Senin, 31 Maret 2014

Apakah Kita Sering "Mut-Mut-an?"




Oleh : Ubaydillah, AN 
 
Keunikan Mood
Rasa-rasanya sudah biasa kita menggunakan istilah mood. Umumnya, istilah mood itu kita pahami sebagai suasana batin tertentu, bisa bad dan bisa good. Kalau melihat ke pendapat ahli, seperti yang dikutip Wikipedia misalnya, mood adalah keadaan emosi (state of emotion) yang berlangsung secara relatif, yang sebab-sebabnya seringkali subyektif atau tidak jelas. Jika seseorang merasa takut, itu ada sebabnya, entah faktual atau perceptual (sebab-sebab yang dipersepsikan seseorang). Sama juga kalau seseorang merasa gembira. Kegembiraan muncul karena sebab-sebab tertentu. Tapi untuk mood, sebabnya seringkali tidak jelas atau stimulusnya kerap kurang faktual. Misalnya  saja, kita tahu-tahu merasa bad mood saat mau berangkat ke kantor.
Penjelasan yang mirip sama juga bisa kita dapatkan dari bukunya Philip G. Zimbardo (Psychology and Life: 1979) tentang mood. Mood adalah keadaan emosi tertentu yang tidak masuk dalam kategori state (emosi yang dipicu oleh faktor eksternal tertentu) atau trait (bentuk emosi yang menjadi bawaan seseorang). Perubahan mood  bisa berlangsung dalam ukuran jam atau hari. Bagi sebagian orang, perubahan mood kerap mempengaruhi gairahnya untuk  melakukan sesuatu atau bahkan bisa mempengaruhi keputusan dan tindakannya. Sejauh pengaruh itu tidak menyangkut ke urusan yang penting dan sangat menentukan, mungkin masih bisa kita bilang biasa.  Namanya juga orang hidup. Alam saja punya musim dan cuaca.
Tapi, bila itu sudah merembet ke urusan yang sangat penting, maka sulit rasanya untuk mengatakan itu biasa. Misalnya kita sedang menekuni keahlian tertentu. Jika gairah kita lebih sering dikendalikan oleh perubahan mood, mungkin akan sangat pelan kemajuan yang bisa kita raih, yang mestinya bisa kita raih lebih cepat, jika seandainya kita tidak mut-mutan (moody). Lebih-lebih jika perubahan mood itu sering kita alami sudah menyangkut ke urusan dengan orang lain atau organisasi. Misalnya kita tiba-tiba membatalkan janji dengan mitra gara-gara mood. Kita mengubah haluan yang sudah disepakati orang banyak gara-gara mood; atau kita mengambil keputusan penting yang menyangkut keluarga karena soal mood. Gampangnya ngomong, kita sudah menjadi orang yang mut-mutan sehingga sulit dipegang.

Mood Disorder
Di dalam kajian Psikologi, ada istilah yang akrab disebut mood disorder atau perubahan mood yang sudah tidak sehat lagi atau kacau. Dr. C. George Boeree, dari Shippensburg University (Mood Disorder: 2003), menjelaskan bahwa Mood Disorder itu merupakan sisi ekstrim yang sudah tidak sehat (patologis) dari perubahan mood tertentu, misalnya terlalu girang atau terlalu malang (sadness and elation). 
Definisi di atas rasa-rasanya sudah cukup untuk kita jadikan sebagai acuan perbaikan diri. Lain soal kalau kita ingin menggunakannya untuk presentasi tugas-tugas akademik yang menuntut sekian teori, perspektif, dan analisis data atau fakta. Untuk kepentingan perbaikan diri, pengaruh perubahan mood yang perlu kita deteksi itu antara lain adalah:
  • Apakah perubahan mood itu sudah benar-benar ekstrim hingga sudah bisa dibilang sangat membahayakan, misalnya ugal-ugalan saat berkendaraan di jalan raya atau membanting barang-barang yang berguna buat kita hingga fatal?
  • Apakah perubahan mood itu sudah benar-benar dapat melumpuhkan fungsi kita dengan sekian tanggung jawab yang harus kita jalankan hingga kita menjadi orang yang EGP (Emang Gue Pikiran) terhadap tugas-tugas kantor, tanggung jawab profesi,  atau tugas sebagai orangtua? 
  • Apakah perubahan mood itu sudah membuahkan tanda-tanda rusaknya hubungan kita dengan orang lain gara-gara misalnya banyak janji yang tidak kita tepati, banyak missed call atau SMS yang tidak kita jawab, dan lain-lain?

Sekian jawaban yang bisa kita gali dari pertanyaan di atas memang masih belum tentu bisa disebut Mood Disorder secara teori keilmuannya. Hanya saja, dengan menggunakan akal sehat, pasti kita sudah bisa menyimpulkan bahwa perubahan mood yang sudah menimbulkan bahaya dan kerusakan, tentu bukan lagi urusan yang biasa atau normal.

Gaya Hidup Depresif
Apa yang pertama-tama perlu kita telaah ketika perubahan mood yang kita alami itu sudah berdampak pada hal-hal buruk seperti di atas? Salah satu yang terpenting adalah gaya hidup, kebiasaan, atau tradisi, dalam arti prilaku yang berulang-ulang kita lakukan secara hampir tidak kita sadari sepenuhnya. Pertanyaannya, gaya hidup seperti apa? Gaya hidup yang bisa menjelaskan munculnya mood secara kebablasan (patologis) adalah gaya hidup depresif.  Seperti sudah sering kita baca di sini, depresi itu adalah stress yang berlanjut atau gagal kita tangani secara positif.  Dalam prakteknya, depresi itu ada yang sifatnya respondent dan ada yang sifatnya sudah menjadi tradisi yang berlangsung lama.
Depresi yang sifatnya respondent umumnya dipicu oleh kejadian eksternal yang kita rasakan stressful, seperti misalnya ada tragedi diri yang membuat kita harus hengkang dari kantor atau perusahaan yang selama ini kita besarkan, perceraian yang diawali peristiwa yang menyakitkan, atau kematian yang tidak normalnya menimpa orang tersayang, dan berbagai peristiwa lain yang sulit kita terima secara langsung. Jika acuannya praktek hidup, depresi yang respondent umumnya diketahui sebab-sebabnya atau kronologisnya. Ini agak beda dengan depresi yang sudah menjadi gaya hidup. Mungkin ada pemicunya, tetapi pemicu itu tidak kita sadari sehingga menggunung dan berlahan-lahan membuat kita merasa dikelilingi oleh berbagai beban, tekanan, dan ancaman.

 http://www.e-psikologi.com

Peduli Untuk Peduli




Untuk peduli, jaman sekarang tampaknya sudah tidak mudah lagi. Apalagi kalau harus peduli pada sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan dirinya. Apa peduliku? Begitu mungkin pikirnya.

Bener juga ya. Kalau didalamnya tidak ada kepentingan kita, kenapa mesti peduli? Memang benar. Jika kita sudah terpenjara oleh sikap egosentrik. Segala sesuatunya diukur dengan kepentingan sendiri.

Jika tidak ada kepentingan, tidak ada kepedulian. Namun kalau ada kepentingan, apapun dimanfaatkan. Apa pun. Termasuk agama. Jika ada kepentingan pribadi didalamnya; kenapa tidak? 

Di berbagai komplek perumahan saya sering melihat orang mencuci mobil didepan garasinya. Lalu air cucian mobil mengalir dijalan depan rumahnya.

Saya mengamati bahwa jalan didepan rumah yang biasa membiarkan air cucian mobil itu membeceki jalan ternyata jalan didepan rumahnya rata-rata pada berlubang.

Beda dengan rumah-rumah yang air cucian mobilnya dialirkan ke selokan. Jalan didepan rumah itu biasanya rapi. Itu contoh sederhana dari kepedulian. Untuk hal sepele pun ketiadaan kepedulian itu menyebabkan kerusakan.

Padahal, kalau sudah rusak semua orang merasakan susahnya. Termasuk para pencuci mobil yang tidak peduli itu.

Alam, lingkungan, dunia. Rusak karena ketidakpedulian orang-orang egosentrik. Termasuk kita, jika kita hanya mementingkan diri sendiri. Mau enaknya sendiri. Masa bodoh dengan orang lain. Asal kita saja yang senang.

Pantas jika Allah menegaskan dengan keras melalui firman-Nya dalam surah Al-Baqarah ayat 11 ini:

"... Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi."  Lucunya - seperti direkam dalam kelanjutan ayat itu - orang-orang itu malah menjawab: "Sesungguhnya, kami ini justru orang-orang yang mengadakan perbaikan."

Kebalik rasa dan logika. Jika nurani kita sudah tertutupi oleh egosentrisme yang menjelma dalam bentuk mementingkan diri sendiri. Kita, egosentrik seperti itu atau tidak?

Semoga tidak. Karena jika iyya, kita bakal merasa sedang mengadakan perbaikan. Padahal, sesungguhnya kita sedang membuat kerusakan. Tapi, kita tidak menyadarinya. Na'udzubillah....


Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman   

Jumat, 28 Maret 2014

Berkontribusi itu ngga Rugi




Dibandara, di restoran, di kantor-kantor. Anda paling sering bertemu dengan 'para boss' atau dengan staff 'kelas bawah'?

Sejauh yang saya alami dulu, para pelanggan saya lebih sering bertemu dengan saya daripada dengan boss saya. Memang sudah menjadi tugas saya untuk menjadi garda paling depan di perusahaan.

Sejauh pengalaman saya sekarang; ketika sedang menikmati pelayanan yang saya beli, saya lebih sering bertemu dengan 'orang-orang yang bukan boss' daripada dengan para boss mereka.

Saya dizaman dulu dan mereka zaman sekarang adalah orang-orang yang berada pada hirarki paling rendah dalam struktur organisasi perusahaan. Tapi, fungsi dan peran kami sungguh sangat tinggi. Bayangkan jika tidak ada front liner seperti kami?

Ini menunjukkan bahwa nilai kita bagi perusahaan tidak ditentukan oleh hirarki. Selama bisa berkontribusi, maka kita merupakan aset penting bagi perusahaan. Jika tidak bisa berkontribusi, posisi setinggi apapun tidak berarti apa-apa.

Tidak sedikit loh CEO yang diberhentikan karena pemilik perusahaan menilai bahwa kontribusinya buat perusahaan tidak sepadan dengan bayaran yang diberikan. Tidak sedikit juga orang yang berada dibawah kemudian menanjak naik karena pengambil keputusan melihat karya nyatanya buat perusahaan.

Jadi, apapun posisi kita sekarang; kita bisa menjadi orang penting bagi perusahaan jika mampu membantu perusahaan meraih pencapaian yang lebih baik. Dan cepat atau lambat, kita pun bakal merasakan manfaatnya.

Kalau sekarang Anda merasa belum mendapat manfaat yang banyak dari pekerjaan, mungkin Anda mesti lebih optimal dalam berkontribusi pada perusahaan. Jika bisa begitu, minimal Anda bakal terus dipertahankan.

Bagaimana jika sudah bagus pun Anda malah disia-siakan? Kalem aja. Karena setiap pekerjaan yang Anda lakukan dengan baik, menghasilkan 'pengalaman' dan 'keahlian'.

Dan suatu saat kelak, Anda akan bertemu dengan pengambil keputusan yang mengenali dan mengaprisiasi kualitas pribadi yang Anda tunjukkan.

Apakah Anda siap untuk memulainya hari senin besok? Mari niatkan sekarang. Dan senin besok, kita praktekkan. Karena berkontribusi itu. Nggak rugi.


Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman
Author, Trainer, and Public Speaker

Kamis, 27 Maret 2014

Penyebab Hilangnya Sebuah Kepercayaan




Hore!
Hari Baru, Teman-teman.

Mengapa Anda bersedia untuk mendengar ketika seseorang berbicara pada Anda? Antara lain karena Anda percaya kepadanya kan? Seandainya tidak mempercayainya, maka Anda tidak akan tertarik untuk mendengarnya. Bahkan, bisa saja tidak tertarik untuk mengenalnya lagi. Dan kita ingin menjauh dari orang-orang yang tidak kita percayai lagi kan? Jika hal itu berlaku bagi orang lain, maka itu juga berlaku bagi kita. Artinya, orang lain pun tidak akan mau mendengar kita jika mereka tidak percaya kepada kita. Mendengar saja tidak mau. Apalagi mengamanahkan sesuatu kan? Ini menujukkan bahwa ‘kepercayaan’ adalah segala-galanya. Lantas, “Apa sih yang membuat kita kehilangan kepercayaan?”

Di sekitar kita, ada banyak fenomena yang bisa dijadikan sarana untuk bercermin. Agar bisa menjadi pribadi yang layak dipercaya. Di kantor, misalnya. Mungkin Anda mengenal seseorang yang apapun yang dikatakannya Anda tidak mau percaya lagi. Karena semua orang dikantor tahu bahwa orang itu ‘tukang ngibul’. Jika Anda seorang pebisnis, mungkin Anda mengenal seorang rekan bisnis yang janji mau bayar hutang tapi tidak pernah terealisasi. Anda, tentu tidak mau lagi berbisnis dengannya kan?

Kalau pernah memergoki suami atau istri Anda melakukan sesuatu yang tidak patut; apakah Anda akan selalu percaya kepadanya? Percaya sih, kan sudah memaafkan. Tapi didalam hati, kadang muncul sebuah tanda tanya kan? Di gedung DPR, Anda masih percaya pada para penghuninya? Fenomena meningkatnya golput menunjukkan sudah semakin lunturnya kepercayaan publik kepada lembaga terhormat itu.

Dari fenomena yang ada, kita bisa melihat dengan jelas bahwa kepercayaan bisa hilang hanya karena kata-kata kita, tidak sesuai dengan perilaku atau tindakan yang kita tunjukkan.   Kepada atasan yang doyan janji-janji doang, Anda tidak percaya lagi kan? Pada anak buah yang ‘iya-iya tapi tidak’ Anda kesal sekali tentunya. Kepada mitra yang hanya bicara tanpa tindakan, Anda ogah bergaul lama-lama. Bagaimana dengan mereka yang hanya dekat setiap 5 tahun sekali kepada rakyat? Bahkan orang yang terjerat fanatisme pada golongannya pun sebenarnya sadar bahwa; janji, jargon, dan kata-kata indah mereka itu tidak dijamin bakal sama dengan perilakunya.

Didalam kitab suci, Tuhan sudah memperingatkan bahwa kemarahanNya sungguh sangat besar kepada orang-orang yang mengatakan sesuatu yang tidak dilakukannya. Artinya, lain dibibir lain dihati. Lain diperkataan, lain diperbuatan. Bahasa paling sederhananya adalah ‘bo-ong’. Sederhana memang, tampaknya. Tapi dampaknya sungguh luar biasa. “Lah, cuman bo-ong segitu doang kok dipikirin…” Banyak orang yang bilang begitu kan? Padahal setiap tindak kriminal, maupun kerusakan atau kekacauan apapun yang terjadi di muka bumi ini; berkaitan dengan – minimal – satu kobohongan.

Tidak ada hal lain yang bisa dipegang dari seorang manusia selain kata-katanya. Jika kata-katanya sudah tidak bisa dipegang lagi, maka kita tidak bisa mempercayainya lagi. “Lah, kalau nggak dipercaya sama si ini, kan bisa cari orang lain yang masih mau percaya kan? Toh masih banyak orang yang bisa dibo-ongin dan dibodongin.” Mungkin ada juga orang yang berpikiran demikian. Makanya, tidak kapok-kapok berbo-ong. Toh selalu ada ‘audience lain’ yang akan percaya kan?

Memang, fenomena itu terasa kental di lingkungan kita. Semoga saja kita tidak ikut terjerat kedalamnya. Karena. Meskipun tampaknya sederhana, bo-ong itu parah banget konsekuensinya. Anda, tentu masih ingat Rasulullah yang mengingatkan bahwa salah satu dari 3 – tiga – ciri orang munafik adalah; “jika berkata, dia berdusta”. Bayangkan, Rasulullah saja sudah memperingatkan sedemikian kerasnya. Masak sih kita menganggap enteng begitu?

Mungkin manusia masih mau percaya pada kita. Apalagi di zaman yang segalanya bisa dibeli seperti saat ini kan. Asal ada imbalannya, maka segala sesuatunya bisa terjadi. Iyya, kalau kita hanya mikirin penilaian manusia. Memangnya kita tidak percaya bahwa kelak kita akan mati juga? Lalu berhadapan dengan Sang Maha Menyaksikan. Dzat yang tahu persis apa yang kita sembunyikan didalam hati. Dia yang memberi siksa atau pahala. Atas segala sesuatu yang kita ucapkan dan lakukan. Meski sebesar butiran debu sekalipun.

Atau jangan-jangan, bukan kepercayaan orang lain pada kita yang hilang itu. Melainkan, kepercayaan kita kepada Tuhan. Mungkin kita tidak percaya lagi bahwa Tuhan sudah tidak punya kuasa lagi pada kita. Sehingga demi kekuasaan kita bersedia melakukan apa saja. Demi jabatan kita sanggup melakukan apapun. Demi mengejar harta kita tega melanggar norma-norma. Karena kepercayaan kita kepada kuasanya Tuhan; sudah tak ada. Na’udzubillah.
  

Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman 7 Maret 2014
Author, Trainer, and Professional Public Speaker

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...