Rabu, 19 September 2018

Ngaji 12 Prinsip Hidup Islami Ala Kiai Semar Badranaya


IslamIndonesia.id—Ngaji 12 Prinsip Hidup Islami Ala Kiai Semar Badranaya 
Dalam sebuah kesempatan, Kiai Mbeling Emha Ainun Nadjib pernah menegaskan bahwa tokoh sentral dalam panakawan yakni Semar, bukanlah badut sebagaimana yang selama ini terlanjur dikenal banyak orang. Dan karena Semar bukan badut melainkan justru gagasan tentang Nabi Muhammad, maka dia bukanlah sosok yang layak dijadikan bahan tertawaan, melainkan sebaliknya mesti dijadikan panutan, terutama oleh manusia Muslim Jawa.
Jika kita telusuri, baik dari cerita tutur turun-temurun maupun transkrip kuno, manusia Jawa percaya bahwa Semar adalah kakek moyang pertama atau perwujudan dari manusis Jawa yang pertama. Dialah sosok yang mengemban “tugas khusus” dari Gusti Kang Murbeng Dumadi  atau Tuhan Yang Maha Esa, untuk terus hadir dengan keberadaannya pada setiap saat, kepada siapa saja dan kapan saja menurut apa yang dia kehendaki.
Konon salah satu di antara sekian makna nama Semar adalah haseming samar-samar. Disebut demikian karena Semar dianggap samar wujudnya; dia berwajah laki-laki, tapi perawakannya seperti perempuan dengan perut dan dada besar. Rambutnya putih dengan kerutan di wajah,  menandakan dia sudah lanjut usia, namun sebaliknya, rambutnya juga berbentuk kuncung seperti umumnya ciri khas anak-anak. Bibir Semar tampak tersenyum, tapi matanya menandakan tangis. Pakaiannya sarung kawung khas para abdi, tapi di setiap saat krusial para Ksatria Pandawa, justru dari lisannya ditunggu pitutur tingkat tinggi berupa solusi.
Selain samar wujudnya, kadang samar pula pitutur dan piwulang Kiai Semar. Konon hanya manusia berakal atau mereka yang mau berpikir menggunakan akalnya lah yang akan mampu memahami, baik secara tersirat maupun tersurat setiap tuntunan yang disampaikan, baik melalui ucapan maupun tindakannya.
Di satu sisi, para mistikus Jawa menyebut Semar sebagai lambang gelap gulita, lambang misteri, lambang ketidaktahuan mutlak, yakni ketidaktahuan kita mengenai Tuhan. Namun di sisi lain, tokoh yang di kalangan para dalang juga dikenal dengan nama Kiai Lurah Semar Badranaya atau Nur Naya ini, dipercaya sebagai pemilik cahaya tuntunan khas seorang penuntun dan pemimpin, yang berkelayakan menjalankan tugas menuntun manusia dengan cahaya ilmunya, ke jalan yang benar, sesuai kehendak Tuhan.
Di antara sekian banyak tuntunan yang diajarkan Kiai Semar, berikut ini 12 prinsip hidup yang setidaknya dapat kita kaji dan ambil manfaatnya bagi kehidupan kita sebagai manusia Jawa, sekaligus umat Islam di Indonesia.
Pertama: Eling lan bekti marang Gusti Kang Murbeng Dumadi.
Prinsip ini mengandung maksud bahwa manusia yang sadar akan dirinya hendaknya selalu mengingat dan memuja Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kesempatan bagi dirinya untuk hidup dan berkarya di alam yang indah ini.
Kedua: Percoyo lan bekti marang Utusane Gusti Kang Murbeng Dumadi.
Prinsip ini mengandung makna bahwa manusia sudah seharusnya menghormati dan mengikuti ajaran para Utusan Allah sesuai dengan ajarannya masing-masing, karena sudah pasti bahwa semua konsep para Utusan Allah tersebut adalah anjuran pada kebaikan.
Ketiga: Setyo marang Khalifatullah lan Penggede Negoro. 
Prinsip ini berarti bahwa setiap manusia yang tinggal di suatu wilayah, maka sudah selayaknya bahkan berkewajiban untuk menghormati dan mengikuti semua peraturan yang dikeluarkan oleh para pemimpinnya yang baik, benar dan bijaksana.
Keempat: Bekti marang Bhumi Nusantoro.
Prinsip ini menekankan agar setiap manusia yang tinggal dan hidup di bumi Nusantara ini wajib dan wajar unuk merawat dan memperlakukan bumi Nusantara ini dengan baik, sebab bumi inilah yang telah memberikan kemakmuran bagi penduduk yang mendiaminya.
Kelima: Bekti marang Wong Tuwo.
Prinsip ini mengingatkan setiap manusia bahwa dirinya tidak serta-merta ada di dunia ini, tetapi melalui perantaraan Ibu dan Bapaknya. Maka hendaknya hormatilah, muliakanlah keduanya yang telah memelihara dan membesarkan kita dengan kasih sayang dan pengorbanan tulusnya.
Keenam: Bekti marang Sedulur Tuwo.
Prinsip ini mengajak kita agar senantiasa sadar diri untuk menghormati saudara yang lebih tua dari sisi umur dan lebih mengerti daripada kita dari sisi ilmu, pengetahuan dan kemampuannya.
Ketujuh: Tresno marang kabeh Kawulo Mudo.
Prinsip ini mengajari kita agar selalu menyayangi mereka yang lebih muda, memberikan bimbingan dan menularkan pengalaman dan pengetahuan kita kepada mereka, dengan harapan yang muda ini akan dapat menjadi generasi pengganti yang tangguh dan bertanggung jawab.
Kedelapan: Tresno marang Sepepadaning Manungso.
Prinsip ini mengajarkan satu pemahaman substansial bahwa sejatinya semua manusia itu sama, meski berbeda warna kulit, bahasa, budaya dan agamanya. Maka sudah selayaknya kita hormati sesama manusia dengan kesadaran bahwa mereka semua memiliki harkat dan martabat yang sama sebagaimana halnya kita juga.
Kesembilan: Tresno marang Sepepadaning Urip.
Prinsip ini menuntun kita agar tak hanya menghormati sesama manusia, melainkan juga semua makhluk ciptaan-Nya. Sebab semua makhluk yang diciptakan Allah adalah makhluk yang keberadaannya maujud karena kehendak Allah yang Kuasa. Maka dengan menghormati semua ciptaan Allah, sama artinya kita telah menghargai dan menghormati Allah sebagai penciptanya.
Kesepuluh: Hormat marang Kabeh Agomo.
Prinsip ini menekankan sikap toleransi, dalam artian hendaknya kita hormati semua agama atau aliran kepercayaan yang ada, dan otomatis termasuk juga para penganutnya.
Kesebelas: Percoyo marang Hukum Alam.
Prinsip ini menggugah kesadaran kita bahwa selain menurunkan kehidupan, Allah juga telah menurunkan Hukum Alam sebagai hukum sebab-akibat. Maka disini berlaku kaidah alamiah bahwa barang siapa yang menanam maka dia pula yang akan menuai hasilnya. Siapa yang berbuat kebaikan, pasti akan berbuah kebaikan, sebaliknya bagi mereka yang berbuat jahat, sudah pasti akan tertimpa laknat. Inilah yang dalam kepercayaan manusia Jawa kadang disebut sebagai Hukum Karma.
Keduabelas: Percoyo marang Kepribaden Dhewe tan Owah Gingsir.
Prinsip ini menanamkan keinsyafan bahwa setiap manusia ini pada dasarnya rapuh dan hatinya berubah-ubah, maka hendaklah setiap diri kita menyadarinya agar dapat menempatkan diri di hadapan Allah dan selalu mendapat perlindungan dan rahmat-Nya dalam menjalani hidup dan kehidupan ini.
***
Itulah 12 prinsip hidup yang diajarkan oleh Kiai Semar Badra Naya kepada manusia Jawa yang hidup di bumi Nusantara. Keduabelas prinsip hidup dan ajaran adiluhung yang kesemuanya dapat dirangkum ke dalam tiga konsep hubungan universal, yakni hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dengan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dengan seluruh alam semesta ciptaan-Nya.
Dengan lebih memahami 12 prinsip hidup sebagaimana telah diuraikan di atas, semoga kita semua, baik sebagai manusia Jawa, manusia Indonesia, maupun manusia beragama yang hidup di bumi Nusantara, pada akhirnya dapat saling menghormati satu sama lain, karena kita sadar bahwa begitulah hendaknya kita bersikap dalam hidup. Hidup secara baik dan benar, yang didasari penghormatan, kepatuhan dan ketaatan kita kepada Sang Pemberi Hidup.

EH/IslamIndonesia

Mengintip Tradisi Jawa di Malam Kesembilan Bulan Suro


MetroIslam.com – Ritual di bulan Suro bagi masyarakat Jawa terbilang cukup padat. Dari malam pertama bulan Suro hingga hari ke sepuluh termasuk setelahnya, merupakan hari-hari yang memiliki nilai kesakralan. Di hari yang diyakini sakral itulah, masyarakat Islam Jawa, termasuk di Yogyakarta menyikapinya dengan berbagai ritual, yang sudah menjadi tradisi turun temurun.
“Dari keseluruhan peribadatan pada bulan Muharram, yang paling populer adalah ritual pada hari Asyuro, atau hari kesepuluh bulan Muharram. Terkadang juga ditambah dengan satu atau dua hari sebelumnya (tarwiyah= 8, hari kedelapan dan tasu’a = 9 ), dan juga ditambah pula satu hari sesudahnya (tanggal 11),” kata penulis “Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar” KH. Muhammad Solikhin.
Tasu’a sendiri makna asalnya ‘sembilan’ yang dalam lidah Jawa biasanya disebut ‘tasungan’. Malam Tasungan berarti ritual malam kesembilan di bulan Suro. Biasanya orang-orang berkumpul di suatu tempat atau rumah untuk mendengarkan manaqib Baginda Hasan dan Husain, cucu Kanjeng Nabi SAW. Manaqib atau kisah perjalanan cucu Nabi yang dibacakan berasal dari teks melayu kuno Ali Hanafiah.
Namun sebelumnya, lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an dan doa dari kitab Al Barazanji terdengar mengawali ritual ini. Setelah manaqib dibacakan, hadirin mendengarkan ceramah dan diakhiri oleh pembagian potongan tumpeng dan bubur Suran (Suro) kepada semua yang hadir. 
Selama pembagian potongan tumpeng, tembang khas Jawa “Lir-ilir” dilantunkan bersama-sama tanpa diiringi alat musik apapun.


Bubur merah dan putih ini juga populer disebut “bubur Hasan dan Husain” merupakan bubur yang disedekahkan sebagai tanda kehormatan dan pemuliaan terhadap dua cucu Nabi Muhammad SAW, putra Ali bin Abi Tholib dan Fatimah,” kata Kiai Solikhin. 
Setiap orang juga diberikan bubur Suran yang berwarna putih dan merah dalam satu tempat (mangkuk). Setelah menjelaskan proses akulturasi bahasa, budayawan Ki Herman Sinung Janutama mengatakan bahwa bubur sebenarnya berasal dari kata “gugur” dan Suran atau Suro berasal dari kata “Asyuro”. Keduanya, jika digabung berarti gugur di hari Asyuro. 
Adapun warna putih dan merah melambangkan Hasan dan Husain sebagai simbol untuk mengenang cucu Kanjeng Nabi SAW.
Bubur Suro sangat dikenal di kalangan masyarakat muslim di Jawa. Cerita mengenai bubur suro ini, lanjut Kiai Solikhin, terdapat dua riwayat yang sesuai dengan dua macam bentuk bubur yang dihidangkan sebagai sedekah. Cerita pertama terkait dengan syahidnya Sayyidnia Husain di padang Karbala. Keluarga ahlulbait Nabi dibantai oleh keluarga Khalifah Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan, atas perintah Yazid bin Muawiyah.
“Untuk mengenang kesyahidan itu, maka dibuatlah sedekah dalam bentuk bubur merah dan putih sebagai simbol keberanian Husain membela kebenaran. Ada juga yang menafsirkan bubur merah dan putih sebagai simbol dari Hasan-Husain sebagai cucu kesayangan Rasulullah sehingga dalam kenduri yang berhubungan dengan kelahiran anak, umumnya kedua macam bubur ini disajikan,” katanya. 
Sayangnya, tambah Ki Herman, ritual malam tasungan ini sulit lagi ditemukan pada masa kini. Sebabnya beragam. Menurut pengkaji literatur dan hikayat Melayu, Mohammad Faisal, selain kependudukan kolonial, kedatangan Wahabi abad ke-19 juga memberikan dampak signifikan. Karena itu, menarik untuk diteliti lebih dalam lagi soal fakta-fakta budaya historis sebelum dan setelah adanya kolonialisme dan wahabisme di Yogyakarta.
Menurut sastrawan Prof. Dr. Abdul Hadi, tradisi Islam Jawa yang bercorak mistis tidak lepas dari sumbangsih Tasawuf dalam Islam itu sendiri. Peranan para ahli tasawuf atau sufi tidak disangkal lagi, karena sebagian besar penyebar-penyebar agama Islam pada abad ke-13 – ke-17 M adalah ahli-ahli tasawuf dan jejaknya dapat disaksikan dalam berbagai bukti seperti kitab-kitab keagamaan dan sastra, juga dalam adat istiadat.
“Para sufi itu berpengaruh besar dalam penentuan kalender Islam, penentuan bentuk-bentuk upacara keagamaan seperti maulid dan lain-lain,” katanya.
Penyair yang juga sufi besar dalam dunia Islam, Jalaluddin Rumi misalnya, menganggap kecintaan kepada Sayyidina Husain sebagai kelanjutan dari kecintaan kepada Nabi Muhammad saw, dengan cara yang sama sebuah telinga mencintai mutiara.
Dalam kitab keenamnya, Rumi menggambarkan Nabi Muhammad Saw sebagai wujud telinga dan Sayyidina Husain adalah mutiara, “Tidakkah engkau tahu bahwa hari Asyura adalah hari duka cita bagi satu jiwa yang lebih utama ketimbang seluruh abad?”
Masih dalam kitab yang sama, Rumi melanjutkan bait-baitnya, “Bagaimana bisa tragedi ini dianggap ringan oleh seorang Mukmin hakiki? Kecintaan kepada anting (Husain) sama dengan kecintaan kepada telinga (Nabi Muhammad saw). Dalam pandangan Mukmin sejati, duka cita kepada ruh murni lebih agung ketimbang ratusan banjir pada (zaman) Nuh.”

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...