasi, sehingga YANG ADA memiliki sistematisasi.
Menurut aliran filsafat ESENSIALISME, ESENSI tak mengalami perubahan. Yang berubah adalah instansi-instansi partikularnya. Ketika warna putih mengalami intensifikasi warna, itu berarti bahwa warna dahulu hilang dan lahir warna baru yang menggantikannya.

Sadra menolak teori ini. Mereka melihat bahwa suatu ESENSI tidak pernah mengalami perubahan. Suatu ESENSI bisa saja memiliki wilayah intensitas yang tak terbatas. Ketika warna putih mengalami intensifikasi, bukan hanya ke-putih-annya yang tetap, bahkan “putih”nya juga tetap. Jadi semua yang disebut ESENSI memiliki kapabilitas untuk menjadi “more or less”: semua manusia bisa jadi “lebih” atau “kurang” manusia dari manusia lain. “Manusia” dan “kemanusiaan” Muhammad saw lebih sempurna dari manusia dan kemanusiaan kita.

Ini adalah teori “MORE PERFECT AND LESS PERFECT” yang kemudian dimodifikasi oleh Sadra. Pertama, prinsip ambiguitas ini dirubahnya dari ambiguitas ESENSI menjadi ambiguitas dalam EKSISTENSI. Dengan kata lain, yang mengalami graditas bukan ESENSI, tapi justru EKSISTENSInya. Kedua, teori ambiguitas EKSISTENSI ini juga terjadi secara sistematis bukan sekadar ambiguitas. Itu berarti, EKSISTENSI adalah sama bagi seluruh EKSISTENSI, seperti EKSISTENSI Tuhan yang wajib dan makhluk yang mungkin, adalah sama apabila dilihat dari sisi predikat EKSISTENSInya.
Meskipun predikat EKSISTENSI di atas sama namun setiap EKSISTENSI tetap memiliki keunikannya tersendiri yang memisahkannya dari yang lain. Seluruh bentuk EKSISTENSI yang lebih tinggi pasti mengandung bentuk EKSISTENSI yang lebih rendah bahwa EKSISTENSI yang sederhana pasti mencakup secara inheren segala EKSISTENSI yang berada di level bawahnya.

Dengan dasar prinsip di atas KESATUAN YANG ADA terpelihara pada semua EKSISTENSI; namun keragamannya juga terpelihara. Ketika dua prinsip di atas tak terbantahkan secara common sense, maka lahirnya prinsip YANG ADA adalah sesuatu yang aksiomatis. YANG ADA berarti bahwa YANG ADA adalah prinsip dari segala wujud yang ada. Lawan darinya adalah prinsip bahwa YANG ADA sekadar asumsi akal. Perbedaan kedua prinsip ini secara historis telah lahir jauh sebelum munculnya Sadra, seperti yang dapat kita simak dari teori-teori Farabi, Ibnu Sina, bahkan Aristoteles.

Sesuatu memerlukan YANG ADA agar ia bisa eksis. Tanpa YANG ADA, suatu hal tidak akan pernah bisa berEKSISTENSI, suatu YANG ADA tidak akan bisa memperoleh partikularisasinya di dunia YANG ADA. Teori dualitas antara YANG ADA ini kemudian ditolak secara tegas oleh pekikir Islam lain, Suhrawardi. Menurut Suhrawardi, apa yang kita lihat sebagai EKSISTENSI di dunia YANG ADA adalah YANG ADA itu sendiri. Sebab, apabila kita terima teori itu, maka YANG ADA itu sendiri akan memerlukan YANG ADA lain yang bisa memberinya EKSISTENSI; demikianlah seterusnya sehingga ia tak akan berakhir atau mengalami regresi yang infinitum.
Lebih jauh ia mengatakan bahwa suatu YANG ADA yang konkrit tiada lain adalah sebuah fakta bahwa itu adalah YANG ADA itu sendiri. Sehingga kalimat YANG ADA tiada lain kecuali abstraksi akal semata-mata.

Sadra yang EKSISTENSIALIS dan yang berusaha maksimum untuk mensintesiskan kedua aliran ini menolak pendapat Suhrawardi. Baginya yang riil adalah YANG ADA, sementara ESENSI adalah abstraksi mental semata-mata. YANG ADA bukan hanya lebih prinsipiil atau sekadar fondasi bagi seluruh YANG ADA, namun ia adalah YANG ADA itu sendiri. Sebab sifat YANG ADA yang paling fundamental yakni SEDERHANA dan berkarakter MENYEBAR ke dalam seluruh celah-celah apa yang disebut sebagai EKSISTENSI.
Dan EKSISTENSI yang ada di hadapan kita tidak lebih pembatasan-pembatasan yang mempartikulasikan bentangan YANG ADA itu sendiri. Ketika kita melihat di dunia YANG ADA ini ADA, misalnya, kursi, meja, si Amir, kuda, dan sebagainya, maka entitas-entitas itu “membelah” dari bentangan YANG ADA.

Akhirnya, secara teologis, konsep YANG ADA dari Mulla Sadra di atas mengajak kita memahami makna the ULTIMATE REALITY di mana ADA-NYA TUHAN memiliki sifat partikular juga menyatu dalam maknanya yang sangat unik. Meskipun WAHDATUL WUJUD atau YANG ADA ITU MENYATU namun tidak terjebak pada teori PANTEISME, karena YANG ADA entitas-entitas selain-Nya juga tetap terpelihara. Itulah yang dimaksudkan firman Allah “AKU LEBIH DEKAT DENGANMU DARIPADA DIRIMU SENDIRI.”

Wong Alus

This entry was posted on 24 May 2009 at 12:08 and is filed under METAFISIKA WAHDATUL WUJUD with tags ah hallaj, kesatuan tuhan, metafisika islam, mulla sadra, siti jenar, wahdatul wujud. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed

Selasa, 07 Juni 2011

HANYA ADA TUHAN

http://wongalus.wordpress.com

Aku mohon perlindungan-Mu,…. duh Gusti Allah dari sifat-sifat yang terkutuk dan menyesatkan…
Salam sejahtera,
Semoga semua makhluk berbahagia
Assalamualaikum Wr..Wb,

Jalan untuk bertemu Tuhan adalah jalan kemuliaan yang terangnya melebihi tujuh triliun sinar matahari. Namun di jalan itu terselubung penghalang, tirai, hijab yang tebalnya melebihi tujuh triliun tubuh matahari pula. Itu adalah jalan penaklukan keinginan yang luar biasa banyaknya. Bila tidak dibantu oleh Sang Konseptor Kehidupan ini (Tuhan) dijamin tidak mungkin kita dan semua makhluk mampu untuk menemui-Nya. Beruntunglah, Tuhan tidak pelit untuk menampakkan diri-Nya. Dia siap untuk membuka diri bagi mereka yang rindu perjumpaan.
Perjalanan untuk bertemu dengan Tuhan memerlukan proses, tahapan, tingkatan. Ini bertujuan agar manusia memiliki kesiapan mental, kesadaran dan pengetahuan sehingga mampu untuk melangkah ke tingkat-tingkat selanjutnya. Berikut akan aku paparkan proses yang kulalui untuk bertemu Tuhan. Karena urusan Ketuhanan sangat subyektif maka di sini tidak ada bahasa obyektif. Bila ada kesalahan itu semata-mata oleh kebodohan saya, dan bila ada benarnya itu semua karena hidayah dan petunjuk dari Tuhan.

Proses awal untuk bertemu Tuhan adalah memiliki niat untuk bertemu Tuhan. Ibarat engkau ingin bertemu dengan kekasih, maka pertama engkau harus memiliki niat awal dan memelihara niat itu seterusnya. Niat itu haruslah niat yang mantap, konsisten, tidak berubah-ubah. Tinggalkan niat-niat lain yang sifatnya sementara dan temporer. Engkau harus percaya bahwa memiliki niat untuk bertemu dengan Tuhan berarti memiliki niat untuk bertemu dengan Sumber dari Segala Sumber Hidup. Apabila niat sudah ditancapkan dalam hati, Tuhan tidak tinggal diam. Dia akan memberi petunjuk dan jalan yang harus dilalui oleh manusia. Satu petunjuk diberikan, manusia harus bersyukur dan selanjutnya dia perlu meneguhkan niat kedua untuk menjalani perjalanan selanjutnya. Perjalanan masih sangat sangat sangat panjang.
Apa tujuan untuk bertemu dengan Tuhan? Ingin sakti? Ingin memperoleh mukjizat? Ingin kebahagiaan? Ingin kekayaan? Ingin berkuasa melebihi kekuasaan yang dimiliki orang lain? Ingin keselamatan dunia dan akhirat? Ingin hidup kekal dan abadi? Ingin mencintai-Nya secara tulus? Itu semua adalah keinginan-keinginan yang biasanya hadir pada diri engkau sebagai manusia.

Bila tujuan engkau bertemu Tuhan masih diseputar keinginan-keinginan tersebut, Tuhan tidak mungkin ditemukan. Semua keingian di atas adalah hijab/tirai/penghalang yang mengganggu perjalanan. Menetapkan tujuan untuk bertemu dengan Tuhan sangat sulit untuk dijelaskan, sebab menetapkan tujuan membutuhkan pemurnian kehendak-kehendak manusia yang cenderung kotor, egois dan hanya untuk kepentingan sementara yang ujung-ujungnya sangat sepele dan iseng.

Menetapkan tujuan oleh karenanya membutuhkan pengetahuan. Pengetahuan itu diolah dengan pikiran, rasa, pancaindera yang tuntas dan total. Pengetahuan untuk menghayati darimana manusia berasal, dimana dia sekarang dan kemana engkau akan pergi. Pengetahuan tentang agama cukup penting untuk menetapkan tujuan bertemu Tuhan sebab agama menawarkan keluasan pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib. Namun pengetahuan agama saja tanpa dihayati dan dijalani dengan sepenuh hati juga sia-sia karena bisa terjebak pada dogmatisme yang sempit. Bila diperkenankan oleh Tuhan, pada kesempatan kali ini saya ingin mengatakan kepada Pembaca yang Budiman bahwa tujuan untuk bertemu dengan Tuhan adalah “tidak ada tujuannya” kecuali untuk pertemuan itu sendiri. Bukan karena dilatarbelakangi oleh embel-embel keinginan apapun karena saat muncul keinginan di situ jebakan nafsu akan terjadi.

Bila tujuan untuk bertemu Tuhan sudah diketahui, sampailah engkau di tahap berikutnya yaitu memulai perjalanan. Daya-daya kemanusiaan yang sudah mulai hidup, kemudian dijalankan. Ada beragam cara untuk memulai perjalanan. Engkau perlu menjalani syariat agama sesuai dengan keyakinan terdalam di hati. Syariat adalah rambu-rambu/hukum boleh tidak boleh/ halal haram dan seterusnya. Namun, engkau boleh memiliki cara lain memulai perjalanan. Misalnya, engkau belum mengenal agama atau engkau tidak percaya lembaga-lembaga formal keagamaan karena merasa terhegemoni kebebasanmu untuk mencari dan mengekspresikan diri secara total, maka engkau boleh tidak memakai agama apapun.

Yang perlu engkau lakukan adalah memiliki cara otentik yang sesuai dengan jati dirimu. Perlu diketahui bahwa Tuhan Maha Suci, Maha Besar, Maha Segala Maha… tidak seperti manusia yang memiliki kesempitan pandangan dan keyakinan. Sehingga tidak pada tempatnya untuk menyalahkan dan memberi stempel dan cap kepada mereka yang tidak menggunakan cara-cara agama untuk bertemu dengan Tuhan. Sama dengan perjalanan menuju tempat dan waktu tertentu, maka perjalanan bertemu dengan Tuhan membutuhkan bekal. Bahkan bekalnya tidak sulit ditemui karena hanya perlu hati yang ikhlas dan sabar. Ikhlas dan sabar mudah diucapkan tapi sulit dilaksanakan bila belum sampai pada tahap spiritual selanjutnya.

Perjalanan untuk bertemu Tuhan bukanlah perjalanan meninggalkan dunia, meninggalkan keramaian, meninggalkan isteri dan anak. Perjalanan bertemu Tuhan adalah perjalanan hidupmu dan hidupku sehari-hari, mengarahkan tujuan dan menjalaninya sesuai dengan tahapan-tahapan perjalanan. Bila perjalanan kita masih sampai di dunia, ya berarti kita mengolahnya agar tujuan yang ditetapkan tidak salah arah. Dunia ini adalah terminal sementara untuk kemudian berlanjut ke perjalanan akhirat. Sebelum di dunia, kita berada di alam ruhani yang lain. Itulah sebabnya, alam dunia ini ruhani kita diberi tempat yang berupa jasad atau tubuh kita. Saat kita lahir di dunia, ruh itu ditiupkan Tuhan untuk kemudian menghuni rumah yaitu jasad. Umur jasad tidak lama dan ruh kemudian secara otomatis mengembara ke alam lain yang ghaib, yang tidak kasat mata, yang halusnya tidak bisa diraba. Namun bisa dirasakan keberadaannya dengan hati nurani yang hidup. Insya Allah…

Salah satu alat ruh untuk berkomunikasi dengan ruh-ruh yang lain adalah dengan kesadaran. Kesadaran yang hidup oleh pemberian dan karunia Tuhan. Tanpa ijin Tuhan, ruhmu dan ruhku tidak mampu untuk berbuat banyak untuk menimbang dan menilai apapun yang ada di semesta ini. Alam ruh adalah alam yang tiada batas, alam yang tidak mampu dirangkum lagi oleh keterbatasan ruang dan waktu, Alam ruh adalah alam yang tanpa dimensi lagi, alam yang tidak mampu dibahasakan lagi oleh otak dan pikiranku yang terbatas sebab ruh itu dalam genggaman-Nya.

Perjalanan hidup adalah perjalanan untuk bertemu dengan Tuhan. Rahasia demi rahasia pun terungkap satu demi satu. Kita menemukan makna dan makna itu memberikan kemanfaatan buat perjalanan hidup yang kekal. Tidak hanya kemanfaatan bagi hidupku, namun kemanfaatan bagi hidupmu, hidup semua ruh dan semua kekasih Tuhan. Aku ada demi engkau, demi mereka, demi alam semesta ciptaan Tuhan.
Akhirnya kita sampai pada akhir perjalanan bertemu Tuhan. Perjalanan itu ternyata perjalanan ruhani berakhir ke satu titik. Konsentrasi ke satu pusat pandangan namun menyebar seluruh titik di alam semesta. Tidak ada kau, tidak ada mereka, tidak ada aku dan tidak ada semuanya! SEMUANYA TIDAK ADA….

Ya Allah, aku tersungkur
Ya Allah, aku tidak merasakan apa-apa
Ya Allah, aku tidak ada
Ya Allah, mereka tidak ada
Ya Allah, semuanya tidak ada
Tidak ada apa-apa …
ALLAH, ALLAH, ALLAH…….KAU, KAU, KAU

21 Mei 2009
Wong Alus


REFLEKSI DIRI

http://wongalus.wordpress.com

Alhamdulillah, saya masih diberi Yang Maha Hidup usia. Meski belum tua-tua amat, namun usia saya juga tidak bisa dikatakan muda lagi. Empat puluh tahun kurang dua merupakan jumlah yang bagi saya cukup miris dan berbahaya. Betapa tidak, hampir dua tahun lagi saya memasuki pintu gerbang tahap dimana Muhammad dulu menjadi nabi di usianya yang empat puluh tahun. Sebelumnya, Muhammad gigih untuk mengolah hidupnya dengan kesadaran yang tinggi bahwa suatu saat dia akan mendapat hidayah dan petunjuk untuk bisa membedakan antara yang benar dan yang salah. Konon, sebelum diangkat menjadi Nabi dan rasul, Muhammad selain sibuk dengan urusan bisnis mendampingi isterinya juga sibuk untuk melakukan olah batin, nyepi hingga di gua hira yang sunyi dan menakutkan.

Kenapa Muhammad begitu yakin bahwa suatu saat dia akan menemukan sesuatu yang dicarinya? Jawabannya adalah KEYAKINAN. Hanya keyakinanlah yang menuntun calon nabi terakhir ini untuk terus berpikir dan olah rasa. Menyatukan, menata dan merangkai gelombang-gelombang ketuhanan yang berserak di otaknya agar menjadi sirkuit yang dahsyat agar bisa terkoneksi dengan jaringan gelombang ketuhanan yang terpapar di alam semesta. Saya membayangkan nabi saat itu juga manusia seperti saya dan Anda, pembaca. Yang tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Apalagi Muhammad, si calon nabi ini konon tidak bisa baca tulis dan juga ngeblog, hehe he.. Tidak pernah mengenyam pondok pesantren, juga tidak punya pengalaman untuk berguru dengan pembimbing spiritual manapun. Apalagi dia juga tidak pernah melahap bangku sekolah dan kuliah. Meskipun begitu, Muhammad yang sangat minim pengetahuan dan informasi dunia luar ini jelas tidak tinggal diam dan bodoh menyikapi situasi sekelilingnya. Peradaban yang busuk dan kotor tidak membuatnya ikut-ikutan arus apalagi sampai larut. Tidak.. Muhammad adalah jenis manusia yang SIKAP TEGAS. Dia memiliki keberanian untuk berjalan, menjauh dan melihat ke bukit yang lebih tinggi. Membuat jarak terhadap masyarakat dan peradaban untuk kemudian bertekad untuk memperbaikinya.

Muhammad bukanlah orang yang bodoh. Dia orang yang jeli, telaten, kreatif dan jujur. Kejeliannya mengamati, menganalisa dan menyimpulkan gejala-gejala alam semesta pada akhirnya menuntunnya untuk mencari jawaban yang final, total dan selanjut-lanjutnya: Bahwa Tuhan hanya satu yaitu ALLAH SWT! Berbeda dengan para nabi lain yang harus mencari-cari jawaban SIAPA PENCIPTA SEJATI dengan cara membandingkan anasir yang satu dengan yang lain, Muhammad hanya pasrah dengan kehendak hati nuraninya bahwa PASTI ADA SATU PENCIPTA SEMESTA ALAM SEMESTA, entah apa namanya…. Akhirnya, pada suatu ketika di usianya yang empat puluh tahun tersebut: Muhammad dilantik menjadi nabi setelah mendapatkan wahyu yang intinya agar dia tidak berhenti untuk membaca. Membaca kitab yang tergelar di alam semesta yang di dalamnya ada milyaran bahkan trilyunan rumus Tuhan ini…. Wahyu yang turun itu menekankan pada satu hal penting: BACALAH DENGAN NAMA TUHANMU…

Jadi sekarang, Muhammad diperintahkan untuk tidak asal baca, melainkan MEMBACA DENGAN EMBEL-EMBEL: NAMA TUHAN. Apa ini artinya? Artinya, bahwa KEBENARAN SEJATI/MUTLAK akan bisa ditemukan apabila manusia membaca dalam frame bahwa semua yang dibaca, dipikir, dianalisa, disintesa tersebut semuanya adalah CIPTAAN ALLAH SWT. Itulah inti, dasar, substansi dari turunnya wahyu yang kemudian bertubi-tubi mendatangi Muhammad setelah dia menjadi utusanNya. LA ILAHA ILLALLAH, MUHAMMADAR RASULULLAH hingga akhirnya di usia yang enam puluh tiga tahun itu Muhammad dipanggil menghadap SANG KHALIK.

Bagaimana dengan saya? Apakah siap jadi nabi di usia menjelang empat puluh tahun ini? Rasa-rasanya tidak mungkin. Jangankan menjadi nabi, menjadi manusia saja saya merasa sangat sulit. Terus terang saya mengagumi mereka yang gagah menyertakan di depan namanya kata Camat, Bupati, Kepala Badan, Presiden, Kolonel, Profesor, Ulama, Kiai, Ustadz. Gelar itu di satu sisi itu adalah track record perjalanan kemuliaan, di sisi lain itu adalah perhiasan dunia yang sebenarnya permainan dan senda gurau.
Begitulah… sangat sulit menjadi manusia bila kita tanyakan: Adakah kaki telah melangkah sebagaimana yang dimaksudkan dulu oleh Peciptanya. Adakah tangan telah mengerjakan mendekati gagasan Pembikinnya. Adakah mata telah melihat, telinga telah mendengar, akal telah mengolah visi, ilmu dan wacana, mulut telah memakan segala sesuatu sesuai sang Konseptor ?. Dalam kamus, seseorang distempel Nabi karena nubuwah. Rasul karena risalah. Wali karena walayah. Dan adalah manusia karena khilafah. Keempat stempel itu milik Allah, dilimpahkan dan diamanahkan kepada makhluk dengan strata dan kualitas yang Ia bikin berbeda. Khilafah itu titipan atau pelimpahan bagi semua dan setiap manusia: tidak relevan, tidak rasional dan tidak realistis dan a-historis untuk diambil sebagai ‘icon’ suatu golongan.
Begitu kita bukan dimaksudkan Tuhan sebagai Malaikat, Iblis, Jin, hewan atau alam, maka kita Khalifah yang menyandang khilafah. Tugasnya adalah menghimpun ilmu, melakukan pemetaan, menyusun disain dan metodologi, menggambar dan mensimulasikan sistem dan managemen untuk memproduksi “rahmatan lil’alamin”. Bagaimana tugas manusia? Ternyata realitas berbeda dengan konsep awal.

Sejarah manusia dihiasi dengan pertumpahan darah yang terlalu banyak, dusta dan peperangan yang selalu berlebihan, kepalsuan yang bertele-tele, kebodohan ilmu dan kemandegan akal, kekerdilan mental dan kebutaan spiritual. Manusia tidak bisa disebut pernah sungguh-sungguh, konstan dan konsisten mempelajari Tuhan, setan, demokrasi, nafsu, kebenaran, kemuliaan, dan terutama mempelajari dirinya sendiri. Manusia melangkah serabutan, berpikir sepenggal, bertindak instan, menimbang dengan menipu timbangan…

Sekolah dan universitas tidak pernah benar-benar menyiapkan perjalanan tafakkur, tadzakur dan tadabbur melalui tahap-tahap pola berpikir linier, zigzag, spiral hingga thawaf siklus. Universitas hanya mewisuda Sarjana Fakultatif meskipun kampusnya bernama Universitas. Belum tuntas kaum muda menjadi murid — orang yang menghendaki ilmu–dipaksakan naik ke bangku kecongkakan dengan menggelari diri mahasiswa. Para pembelajar dan pencari ilmu bersemayam di ‘koma’ — begitu dia maha, finallah dan titiklah sudah perjalanan ilmiahnya.

Di manakah pintu ilmu? Pertanyaan ini sangat mungkin tidak menarik lagi bagi kaum terpelajar. Bagi kaum muda Indonesia, cukuplah belajar demokrasi, world class society, pilkada, clean government. Pemuda kita sepertinya semakin tak suka bila ditanya soal Tuhan sehingga mereka lebih memilih memenangkan Olimpiade Fisika dan cuek terhadap lautan lumpur yang meluap, situ yang jebol, tsunami, gempa sampai ke urat syaraf otak manusianya yang tumpul. Padahal kapasitas sistem saraf otak manusia itu takkan pernah sanggup dirumuskan atau dikuasai oleh si manusia sendiri. Pendaran-pendaran elektromagnetik CAHAYA ALLAH yang bertebaran bertaburan keseluruh permukaan bumi, memusat menggumpal di seputar bagian atas ubun-ubun kepala setiap manusia.

Hmmm…Siapakah yang tak sesat di antara kita? Makan saja sesat sampai kena kolesterol, asam urat, jantungan, gagal ginjal, ganti hati dan stroke. Kehidupan berbangsa dan bernegara kita adalah panggung demi panggung kesesatan nasional. Pemilu menjadi festival salah pilih wakil dan pemimpin. 240 juta manusia tersesat ke satu lorong cita-cita: mau kaya, eksis dan berkuasa. Jalannya beribu-ribu, profesinya berbagai-bagai, icon-nya berjenis-jenis, namun menuju satu lorong itu juga. Kesesatan sistem. Kesesatan moral. Kesesatan budaya. Kesesatan ilmu. Kesesatan bermacam-macam kesesatan, dengan kadar yang juga berbeda-beda. Sesat moral atau akhlak. Sesat hukum. Sesat sosial. Setiap keputusan ekonomi yang menjerumuskan orang banyak, policy politik yang kontraproduktif terhadap keharusan kemajuan dan pembangunan, adalah kesesatan yang nyata.

Diam-diam saya menemukan bahwa alhamdulillah kesesatan-kesesatan hidup saya tidak diketahui umum atau yang berwajib. Itu semua karena sampai usia menjelang empat puluh tahun ini, Tuhan memperkenankan saya menjadi orang yang tak diperhatikan, tak didengarkan, selalu diletakkan di luar garis-garis pemetaan dalam hal apapun saja. Segala yang saya dan kami lakukan, prestasi dan kualitas apapun saya tetap di luar peta. Maka tak pernah ada keberanian pada diri saya untuk mengajak orang lain, apalagi untuk meyakini apa yang saya yakini, untuk berpikir seperti saya berpikir, untuk menganut apa yang saya anut.. Pandanglah Allah, Muhammad, Yesus, Budha, Sang Hyang Widhi: take it or leave it. Atau tak usah memandang siapapun kecuali dirimu sendiri, kepentinganmu sendiri, sebagaimana Firaun. Engkau merdeka bahkan untuk menjadi Firaun. Itu urusanmu dengan Tuhan dan dirimu sendiri.

Semua Nabi dan Rasul, umpamanya Adam atau Yunus, hanya berani menyebut dirinya dholim, “Robbana dholamna anfusana”, “Inni kuntu minadh-dholimin”. Maka siapakah aku, sehingga mantap untuk tak melihat diriku tersesat? Kesesatan adalah milikku sehari-hari. Oleh karena itu mengaku diri manusiapun rasa belum pantas. Saya hanya ingin kita semua berdoa agar kita selalu menyadari kesesatan diri sendiri. Sebab berdoa adalah menyapa Allah. Kalau kita tiap saat minta-minta terus kepada Tuhan, menurut suatu logika berpikir: tak akan lebih dikasihi oleh Allah dibanding kalau kita rajin menyapaNya, rajin bercengkrama sama Dia, ‘mentuhankan’ Tuhan sebagaimana memanusiakan manusia. Tetangga lebih simpatik kepada kita yang suka menyapanya dibanding yang sering meminta-minta.

Di usia menjelang empat puluh ini, perkenankan saya memohon maaf atas perjalanan hidup saya yang banyak merepotkan Anda, menjegal Anda, saya yang sudah banyak mendebat kebenaran yang meluncur dari mulut Anda, saya yang sudah dendam dan mendamprat kejujuran Anda dan saya yang sudah banyak mencolong uang di dompet Anda. Sekali lagi saya mohon maaf yang sebesar-besarnyA.
SALAM DAMAI DI BUMI, DAMAI DI LANGIT

Wong alus

This entry was posted on 9 May 2009 at 14:24 and is filed under REFLEKSI USIA 40 . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.

PERSIAPAN OPTIMAL BERTEMU DENGAN DZAT TUHAN

http://wongalus.wordpress.com

“yang bisa saya mengerti, itu esensiku; yang saya percayai itu eksistensiku: Tuhan saya itu ADAku, saya ADA, sebagaimana saya mencintai”
Artikel ini untuk menjawab pertanyaan yang sering diajukan para blogger di blog-blog yang bernuansa spiritual. Yaitu pertanyaan “apa itu Tuhan?” Meskipun artikel ini jauh dari memadai untuk menjawab pertanyaan tersebut, namun setidaknya bisa menjadi satu referensi bagi kita semua, yang sedang mencari jawaban yang cukup sulit namun penting ini.

Kutipan di atas adalah pernyataan mistikus Jerman, Karl Jaspers (1883-1969), yang terkait dengan pemikirannya tentang Tuhan. Sebelumnya, akan dipaparkan siapa Jaspers. Pemikir brilian ini lahir di Oldenburg, Jerman Utara pada 23 Februari 1883, bersekolah di Gymnasium Oldenburg, meneruskan di Universitas Heidelberg, dan Munchen. Jaspers memiliki minat besar pada psikiatri dan filsafat. Ia juga pada akhirnya terseret ke dalam dunia mistik saat menerbitkan buku “Der Philosophische Glaube angesichts der Offenbarung” Salah satu hasil pikiran Jaspers yang saya pandang cukup penting untuk disampaikan di blog WONG ALUS ini adalah jawaban dari pertanyaan APA ITU TUHAN?. Menurut Jaspers, TUHAN adalah EKSISTENSI, juga disebut ROH. Selain EKSISTENSI, TUHAN juga bersifat TRANSENDENSI. Manusia ada di dunia, tetapi ADANYA (Dasein) ini belum merupakan EKSISTENSI. Adanya manusia termasuk bidang empiris, berada dalam ruang dan waktu. Sebagai DASEIN kita akan meninggal, tetapi EKSISTENSI kita masih bersifat KEMUNGKINAN.

EKSISTENSI itu suatu panggilan untuk mengisi kebebasan. Di dalam waktu, kata Jaspers, manusia harus memutuskan bagaimana MANUSIA bisa ABADI dan BISA MENJADI TUHAN. Maka “Saya menjadi seperti yang saya percaya”. Menurut mistikus kondang ini, manusia memiliki kecenderungan untuk tidak mengetahui banyak hal. KETIDAKTAHUAN ini memaksa manusia untuk mengambil keputusan-keputusan. Salah satu keputusan yang cukup penting adalah ketika dia ingin menjadi AKU YANG SEJATI. Keputusan inilah yang akan menciptakan DIRI menjadi EKSISTENSI atau TUHAN. Adanya manusia selalu dibatasi oleh situasi-situasi tertentu. Situasi situasi di mana manusia bisa menemukan diri sebagai EKSISTENSI atau AKU YANG SEJATI itu disebut dengan pengalaman dalam SITUASI-SITUASI BATAS. Dalam kegelisahannya memikirkan KEMATIAN, PENDERITAAN, KESALAHAN, dst.. manusia merasa betapa fana hidupnya.

SITUASI PERBATASAN memperlihatkan bahwa hidup kita di dunia tidak merupakan kenyataan terakhir. Ternyata, ada kenyataan yang lebih besar, sesuatu yang akan membawa manusia entah kemana. Yang ada di seberang batas-batas hidup, dunia, dan pengetahuan kita disebut dengan TRANSENDENSI atau KEILAHIAN. Di sini, konsep Jaspers tentang Tuhan yang BEREKSISTENSI dan TRANSENDENSI ini bisa dikatakan sama dengan konsep ketuhanan bahwa TUHAN itu bersifat LAHIR dan juga BATIN.
Bagaimana dzat TUHAN? Kata “TUHAN”, menurut Jaspers, hanya merupakan simbol KEILAHIAN dibelakang semua nama dan konsep. KEILAHIAN selalu berbicara dengan memakai simbol-simbol (Chiffer) atau dalam bahasa Arab disebut dengan Sifr yang merupakan terjemahan dari Sansekerta, SUNYA atau KEKOSONGAN. Manusia tidak mungkin untuk mengetahui dzat Tuhan pada dirinya sendiri. Manusia harus menerjemahkan dan mengisi simbol-simbol bila ingin mengetahui SUBSTANSI KETUHANAN.

Menerjemahkan KEHENDAK TUHAN adalah tugas manusia yang mulia dan hal ini ditentukan oleh IMAN dan KEYAKINAN kita. IMAN mendapat artinya melalui cara hidup kita. Manusia oleh sebab itu bisa MEMBACA dan MENAFSIRKAN SIMBOL dengan syarat dirinya mampu mengisi KEBEBASAN. Kata Jaspers, manusia bebas karena Tuhan menyembunyikan diri. Ini berarti Segala sesuatu itu dapat menjadi WAHYU ILAHI, menjadi GEMA atau JEJAK dari TRANSENDENSI/TUHAN. Segala sesuatu dapat menjadi TEMBUS CAHAYA, BENING dan JERNIH. (Dalam bahasa mistik Jawa, segala sesuatu itu adalah KITAB TELES, terj. penulis)
Fakta sejarah dibeber oleh Jaspers. Dua kali dalam sejarah, kata Jaspers, diperlihatkan oleh TUHAN apa yang terjadi bila manusia mencoba untuk mengetahui DZAT TUHAN diseberang semua SIMBOL. Yang pertama adalah CANDI BOROBUDUR sedangkan yang kedua adalah pemikiran seorang mistikus bernama MEISTER ECKHART (1260-1327). CANDI BOROBUDUR memperlihatkan kepada manusia bagaimana sesudah semua gambaran tentang DZAT TUHAN ( simbol, konsep, kata-kata) ditinggalkan akhirnya yang tertinggal adalah KESUNYIAN / KASUNYATAN. Bila jiwa manusia telah kosong setelah semua kesadaran terlewati dan SIMBOL-SIMBOL ( simbol, konsep, kata-kata) ditinggalkan, berarti itu merupakan persiapan optimal untuk BERTEMU dengan DZAT TUHAN.

Yang kedua adalah pemikiran MEISTER ECKHART yang salah satu tema besarnya terpapar dalam kalimatnya yang berbunyi: WHEN GOD MADE MAN, THE INNERMOST HEART OF GODHEAD WAS PUT INTO MAN. Artinya “Saat Tuhan Menciptakan Manusia, Inti Ketuhanan telah Dipaterikan di Hati Terdalamnya.” Apa dan bagaimana penjelasan lengkapnya, akan dipaparkan dalam artikel selanjutnya. SALAM PANTA RHEI…

Wong Alus


Ketua MUI: Syiah Sah sebagai Mazhab Islam

Friday, 29 April 2011 14:11
Di tengah gencarnya isu yang menyudutkan syiah sebagai mazhab sesat dan dinilai bukan bagian dari Islam, Ketua Majelis Ulama Indonesia menyebut syiah sebagai mazhab yang sah dan benar dalam Islam.

Di hadapan lebih dari seratus pelajar Indonesia yang belajar di Iran, Ketua MUI, Prof.Dr. KH. Umar Shihab Kamis (28/4) mengatakan, "Sunni dan Syiah bersaudara, sama-sama umat Islam, itulah prinsip yang dipegang oleh MUI. Jika ada yang memperselisihkan dan menabrakkan keduanya, mereka adalah penghasut dan pemecah belah umat, mereka berhadapan dengan Allah swt yang menghendaki umat ini bersatu."

Sebagaimana dilaporkan Kantor Berita ABNA, dalam kunjungannya ke Iran atas undangan Forum Pendekatan Mazhab Islam, Umar Shihab beserta beberapa anggota rombongan menyempatkan mengadakan tatap muka dan pertemuan dengan pelajar Indonesia yang sedang menuntut ilmu di kota suci Qom, Iran.

Rombongan MUI terdiri dari ketua pusat, beberapa ketua harian dan ketua komisi, namun beberapa dari rombongan telah bertolak ke tanah air sehingga tidak sempat mengikuti pertemuan dengan para pelajar Indonesia tersebut. "Dalam kunjungan ini kami telah melakukan beberapa hal, diantaranya, atas nama ketua MUI. KH. Prof. DR. Umar Shihab dan atas nama Majma Taghrib bainal Mazahib Ayatullah Ali Tashkiri, telah dilakukan penandatanganan MOU kesepakatan bersama. Di antara poinnya adalah kesepakatan untuk melakukan kerjasama antara MUI dengan Majma Taghrib bainal Mazahib dan pengakuan bahwa Syiah adalah termasuk mazhab yang sah dan benar dalam Islam. " Jelas Wakil Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah, DR. Khalid Walid.

Lebih lanjut beliau menjelaskan,"Diantara bentuk kerjasama yang disepakati adalah pengiriman para peneliti dan ulama Indonesia ke Iran untuk mengikuti pertemuan dan pendidikan khusus mengenai beberapa hal yang beragam di Iran begitu juga sebaliknya, ulama-ulama dan peneliti Iran akan berkunjung ke Indonesia. Di samping itu juga kita telah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran, Departemen Pengurusan Haji dan juga berkunjung ke Kamar Dagang Industri Iran untuk bekerjasama dalam produk halal. Insya Allah, jalinan kerjasama ini diharapkan dengan tujuan mengeratkan hubungan antara Republik Islam Iran dengan masyarakat muslim Indonesia."
"Semoga dengan adanya kesepakatan dan kerjasama tersebut ukhuwah Islamiyah dapat terjalin dengan baik dan kedua belah pihak bisa saling memahami." Harapnya.

Perpecahan dan Kebodohan, Ujian bagi Umat Islam

KH. Prof. DR. Umar Shihab menyampaikan nasehatnya di hadapan seratus lebih pelajar Indonesia yang hadir. Beliau menyatakan bahwa hidup di dunia ini penuh dengan tantangan, ujian dan kesulitan-kesulitan. Lebih lanjut menjelaskan, "Masyarakat Indonesia saat ini diuji dengan perpecahan. Dalam internal umat Islam sendiri terdapat berbagai macam kelompok yang mengarah kepada perpecahan, ada yang menyatakan diri sebagai kelompok liberal, kelompok anti agama, kelompok anti Syiah dan lain-lain. Keberadaan kelompok-kelompok ini sangat mengancam persatuan umat Islam."

Menurut beliau ada dua kelompok pemecah umat Islam. Pertama kelompok pemecah dari luar umat Islam, yakni dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Sebagaimana yang dijelaskan Al-Qur'an keduanya tidak akan senang sampai umat Islam mengikuti agama dan kelompok mereka. Mereka melakukan berbagai macam cara dengan giat utuk memecah belah umat, melalui buku-buku, selebaran dan memanfaatkan tekhnologi yang mereka miliki. Mereka menipu dan menghasut umat misalnya melalui pemahaman pluralisme yang menyatakan semua agama sama. Ini adalah pemahaman yang sesat bahkan mengarah kepada kekafiran. Karena itu MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa pernyataan dan keyakinan semua agama sama adalah pernyataan yang tidak bisa dibenarkan dan MUI telah mengharamkannya.

Kedua, kelompok pemecah dari kalangan umat Islam sendiri. Tidak sedikit dari kelompok umat Islam yang justru memecah belah umat. Mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang memicu perpecahan umat, mereka misalnya menyebut maulid itu bid'ah, mengucapkan shalawat di setiap kegiatan itu bid'ah sehingga dengan pemahaman yang seperti itu mereka menyesatkan dan memusuhi kelompok Islam yang mengamalkannya.

Di bagian lain ceramahnya, Ketua MUI Pusat ini menyebut ujian kedua Umat islam adalah kebodohan. "Pelajari dan tuntutlah ilmu agama ini dengan benar dan dari sumbernya yang asli. Al-Qur'an menyebutkan, yang manakah lebih layak kamu ikuti, orang yang memiliki pengetahuan atau orang yang tidak memiliki pengetahuan?. Dan Nabi Muhammad saww dalam haditsnya menyebutkan, Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya. Dari riwayat Nabi ini, jelas disebutkan bahwa Sayyidina Ali lebih layak diikuti setelah Nabi. Karenanya tuntutlah ilmu yang berasal langsung dari sumbernya. Sayangnya kebanyakan kaum muslimin menyingkirkan dan melupakan hadits-hadits yang bersumber dari Sayyidina Ali, keluarga, sahabat utama dan terdekat dengan Nabi, dan lebih banyak mengamalkan dan menerima hadits dari selain beliau,"tegas Umar Shihab.

Di penghujung ceramah beliau, Ketua MUI Pusat Prof. DR. Umar Shihab kembali mempertegas pesan Al-Qur'an, Innamal mu'minuna ikhwa, orang-orang yang beriman itu bersaudara. "Saudara-saudara belajarlah yang bersungguh-sungguh, dan ketika kembali ke tanah air, sampaikanlah ajaran Islam yang benar. Saya tidak menyatakan yang benar itu Syiah atau Sunni, tetapi keduanya."tegas beliau.

Prinsip MUI: Sunni dan Syiah Bersaudara

Setelah Prof. Umar Shihab menyampaikan nasehatnya, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Beberapa pelajar kemudian mengajukan pertanyaan. Diantara pertanyaan yang diajukan, bisakah MUI wilayah di daerah mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI Pusat?.

Prof Umar Shihab memberikan jawaban, MUI wilayah jika berkaitan khusus dengan persoalan umat di daerahnya dibenarkan untuk mengeluarkan fatwa sendiri, namun jika berkaitan dengan kepentingan nasional, maka yang berhak mengeluarkan fatwa hanya MUI Pusat yang harus diikuti oleh MUI-MUI di daerah. Dan MUI di daerah tidak memiliki wewenang untuk menganulir fatwa yang telah dikeluarkan MUI Pusat.

"Misalnya ada MUI Daerah yang mengeluarkan fatwa Syiah itu sesat -namun Alhamdulillah syukurnya belum ada MUI Daerah yang mengeluarkan fatwa seperti itu- maka fatwa tersebut tidak sah secara konstitusi, sebab MUI Pusat menyatakan Syiah itu sah sebagai mazhab Islam dan tidak sesat. Jika ada petinggi MUI yang mengatakan seperti itu, itu adalah pendapat pribadi dan bukan keputusan MUI sebagai sebuah organisasi." Jelas beliau.

Ketika ditanyakan langkah-langkah MUI Pusat yang akan dilakukan untuk mewujudkan persatuan umat dan menyelesaikan perselisihan Sunni-Syiah, Prof. Umar Shihab menjelaskan bahwa MUI akan menjadi penyelenggara seminar Internasional Persaudaraan umat Islam di bulan Desember akhir tahun ini. "MUI akan mengundang ulama-ulama dari berbagai Negara, dari Mesir, Iran bahkan dari Arab Saudi termasuk Syaikh Yusuf Qhardawi untuk hadir sebagai pembicara. Indonesia insya Allah akan menjadi perintis persatuan umat Islam khususnya antara Sunni dan Syiah, semoga Allah membantu usaha-usaha kita." Jelas beliau.

Setelah memasuki waktu maghrib, dilakukan shalat maghrib berjama'ah yang diimami oleh Sayyid Farid, dan Prof. Umar Shihab menjadi jama'ah di shaf pertama.

Acara pertemuan tersebut diakhiri dengan makan malam bersama, dan do'a bersama dipenghujung acara dipimpin oleh KH. Prof. DR. Umar Shihab. Pertemuan Ketua MUI Pusat Prof. DR. Umar Shihab dengan pelajar Indonesia yang sedang berada di Qom Iran ini adalah pertemuan yang kedua kalinya, setelah sebelumnya dua tahun lalu diadakan pertemuan di tempat yang sama. (IRIB/)
Diposkan oleh blog Alumni SMAN 1 Bogor 1983 di 19:08

Kang Jalal Dialog Suni - Syiah

Ento Suprianta

SAYA sudah lama tidak bertemu dengan Kang Jalal –sapaan akrab KH. Jalaluddin Rakhmat. Mungkin sudah sekitar empat-lima tahun tidak bertatap muka. Hanya beberapa kali bicara lewat telepon atau berkirim pesan lewat SMS. Ketika saya menghadapi sebuah masalah berat beberapa waktu lalu, Kang Jalal memberi nasihat pendek: "Selamat. Kepada manusia setiap saat ditawarkan dua hal: hati dan perut. Penyembah Allah memilih hati, penyembah setan memilih perut".
Saya sebetulnya malu dengan nasihat tersebut. Meskipun saya berusaha keras untuk tidak menjadi penyembah setan, tetapi saya bukanlah penyembah Allah yang baik. Saya hanya seorang awam yang ibadahnya masih saja bersandar pada perhitungan surga dan neraka. Juga sangat ekonomis: berdoa sesedikit mungkin, berharap dikabulkan sebanyak-banyaknya. Bahkan saya bertanya berulangkali, mana sebenaranya yang selama ini menjadi prioritas dalam hidup saya: ajakan perut atau bisikan hati?

Di mata Kang Jalal mungkin saya bukan apa-apa, bukan murid yang baik dan cerdas dalam majelisnya. Saya hanya seorang mahasiswanya di Fikom Unpad. Itu juga hanya beberapa kali pertemuan saja dalam mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi. Meski demikian, saya tetap merasa banyak berhutang budi kepadanya terutama dalam hal pembentukan sikap keberagamaan.

Pada tahun 1985, tidak lama setelah pulang dari studinya di Amerika Serikat, Kang Jalal melakukan kegiatan ceramah dari masjid ke masjid, forum-forum kajian mahasiswa, dan di mesjid belakang rumahnya di Jln. Kampus kawasan Kiaracondong Bandung setiap Ahad pagi. Dalam kesempatan-kesempatan seperti itulah, saya mendapatkan banyak pelajaran baru dalam beragama.
Ceramah "rekayasa sosial"nya yang dilakukan secara berpindah-pindah tempat, mengingatkan kita pada pola ceramah yang dilakukan cendekiawan Iran, Ali Syari'ati. Tidak mengherankan memang, karena tokoh yang kemudian syahid karena berondongan peluru agen rahasia SAVAK Iran itu, merupakan salah satu figur yang dikagumi Kang Jalal. Sebagian orang menyebut Kang Jalal sebagai Ali Syari'ati-nya Indonesia.

Tetapi kata kunci Iran, telah menempatkan Kang Jalal pada posisi tertentu yang dianggap mayoritas kaum muslimin, sebagai melawan arus. Kecintaannya kepada Ahlul Bait Nabi –antara lain Muhammad SAW, Imam Ali, Fatimah Az-Zahra, Imam Hasan dan Imam Husein- telah memperkuat tuduhan orang bahwa Kang Jalal adalah "agen Syi'ah". Saat itu memang banyak orang alergi dengan Syi'ah (Ja'fari). Nama tersebut merupakan salah satu mazhab dalam Islam selain mazhab Syafi'i, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Keempatnya disebut sebagai mazhab Suni.
Saya dan kawan-kawan pernah menghadiri sebuah acara "pengadilan" Kang Jalal di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jabar. Pada kesempatan itu Kang Jalal berdialog dengan para tokoh agama yang ada di Kota Bandung. Namun dialog tidak berjalan seperti yang diharapkan, karena memang dari sisi tempat dan pembicara yang hadir tidak mendukung terbangunnya sebuah dialog yang ilmiah.

Bagi saya, yang menarik darinya bukanlah persoalan Syi'ah atau Suni. Namun Kang Jalal telah mengajarkan tentang kesiapan untuk menerima perbedaan dengan orang yang berlainan pandangan atau mazhab. Inilah yang kemudian sering disebutnya sebagai mazhab ukhuwah (persaudaraan).

"Syi'ah dan Suni lebih banyak persamaan ketimbang perbedaannya. Mari kita bangun ukhuwah dengan persamaan-persamaan itu. Saat ini tidak relevan lagi dikotomi Suni-Syi'ah," ujarnya suatu ketika. Pada berbagai kesempatan dia sering mengatakan, "Marilah kita bersepakat dalam hal yang qath'i (pasti, mutlak) dan saling menghargai dalam persoalan yang zhanni (relatif, khilafiyah)."
Saya pikir itulah sikap yang harus dikembangkan kaum Muslimin: menghargai perbedaan. Dengan demikian, sesama Muslim akan menjadi saudara yang saling merangkul, bukan saling memukul. Saya lihat di Masjid Al-Munawarah di belakang rumahnya, para jamaah berinteraksi dalam semangat saling menghargai seperti itu.

Kang Jalal memang mengagumi sejumlah ulama Iran. Termasuk di dalamnya Imam Khomeini dan Murtadha Muthahari. Karena kecintaannya terhadap Muthahari, Kang Jalal mendirikan Yayasan Muthahari yang membawahi SMP Plus dan SMA Plus Muthahari. Tapi dia dengan tegas membantah jika yayasan itu didirikan untuk "mensyi'ahkan" Indonesia.

Fachry Ali dan Bachtiar Effendy dalam Merambah Jalan Baru Islam menyebut adanya empat corak pemikiran keislaman yang sedang dikembangkan para intelektual Muslim di Indonesia. Salah satunya adalah "universalisme", yakni gerakan pemikiran Islam yang memandang Islam sebagai ajaran universal. Para pendukung aliran ini adalah Amien Rais, Jalaluddin Rakhmat dan AM Saefuddin. ***

Diposkan oleh blog Alumni SMAN 1 Bogor 1983 di 19:27

Senin, 06 Juni 2011

Hikmah: Kabar Kubur

Jumat, 18 Pebruari 2011 09:46 WIB
Oleh : Yanuar Z Arief*

Pernahkah kita bermimpi berada di suatu tempat yang sangat asing, yakni tempat yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya, suatu tempat yg angker dengan berbagai macam hal yg menakutkan, siksaan, dan malangnya lagi kita tak bisa keluar dari tempat tersebut.

Dan mimpi itu seakan-akan nyata adanya hingga kita menangis atau berteriak dalam tidur kita. Setelah terbangun dari mimpi tersebut, dengan nafas masih terengah-engah, kita pun bersyukur

Pernahkah kita meyakini hal mengerikan tersebut akan benar-benar terjadi pada kita?

Rasulullaah SAW berkata: "...Ingatlah kematian, demi Dzat yang nyawaku berada dalam kekuasaan-Nya, kalau kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan tertawa sedikit dan banyak menangis." (Shahih Muslim).

Cepat atau lambat, alam kubur adalah fase yang pasti akan kita jalani. Fase kubur ini menjadi penentu sebelum menapak ke fase berikutnya, yaitu padang masyhar, pengadilan Allah SWT.

Jika sukses kita di fase ini, insya Allah di fase berikutnya kita pun akan sukses, yang puncaknya dengan kehidupan penuh kenikmatan di Jannatun Na'im (surga). Sebaliknya, jika kita gagal di fase ini, dapat dipastikan kegagalan juga yang didapati di fase berikutnya, yangg diakhiri dengan penderitaan tak terperi di neraka jahanam, na'udzubillah.

Semua tahu itu, tapi kadang kita lalai untuk bersiap diri.

Pernahkan kita memikirkan bila kemarin kita mengantarkan teman ke kuburnya, dan mungkin besok atau lusa giliran kita yg diantarkan ke kubur? Dan bila saat itu datang, apakah kita telah benar-benar siap? Akankah kita menyalahkan Yang Maha Pemurah karena tak memberikan kesempatan dan peluang bagi kita untuk bersiap diri?

Sering kita dikejutkan dengan berita orang-orang terkenal mulai dari tokoh masyarakat hingga para selebriti yg telah meninggalkan dunia ini selamanya, padahal masih terngiang prestasi atau karya-karyanya di dunia ini. Bahkan orang-orang di sekitar kita, apakah anggota keluarga, teman dekat atau pun tetangga yang telah meninggalkan kita selamanya, padahal sebelumnya kita masih berjumpa dan bercanda dengan orang-orang yg kita cintai tersebut. Sayangnya tipu daya setan dan beratnya beban hidup membuat kita terlena, hingga kita selalu merasa mendapat "giliran" paling akhir untuk menghadap-Nya.

Sebenarnya itu semua bagian dari early warning system dari Yang Maha Pemurah bagi kita untuk bersiap diri. Selain "sinyal-sinyal" lain yg diberikan Allah SWT kepada diri kita secara langsung. Rambut yg telah berubah warna; mata yang dulunya tajam dan sangat awas sekarang mulai memudar kemampuannya; gigi yang dulunya kuat melahap makanan apa saja, sekarang mulai terasa ngilu kalau menguyah, bahkan beberapa di antaranya mulai tanggal.

Belum terlambat untuk merenungi ayat ini:
"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui." (QS Al Ankabut: 64).

Marilah kita mulai dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya dengan segenap kemampuan kita. Mari kita pastikan, tiada hari yg terbuang tanpa nilai ibadah kepada-Nya, walau itu hanya seulas senyum, tegur sapa serta jabat tangan yang iklhas kepada orang-orang di sekitar kita.

Insya Allah bila tiba giliran kita menghadap-Nya, tak ada teriakan penyesalan dari kubur kita.



* Penulis adalah peneliti di Lab Tegangan Tinggi Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura, Pontianak

Hikmah: Cinta Rasul

Senin, 28 Pebruari 2011 11:57 WIB
Oleh: Ali Mustofa Akbar


Cerdas, bijaksana, berakhlak mulia. Dialah Muhammad saw. Rasul akhir zaman, pemberi peringatan, suri tauladan terbaik bagi umat manusia. Pembawa risalah penyempurna atas nabi-nabi yang terdahulu.

Dialah kekasih Allah, manusia yang terjaga dari kesalahan, sosok pribadi sempurna, figur terbaik yang pernah ada di dunia. Ia di kagumi, dicintai, sekaligus diikuti oleh umatnya yang beriman. Tidak heran apabila orang barat sendiri mengakui bahwa beliau merupakan tokoh yang paling berpengaruh di dunia. (Michael Hart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia).


Rasulullah sangat mencintai umatnya, itu tercermin bahkan di saat-saat akhir hayatnya ia masih sempat mengucapkan umati….umati…(umatku…umatku…). Sesaat sebelumnya, beliau juga sempat bercakap-cakap dengan malaikat Jibril yang hendak mencabut nyawanya:“Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?” Tanya Rasulullah dengan suara yang sangat lemah. Jibril pun menjawab “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu,”

Namun hal itu ternyata tidak membuat Rasulullah lega, sorot matanya masih penuh kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” Tanya Jibril lagi.

“Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” Tanya Rasul. “Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya,” Jawab Malaikat Jibril.

Subhanallah, betapa cintanya Muhammad kepada kita, sampai-sampai menjelang akhir hayatnya pun masih memikirkan umatnya.
Meskipun begitu, memang tidak semua orang menyukainya.Ada juga orang-orang yang membencinya. Itulah kaum kafir yang tidak mau menerima kebenaran Islam. Yang mungkin telah dibutakan mata dan hatinya.

Ketika awal-awal dakwah beliau di Makkah, orang-orang kafir Quraysi juga sangat membenci Rasulullah Saw, bukan karena pola sikapnya, namun karena agamanya, karena ideologinya.

Mereka tidak rela agama nenek moyangnya diganti dengan Islam. Berbagai halangan, rintangan, tuduhan miring, bahkan sampai percobaan pembunuhan pernah dilakukan oleh mereka (kafir Quraysi) dalam merintangi dakwah Islam. Merekalah musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya.

Allah SWT berfirman: “Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong.” (QS Al Furqaan: 31).

Dan kini, setelah beliau wafat pun, kedengkian orang-orang kafir itu tidak ada habisnya. Bahkan hingga kini.

Namun hal itu tidaklah mampu melunturkan kemuliaan sosok Muhammad SAW. Ia tetaplah sang kekasih Allah, suri tauladan terbaik bagi manusia. Kita sangat mencintainya, melebihi cinta pada diri ini. Apapun bisa kita perbuat demi Allah dan Rasul-Nya.

*) Direktur Rise Media Surakarta

Belajar dari Fatimah RA

Rabu, 25 Mei 2011 01:01 WIB
Oleh: Abi Muhammad Ismail Halim

Kasih sayang orang tua manakah yang melebihi kasih sayang Rasulullah Muhammad SAW kepada Fatimah RA putrinya.

Seperti dipetik dalam the Stories of Sahabah bahwa Ali RA pernah berkisah kepada murid-muridnya tentang Fatimah, putri kesayangan Rasulullah itu. “Fatimah biasa mengolah gandum sendiri sehingga kulit tangannya menjadi tebal. Dia bawakan air untuk keperluan rumah tangganya dengan sebuah kantong kulit sehingga meninggalkan bekas-bekas di kulitnya. Dia bersihkan sendiri rumahnya sehingga menjadi kotor pakaiannya."


Ketika mendengar para tawanan perang dibawa ke Madinah, aku berkata kepadanya, 'Pergilah kepada Rasulullah dan mintalah pelayan untuk membantumu di dalam pekerjaan rumah tangga.' Dia pun pergi kepada Rasulullah, tetapi menemukan sedang banyak orang di sekelilingnya. Karena sangat sopan dan rendah hati, Fatimah merasa berat untuk memohon kepada Rasulullah di hadapan orang lain.”

Keesokan harinya Rasulullah datang ke rumah kami dan berkata: “Fatimah, apa yang menyebabkan engkau datang menemuiku kemarin?” Fatimah merasa malu dan tetap diam. aku berkata “Ya Rasulullah, kulit Fatimah menjadi tebal dan berbekas karena mengolah gandum dan mengambil air.
Dia selalu sibuk membersihkan rumah sehingga pakaiannya selalu kotor. Saya informasikan kepadanya tentang tawanan perang dan menyarankannya menemuimu untuk meminta seorang pelayan.”

Rasulullah menjawab, “Fatimah, takutlah kepada Allah! Bertakwalah dan ketika pergi tidur hendaklah kau baca Subhaanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allahu Akbar 34 kali. Kau akan merasakan bahwa ini akan lebih membantumu daripada seorang pelayan." Fatimah berkata, “Saya bersama Allah dan Rasul-Nya.”

Adalah Rasulullah SAW sendiri yang memberikan teladan dengan selalu ringan tangan membantu anggota keluarganya. Pantaslah jika Fatimah RA menurutinya.

Bahkan di dalam Khashaish Madrasatin Nubuwah diriwayatkan bahwa Fatimah binti Muhammad telah mengisi seluruh lembaran hidupnya dengan bekerja keras. Bayangkan saja, di dalam satu waktu, Fatimah sanggup mengolah tepung dengan tangannya, sambil kakinya membuai Husain, mulutnya membaca Alquran, dan matanya menangis karena takut kepada Allah SWT. Seandainya hidupnya lebih panjang, dan ada peluang untuk melakukan lebih banyak pekerjaan, niscaya akan dihadapinya dengan tegar dan ceria.

Ali RA suaminya pun seorang pekerja keras yang tidak pernah memilih-milih pekerjaan. Pernah suatu ketika ia terpaksa membantu seorang wanita tua mengangkat 16 ember, demi mendapatkan 1 butir korma untuk setiap embernya, hingga tangannya bengkak-bengkak. Ketika ditunjukkan hasil pekerjaannya kepada Rasulullah SAW, beliaupun tersenyum, menunjukkan keridhaannya dengan ikut memakan kurma hasil pekerjaannya itu. Wallahu a'lam bish-shawab.

Penulis adalah sahabat Republika di Texas, USA

Keteladanan dalam Mendidik Anak

Kamis, 02 Juni 2011 02:00 WIB
Oleh Khofifah Indar Parawansa

Nama Luqmanul Hakim sangat popular dalam dunia Islam, karena nasihat-nasihatnya yang penuh hikmah. Bukan sekadar pesan, namun nasihatnya merupakan pendidikan seorang bapak terhadap anaknya yang penuh dengan kasih sayang serta ajaran tentang akidah dan akhlak. Karena keteladanannya dalam mendidik anak itu pula, Allah mengabadikan namanya dalam Alquran, yakni Surah Luqman.

Tentang asal-usul Luqman, ada beda pendapat di antara para ulama. Ibnu Abbas menyatakan bahwa Luqman adalah seorang tukang kayu dari Habsyi. Riwayat lain menyebutkan, ia bertubuh pendek dan berhidung mancung dari Nubah, dan ada yang berpendapat dia berasal dari Sudan. Dan, ada pula yang berpendapat Luqman adalah seorang hakim di zaman Nabi Daud AS.

Ada enam hal penting yang disampaikan Luqman kepada anaknya. Pertama, larangan mempersekutukan Allah. (QS Luqman: 13). Kedua, berbuat baik kepada dua orang ibu-bapak. (QS Luqman: 14). Ketiga, sadar terhadap pengawasan Allah. (QS Luqman: 16). Keempat, mendirikan shalat, 'amar makruf nahi mungkar, dan sabar dalam menghadapi persoalan. (QS Luqman: 17). Kelima, larangan sombong dan membanggakan diri (QS Luqman: 18). Dan keenam, bersikap sederhana dan bersuara rendah (QS Luqman: 19).

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Luqman tersebut, terutama soal keteladanan seorang bapak dalam mendidik anak. Luqman menanamkan tauhid dan keimanan kepada Allah SWT, juga norma dan tata cara berhubungan dengan keluarga dan masyarakat luas. Luqman tidak hanya berbicara, tapi langsung memberikan uswah (teladan) kepada anaknya.

Urgensi keteladanan disebutkan dalam hadis nabi. "Barang siapa yang memberikan contoh baik, maka baginya pahala atas perbuatan baiknya dan pahala orang yang mengikuti hingga hari kiamat, yang demikian itu tidak menghalangi pahala orang-orang yang mengikutinya sedikit pun. Dan barang siapa yang memberi contoh buruk, maka baginya dosa atas perbuatannya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Yang demikian itu tanpa dikurangi sedikit pun dosa orang-orang yang mengikutinya." (HR Imam Muslim).

Dalam konteks sekarang, kisah Luqman perlu disosialisasikan secara terus-menerus di tengah bermunculannya kasus anak-anak yang tidak mendapatkan hak sewajarnya dalam keluarga. Mereka hidup nyaris tanpa perlindungan. Bahkan, banyak anak hidup di bawah ancaman dan kekerasan, karena orang tua lari dari tanggung jawab.
Di sisi lain, kini banyak perilaku negatif di masyarakat yang bisa mendorong anak-anak menjadi jauh dari akidah dan akhlak Islam. Tayang televisi yang kurang bermutu, serta maraknya aksi pornografi dan pornoaksi, merupakan bagian dari penyebabnya. Akibatnya, anak-anak kerap mengalami krisis keteladanan.

Untuk itu, keluarga memegang peran penting agar anak-anak menemukan keteladanan dalam hidupnya. Dari keluarga, anak menemukan tata nilai agama dan norma yang berhubungan dengan masyarakat, sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW. Sehingga, terbentuk keluarga sakinah yang senantiasa dinaungi hidayah Allah SWT. Insya Allah.

Penulis adalah Mantan Menteri Peranan Wanita dan Ketua Umum DPP Muslimat NU

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...