Senin, 30 November 2009

Gerakan Majnun Internasional

by Emha Ainun Nadjib, 6 October 2009

Kita catat dulu catatan para penjajah internasional jenis mutakhir: “Kita adalah kekuatan yang invisible. Organisasi, institusi dan individu-individu di Negara-negara jajahan kita bikin secara tidak sadar bekerja untuk kepentingan kita. Tujuan kita yang sebenarnya tidak boleh diketahui oleh mereka, dengan membikin mereka justru merasa melawan kita, padahal sedang menjalankan disain-disain kita”.

“Aktor-aktor yang menjalankan program internasional kita bukan orang-orang kita, melainkan tokoh dan aktivis masyarakat negara jajahan, seluruh agen polisi internasional, bankers, industrialis, ekonom, politisi, termasuk public figure, pemimpin-pemimpin informal. Mereka sangat penting karena mereka menjalankan sekaligus melindungi kita, sambil meyakini bahwa mereka sedang melawan kita”.
“Kita dorong semangat dan egoisme mereka dan kebutuhan mereka untuk sukses. Padahal mereka tak lebih bagaikan macan dengan jiwa domba karena mereka tidak punya visi tentang kemauan kita sebenarnya. Siapa yang akan menyangka bahwa orang-orang terkenal ini sebenarnya kita yang mengatur naik ke panggung, sesuai rencana besar kita”.
Tidak mungkin itu semua kita urai dalam tulisan pendek. Jadi kalau berminat, jadikan PR saja, pelan-pelan dipelajari sambil nanya sana sini. Selebihnya, berikut ini saya sedikit menambahi sketsa-sketsa.
*****
Flu atau pilek itu ‘icon’ nya hidung. Gambar orang flu berpusat pada hidung, umbel dan sapu tangan, ditambah gebres-gebres, demam dan awak ndhrudhuk.
Tetapi apakah flu berpusat di hidung? Tidak. Hidung tidak ikut flu, yang flu adalah kondisi menyeluruh dari tubuh, hidung menanggung akibatnya dan paling tersiksa. Jadi kalau menyembuhkan flu, bukan hidung fokus perhatian metoda kuratifnya.
Demikian juga kalau Anda melihat dan menilai soal narkoba, bukanlah narkoba pusat masalahnya. Narkoba “hanya” batalyon-batalyon tentara penjajah internasional yang disebar ke seluruh pelosok bumi. Batalyon pasukan neo-kolonialisme mondial lainnya dikirim menyerbu pasar ekonomi, info media, universitas dan sekolah, lembaga pemerintahan dan perwakilan rakyat dan semua lini kepengurusan sejarah suatu bangsa, termasuk menjadi rayap-rayap dalam berbagai konsep, ideologi dan aturan-aturan hukum dan birokrasi.
Ada juga pasukan “lelembut” dikirim ke dalam otak kepala manusia, ke dalam hatinya, memasukkan, mendesakkan dan mendominasikan virus-virus cara berpikir, irama selera, trend, sikap budaya, kecenderungan sosial dan apapun saja “software” kehidupan manusia. Batalyon pasukan lelembut ini dengan sendirinya terbawa sampai ke bilik-bilik pribadi, masuk rumah-rumah ibadah, bahkan mempengaruhi cara manusia memperlakukan Tuhan, Malaikat, Nabi dan Kitab Suci. Tiba-tiba saja pada suatu hari ketahuan bahwa kita yang yakin bahwa kita ini pandai dan saleh, ternyata kita adalah prajurit bantuan yang ikut melaksanakan tugas Gerakan Majnun Internasional.
*****
Dari zaman ke zaman dulu ummat manusia dijajah oleh mithologi tentang aristokrasi Raja-Raja. Kemudian dijajah oleh serbuan tentara dari mancanegara. Berikutnya dijajah melalui ekonomi dan pasar. Lantas dijajah melalui pikiran dan perasaan. Dan sekarang semua formula imperialisme dan kolonialisme itu dipakai kapan saja dan mana saja yang relevan dan effektif.
Irak harus diserbu pasukan gabungan dengan terlebih dulu dicarikan “ayat”nya agar sah menyerbu. Sedang dipikir-pikir 2008-2015 Iran harus menjadi fokus serangan, sementara harus dipastikan Kaum Muslimin harus terpecah belah di seluruh dunia, dan cara memecah mereka adalah dengan memasukkan virus-virus cara berpikir, cara memandang sesuatu, cara melihat dan merasakan.
Indonesia tidak perlu diserbu dengan tentara dan bedil bom bayonet. Orang Indonesia gumunan, latah dan gampang dibikin mabuk: jadi cukup diserbu dengan iming-iming di segala bidang. Segala yang memabukkan dimasukkan ke Indonesia. Orang Indonesia begitu mudah mabuk demokrasi sementara Amerika Serikat sendiri tak segitu-segitu amat menyikapi demokrasi. Demokrasi, HAM, psikisme gender, otonomi daerah, teknologi komunikasi dan informasi, Neo-Liberalisme, dan segala macam partikel yang menggiurkan: diuntal mentah-mentah oleh orang Indonesia, tanpa reserve. Sesungguhnya demokrasi dst itu adalah perangkat pengelolaan sejarah yang baik jika manusia memahami dosisnya, batasnya, konteksnya, takarannya, koridor wilayahnya, ruang dan waktunya. Tetapi kita malas berpikir, pokoknya ambil dan telan!
*****
Jangankan narkoba: air sajapun memabukkan kalau sekali minum setengah drum. Nasi, rujak cingur, rawon, pecel, semua memabukkan jika tidak dikontekstualisir secara ruang dan waktu. Mungkin itu sebabnya Tuhan suruh kita sholat lima waktu yang keseluruhannya hanya butuh waktu sekitar setengah jam. Kita pasti mabuk kalau Tuhan kasih metoda sholat yang satu kali sholat butuh 3 jam, sehingga 5x sehari jumlah waktunya menjadi 15 jam. So sholat sajapun memabukkan dan berakibat negatif kalau tidak tepat satuan ruang dan waktunya.
Maka narkoba itu 10x lipat setan iblis efektivitasnya untuk memajnunkan manusia. Narkoba itu melebihi neraka, dan pemakai narkoba adalah manusia terbodoh tiada tara. Di dalam neraka saja orang kesakitan tersiksa tetapi memiliki kemuliaan karena sedang menjalani hukuman alias pembersihan. Orang bersalah yang dihukum itu harus bangga karena memang demikianlah yang benar. Salah + tidak dihukum = Salah kwadrat. Salah + dihukum = Benar. Orang yang dipenjarakan dan dimasukkan neraka berarti menjalankan kebenaran.
Akan tetapi sejahat-jahat dan sebodoh-bodoh pemakai narkoba masih jauh lebih bodoh dan lebih jahat para inisiator dan penyebar narkoba. Narkoba adalah senjata paling ampuh dibanding segala rudal dan bom jenis mutakhir. Kalau Negara adikuasa menjatuhkan bom di Surabaya maka sepanjang hidup Negara pengebom itu dikutuk oleh sejarah. Tetapi kalau narkoba yang membunuh satu atau dua generasi muda Indonesia yang jumlahnya melebihi penduduk Surabaya: tak ada yang dikutuk selain narkoba itu sendiri. Narkobanya dibajingan-bajingankan, tapi pelaku di belakangnya bisa justru menjadi public figure, tokoh panutan, duta keselamatan masyarakat atau apapun.


Senin, 23 November 2009

Mengapa kita memerlukan Nabi?

[www.wisdoms4all.com]

Untuk membuktikan kemestian nubuwwah, dapat dilakukan dengan dua pendekatan argumen; pertama dengan pendekatan argumentasi rasional (aqli) dan kedua dengan pendekatan argumentasi referensial (naqli). Sebelum dipaparkan pembuktian dan argumentasinya, kami memandang urgen mengutarakan poin berikut ini: Bahwa unsur inti dari kenabian terbangun atas dua hal;
a) Aturan dan undang-undang dari Tuhan, yakni wahyu;
b) Pembawa aturan atau wahyu, yakni nabi.
Oleh karena itu, sebagian dari argumen rasional, tinjauannya mengarah pada kemestian wahyu, dan sebagiannya mengarah kepada kemestian kenabian. Akan tetapi tentu saja dengan jalan membuktikan salah satu di antara keduanya maka sudah meniscakan ketetapan yang lainnya.

Argumentasi Rasional
Untuk membuktikan kemestian kenabian atau mengapa kita memerlukan nabi, jalan pertama yang harus ditempuh mengkonstruksi argumentasi rasional tentangnya, sebab tanpa landasan argumentasi rasional maka permasalahan fundamental ini tidak memiliki nilai validitas ilmiah yang bersifat universal (sebab orang-orang ateis dan penganut agama yang tidak mengakui kemestian kenabian tidak dapat dimasukkan ke dalam orang-orang yang bisa menerima argumentasi kenabian dengan jalan nakli). Hal ini disebabkan karena apabila masalah kenabian dijelaskan dengan argumentasi wahyu maka hal ini hanya dapat dilakukan jika eksistensi Tuhan dan eksistensi Firman-Nya telah dibuktikan dengan argumen rasional terlebih dahulu.
Oleh karena itu, langkah pertama yang mesti dilakukan membuktikan prinsip kenabian dengan argumentasi akal. Setelah dibuktikan tentang keniscayaannya dan wahyu yang diturunkan pada nabi Muhammad Saw adalah hak, barulah dapat dibuktikan masalah kenabian dan rincian tentangnya dengan pendekatan ayat-ayat al-Qur'an.
Adapun landasan argumentasi rasional kemestian kenabian, di antaranya beberapa premis berikut:
a. Kebutuhan manusia kepada undang-undang secara mesti dan ketidakmampuan mereka untuk mengadakannya;
b. Kebutuhan kepada kesempurnaan ruh;
c. Kemestian pembimbing.

Sekarang kita akan menguraikan argumen kemestian kenabian ini dan landasannya.

Kebutuhan Terhadap Undang-undang dan Ketidakmampuan Manusia Mengadakannya
Penjabaran burhan ini dapat disempurnakan dengan menjelaskan beberapa matlab terlebih dahulu sebagai mukadimahnya:
1. Penciptaan manusia berasaskan hikmah dan hanya sanggup ditangani oleh Tuhan Yang Mahabijaksana dan Hakîm;
2. Manusia tersusun dari dua unsur materi dan ruh. Komposisi ini telah menyebabkan manusia mesti mendapatkan kekhususan-kekhususan badan materi dan kekhususan-kekhususan ruh non-materi, dan ini mengimplikasikan adanya kebutuhan manusia yang bersifat rasional dan bersifat empirikal; namun tujuan sejati dari penciptaan manusia, hakikatnya adalah perkara rasional dan langgeng.
3. Manusia, dari dimensi materi dan tabiat, adalah maujud yang bergolak, tidak puas, agresor, penindas, memperbudak, dan egois. Ada kemungkinan sifat agresor terhadap hak-hak orang lain ini sudah inheren dengan dimensi wujud tabiatnya. Dari sisi ini, jika kekuatan tabiat manusia tidak dikekang dan dilunakkan, maka ia merupakan maujud berbahaya dan pembuat keburukan, yang apabila ia berkeinginan memikirkan tentang masalah hak-hak manusia dan menyusun tentangnya maka niscaya ia akan berpikir dan menyusun hal yang menguntungkan sekelompok orang serta merugikan kelompok lainnya. Dan dengan undang-undang yang ia tulis demikian, akan mengantarkan manusia pada perbudakan sekelompok orang dan kelompok lainnya sebagai penindas serta pengambil keuntungan. Selanjutnya kelompok lemah akan semakin terpojok dan lemah posisinya, yang pada akhirnya akan mengarah kepada kehancuran, ketiadaan, atau perbudakan dalam bentuk yang bermacam-macam. Manusia seperti ini, memandang cara mencapai kebahagiaan dengan jalan penindasan dan itu merupakan logikanya: "Maka kumpulkanlah segala tipu daya (sihir) kamu, kemudian datanglah dengan berbaris, dan sungguh beruntung orang yang menang pada hari ini."[1] Mereka ini hendak membawa orang-orang lemah di bawah kekuasaannya serta memperbudaknya. Namun, sebab penindasan terhadap orang lain bukanlah hal yang langgeng, maka tidak lama kemudian terjadilah pertentangan dan pergolakan di antara kelompok-kelompok yang berlawanan. Oleh karena itu, ungkapan masyhur ini: 'Manusia adalah makhluk berperadaban', 'Manusia adalah makhluk berbudaya', tidaklah benar tanpa analisa dan penguraian yang tepat. Bahkan dengan watak material yang bersemayam dalam tabiat manusia, selamanya peradaban ini tidak pernah terinstitusikan; sebab mereka secara tabiat (bukan fitrah) menginginkan segala sesuatu itu kepada dirinya dan bagi dirinya (egoisme).
4. Dari sisi lain, manusia tidak memiliki jalan lain kecuali hidup bermasyarakat; sebab ia tidak mampu secara sendiri memecahkan kesulitan-kesulitan hidup yang sangat banyak dari pangkal jalan kehidupannya dan mencapai keinginan-keinginan yang muncul dari kebutuhan-kebutuhan naturalnya. Oleh karena itu, ia membutuhkan kehidupan bermasyarakat dan bermitra. Dan dalam kehidupan bermasyarakat dan bermitra ini, akan nampaklah akar-akar ketidakadilan dan kezaliman, pelanggaran hak-hak, penjajahan, penindasan, ketamakan, egoisme, dan tabiat buruk manusia lainnya. Di sinilah letak kebutuhan manusia terhadap undang-undang; undang-undang yang universal, komplit, sempurna, menyamaratakan, dan menyampaikan manusia kepada keamanan serta kesejahteraan.
5. Dari sisi lain, akal manusia dalam membawa manusia untuk melewati jalan kesempurnaan dan kebahagiaan, kendatipun mempunyai pengaruh yang cukup penting akan tetapi ia secara sendiri tidak dapat menyingkap semua kejahilan-kejahilan serta memecahkan seluruh perselisihan, pertentangan, dan kekisruhan. Sebab, sangat banyak masalah yang berhubungan dengan mabdâ (permulaan) dan ma'âd (penghujung) serta sejumlah nilai-nilai agung lainnya yang jauh dari jangkauan akal manusia. Apatah lagi, akal teoritis, juga dalam pemikiran dan penalaran tidak terhindar dari mugâlatah (fallacy, sophis) serta kesalahan, dan juga akal praktis dalam keputusan dan kebijakan tidak lepas dari penjara syahwat dan ghadhab. Sebagaimana yang terjadi dalam banyak bidang dan masalah, seperti ekonomi, akhlak, keluarga, sosial, politik, dan lainnya, akal tidak sanggup mengkonstruksi jalan yang kokoh dan permanen. Contoh konkrit tentang hal itu munculnya adalah ideologi dan maktab yang beraneka ragam yang saling berlawanan dan bertentangan.
6. Di samping itu, manusia, tidak mempunyai pengetahuan dan ilmu berkenaan dengan pengadaan undang-undang komprehensip, universal, dan memenuhi seluruh segi; sebab ia tidak dapat meninjau dan mempertimbangkan kekhususan-kekhususan wilayah-wilayah secara geografis dalam seluruh priode sejarah atas seluruh masyarakat manusia dan meletakkan bagi mereka suatu undang-undang yang cocok. Contoh ketidaksanggupan ini, adanya peselisihan undang-undang dalam setiap zaman dan juga perubahan serta pergantian yang terus menerus dalam generasi demi generasi.

Dengan memperhatikan sisi dan dimensi yang beragam dari matlab dan landasan yang sudah di sebutkan di atas, maka akal menerima kemestian turunnya undang-undang universal dan sempurna dari alam metafisika. Akal mengakui kekurangannya dan menerima penampakan suatu kekuatan yang membawa produk-produk pikiran ke arah hakikat serta menghilangkan kesalahan-kesalahannya, yang menolong akal dalam menemukan dan merealisasikan undang-undang universal dan sempurna Ilahi, yang menggantikan pertentangan-pertentangan serta perselisihan-perselisihan dengan kesatuan dan kesepakatan, dan yang mengorganisir kebutuhan-kebutuhan pemikiran dan rasionalitas dan memekarkan potensi-potensi insaniah serta memberitahukan jalan keberuntungan dan jalan kerugian. Suatu kekuatan yang memancar dari ilmu dan makrifat, yang mengetahui sisi-sisi kegelapan dan terang, perkara kecil dan besar, sisi universal dan partikular dari sistem alam penciptaan serta undang-undang yang berlaku di dalamnya.
Mazhar dan manifestasi kekuatan ini tidak lain adalah eksistensi pemberi kebahagiaan, yaitu wujud para nabi As (yang bahasan tentang misi dan kedatangannya dibahas dalam bentuk yang terpisah dari pembahasan ini). Oleh karena itu, Nabi Saw (Muhammad) adalah paling pertama dan utamanya ciptaan Tuhan (yang pertama diciptakan Tuhan adalah cahayaku: hadis), dan hanya dalam pancaran kenabiannya masyarakat manusia mampu menggapai kebahagiaan. Demikian juga tentunya manusia paling akhir yang akan hidup di muka bumi ini niscaya akan melalui dia akan berada dalam naungan wahyu dan agama Ilahi; sebab kebutuhan manusia terhadap wahyu dan pembimbing adalah bersifat niscaya dan universal.

Kebutuhan Manusia Kepada Kesempurnaan dan Kebahagiaan
Telah disinggung sebelumnya bahwa manusia mempunyai ruh non materi (mujarrad), dan pada tempatnya (dalam pembahasan Filsafat) telah dibuktikan bahwa ruh manusia adalah langgeng dan abadi serta tidak ada jalan kehancuran dan kemusnahan baginya. Juga telah dibuktikan bahwa hakikat manusia terbangun oleh ruh dan badannya tegak dengan mengikut pada ruh yang non materi ini. Oleh karena itu, manusia dari sisi ruh dan nafs natiqah merupakan suatu maujud yang unggul dan utama, yang bukan ahli bumi dan zaman serta tidak bergantung pada langit dan malaikat. Demikian pula ia adalah suatu maujud yang menuntut kesempurnaan, bergerak dan tidak diam (yang dimaksud di sini bukanlah gerak materi), dan memiliki kemampuan untuk mengakses dan mengaplikasikan seluruh ilmu dan pengetahuan Fisika, Biologi, Arkeologi, Astrologi, Geologi, Sosiologi, dan lainnya.
Dengan seluruh kelebihan dan keunggulan ini, bukan berarti manusia sudah tidak butuh terhadap bimbingan dan arahan kenabian serta tidak butuh lagi sampai pada kesempurnaan yang paripurna. Dengan demikian, manusia tetap senantiasa butuh terhadap undang-undang yang membina dan mendidik ruh, dan butuh terhadap ajaran kesempurnaan dan hidayah kebahagiaan para nabi As. Para nabi As, dengan membawa dan menjelaskan undang-undang Tuhan, akan menyebabkan mekar dan merekahnya ruh manusia. Oleh karena itu, setiap manusia butuh terhadap wahyu Tuhan; apakah ia orang yang paling pertama di muka bumi ini, apakah ia orang yang mengasingkan diri dari masyarakat ataukah bermasyarakat; sebab manusia dalam berinteraksi dengan dirinya dan dalam berhubungan dengan penciptanya serta dalam bagaimana ia mengatur hubungan antara dirinya dengan sistem eksistensi, kendatipun mengasingkan diri dan berkhalwat sendirian, ia tetap membutuhkan penunjuk jalan dan pembimbing gaib.

Kemestian Pembimbing
Telah disebutkan bahwa unsur inti kenabian tersusun dari dua hal; pertama undang-undang yang turun dalam bentuk wahyu Tuhan, kedua pembawa undang-undang atau wahyu yang disebut dengan nabi. Kemestian wahyu, sesuai dengan penjelasan di atas, pada dasarnya telah terpaparkan, dan sekarang sebaiknya dipaparkan kemestian pembimbing.
Adapun kemestian keberadaan nabi dan pembimbing, adalah bahwa undang-undang gaib -yakni wahyu Allah Swt- tidak tumbuh dari tanah dan tidak tercurah dari langit, tidak terberkas dalam benang-benang otak manusia dan tidak tersisip di sela-sela kitab yang disusun manusia serta tidak ditemukan di tempat lain; akan tetapi hanya didapatkan dari sisi Tuhan yang terkadang termanifestasi dengan tanpa perantara dan suatu ketika dengan perantara malaikat.
Tempat turunnya sabda gaib ini dan tempat manifestasi kalam malakuti (non-material) seperti ini, adalah kalbu suci manusia yang maksum, yang terjaga dari kekeliruan dan kelupaan dalam seluruh dimensi dari penerimaan wahyu, pemeliharaan wahyu, dan penyampaian wahyu, serta suci dari setiap bentuk dosa dan kesalahan. Undang-undang langit ini, butuh pada penjelasan, penguraian, perealisasian, perlindungan, dan pembelaan.
Masyarakat manusia, tanpa teladan suci dan uswah (paragon) serta tempat rujukan pemecahan perselisihan dan penguraian benang-benang pertentangan, selamanya tidak akan pernah menyaksikan kebahagiaan ideal yang didambakannya. Oleh karena itu, kemestian keberadaan nabi Tuhan yang mengemban seluruh dimensi-dimensi yang telah diungkapkan tersebut, adalah benar secara akal dan rasional.
Untuk menjelaskan sebagian dari prinsip-prinsip tersebut, dapat diutarakan dalam bentuk seperti ini: Manusia, memulai perjalanan kesempurnaan dan kebahagiaan idealnya dari titik potensi dan berakhir pada pusat aktual: "…sesungguhnya kita dari Allah dan kepada-Nya kita akan kembali".[2] Oleh karena itu, harus ada antara titik permulaan (mabda) dan titik akhir (ma'ad) , jalan dan juga penunjuk jalan; sebab ia tidak akan pernah sampai pada tujuan idealnya tanpa jalan benar dan penunjuk jalan; karena dalam pertengahan jalan terdapat gangguan yang mengombang-ambingkan, padang sahara menyesatkan, perampok-perampok pemikiran dan keinginan, fatamorgana-fatamorgana yang menipu, dan hewan-hewan buas pemangsa keimanan.
Jangan lewati tahapan ini tanpa pertemanan Hidir"
Takutlah dari mara-bahaya kesesatan, lantaran kegelapan"[3]

Oleh karena itu, antara titik permulaan dan mencapai tujuan, membutuhkan jalan yang bernama agama serta penunjuk jalan yang bernama nabi yang bertugas mengarahkan manusia berjalan di atas agama dan syari'at: "Sesungguhnya Kami telah memberi hidayah jalan kepadanya…".[4]
Di samping itu, lebih dari pada apa yang telah kami sebutkan di atas terdapat beberapa poin penting lainnya berkenaan masalah ini:
1. Agama yang merupakan shirath al-mustaqîm kesempurnaan dan kebahagiaan individu dan masyarakat, kendatipun sebagian darinya disingkap dengan bantuan argumentasi akal, tetapi bagian penting darinya mesti disingkap dengan wahyu Ilahi.
2. Masyarakat manusia, tidak hanya pada bagian khusus wahyu butuh pada penunjuk dan pembimbing, bahkan pada bagian yang akal mandiri di dalamnya pun juga butuh kepada uswah dan teladan.
3. Pembimbing manusia dalam dua bagian tersebut, adalah manusia sempurna dan manusia maksum, yang mana dalam bidang akal teoritis kokoh dalam kepastian kebenaran dan juga dalam akal praktis tidak menerima kecacatan dalam kepastian kebenaran, serta dalam menerima, menjaga, dan menyampaikan wahyu Tuhan terpelihara dari kealpaan, kelalaian, dan kesalahan. Oleh karena itu, mereka yang disebut nabi Tuhan ini merupakan dambaan, kecintaan, dan maksud dari seluruh kafilah dan musafir kesempurnaan manusia, dan di bawah naungan kemuliaannya, ateisme, kesyirikan, dan kekafiran menemukan kehinaan dan kehancuran.

Dengan kata lain, Tuhan Yang Maha Suci, yang merupakan Tuhan seluruh alam semesta menjadikan alam dan penghuni alam berada dalam pengaturan-Nya dan manusia juga yang merupakan maujud yang memiliki pikiran, nalar, dan rasio tidak terkecualikan dalam hal ini; sebab pengaturan, bimbingan, dan pengajaran manusia harus sesuai dengan struktur badan dan pikirannya, dan sudah jelas bahwa pekerjaan besar ini tidak akan terwadahi dengan pengetahuan yang sedikit dan kecil manusia; akan tetapi yang bisa menanggung pekerjaan ini haruslah ilmu pancaran ladunni dan Ilahi dan juga berdasarkan penegasan serta bantuan rabbâni: "…dan Kami kuatkan ia dengan ruhul qudus…".[5] Pribadi agung dan mulia ini merupakan manusia pilihan Tuhan yang disebut dengan nabi, yang ditujukan untuk mengajar, membimbing, dan mengangkat manusia dari alam kegelapan ke alam cahaya.

Kesimpulan dari pembahasan kita di atas dapat dijelaskan dalam bentuk seperti ini:
a. Akal manusia, menyaksikan kekeliruan dan kesalahan ilmu serta kesalahan amal pada dirinya dan orang lain, dan dengan pengalaman yang kontinyu serta berkesinambungan, menyimpulkan bahwa manusia biasa tidak terpelihara dari terpaan kekeliruan dan kesalahan serta wabah kecenderungan keburukan.
b. Manusia yang demikian ini, tidak akan pernah sanggup menyusun undang-undang yang terjaga dari kesalahan, tercegah dari aib, dan terpelihara dari kekurangan; akan tetapi bagi pemikir dan cendekiawan yang bukan muwahhid, keberadaan manusia maksum, bagi mereka ini adalah ide yang utopia, tetapi bagi pemikir muwahhid, keberadaan manusia suci ini, bagi mereka adalah pasti dan qat'î; sebab mereka berkeyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Hâdi, Hakîm, dan Adil, yang kekuasaan dan kekuatan-Nya adalah azali dan tidak ada jalan kelemahan, kekurangan, dan ketidaksanggupan terhadap kapasitas kemampuan-Nya yang tak terhingga, serta tidak ada sama sekali aral dari dalam -dengan makna bakhil- dan dari luar -dengan makna terkalahkan faktor lain- yang mencegah-Nya menciptakan manusia maksum ilmu dan amal yang sesuai dengan hidayah, hikmah, dan keadilan-Nya. Manusia sempurna demikian inilah yang kita sebut dengan nabi Tuhan.

Soal dan Jawab
1. Mengapa semua nabi dipilih dari kalangan laki-laki?
Kenabian, kadang inbâi dan kadang tasyrî'i. Al-Qur'an, meletakkan masalah kenabian tasyrî'i -yang dijelaskannya dalam bentuk risalah- dalam ikhtiar kalangan laki-laki: "Dan Kami tidak mengutus (rasul-rasul) sebelum engkau (Muhammad), melainkan laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui"[6]; sebab ini adalah pekerjaan yang bersifat perealisasian yang mengharuskan kebersamaan dan kehadiran di tengah masyarakat serta tanggung jawab dalam masalah kepemimpinan perang, damai, penerimaan dan pembagian harta, serta pengaturan dan penertiban pekerjaan masyarakat.
Oleh karena itu, risalah dengan makna kepemimpinan masyarakat dan menjelaskan yang halal, haram, wajib, mustahab, makruh, mubah, dan seperti itu, merupakan nubuwah khusus, yang dikarenakan maqam perealisasian maka diserahkan pertanggung jawabannya kepada kaum laki-laki; akan tetapi nubuwah inbâi dengan pengertian bahwa seseorang mendapatkan informasi dari jalan wahyu lantas mengetahui apa yang terjadi sebelumnya dan akan terjadi kemudian, menyaksikan masa depan dirinya, dan mengetahui masa depan orang lain, pada dasarnya jenis nubuwah ini kembali kepada wilayah, bukan kepada nubuwah tasyrî'i dan risalah pelaksanaan. Kendatipun jenis nubuwah ini juga merupakan tonggak dasar setiap bentuk risalah dan nubuwah tasyrî'i, tetapi tidak terkhususkan pada laki-laki, akan tetapi wanita juga dapat meraih maqam ini; seperti hadhrat Zahra As dan Hadhrat Maryam As.
Adapun bahwa para wanita tidak menjadi nabi, hal ini sebenarnya tidak mengurangi maqam mereka; sebab wanita juga mencapai derajat wilayah yang merupakan pilar dari nubuwwah dan bahkan bisa saja wanita lebih utama dari nabi-nabi dari segi maqam; sebagaimana Hadhrat Fatimah Zahra As mendapatkan derajat tinggi sedemikian menurut sebagian dari riwayat.[7]
Oleh karena itu, wilayah, yang merupakan kedudukan malakuti dan maknawi serta merupakan batin nubuwwah dan risalah, tidak membedakan antara laki-laki dan wanita, dan mereka memiliki kompetensi sama dan setara untuk mencapai tingkatan maqam ini. Manusia yang mencapai tingkatan ini, menjadi dekat dengan Tuhan dan dalam maqam inilah terkadang ia mendapatkan tugas pelaksanaan dan terkadang tidak mendapatkan tugas seperti itu. Dari dimensi ini maka laki-laki mendapatkan tugas, bahwa proposisi dan berita gaib sesudah didapatkan, disampaikan kepada masyarakat, dan berkorban di jalan menjaga dan melindunginya serta berperang dengan orang-orang yang memeranginya atau ia sendiri terbunuh atau ditangkap, dipenjara, dan disiksa atau beragam hambatan lain yang didapatinya.
Maka dari itu, setiap rasul dan pembawa pesan, juga adalah wali. Akan tetapi tidak semua wali adalah pembawa pesan tasyrî'i. Di samping itu, kenabian laki-laki tidak terhitung sebagai kelebihan bagi mereka, dan tidak terpilihnya wanita menjadi nabi juga tidak mengurangi keutamaan pribadinya dihubungkan dengan laki-laki; kendatipun pada dasarnya prinsip kenabian dan risalah itu sendiri terhitung sebagai paling baiknya prinsip-prinsip nilai.

2. Apakah mungkin kehidupan ini tanpa nabi?
Salah satu dari kelaziman kenabian 'âmm adalah tidak satupun masyarakat (umat) tanpa pembimbing gaib dan tidak ada kemungkinan Tuhan membiarkan suatu umat lepas tanpa pengajar dan pembimbing (nabi); sebab Tuhan sendiri adalah murabbi dan mudabbir manusia.
Manusia, telah melalui tahapan-tahapan dan akan menempuh tahapan-tahapan, yang mana mau tidak mau harus ia jalani itu semua. Ia tidak mengetahui sebelum keberadaan dirinya dari alam mana ia datang dan hendak kemana ia harus pergi, dan jika tidak ada wahyu dan nubuwah, ia tidak akan mungkin tahu mabda dirinya dan tidak akan pernah tahu ma'ad dan tujuan dirinya. Manusia dengan seluruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya, masih sangat banyak dari rahasia-rahasia tubuhnya yang tidak diketahuinya, sebagaimana dalam alam luas ini terdapat jutaan rahasia yang belum tersingkap dan manusia dalam berhadapan dengannya masih belum menemukan jalan pemecahan dan jalan penyelesaian.
Manusia butuh kepada undang-undang yang memberikan kebahagiaan, ia butuh terhadap pengajaran dan bimbingan Ilahi sehingga ia dapat menjamin maslahat individu dan sosialnya, dunia dan akhiratnya serta kebutuhan-kebutuhan lainnya. Nama muallim undang-undang dan muballig pembimbing ini adalah nabi. Dari sisi ini, tidak satupun dari umat yang tidak mempunyai nabi: "Sungguh, Kami mengutus engkau dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada satu pun umat melainkan di sana telah datang seorang pemberi peringatan."[8]; tidak mungkin suatu masyarakat hidup dalam suatu wilayah dan Tuhan tidak mengirimkan bagi mereka pembimbing: "Orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai dating kepada mereka bukti yang nyata"[9]; Tuhan tidak memisahkan masyarakat dari nubuwah 'aam, apakah ia itu bertauhid ataukah tidak bertauhid, dan kenabian selamanya tidak akan terpisahkan dari kemanusiaan. Sebagaimana penciptaan hewan tidak mungkin tanpa disertai penciptaan air, atau penciptaan manusia tidak mungkin terpisahkan dengan penciptaan udara, demikian pula penciptaan masyarakat manusia tidak mungkin tanpa pengiriman wayu dan sabda Tuhan.
Sebagai konklusi; kemanusiaan tidak mungkin terpisahkan dari kenabian, sekarang apakah nabi itu berada di antara masyarakat atau penggantinya atau kitab dan doktrin serta pengajarannya yang merupakan sari pati risalahnya. Oleh karena itu, dengan tinjauan rububiyah dan hikmah Tuhan maka kehidupan berbudaya dan berperadaban manusia tanpa kenabian merupakan suatu asumsi yang tidak benar dan ungkapan ini sudah menjadi penegasan akal yang sahih dan wahyu yang sarîh (terang).

3. Apakah nabi pernah muncul di dataran Barat dan di Timur jauh?
Kita tidak mempunyai dalil kalau Tuhan Tidak pernah mengirimkan kepada mereka nabi; sebagaimana ayat menyebutkan: "… dan tidak ada satu pun umat melainkan di sana telah datang seorang pemberi peringatan"[10]. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa pengutusan nabi meliputi seluruh umat-umat; yakni tidak satupun umat -apakah di Timur dan di Barat, atukah di Utara dan Selatan- tanpa pemberi peringatan; dan jelas bahwasanya pemberi peringatan (ancaman) ini juga ia adalah pemberi kabar gembira (basyîr dan nadzîr), yakni nabi.
"Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah, dan jauhilah tagut"[11]. Jika al-Qur'an hanya menyebutkan sebagian nama-nama nabi, ini bukan berarti jumlah mereka terbatas pada jumlah tersebut; sebab di samping itu, terdapat nabi-nabi yang jumlah hitungan mereka dalam kumpulan riwayat-riwayat yang hanya sebagian darinya yang disebutkan dalam al-Qur'an: "Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu…".[12]
Imam Baqir As bersabda: "Antara nabi Adam As dan nabi Nuh As terdapat nabi-nabi yang hidup secara rahasia, karena itu dirahasiakan juga penyebutannya dalam al-Qur'an dan nama-nama mereka tidak tercantum sebagaimana dicantumkannya para nabi As yang diumumkan nama-namanya".[13]
Oleh karena itu, mungkin saja bangsa-bangsa berkulit warna, dalam wilayah kehidupan mereka telah diutus nabi-nabi; sebagaimana telah diriwayatkan dari hadhrat Ali As bahwasanya telah diutus nabi yang berkulit hitam yang al-Qur'an tidak menceritakannya kepada kita.[14]
Terdapat perbedaan tentang jumlah para nabi As, sebagian riwayat mengatakan bahwa jumlah mereka sebanyak 124 000 dan sebagian lainnya menyebutkan jumlah mereka 8 000 yang mana 4 000 di antara mereka diutus untuk kaum Bani Israil dan 4 000 lainnya diutus untuk bangsa-bangsa lainnya.[15]
Berasaskan ini, di seluruh negeri-negeri, Timur dan Barat, Utara dan Selatan, dan seluruh umat-umat telah dibangkitkan seorang nabi atau beberapa nabi bagi mereka, dan nama-nama mereka tidak disebutkan dan tidak dicantumkan dalam kitab-kitab suci seperti Zabur, Taurat, Injil, dan al-Qur'an serta tidak terjangkau masyarakat Arab, padahal sepatutnya karya dan peninggalan mereka dipelajari oleh umat-umat di zaman mereka, namun, masyarakat dan umat itu tidak dapat mengambil ibrah dan pelajaran dari mereka; berbeda dengan peninggalan para nabi yang dekat dengan Hijaz seperti, hadhrat Ibrahim, Musa, Isa, Nuh, Lut, Yunus, Syuaib As, dan lainnya.

Argumen Referensial (Naqli)
Tuhan Yang Maha Hakîm, untuk membawa manusia mencapai kebahagiaan, telah memberikan dua sumber pengenalan dan pengetahuan dalam ikhtiar mereka, yaitu wahyu dan akal yang keduanya saling melengkapi satu sama lain. Akal adalah pelita yang terang yang harus berada di tangan pejalan dan musafir digelapan malam, sedangkan wahyu, adalah jalan Ilahi yang mesti dilewati sang pejalan untuk menggapai harapannya menuju kesempurnaan dan kebahagiaan ideal dan abadi.
Manusia, tanpa pelita (alat pengenalan dan wasilah penjelasan) tidak akan dapat menemukan jalannya yang benar serta tidak sanggup melanjutkan perjalanannya. Demikian pula, tanpa wahyu maka akal akan berada dalam kebimbangan di antara jalan-jalan yang beraneka ragam (lihatlah mazhab dan ideologi yang menolak wahyu, semuanya dalam jalan kebimbangan dan keragu-raguan yang tidak mengetahui hendak kemana specis manusia ini dibawa pada akhir perjalanan materialnya). Oleh karena itu, orang-orang yang hanya bersandarkan akal dan rasio serta menafikan wahyu Tuhan untuk mencapai kebahagiaan abadi maka niscaya mereka ini tidak pernah akan dapat mewujudkan tujuannya. Dari sisi lain, bersandarkan wahyu tanpa menggunakan akal akan terperangkap pada kejumudan, determenisme, antrophormisme, dan keterpenjaraan pada kesalahan serta kekeliruan. Berasaskan ini, mari kita simak pernyataan sang guru maktab Islam Ahlul Bait Nabi Saw, Imam Musa bin Ja'far As: "Sesungguhnya Allah Swt menjadikan bagi manusia dua hujjah; hujjah zahir dan batin, adapun hujjah zahir adalah para rasul, para nabi, dan para imam maksum As, dan adapun hujjah batin adalah akal".[16]
Disamping itu, kita bisa lihat betapa banyak ayat-ayat al-Qur'an yang berbicara tentang kemestian pengutusan nubuwah untuk memberi peringatan dan kabar gembira kepada manusia, membawa mereka kepada penegakan keadilan, mengangkat mereka dari alam kegelapan kepada cahaya iman yang terang, membersihkan individu dan masyarakat manusia, mengajarkan hikmah kepada mereka, dan mengajarkan apa yang tidak dikatahui manusia dengan hanya menggunakan akal secara mandiri, seperti ayat-ayat berikut:
"Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus".[17]
"Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil".[18]
"Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang rasul dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepada kamu kitab dan hikmah, serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui".[19]
"Dialah yang mengutus seorang rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah, meskipun sebelumnya , mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata".[20]
"(Ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan…".[21]
"…dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka…".[22] Ayat terakhir yang kami sebutkan ini memiliki kandungan yang luas dan dalam, yakni bahwasanya manusia hanya dapat mendapatkan kebebasan dan kebahagiaan hakiki jika mereka mengikuti para nabi Tuhan.
Untuk melengkapi keterangan ayat-ayat tersebut di atas, kami bawakan juga satu hadits dari kitab Nahjul Balagah yang mana Imam Ali As bersabda: "Maka Tuhan membangkitkan rasul-rasul-Nya di antara mereka dan mengutus nabi-nabi-Nya berturut-turut kepada mereka sehingga tertagih janji fitrah mereka dan teringatkan nikmat-nikmat yang terlupakan serta dengan penyampaian (wahyu Tuhan) menjadi sempurnahlah hujjah Tuhan atas mereka dan tampaklah kepada mereka apa-apa yang dipendam akal mereka".[23]
Mengakhiri pembahasan ini ada beberapa poin berikut yang urgen kami sebutkan:
1. Maksud dari wahyu Tuhan, adalah apa yang Tuhan beritakan kepada nabi-Nya tanpa perantara atau dengan perantara malaikat atau hijab lain, yang ketetapan kandungannya bagi sejumlah masyarakat (orang), dengan jalan yakin atau dengan jalan tuma'ninah uqalâi. Yakin, dihasilkan dengan jalan khabar mutawatir atau khabar wâhid yang dikelilingi dengan syawâhid qat'i, sedangkan tuma'ninah uqalâi diperoleh dari jalan khabar wâhid muwatssaq.
2. Maksud dari akal argumentativ, adalah argumen yang memberikan paedah qat'i atau pengalaman (eksperimen) yang menyebabkan tuma'ninah specis.
3. Tidak berpegang pada dalil nakli yang tidak muktabar, kendatipun berpaedah dalam hal perkiraan; sebab perkiraan dan persangkaan bukanlah hujjah. Juga tidak bersandar pada dalil akal yang tidak memiliki nisab hujjiyah, meskipun ia bentuknya seperti analogi dalam logika -analogi ini dalam ilmu ushul dan fiqh disebut dengan qiyas - yang kapasitasnya dapat memberikan persangkaan; sebab setiap perkiraan tidak dapat dijadikan sandaran.[www.wisdoms4all.com]

________________________________________
[1] . Q.S. Tâhâ [20]: 64.
[2] . Q.S. al-Baqarah [2]: 156.
[3] . Diwân Hâfizh.
[4] . Q.S. al-Insan: 3.
[5] . Q.S. al-Baqarah [2]: 87.
[6] . Q.S. al-Anbiyâ [21]: 7.
[7] . Di antaranya merujuk pada Kitab Hadits Bihârul Anwar, Jld. 43, Hal. 12.
[8] . Q.S. Fâtir [35]: 24.
[9] . Q.S. al-Bayyinah [98]: 1.
[10] . Q.S. Fâtir [35]: 24.
[11] . Q.S. an-Nahl [16]: 36.
[12] . Q.S. al-Mu'min [40]: 78.
[13] . Tafsir Burhan, Jld. 4, Hal. 104.
[14] . Tafsir Nur al-Tsaqalain, Jld. 4, Hal. 537.
[15] . Ibid.
[16] . Ushul Kafi, Jld. 1, Hal. 16.
[17] . Q.S. an-Nisâ [4]: 165.
[18] . Q.S. al-Hadid [57]: 25.
[19] . Q.S. al-Baqarah [2]: 151.
[20] . Q.S. al-Jum'ah [62]: 2.
[21] . Q.S. Ibrahim [14]: 1.
[22] . Q.S. al-A'raf [7}: 157.
[23] . Nahjul balagah, Khutbah 1.

METODOLOGI DAN ARGUMEN MENGENAL TUHAN

[wisdom4all/MI]

1. Metodologi yang dipergunakan oleh manusia untuk membuktikan wujud Tuhan ada tiga:
a. Metode kalbu atau fitrah,
b. Metode sensibel (material) atau metode tabi’at,
c. Metode akal atau metode argumen dan hikmat.

2. Apa yang selama ini dikenal sebagai teori fitrah, pada hakikatnya bukan merupakan teori dalam istilah logika, melainkan salah satu dari metodologi theology yaitu metode kalbu, bukan metode akal. Atas dasar ini dalam bab theology, antara metode dan dalil dalam makna khas logika, terdapat korelasi umum dan khusus mutlak, yaitu setiap dalil merupakan metode. Tetapi setiap metode belum tentu merupakan dalil.



3. Dalam kitab-kitab filsafat, tolok ukur yang dipergunakan untuk mengaffirmasikan wujud Tuhan diletakkan pada metode-metode akal. Sedangkan metode-metode sensibility dan tabi’at juga ikut menjadi bahan pembahasan dari sisi bahwa minor akan membentuk mayor-nya akal. Seperti teori keteraturan serta teori hidayah dan petunjuk.

4. Sandaran para ahli kalam dalam affirmasi dan pembuktian wujud Tuhan adalah pada kejadian alam. Dan sebagiannya seperti Thusy (ra) selain bersandar pada kejadian alam juga bersandar pada possibility (kemungkinan). Dan dengan memperhatikan bahwa eksistensi-eksistensi alam bisa merupakan eksistensi essensial atau aksidensial, maka wujud Tuhan bisa diargumentasikan dalam empat keadaan: “Telah diketahui bahwa alam bisa muncul dalam bentuk esensi maupun aksidensi. Dan wujud Tuhan bisa diargumentasikan dengan setiap dari keduanya, baik melalui metode possibility ataupun metode hudust. Dengan demikian keseluruhannya menjadi empat cara”.

5. Jumlah ikhtilaf dan kemajemukan teori, equivalen dengan jumlah kemajemukan dan ikhtilaf yang terdapat dalam hadd-wusta (middle-term) mereka. Oleh karena itu meskipun imkan, ma’luliyyat (ke-akibata-an) dan hudust saling melazimkan. Tetapi karena secara persepsi mereka berbeda antara satu dengan lainnya, maka teori-teori wujud dan imkan, ilah (sebab) dan ma’lul (akibat), masing-masing merupakan teori yang terpisah.

6. Literatur-literatur statement dan metodologi affirmasi wujud Tuhan terdapat dalam kitab-kitab filsafat dan kalam yang diantaranya adalah:
a. Argumen fitrah,
b. Argumen keteraturan,
c. Argumen hidayah dan petunjuk,
d. Argumen gerak
e. Argumen hudust nafs,
f. Argumen wujub dan imkan,
g. Argumen sebab dan akibat,
h. Argumen atau burhan shiddiqin.

Tentu saja sebagian dari teori-teori tersebut di atas telah dibahas dalam berbagai wacana dan penjelasan. Seperti misalnya teori fitrah yang telah dipaparkan dengan cara-cara yang varian. Dimana sebagiannya berdasarkan pada asas intuisi dan ilmu hudhuri. Dan sepenggalnya lagi berasaskan pada ilmu husuli, yang hal ini akan dijelaskan lebih detail pada pembahasan fitrah. Sedangkan teori hudust, imkan dan siddiqin, juga telah disajikan dengan ulasan yang beragam. Misalnya -sebagaimana yang telah kami ungkapkan pada makalah-makalah sebelumnya- teori siddiqin telah dijelaskan dalam 19 ulasan. Yang keseluruhannya telah diungkapkan oleh marhum hakim rabbany Mirza Mahdi Mudarris Ashtiyany –Qudsallahu ruhuhul-‘alaa- dalam catatan kecilnya atas Sharh Mandzumah Hakim Sabzewary (ra).

7. Dengan memperhatikan berbagai uraian dari sebagian dalil-dalil affirmasi wujud Tuhan, bisa dikatakan bahwa telah ditemukan sekitar 34 penjelasan di dalam kitab-kitab filsafat dan kalam yang berkaitan dengan pembuktian wajibul wujud. Dimana pada pembahasan selanjutnya kami akan mencoba menelisik dan menganalisa sebagian dari dalil-dalil tersebut yang seiring dengan itu kami juga akan mengungkapkan berbagai ulasan yang berkaitan dengannya.

“Argumen fitrah” yang diletakkan berdampingan dengan empirik dan rasio/akal, bukanlah fitrah aqliah, melainkan fitrah nurani. Maka dalam argumen ini, kita tidak akan menjumpai pembahasan tentang premis minor (sughra), premis mayor (kubra) dan relasi antara minor-mayor (hadd-e wasath). Apa yang dijadikan sebagai landasan argumentasi di sini adalah inner vision (pengamatan internal) dan refleksi batin. Dengan demikian, pada pembagian di atas, tolok ukur pengklasifikasian terletak pada alat dan perangkat teologi. Artinya dalam argumen fitrah ini, kita akan menemukan ilmu sadar kita terhadap Tuhan melalui hati, perhatian dan refleksi internal, menjadi makrifat yang sadar dan aktual.

Pada teori empirik, kita akan mengargumentasikan wujud Tuhan melalui penyaksian bias-bias fisikal dan materi (melalui proses penginderaan), juga dengan observasi dan mencermati keteraturan alam seperti pada teori keteraturan dan petunjuk (hidayah umum). Adapun pada argumen rasional, kita sama sekali tidak mempergunakan premis-premis eksperimental untuk mengaffirmasikan dan menegaskan eksistensi mutlak (wajibul wujud), melainkan hanya dengan bantuan akal yang dikolaborasikan dengan penerimaan terhadap prinsip keberadaan, seperti pada argumen wujub dan imkan (possibility), argumen illah (cause, sebab) dan ma’lul (effect, akibat) serta burhan shiddiqien.

Pembagian argumen berdasarkan asas kemanunggalan antara sâlik, maslak dan maqshad.

Pada peristiwa terjadinya “sebuah gerak”, ada tiga asas yang menjadi poin perhatian yang perlu digaris bawahi, yaitu “mutaharrik (yang bergerak), masiir (jalan) dan hadaf (tujuan)”. Yang dimaksud dengan mutaharrik adalah pemikir yang berfikir dalam sebuah persoalan. Masir adalah metodologi atau wahana tafakkur dan kontemplasi. Sedangkan makshad adalah tujuan, yaitu konklusi dari pemikiran. Dari perspektif dan paradigma ini, dalil-dalil teologi dipilah menjadi beberapa bagian. Pada salah satu pembagiannya disepakati bahwa ketiga asas di atas saling terpisah satu dari yang lainnya. Pada bagian lainnya dikatakan bahwa mutaharrik dan masir adalah satu. Tetapi maksad terpisah dari keduanya. Dan pada bagian ketiga disepakati bahwa, masir dan maksad satu. Tetapi mutaharrik terpisah dari keduanya.
Teori-teori semacam teori imkan, huduts (coming to be), gerak dan teori keteraturan, digolongkan dalam bagian pertama dimana pada tataran ini sâlik (pesalik), maslak (jalan suluk) dan makshad masing-masing terpisah satu dari yang lainnya.
Salah satu metode argumentasi atas wâjib al-wujud adalah ma’rifat nafs (pengenalan jiwa). Artinya bahwa manusia dapat menyadari keberadaan wâjib al-wujud melalui metode mutala’ah (pembelajaran) di dalam dirinya dan dalam perjalanan jiwanya. Lalu berargumentasi atas wâjib al-wujud dengan kontemplasi diri. Dalam argumentasi semacam ini, pada hakikatnya metode dan cara yang dipergunakan adalah sama. Hanya saja tujuan terpisah dari keduanya.
Mulla Sadra memasukkan teori siddiqin pada bagian ketiga. Dikatakan bahwa maslak dan makshad adalah satu dan hanya para pesaliknyalah yang terpisah dari keduanya. Karena hal inilah sehingga dikatakan bahwa teori semacam ini merupakan teori yang paling mencakupi dan paling kuat di antara teori-teori lainnya.
Dalam kitab Asfar, ia mengatakan: “Teori yang paling kuat dan paling luas yang membahas tentang Tuhan adalah teori yang hadd-e wasath-nya (relasi antara premis minor dan premis mayor) mengakui ketiadaan sesuatu selain diri-Nya dimana pada akhirnya, metode identik dengan tujuan. Dan hal ini sebagaimana metodologi yang dpergunakan oleh para sadiqin, yaitu orang-orang yang berargumen dan bersaksi atas wajibul wujud dengan wajibul wujud”.

Klasifikasi
Pada bagian ini, telah diulas tentang beberapa kategori, yang secara ringkas akan kami isyaratkan kembali dengan klasifikasi sebagai berikut, bahwa:
1. Selama masih ada keinginan bertuhan dalam diri manusia, maka wacana tentang Tuhan akan senantiasa ada dan senantiasa hidup. Dalam katagori ini tidak ada jalan untuk lapuk dan letih.
2. Makrifat dan theology, bukan hanya merupakan pondasi religi, melainkan juga merupakan pondasi makrifat yakini. Hal ini karena oleh apa yang disepakati oleh para filosof bahwa ”Yakin terhadap adanya ma’lul (akibat) tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya pengenalan terhadap ilal (sebab)”.
3. Yang dimaksud dengan “dalil” –dalam pembahasan kita- adalah metode mutlak, argumentasi yang hampir setara dengan makna hujjah. Atas dasar inilah teori-teori fitrah, sadiqin dan sebagainya semuanya berada dalam deskripsi ini.
4. Irfan mengatakan bahwa wujud Tuhan adalah badihi (jelas dan aksiomatis). Dan semua alam merupakan manifestasi, tajalli serta saksi yang haq dan benar. Dan setiap sesuatu –meskipun sangat kecil- merupakan penampakkan dan dalil atas Nya. Sehingga dari sini bisa dikatakan: banyaknya argumentasi dan metode pembuktian wujud Tuhan dalam pandangan irfan, equivalen dengan banyaknya jumlah makhluk Tuhan.
5. Dalam filsafat dan kalam, interpretasi “Tuhan ada” disepakati merupakan sebuah intepretasi teoritis yang memerlukan argumen dan teori. Argumen-argumen akal dalam kitab-kitab filsafat dan kalam tentang pembuktian wajib mempunyai tiga ragam pembahasan dalam formula yang berbeda:
a. Filosofi
b. Kalam
c. Alami.
[wisdom4all/MI]

MENJEBOL, DIJEBOL, TERJEBOL, JEBOL

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Keyakinan terhadap perubahan itu paralel terhadap pengakuan atas adanya ketidak-benaran. Kecuali di Indonesia.
Begitu banyak orang di negeri ini berpendapat, beraspirasi, berkeyakinan dan mendiskusikan ‘perlunya perubahan’. Perubahan yang dimaksud bukan sekedar perubahan, melainkan perubahan mendasar, mengakar, substansial, kalau perlu: eksistensial. Bukan sekedar reformasi, tapi revolusi, sekurang-kurangnya ‘revolt’. Bukan sekedar membengkeli, memperbaiki onderdil ini itu, bahkan bukan sekedar ganti onderdil, tapi ganti kendaraan.


Pun lebih luas skalanya. Perubahan ke-Indonesia-an tak sekedar menyangkut substansi nilai dan struktur institusional kenegaraan, tapi juga berkaitan dengan bencana alam, bumi retak, laut meluap, angin puting beliung, longsor dan jebol, Tuhan dan para makhluk non-manusia, Mbah-Mbah dan Danyang-Danyang. Lebih dari itu semua gambaran perubahan Indonesia bisa menembus batas pemahaman sejarah: lenyapnya sebuah bangsa dan lahirnya sebuah bangsa baru, tidak sekedar regenerasi atau surutnya sebuah generasi dan munculnya generasi berikutnya.
Akan tetapi segala pembicaraan tentang perubahan di Indonesia justru berdiri sejajar dengan keyakinan yang sangat teguh terhadap segala sesuatu yang dipilih dan dijalani. Bangsa Indonesia sangat yakin terhadap Negara. Terhadap NKRI. Terhadap jenis demokrasi yang diramunya. Terhadap semua pasal konstitusi, undang-undang dan aturan sampai ke tingkat Perdes. Bangsa Indonesia sangat yakin terhadap 42 Parpol, Pilcaleg dan Pilpres. Bangsa Indonesia sangat meyakini bahwa pada bulan April dan Juli 2009 sedang menjalani Kedaulatan Rakyat.
Ribuan gambar wajah di tepi jalanan-jalanan seluruh negeri, kibaran bendera yang berpuluh-puluh jenisnya dan berjuta-juta jumlahnya, sangat mencerminkan keyakinan yang luar biasa terhadap nilai bernegara yang sedang dijalani oleh bangsa ini. Sebagai keramaian, keriuhan, pesta dan perayaan, ekspressi keyakinan bangsa Indonesia itu sedikitpun tak bisa ditandingi oleh bangsa dan Negara lain yang manapun di seluruh muka bumi. Secara kasat-mata, itu bukan sekedar bukan “devolusi”, ia bahkan super-evolusi.
Bangsa Indonesia, terutama Kelas Menengah, sangat yakin bahwa Pemilu 2009 ini benar, bahwa demokrasi yang sedang kita jalani ini benar, bahwa parpol-parpol caleg-caleg capres-capres itu benar, bahwa prinsip-prinsip dan sistem nilai bernegara yang kita anut ini benar, bahwa NKRI dengan segala macam perangkatnya, sejak awal-awal dirancang hingga sekarang ini, adalah benar, adalah kebenaran. Bangsa Indonesia sangat yakin sedang menjalani kebenaran. Itu berarti bangsa Indonesia tidak memerlukan perubahan, terutama para pelaku kebenaran yang sedang berkibar-kibar. Kalaupun ada cuatan-cuatan kecil di sana sini tentang keinginan akan perubahan, itu sekedar harapan per-orang agar dari tidak berduit menjadi berduit, atau dari berduit menjadi berduit lebih banyak. Atau perubahan dari tidak berkuasa menjadi ikut berkuasa, dari berkuasa menjadi berkuasa lagi.
Diskusi pagi ini adalah sebuah gerundalan lokal dan marginal, yang hingga usai acara siang harinya, belum tentu menghasilkan hitungan yang memadai presisinya atas segala hal yang menyangkut gerundalan itu. Diskusi ini tampaknya dihadiri oleh sebagian amat sangat kecil dari bangsa Indonesia dari golongan yang paling tidak mampu, atau mungkin tidak mau, menjalani kebenaran besar yang sedang diterapkan di seluruh negeri.
Kalaupun diskusi ini ada sumbangannya terhadap bangsa dan Negara, batas kontribusinya ‘sekedar’ kewaspadaan sejarah. Kewaspadaan pada skala strategis eskalasi zaman ke zaman, atau pada perspektif yang lebih kosmologis – di mana pelaku perubahan di Indonesia diyakini bukan terutama bangsa Indonesia itu sendiri, melainkan juga Tuhan, sejumlah makhluk lain non-manusia, persesuaian dan dialektika antara metabolisme alam terhadap atau dengan kemandatan manusia dengan rekanan-rekanan lain sesama makhluk Tuhan.
Memang terdapat kemungkinan bahwa bangsa Indonesia telah tiba pada suatu iklim mental dengan ketangguhan tingkat sangat tinggi. Di mana berubah atau tak berubah itu sama-sama bukan soal. Bahagia atau menderita bukan masalah serius. Jaya atau hancur bukan sesuatu yang mendalam. Orang yang berjuang melangkahkan diri menuju cahaya adalah orang yang tidak mampu bertahan dalam kegelapan dan tidak memiliki kesanggupan untuk menaklukkan kegelapan. Sedangkan bangsa Indonesia adalah suatu jenis kumpulan makhluk Tuhan yang memiliki keistimewaan spesifik dan keunggulan luar biasa, di mana kegelapan tidak pernah sanggup mendorong mereka untuk bergerak mencari cahaya. Kehancuran hidup tidak mampu membuat bangsa Indonesia mengubah dirinya menuju ketidak-hancuran.
Bangsa Indonesia adalah pawang kehancuran, pawang kegelapan, pawang kebobrokan, pawang kebusukan, pawang kehinaan, pawang kedungunan, pawang segala kemungkaran. Mereka tidak merasa hancur dalam kehancuran. Mereka sanggup menyelenggarakan penggelapan atas kegelapan. Mereka tidak menemukan kebobrokan dalam kebobrokan. Mereka tahan bau busuk sebusuk apapun dalam absolutisme kebusukan. Mereka berlaku mulai dengan dan dalam kehinaan. Mereka berani mempidatokan, mengorasikan dan memperdebatkan kedunguan. Mereka memiliki teknologi mental, teknologi budaya dan teknokrasi politik untuk membangun ketidak-mungkaran dengan bahan-bahan kemungkaran. Mereka berekreasi dalam kesengsaraan.
Kalau diskusi ini mampu mengarahkan dirinya menuju pengetahuan atau kasunyatan sejati tentang apakah yang tsunami itu Aceh, apakah yang lumpur itu Sidoardjo, apakah yang jebol itu Situgintung – siapa tahu akan segera ada hari di mana hasil diskusi ini akan sedikit bermanfaat sekurang-kurangnya untuk bayi-bayi Indonesia.
Semula tulisan ini akan saya arahkan ke “Indonesia Sempoyongan”, tapi karena pada hakekatnya yang menulis bukan saya, maka ya jadinya seperti ini.


Casablanca 2 April 2009.


Minggu, 22 November 2009

Gandrung, Wuyung, Majnun

Markesot Bertutur : By Emha Ainun Najib

Markesot hari-hari terakhir ini bergaya metal. Setiap berpapasan dengan siapa saja, tangannya selalu diacungkan dengan jari-jari salam metal. Kalau mandi atau sedang nganggur-nganggur, rengeng-rengengnya juga sekilasan lagu-lagu rock metal kalau dulu kebiasaan sehari-harinya adalah mendendangkan "sarijem...... oh... sarijem", sekarang sedikit-sedikit mendesah serak : "Yeeeeah! Yeeeeeah!...



Sungguh dekaden. Ketinggalan zaman. Juga tidak pantas untuk usianya yang sudah setua itu untuk bermetal-metal ria.
Ketika ditanya oleh anak-anak kenapa ia mendadak punya kebiasaan baru, ia menjawab: "Saya sedang belajar tasawuf dari gerakan metal!"
"Lho!...., anak-anak, tentu saja tidak paham. "Anak-anak muda itu sangat mengutamakan fungsi pendengaran," lanjut Markesot. "Kan di dalam Al Quran selalu disebut Sami'un Bashirun. Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Tidak pernah di balik menjadi Bashirun Sami'un. Maknanya, alat pendengaran itu lebih penting dan utama dibanding penglihatan serta saraf lainnya. Janin dalam kandungan sudah bisa mendengar jauh sebelum bisa melihat. Dalam keadaan tidur, manusia juga selalu tetap berpendengaran aktif. Jadi pendengaran itu sarana, perangkat, alat atau syariat biologis yang paling penting..."
"Ya itu betul. Apa hubungan antara metal dengan tasawuf?" anak-anak bertanya lagi.
"Anak-anak muda itu, dengan budaya metal dan budaya musik lainnya dari dangdut, uro-uro sampai pop dan rock, bahkan jazz, blues, country, folk dan lain-lain, sangat melatih dan mengaktifkan daya pendengaran. Sesungguhnya itu semua merupakan intruksi dari pusat ruhani mereka agar belajar mendengar suara Tuhan....."
"Ah, itu mendramatisasi!" bantah anak-anak.
"Mungkin. Tapi sekurang-kurangnya, yang didramatisasi itu ada dan real. Anak-anak muda kita belajar mendengarkan suara. Bahwa pilihan-pilihan mereka keliru, sesat, atau suara-suara yang bisa efektuf mengantarkan mereka ke suara Tuhan, itu soal lain. Masih mending anak-anak itu mau belajar mendengar, dibanding banyak bapak-ibu mereka, pemimpin-pemimpin mereka, apalagi pengusaha-pengusaha mereka, bahkan terkadang ulama-ulama mereka, yang telinganya kebanyakan tuli. Jarang mau belajar mendengarkan. Jangankan mendengarkan suara rakyat yang merupakan pusat beban tanggung jawab, mereka saja malas belajar...."
"Ini tasawuf politik, Sot?"
"Pertanyaanmu itu salah. Apa beda tasawuf dengan politik? Obyek realitasnya sama, ya seluruh kehidupan ini. Hanya cara pandangnya saja yang berbeda. Yang satu tasawuf, lainnya politis".
"Tetapi generasi metal itu sedang bertasawuf?"
"Tidak sebagai rasio dan kesadaran. Tetapi mungkin ya secara naluri dan ruhani, yang letak dan mekanismenya berada di luar kesadaran akal dan niatan pikiran...."
"Jadi kenapa sampeyan bilang belajar tasawuf dari mereka?"
"Apa kau pikir belajar tasawuf itu hanya dari ulama, ustadz dan kiai-kiai saja? Apa kalian pikir cacing yang melata dan rerumputan yang diinjak-injak oleh kaki orang tidak bisa berfungsi sebagai sesama mursyid atau mahaguru bagi proses tasawuf kita?"
"Sampeyan selalu membesar-besarkan masalah". "Lho, besar kecilnya masalah itu tergantung pada bagaimana kita mempersepsikan. Memang generasi metal itu tidak begitu mendapatkan peluang dari kebudayaan yang berlangsung untuk membina pendengaran-pendengaran Ilahiah mereka. Produk-produk budaya yang sampai pada mereka lebih banyak bersifat wadak.
"Hampir segala jenis musik bersifat wadak. Inovasi kesenian yang paling modern pun bersifat wadak. Apalagi musik-musik yang lain misalnya suara knalpot di jalan raya, suara penyiar teve yang sangat banyak tidak menyebut realitas-realitas yang seharusnya disebut dan lain-lain. Kalau mereka masuk diskotik, mereka juga mendengarkan suara-suara wadak yang semu. Mereka sesungguhnya dalam diskotik itu merasa kesepian, sehingga mereka memerlukan suara musik fisik yang keras. Itu membuat mereka tidak terbiasa mendengarkan suara dari kedalaman jiwa mereka sendiri. Mereka tidak terlatih untuk mendengarkan suara mereka yang sejati. Tetapi 'kan masih lumayan, mereka masih mau berlatih mendengarkan, mengasah alat pendengaran, kelak pada akhirnya ruhani mereka akan membimbing atau menuntut mereka agar mencari suara-suara yang lebih murni. Suara yang sungguh-sungguh suara..."
"Sejauh yang saya tahu," potong salah seorang dari mereka, "Hura-hura rock dan metal dan sebangsanya itu tidak menghasilkan apa-apa kecuali pendangkalan jiwa dan gangguan lingkungan. Apa bedanya musik gedebag-gedebug itu dengan suara knalpot yang dibuka."
Kemudian Markesot berkisah tentang seorang anak muda yang hobinya main drum. Tiap hari di rumahnya ia membunyikan drum keras-keras, asyik masyuk dan tak peduli waktu. ia sangat gandrung, bahkan wuyung dan majnun oleh bunyi drum yang menghentak-hentak. Dan ia membunyikannya dengan total dan seakan-akan intrance.
Tetangga kiri-kananya tentu saja merasa terganggu, sehingga akhirnya mereka melapor kepada tokoh ulama setempat, dan sang ulama berkata, "Baiklah akan saya tegur itu anak muda yang tak tahu diri!"
Ia pun melangkah tergesa-gesa menuju anak muda itu dengan niat untuk menegur. Tapi ditengah jalan ia terhenyak kaget oleh sebuah suara entah dari mana. Mungkin dari langit, mungkin dari dalam dirinya sendiri. "He, kamu! jangan ganggu kekasihku!"
Sang ulama menjadi ragu. Setelah berpikir sejenak, ia memutuskan untuk meneruskan niatnya. Maka ia datangi anak muda majnun itu dan berkata: "He anak muda! tadi saya niat ke sini untuk menegur kelakuan kamu yang mengganggu tetangga-tetanggamu. Tapi di tengah jalan Tuhan menegurku: "He! jangan ganggu kekasihku!..."
Si anak muda kaget bukan buatan. Ia terpana sejenak, kemudian mendadak ia tendangi drumnya, ia pukul-pukul dan ia hancurkan lantas membuangnya ke luar rumah.
"Lho, kenapa nak?" bertanya sang ulama. anak muda itu menjawab: "Kalau dalam keadaan saya mengganggu para tetangga saja Allah masih mengakui aku sebagai kekasih-Nya, maka betapa cinta-Nya akan semakin besar kepadaku kalau kubuang semua ini dan mulai belajar mendengarkan suara murni semacam ini dan mulai belajar mendengarkan suara murni semacam yang pak ulama dengarkan itu..."
Akhirnya anak muda itu menjadi sufi sungguh-sungguh.()

Jumat, 13 November 2009

Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak

Jalaluddin Rakhmat

Waktu itu, dini hari, di sebuah rumah sederhana. Rahman dan isterinya terbangun karena mendengar derak pintu terbuka. Dipasangnya telinganya tajam-tajam. Mereka yakin suara itu berasal dari kamar anaknya, yang berusia tujuh tahun. Langkah-langkah kecil, terdengar seperti berjingkat-jingkat, bergerak menuju satu-satunya kamar mandi di rumah itu. Mereka mendengar suara air mengalir yang disusul dengan suara gerakan membasuh. Langkah-langkah kecil itu kembali ke kamarnya. Walaupun sayup, karena dinihari yang hening, mereka mendengar suara bacaan Al-Quran. Anak itu rupanya sedang melakukan salat malam. Tiba-tiba keduanya merasakan airmata hangat membasahi pipinya.


Kisah ini disampaikan kepada saya oleh Pak Rahman, ketika saya masih menjadi guru mengaji anak-anak di kampung tempat tinggal saya. Karena kejadian itu, kedua orang tua itu mulai melakukan salat dan meninggalkan perjudian populer- lotto. Ini terjadi kira-kira tiga puluh tahun yang lalu. Saya mendengar kejadian lain yang hampir mirip dengan itu dua atau tiga tahun tahun yang lalu.
Kali ini, saya menjadi direktur SMU (Plus) Muthahhari. Seorang ibu, orang tua murid yang baru lulus, datang dari Banten. Ia meminta bantuan saya untuk mengirim Rahmat ke Jerman. Ia sudah meyakinkan anaknya bahwa ia tidak akan mampu untuk membiayainya. Tetapi anaknya berulang-kali meyakinkan orangtuanya, bahwa Tuhan pasti akan memberikan jalan. Di tengah-tengah pembicaraan, ibu itu bercerita tentang perubahan perilaku anaknya setelah masuk sekolah kami. Waktu pulang kampung, ia banyak menaruh perhatian pada tetangga-tetangganya yang miskin. Menjelang Lebaran, seperti biasanya, ibu itu memberi anaknya uang untuk membeli pakaian baru. Rahmat menerima uang itu seraya minta izin untuk memberikannya pada tukang becak tetangganya. “Uang ini jauh lebih berharga bagi dia ketimbang saya, Bu,” kata Rahmat. Ibunya bercerita sambil meneteskan airmata.
Kedua kisah nyata di atas menyajikan contoh anak yang cerdas secara spiritual. Keduanya terjadi jauh sebelum konsep kecerdasan spiritual ramai diperbincangkan. Karena saya tidak ingin bertele-tele mendiskusikan apa yang disebut SQ, dan hanya untuk menyamakan pengertian SQ, saya akan mengutip lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual menurut Roberts A. Emmons, The Psychology of Ultimate Concerns:

(1) kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material;
(2) kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak;
(3) kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari;
(4) kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah; dan kemampuan untuk berbuat baik

Dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual. Anak yang merasakan kehadiran Tuhan atau makhluk ruhaniyah di sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan material. Ia memasuki dunia spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang menggabungkan dia dengan seluruh alam semesta. Ia merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa yang disaksikan dengan alat-alat indrianya. Anak Pak Rahman pada kisah pertama memiliki kedua ciri ini, terutama ketika ia menyampaikan doa-doa personalnya dalam salat malamnya.
Sanktifikasi pengalaman sehari-hari, ciri yang ketiga, terjadi ketika kita meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung. Konon, pada abad pertengahan seorang musafir bertemu dengan dua orang pekerja yang sedang mengangkut batu-bata. Salah seorang di antara mereka bekerja dengan muka cemberut, masam, dan tampak kelelahan. Kawannya justru bekerja dengan ceria, gembira, penuh semangat. Ia tampak tidak kecapaian. Kepada keduanya ditanyakan pertanyaan yang sama, “Apa yang sedang Anda kerjakan?” Yang cemberut menjawab, “Saya sedang menumpuk batu.” Yang ceria berkata, “Saya sedang membangun katedral!” Yang kedua telah mengangkat pekerjaan “menumpuk bata” pada dataran makna yang lebih luhur. Ia telah melakukan sanktifikasi.
Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. Ia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Ia merujuk pada warisan spiritual –seperti teks-teks Kitab Suci atau wejangan orang-orang suci- untuk memberikan penafsiran pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi. Ketika Rahmat diberitahu bahwa orang tuanya tidak akan sanggup menyekolahkannya ke Jerman, ia tidak putus asa. Ia yakin bahwa kalau orang itu bersungguh-sungguh dan minta pertolongan kepada Tuhan, ia akan diberi jalan. Bukankah Tuhan berfirman, “Orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, Kami akan berikan kepadanya jalan-jalan Kami”? Bukankah Heinrich Heine memberikan inspirasi dengan kalimatnya “Den Menschen macht seiner Wille groß und klein”? Rahmat memiliki karakteristik yang keempat.
Tetapi Rahmat juga menampakkan karakteristik yang kelima: memiliki rasa kasih yang tinggi pada sesama makhluk Tuhan. “The fifth and final component of spiritual intelligence refers to the capacity to engage in virtuous behavior: to show forgiveness, to express gratitude, to be humble, to display compassion and wisdom,” tulis Emmons. Memberi maaf, bersyukur atau mengungkapkan terimakasih, bersikap rendah hati, menunjukkan kasih sayang dan kearifan, hanyalah sebagian dari kebajikan. Karakteristik terakhir ini mungkin disimpulkan dalam sabda nabi Muhammad saw, “Amal paling utama ialah engkau masukkan rasa bahagia pada sesama manusia.”

KIAT-KIAT MENGEMBANGKAN SQ ANAK

Dengan pengertian di atas, berikut ini saya sampaikan secara singkat kiat-kiat untuk mengembangkan SQ anak-anak kita:

(1) Jadilah kita “gembala spiritual” yang baik,
(2) bantulah anak untuk merumuskan “missi” hidupnya,
(3) baca kitab suci bersama-sama dan jelaskan maknanya dalam kehidupan kita,
(4) ceritakan kisah-kisah agung dari tokoh-tokoh spiritual,
(5) diskusikan berbagai persoalan dengan perspektif ruhaniah,
(6) libatkan anak dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan,
(7) bacakan puisi-puisi, atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional,
(8) bawa anak untuk menikmati keindahan alam,
(9) bawa anak ke tempat-tempat orang yang menderita, dan
(10) ikut-sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial.

Jadilah gembala spiritual.
Orang tua atau guru yang bermaksud mengembangkan SQ anak haruslah seseorang yang sudah mengalami kesadaran spiritual juga. Ia sudah “mengakses” sumber-sumber spiritual untuk mengembangkan dirinya. Seperti disebutkan di atas –yakni karakteristik orang yang cerdas secara spiritual, ia harus dapat merasakan kehadiran dan peranan Tuhan dalam hidupnya. “Spriritual intelligence is the faculty of our non-material dimension- the human soul,” kata Khalil Khavari. Ia harus sudah menemukan makna hidupnya dan mengalami hidup yang bermakna. Ia tampak pada orang-orang di sekitarnya sebagai “orang yang berjalan dengan membawa cahaya.” (Al-Quran 6:122) Ia tahu ke mana ia harus mengarahkan bahteranya. Ia pun menunjukkan tetap bahagia di tengah taufan dan badai yang melandanya. “Spiritual intelligence empowers us to be happy in spite of circumstances and not because of them,” masih kata Khavari. Bayangkalah masa kecil kita dahulu. Betapa banyaknya perilaku kita terilhami oleh orang-orang yang sekarang kita kenal sebagai orang yang ber SQ tinggi. Dan orang-orang itu boleh jadi orang-tua kita, atau guru kita, atau orang-orang kecil di sekitar kita.

Rumuskan missi hidup.
Nyatakan kepada anak bahwa ada berbagai tingkat tujuan, mulai dari tujuan paling dekat sampai tujuan paling jauh, tujuan akhir kita. Kepada saya datang seorang anak muda dari Indonesia bagian timur. Ia meminta bantuan saya untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi swasta, setelah gagal di UMPTN. Ia tidak punya apa pun kecuali kemauan. Sayang, ia belum bisa merumuskan keinginannya dalam kerangka missi yang luhur. Berikut ini adalah cuplikan percakapan kami:

- Saya ingin belajar, Pak
- Untuk apa kamu belajar?
- Saya ingin mendapat pekerjaan.
- Jika belajar itu hanya untuk dapat pekerjaan, saya beri kamu pekerjaan.
Tinggallah di rumahku. Cuci mobilku, dan saya bayar.
- Saya ingin belajar, Pak
- Untuk apa kamu belajar?
- Saya ingin mendapat pengetahuan
- Jika tujuan kamu hanya untuk memperoleh pengetahuan, tinggallah bersamaku. Saya wajibkan kamu setiap hari untuk membaca buku. Kita lebih banyak memperoleh pengetahuan dari buku ketimbang sekolah.
- Tetapi saya ingin masuk sekolah.
- Untuk apa kamu masuk sekolah?
- Saya bingung, Pak.

Saya sebenarnya ingin mengarahkan dia untuk memahami tujuan luhur dia. Dengan menggunakan teknik “what then, señor” dalam anekdot Danah Zohar, kita dapat membantu anak untuk menemukan missinya. Jika kamu sudah sekolah, kamu mau apa? Aku mau jadi orang pintar. Jika sudah pintar, mau apa, what then? Dengan kepintaranku, aku akan memperoleh pekerjaan yang bagus. Jika sudah dapat pekerjaan, mau apa? Aku akan punya duit banyak. Jika sudah punya duit banyak, mau apa? Aku ingin bantu orang miskin, yang di negeri kita sudah tidak terhitung jumlahnya. Sampai di sini, kita sudah membantu anak untuk menemukan tujuan hidupnya.

Baca Kitab Suci.
Setiap agama pasti punya kitab suci. Begitu keterangan guru-guru kita. Tetapi tidak setiap orang menyediakan waktu khusus untuk memperbincangkan kitab suci dengan anak-anaknya. Di antara pemikir besar islam, yang memasukkan kembali dimensi ruhaniah ke dalam khazanah pemikiran Islam, adalah Muhammad Iqbal. Walaupun ia dibesarkan dalam tradisi intelektual barat, ia melakukan pengembaraan ruhaniah bersama Jalaluddin Rumi dan tokoh-tokoh sufi lainnya. Boleh jadi, yang membawa Iqbal ke situ adalah pengalaman masa kecilnya. Setiap selesai salat Subuh, ia membaca Al-Quran. Pada suatu hari, bapaknya berkata, “Bacalah Al-Quran seakan-akan ia diturunkan untukmu!” Setelah itu, kata Iqbal, “aku merasakan Al-Quran seakan-akan berbicara kepadaku.”

Ceritakan kisah-kisah agung.
Anak-anak, bahkan orang dewasa, sangat terpengaruh dengan cerita. “Manusia,” kata Gerbner, “adalah satu-satunya makhluk yang suka bercerita dan hidup berdasarkan cerita yang dipercayainya.” Para Nabi mengajar umatnya dengan parabel atau kisah perumpamaan. Para sufi seperti Al-‘Attar, Rumi, Sa’di mengajarkan kearifan perenial dengan cerita. Sekarang Jack Canfield memberikan inspirasi pada jutaan orang melalui Chicken Soup-nya. Kita tidak akan kekurangan cerita luhur, bila kita bersedia menerima cerita itu dari semua sumber. Saya senang berdiskusi dengan anak-anak saya bukan hanya kisah-kisah Islam saja, juga cerita-cerita dalam Alkitab, kisah-kisah dari Cina dan India, mitologi Yunani, dongeng-dongeng dari berbagai tempat di tanah air, sejak kisah-kisah pewayangan di Jawa sampai dongeng-dongeng dari Maluku. Begitu pula, saya membaca cerita-cerita Andersen, fabel-fabelnya Jean de la Fontaine, sampai Crayon Sin Chan. Saya selalu menemukan pelajaran berharga di dalamnya. Saya bagikan pelajaran itu pada anak-anak saya, yang dilahirkan baik oleh isteri saya, maupun oleh isteri-isteri orang lain (misalnya, yang saya ajar di sekolah saya).

Diskusikan berbagai persoalan dengan perspektif ruhaniah.
Melihat dari perspektif ruhaniah artinya memberikan makna dengan merujuk pada Rencana Agung Ilahi (divine grand Design). Mengapa hidup kita menderita? Kita sedang diuji Tuhan. Dengan mengutip Rumi secara bebas, katakan kepada anak kita bahwa bunga mawar di taman bunga hanya merekah setelah langit menangis. Anak kecil tahu bahwa ia hanya akan memperoleh air susu dari dada ibunya setelah menangis. Penderitaan adalah cara Tuhan untuk membuat kita menangis. Menangislah supaya Sang Perawat Agung memberikan susu keabadian kepadamu. Mengapa kita bahagia? Perhatikan bagaimana Tuhan selalu mengasihi kita, berkhidmat melayani keperluan kita, bahkan jauh sebelum kita dapat menyebut asma-Nya.

Libatkan anak dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan.
Kegiatan agama adalah cara praktis untuk “tune in” dengan Sumber dari Segala Kekuatan. Ambillah bola lampu listrik di rumah Anda. Bahaslah bentuknya, strukturnya, komponen-komponennya, kekutan cahayanya, voltasenya, dan sebagainya. Anda pasti menggunakan sains. Kegiatan agama adalah kabel yang menghubungkan bola lampu itu dengan sumber cahaya. Sembahyang, dalam bentuk apa pun, mengangkat manusia dari pengalaman fisikal dan material ke pengalaman spiritual. Untuk itu, kegiatan keagamaan tidak boleh dilakukan dengan terlalu banyak menekankan hal-hal yang formal. Berikan kepada anak-anak kita makna batiniah dari setiap ritus yang kita lakukan. Sembahyang bukan sekedar kewajiban. Sembahyang adalah kehormatan untuk menghadap Dia yang Mahakasih dan Mahasayang!

Bacakan puisi-puisi, atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional. Seperti kita sebutkan di atas, manusia mempunyai dua fakultas –fakultas untuk mencerap hal-hal material dan fakultas untuk mencerap hal-hal spiritual. Kita punya mata lahir dan mata batin. Ketika kita berkata “masakan ini pahit”, kita sedang menggunakan indra lahiriah kita. Tetapi ketika kita berkata “keputusan ini pahit”, kita sedang menggunakan indra batiniah kita. Empati, cinta, kedamaian, keindahan hanya dapat dicerap dengan fakultas spiritual kita (Ini yang kita sebut sbg SQ). SQ harus dilatih. Salah satu cara melatih SQ ialah menyanyikan lagu-lagu ruhaniah atau membacakan puisi-puisi. Jika Plato berkata “pada sentuhan cinta semua orang menjadi pujangga”, kita dapat berkata “pada sentuhan puisi semua orang menjadi pecinta.”

Bawa anak untuk menikmati keindahan alam.
Teknologi moderen dan kehidupan urban membuat kita teralienasi dari alam. Kita tidak akrab lagi dengan alam. Setiap hari kita berhubungan dengan alam yang sudah dicemari, dimanipulasi, dirusak. Alam tampak di depan kita sebagai musuh setelah kita memusuhinya. Bawalah anak-anak kita kepada alam yang relatif belum banyak tercemari. Ajak mereka naik ke puncak gunung. Rasakan udara yang segar dan sejuk. Dengarkan burung-burung yang berkicau dengan bebas. Hirup wewangian alami. Ajak mereka ke pantai. Rasakan angin yang menerpa tubuh. Celupkan kaki kita dan biarkan ombak kecil mengelus-elus jemarinya. Dan seterusnya. Kita harus menyediakan waktu khusus bersama mereka untuk menikmati ciptaan Tuhan, setelah setiap hari kita dipengapkan oleh ciptaan kita sendiri.

Bawa anak ke tempat-tempat orang yang menderita.
Nabi Musa pernah berjumpa dengan Tuhan di Bukit Sinai. Setelah ia kembali ke kaumnya, ia merindukan pertemuan dengan Dia. Ia bermunajat, “Tuhanku, di mana bisa kutemui Engkau.” Tuhan berfirman, “Temuilah aku di tengah-tengah orang-orang yang hancur hatinya.” Di sekolah kami ada program yang kami sebut sebagai “spiritual camping”. Kami bawa anak-anak ke daerah pedesaan, di mana alam relatif belum terjamah oleh teknologi. Malam hari, mereka mengisi waktunya dengan beribadat dan tafakkur. Siang hari mereka melakukan action research, untuk mencari dan meneliti kehidupan orang yang paling miskin di sekitar itu. Seringkali, ketika mereka melaporkan hasil penelitian itu, mereka menangis. Secara serentak, mereka menyisihkan uang mereka untuk memberkan bantuan. Dengan begitu, mereka dilatih untuk melakukan kegiatan sosial juga.

Ikut-sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial.
Saya teringat cerita nyata dari Canfield dalam Chicken Soup for the Teens. Ia bercerita tentang seorang anak yang “catatan kejahatannya lebih panjang dari tangannya.” Anak itu pemberang, pemberontak, dan ditakuti baik oleh guru maupun kawan-kawannya. Dalam sebuah acara perkemahan, pelatih memberikan tugas kepadanya untuk mengumpulkan makanan untuk disumbangkan bagi penduduk yang termiskin. Ia berhasil memimpin kawan-kawannya untuk mengumpulkan dan membagikan makanan dalam jumlah yang memecahkan rekor kegiatan sosial selama ini. Setelah makanan, mereka mengumpulkan selimut dan alat-alat rumah tangga. Dalam beberapa minggu saja, anak yang pemberang itu berubah menjadi anak yang lembut dan penuh kasih. Seperti dilahirkan kembali, ia menjadi anak yang baik – rajin, penyayang, dan penuh tanggung jawab.


MENGGALI SIFAT, BAKAT, DAN KEMAMPUAN ANAK LEWAT PARADIGMA MULTIPLE INTELLIGENCES

Oleh : Haidar Bagir

1. Untuk apa sesungguhnya upaya menggali dan mengembangkan sifat, bakat, dan kemampuan anak? Itulah pertanyaan yang harus diajukan sebelum yang lain-lain. Memelihara perspektif mengenai tujuan pengembangan sifat, bakat, dan kemampuan anak ini kiranya amat penting agar kita tidak melakukannya demi sesuatu yang salah. Saya kira amat mudah diterima oleh semua orang tua bahwa semua kerepotan ini pada puncaknya adalah untuk mengantar anak menuju suatu kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Bukan demi gengsi, popularitas, dan kekayaan. Yang disebut pertama adalah tujuan, sedang yang terakhir tak lain adalah sarana. Karena itu, tepat sekali menekankan pentingnya orang tua selalu memelihara kesejahteraan emosi anak dalam upayanya menggali dan mengembangkan sifat, bakat, dan kemampuan anak.

2. Meski banyak teori tentang bakat, dan anak berbakat, saya hendak memakai pendekatan kecerdasan ganda (multiple intelligences) yang dikembangkan oleh Howard Gardner. Pendekatan – bahkan, paradigma – baru ini, menurut saya, bukan saja mengurai dan mencakup aspek sifat, bakat, dan kemampuan sekaligus, melainkan juga mengarahkan agar pengembangan aspek-aspek ini terus memelihara perspektif tentang tujuan akhir dari semua upaya ini : yakni, kesejahteraan dan kebahagiaan anak. Mari kita lihat.
3. Seperti sudah banyak diketahui, Gardner menggunakan kata “kecerdasan: (intelligence) sebagai “pengganti” kata bakat. Tapi, pada saat yang sama, pendekatan ini juga membahas mengenai bagaimana caranya bakat ini perlu dan dapat dikembangkan menjadi kemampuan konkret. Sekaligus, di antara – sejauh ini – sembilan kecerdasan yang diidentifikasikan oleh psikolog ini, terdapat sedikitnya 3 (tiga) kecerdasan yang bisa disebut sebagai sifat-sifat yang dapat menjadikan kecerdasan-kecerdasan (baca : bakat-bakat) yang dimiliki seorang anak benar-benar membawanya kepada kesuksesan dan, pada gilirannya, kebahagiaan hidup.
4. Gardner menyebutkan ada – sedikitnya – 9 (sembilan kecerdasan) yang mungkin dimiliki seseorang :
• Kecerdasan Pertama : logis-matematis
• Kecerdasan Kedua : linguistic-verbal (kebahasaan)
• Kecerdasan Ketiga : spasial-visual
• Kecerdasan Keempat : musikal
• Kecerdasan Kelima : kinestetik-ragawi
• Kecerdasan Keenam : naturalis
• Kecerdasan Ketujuh : intrapersonal
• Kecerdasan Kedelapan : interpersonal
• Kecerdasan Kesembilan : eksistensial
5. Dua kecerdasan pertama biasanya dianggap sebagai satu-satunya faktor serba mencakup (overall single factor) ukuran kecerdasan konvensional yang biasa disebut IQ (Intelligence Quotient) – suatu pemahaman yang diruntuhkan oleh teori kecerdasan ganda ini. Nah, selain menunjukkan bahwa sesungguhnya kecerdasan bisa mengambil bentuk kecerdasan-kecerdasan lainnya – spasial, musikal, kinestetik, dan naturalis – Gardner menyebut jenis-jenis kecerdasan yang belakangan popular disebut sebagai emotional intelligence (EQ) – dalam teori Gardner ditunjukkan dengan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal --.serta spiritual intelligence (SQ) yang di sini disebut sebagai kecerdan eksistensial. Ketiga kecerdasan yang disebut terakhir ini kiranya harus dipandang sebagai sifat-sifat yang harus dikembangkan pada diri setiap anak apa pun bakat dan kemampuannya demi memastikan bahwa pada puncaknya sang anak akan dapat menjadikan bakat dan kemampuannya itu untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagiaan hidup.
6. Jika hendak diringkaskan, keenam kecerdasan yang disebut pertama oleh Gardner – logis-matematis, linguistik (kebahasaan), musikal, spasial-visual, kinestetik-ragawi, dan naturalistik – dapat dikelompokkan ke dalam kategori keterampilan yang dibutuhkan sebagai bekal bagi keberhasilan dalam mendapatkan tempat di percaturan peran dan dan dunia kerja. Kecerdasan Keenam dan Ketujuh merupakan sifat-sifat yang penting bagi bukan hanya kesejahteraan emosional, melainkan juga jaminan bagi kemampuan memanfaatkan keterampilan-keterampilan tersebut untuk mengantar kepada kesuksesan karier. Sedang Kecerdasan Kedelapan mutlak dibutuhkan sebagai jaminan bahwa semua kesuksesan hidup yang bisa dicapai, sebaliknya dari “menggerogoti” kebahagiaan yang seharusnya lahir dari kesuksesan-kesuksesan itu, dapat benar-benar mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup itu sendiri.
7. Nah, seseorang dapat memiliki bakat dan memang memang perlu memiliki satu atau lebih kecerdasan yang masuk ke dalam kategori pertama itu. Namun, ia tak bisa tidak harus memiliki sifat-sifat yang masuk ke dalam kecerdasan-kecerdasan dalam kategori kedua dan ketiga tersebut di atas. Dalam bahasa yang popular, kecerdasan-kecerdasan kategori kedua dan ketiga itu kiranya bisa disebut sebagai kepribadian (personality), budi pekerti, dan kesadaran keagamaan. Mudah-mudahan tidak berlebihan bahwa, meski pendidikan menyangkut proses penanaman keterampilan-keterampilan atau – dalam bahasa Gardner – kecerdasan-kecerdasan praktis, pada akhirnya pendidikan bertujuan penanaman keterampilan-keterampilan hidup (life skills) yang akan membawa seseorang kepada kesejahteraan dan kebahagiaan hidup.
8. Jika kita pinjam peristilahan yang diperkenalkan oleh UNESCO, maka kita dapati bahwa, pada akhirnya, pendidikan bertujuan penanaman sikap untuk mau belajar terus-menerus seumur hidup yang mencakup :
• Belajar cara untuk tahu (learn how to know)
• Belajar cara untuk hidup (learn how to be)
• Belajar cara melakukan (learn how to do)
• Belajar untuk hidup bersama orang lain (learn to live together)
Catatan : Mungkin karena konstrain sekularistik, UNESCO tidak melengkapi semuanya itu dengan aspek “Belajar untuk Hidup Bersama Tuhan” meski sesungguhnya kebutuhan akan Tuhan dan keberagamaan makin diakui sebagai kebutuhan dasar manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup (Baca survey Majalah TIME tentang kembalinya agama dan Tuhan dalam kehidupan masyarakat Amerika Serikat, atau buku Varieties ofReligious Experience karya William James dari kelompok buku klasik atau SQ yang lebih mutaakhir, atau pun tulisan-tulisan semacam “Desecularisation of the World” karya sosiolog terkemuka Peter L. Berger, untuk sekadar menyebut beberapa contoh saja.

9. Kembali kepada persoalan cara untuk mengembangkan sifat-sifat , bakat dan kemampuan anak. Perlu untuk ditegaskan di sini bahwa : Pertama, pada dasarnya setiap anak memiliki kecerdasan – atau bakat -- sendiri. Kecerdasan itu bisa satu bisa lebih. Kedua, bakat bukan satu-satunya faktor yang menentukan kesuksesan anak di bidang tertentu. Sudah banyak diketahui bahwa bakat tak banyak gunanya jika tak digali dan dikembangkan dengan dorongan minat yang memadai. Tapi, sebaliknya juga, sesorang anak dapat mengembangkan kemampuan-kemampuan tertentu lewat latihan-latihan yang intensif meski barangkali dia tak memiliki bakat khusus di bidang itu. Penelitian-penelitian belakangan menunjukkan bahwa seorang anak yang mengalami problem autisme, bahkan mengidap Down syndrome, dapat hidup secara sukses dan sejahtera berbekal keterampilan-keterampilan yang diperlukan sebagaimana lazimnya anak-anak yang tak memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus jika saja ia mendapatkan pendidikan dan pelatihan-pelatihan yang diperlukannya. Ketiga : Meski diidentifikasi sebagai telah memiliki bakat tertentu, ada baiknya anak dilatih untuk memiliki kemampuan lain, mengingat beberapa kemampuan diperlukan untuk mendukung kemampuannya memanfaatkan secara maksimum bakat atau kemampuan-utama yang dimilikinya, di samping kemampuan-kemampuan tersebut sedikti atau banyak juga diperlukan bagi pencapaian tujuan puncak semua pendidikan, yakni mengantar anak untuk meraih kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Termasuk di dalamnya : kemampuan (kecerdasan) kebahasaan (linguistik), musikal, kinestetik (olah-raga, termasuk tari), dan sebagainya.


Kamis, 12 November 2009

Memupuk Rasa Percaya Diri

Kategori Individual
Oleh : Jacinta F. Rini
Jakarta, 10/16/2002

Pernahkah anda mengalami krisis kepercayaan diri atau dalam bahasa sehari-hari "tidak pede" dalam menghadapi suatu situasi atau persoalan? Saya yakin hampir setiap orang pernah mengalami krisis kepercayaan diri dalam rentang kehidupannya, sejak masih anak-anak hingga dewasa bahkan sampai usia lanjut. Ruang konseling di website inipun banyak diwarnai dengan pertanyaan seputar kasus-kasus yang berhubungan dengan krisis kepercayaan diri tersebut. Sudah tentu, hilangnya rasa percaya diri menjadi sesuatu yang amat mengganggu, terlebih ketika dihadapkan pada tantangan atau pun situasi baru. Individu sering berkata pada diri sendiri, "dulu saya tidak penakut seperti ini....kenapa sekarang jadi begini ?" ada juga yang berkata: "kok saya tidak seperti dia,...yang selalu percaya diri...rasanya selalu saja ada yang kurang dari diri saya...saya malu menjadi diri saya!"


Menyikapi kondisi seperti tersebut diatas maka akan muncul pertanyaan dalam benak kita: mengapa rasa percaya diri begitu penting dalam kehidupan individu. Lalu apakah kurangnya rasa percaya diri dapat diperbaiki sehingga tidak menghambat perkembangan individu dalam menjalankan tugas sehari-hari maupun dalam hubungan interpersonal. Jika memang rasa kurnag percaya diri dapat diperbaiki, langkah-langkah apakah yang harus dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan saya jawab dalam artikel ini.
Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan/situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri, alias "sakti". Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut dimana ia merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa - karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri.
Karakteristik
Karakteristik atau ciri-ciri Individu yang percaya diri
Beberapa ciri atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya diri yang proporsional, diantaranya adalah :
• Percaya akan kompetensi/kemampuan diri, hingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, atau pun rasa hormat orang lain
• Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompok
• Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain - berani menjadi diri sendiri
• Punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil)
• Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan bantuan orang lain)
• Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, ornag lain dan situasi di luar dirinya
• Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.
Karakteristik atau ciri-ciri Individu yang kurang percaya diri
Beberapa ciri atau karakteristik individu yang kurang percaya diri, diantaranya adalah:
• Berusaha menunjukkan sikap konformis, semata-mata demi mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok
• Menyimpan rasa takut/kekhawatiran terhadap penolakan
• Sulit menerima realita diri (terlebih menerima kekurangan dir) dan memandang rendah kemampuan diri sendiri - namun di lain pihak memasang harapan yang tidak realistik terhadap diri sendiri
• Pesimis, mudah menilai segala sesuatu dari sisi negatif
• Takut gagal, sehingga menghindari segala resiko dan tidak berani memasang target untuk berhasil
• Cenderung menolak pujian yang ditujukan secara tulus (karena undervalue diri sendiri)
• Selalu menempatkan/memposisikan diri sebagai yang terakhir, karena menilai dirinya tidak mampu
• Mempunyai external locus of control (mudah menyerah pada nasib, sangattergantung pada keadaan dan pengakuan/penerimaan serta bantuan orang lain)
Perkembangan Rasa Percaya Diri
Pola Asuh
Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri bukanlah diperoleh secara instant, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini, dalam kehidupan bersama orangtua. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, namun faktor pola asuh dan interaksi di usia dini, merupakan faktor yang amat mendasar bagi pembentukan rasa percaya diri.Sikap orangtua, akan diterima oleh anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu. orangtua yang menunjukkan kasih, perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang serta kelekatan emosional yang tulus dengan anak, akan membangkitkan rasa percara diri pada anak tersebut. Anak akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai di mata orangtuanya. Dan, meskipun ia melakukan kesalahan, dari sikap orangtua anak melihat bahwa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi. Anak dicintai dan dihargai bukan tergantung pada prestasi atau perbuatan baiknya, namun karena eksisitensinya. Di kemudian hari anak tersebut akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistik terhadap diri - seperti orangtuanya meletakkan harapan realistik terhadap dirinya.
Lain halnya dengan orangtua yang kurang memberikan perhatian pada anak, atau suka mengkritik, sering memarahi anak namun kalau anak berbuat baik tidak pernah dipuji, tidak pernah puas dengan hasil yang dicapai oleh anak, atau pun seolah menunjukkan ketidakpercayaan mereka pada kemampuan dan kemandirian anak dengan sikap overprotective yang makin meningkatkan ketergantungan. Tindakan overprotective orangtua, menghambat perkembangan kepercayaan diri pada anak karena anak tidak belajar mengatasi problem dan tantangannya sendiri - segala sesuatu disediakan dan dibantu orangtua. Anak akan merasa, bahwa dirinya buruk, lemah, tidak dicintai, tidak dibutuhkan, selalu gagal, tidak pernah menyenangkan dan membahagiakan orangtua. Anak akan merasa rendah diri di mata saudara kandungnya yang lain atau di hadapan teman-temannya.
Menurut para psikolog, orangtua dan masyarakat seringkali meletakkan standar dan harapan yang kurang realistik terhadap seorang anak atau pun individu. Sikap suka membanding-bandingkan anak, mempergunjingkan kelemahan anak, atau pun membicarakan kelebihan anak lain di depan anak sendiri, tanpa sadar menjatuhkan harga diri anak-anak tersebut. Selain itu, tanpa sadar masyarakat sering menciptakan trend yang dijadikan standar patokan sebuah prestasi atau pun penerimaan sosial. Contoh kasus yang riil pernah terjadi di tanah air, ketika seorang anak bunuh diri gara-gara dirinya tidak diterima masuk di jurusan A1 (IPA), meski dia sudah bersekolah di tempat yang elit; rupanya sang orangtua mengharap anaknya diterima di A1 atau paling tidak A2, agar kelak bisa menjadi dokter. Atau, orangtua yang memaksakan anaknya ikut les ini dan itu, hanya karena anak-anak lainnya pun demikian.
Situasi ini pada akhirnya mendorong anak tumbuh menjadi individu yang tidak bisa menerima kenyataan dirinya, karena di masa lalu (bahkan hingga kini), setiap orang mengharapkan dirinya menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri. Dengan kata lain, memenuhi harapan sosial. Akhirnya, anak tumbuh menjadi individu yang punya pola pikir : bahwa untuk bisa diterima, dihargai, dicintai, dan diakui, harus menyenangkan orang lain dan mengikuti keinginan mereka. Pada saat individu tersebut ditantang untuk menjadi diri sendiri - mereka tidak punya keberanian untuk melakukannya. Rasa percaya dirinya begitu lemah, sementara ketakutannya terlalu besar.
Pola Pikir Negatif
Dalam hidup bermasyarakat, setiap individu mengalami berbagai masalah, kejadian, bertemu orang-orang baru, dsb. Reaksi individu terhadap seseorang atau pun sebuah peristiwa, amat dipengaruhi oleh cara berpikirnya. Individu dengan rasa percaya diri yang lemah, cenderung mempersepsi segala sesuatu dari sisi negatif. Ia tidak menyadari bahwa dari dalam dirinya lah semua negativisme itu berasal. Pola pikir individu yang kurang percaya diri, bercirikan antara lain:
• Menekankan keharusan-keharusan pada diri sendiri ("saya harus bisa begini...saya harus bisa begitu"). Ketika gagal, individu tersebut merasa seluruh hidup dan masa depannya hancur.
• Cara berpikir totalitas dan dualisme : "kalau saya sampai gagal, berarti saya memang jelek"
• Pesimistik yang futuristik : satu saja kegagalan kecil, individu tersebut sudah merasa tidak akan berhasil meraih cita-citanya di masa depan. Misalnya, mendapat nilai C pada salah satu mata kuliah, langsung berpikir dirinya tidak akan lulus sarjana.
• Tidak kritis dan selektif terhadap self-criticism : suka mengkritik diri sendiri dan percaya bahwa dirinya memang pantas dikritik.
• Labeling : mudah menyalahkan diri sendiri dan memberikan sebutan-sebutan negatif, seperti "saya memang bodoh"..."saya ditakdirkan untuk jadi orang susah", dsb....
• Sulit menerima pujian atau pun hal-hal positif dari orang lain : ketika orang memuji secara tulus, individu langsung merasa tidak enak dan menolak mentah-mentah pujiannya. Ketika diberi kesempatan dan kepercayaan untuk menerima tugas atau peran yang penting, individu tersebut langsung menolak dengan alasan tidak pantas dan tidak layak untuk menerimanya.
• Suka mengecilkan arti keberhasilan diri sendiri : senang mengingat dan bahkan membesar-besarkan kesalahan yang dibuat, namun mengecilkan keberhasilan yang pernah diraih. Satu kesalahan kecil, membuat individu langsung merasa menjadi orang tidak berguna.
Memupuk Rasa Percaya Diri
Untuk menumbuhkan rasa percaya diri yang proporsional maka individu harus memulainya dari dalam diri sendiri. Hal ini sangat penting mengingat bahwa hanya individu yang bersangkutan yang dapat mengatasi rasa kurang percaya diri yang sedang dialaminya. Beberapa saran berikut mungkin layak menjadi pertimbangkan jika anda sedang mengalami krisis kepercayaan diri.
1. Evaluasi diri secara obyektif
Belajar menilai diri secara obyektif dan jujur. Susunlah daftar "kekayaan" pribadi, seperti prestasi yang pernah diraih, sifat-sifat positif, potensi diri baik yang sudah diaktualisasikan maupun yang belum, keahlian yang dimiliki, serta kesempatan atau pun sarana yang mendukung kemajuan diri. Sadari semua asset-asset berharga Anda dan temukan asset yang belum dikembangkan. Pelajari kendala yang selama ini menghalangi perkembangan diri Anda, seperti : pola berpikir yang keliru, niat dan motivasi yang lemah, kurangnya disiplin diri, kurangnya ketekunan dan kesabaran, tergantung pada bantuan orang lain, atau pun sebab-sebab eksternal lain. Hasil analisa dan pemetaan terhadap SWOT (Strengths, Weaknesses, Obstacles and Threats) diri, kemudian digunakan untuk membuat dan menerapkan strategi pengembangan diri yang lebih realistik.
2. Beri penghargaan yang jujur terhadap diri
Sadari dan hargailah sekecil apapun keberhasilan dan potensi yang anda miliki. Ingatlah bahwa semua itu didapat melalui proses belajar, berevolusi dan transformasi diri sejak dahulu hingga kini. Mengabaikan/meremehkan satu saja prestasi yang pernah diraih, berarti mengabaikan atau menghilangkan satu jejak yang membantu Anda menemukan jalan yang tepat menuju masa depan. Ketidakmampuan menghargai diri sendiri, mendorong munculnya keinginan yang tidak realistik dan berlebihan; contoh: ingin cepat kaya, ingin cantik, populer, mendapat jabatan penting dengan segala cara. Jika ditelaah lebih lanjut semua itu sebenarnya bersumber dari rasa rendah diri yang kronis, penolakan terhadap diri sendiri, ketidakmampuan menghargai diri sendiri - hingga berusaha mati-matian menutupi keaslian diri.
3. Positive thinking
Cobalah memerangi setiap asumsi, prasangka atau persepsi negatif yang muncul dalam benak Anda. Anda bisa katakan pada diri sendiri, bahwa nobodys perfect dan its okay if I made a mistake. Jangan biarkan pikiran negatif berlarut-larut karena tanpa sadar pikiran itu akan terus berakar, bercabang dan berdaun. Semakin besar dan menyebar, makin sulit dikendalikan dan dipotong. Jangan biarkan pikiran negatif menguasai pikiran dan perasaan Anda. Hati-hatilah agar masa depan Anda tidak rusak karena keputusan keliru yang dihasilkan oleh pikiran keliru. Jika pikiran itu muncul, cobalah menuliskannya untuk kemudian di re-view kembali secara logis dan rasional. Pada umumnya, orang lebih bisa melihat bahwa pikiran itu ternyata tidak benar.
4. Gunakan self-affirmation
Untuk memerangi negative thinking, gunakan self-affirmation yaitu berupa kata-kata yang membangkitkan rasa percaya diri. Contohnya:
• Saya pasti bisa !!
• Saya adalah penentu dari hidup saya sendiri. Tidak ada orang yang boleh menentukan hidup saya !
• Saya bisa belajar dari kesalahan ini. Kesalahan ini sungguh menjadi pelajaran yang sangat berharga karena membantu saya memahami tantangan
• Sayalah yang memegang kendali hidup ini
• Saya bangga pada diri sendiri
5. Berani mengambil resiko
Berdasarkan pemahaman diri yang obyektif, Anda bisa memprediksi resiko setiap tantangan yang dihadapi. Dengan demikian, Anda tidak perlu menghindari setiap resiko, melainkan lebih menggunakan strategi-strategi untuk menghindari, mencegah atau pun mengatasi resikonya. Contohnya, Anda tidak perlu menyenangkan orang lain untuk menghindari resiko ditolak. Jika Anda ingin mengembangkan diri sendiri (bukan diri seperti yang diharapkan orang lain), pasti ada resiko dan tantangannya. Namun, lebih buruk berdiam diri dan tidak berbuat apa-apa daripada maju bertumbuh dengan mengambil resiko. Ingat: No Risk, No Gain.
6. Belajar mensyukuri dan menikmati rahmat Tuhan
Ada pepatah mengatakan yang mengatakan orang yang paling menderita hidupnya adalah orang yang tidak bisa bersyukur pada Tuhan atas apa yang telah diterimanya dalam hidup. Artinya, individu tersebut tidak pernah berusaha melihat segala sesuatu dari kaca mata positif. Bahkan kehidupan yang dijalaninya selama ini pun tidak dilihat sebagai pemberian dari Tuhan. Akibatnya, ia tidak bisa bersyukur atas semua berkat, kekayaan, kelimpahan, prestasi, pekerjaan, kemampuan, keahlian, uang, keberhasilan, kegagalan, kesulitan serta berbagai pengalaman hidupnya. Ia adalah ibarat orang yang selalu melihat matahari tenggelam, tidak pernah melihat matahari terbit. Hidupnya dipenuhi dengan keluhan, rasa marah, iri hati dan dengki, kecemburuan, kekecewaan, kekesalan, kepahitan dan keputusasaan. Dengan "beban" seperti itu, bagaimana individu itu bisa menikmati hidup dan melihat hal-hal baik yang terjadi dalam hidupnya? Tidak heran jika dirinya dihinggapi rasa kurang percaya diri yang kronis, karena selalu membandingkan dirinya dengan orang-orang yang membuat "cemburu" hatinya. Oleh sebab itu, belajarlah bersyukur atas apapun yang Anda alami dan percayalah bahwa Tuhan pasti menginginkan yang terbaik untuk hidup Anda.
7. Menetapkan tujuan yang realistik
Anda perlu mengevaluasi tujuan-tujuan yang Anda tetapkan selama ini, dalam arti apakah tujuan tersebut sudah realistik atau tidak. Dengan menerapkan tujuan yang lebih realistik, maka akan memudahkan anda dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian anda akan menjadi lebih percaya diri dalam mengambil langkah, tindakan dan keputusan dalam mencapai masa depan, sambil mencegah terjadinya resiko yang tidak diinginkan.
Mungkin masih ada beberapa cara lain yang efektif untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Jika anda dapat melakukan beberapa hal serpti yang disarankan di atas, niscaya anada akan terbebas dari krisis kepercayaan diri. Namun demikian satu hal perlu diingat baik-baik adalah jangan sampai anda mengalami over confidence atau rasa percaya diri yang berlebih-lebihan/overdosis. Rasa percaya diri yang overdosis bukanlah menggambar kondisi kejiwaan yang sehat karena hal tersebut merupakan rasa percaya diri yang bersifat semu.
Rasa percaya diri yang berlebihan pada umumnya tidak bersumber dari potensi diri yang ada, namun lebih didasari oleh tekanan-tekanan yang mungkin datang dari orangtua dan masyarakat (sosial), hingga tanpa sadar melandasi motivasi individu untuk "harus" menjadi orang sukses. Selain itu, persepsi yang keliru pun dapat menimbulkan asumsi yang keliru tentang diri sendiri hingga rasa percaya diri yang begitu besar tidak dilandasi oleh kemampuan yang nyata. Hal ini pun bisa didapat dari lingkungan di mana individu di besarkan, dari teman-teman (peer group) atau dari dirinya sendiri (konsep diri yang tidak sehat). Contohnya, seorang anak yang sejak lahir ditanamkan oleh orangtua, bahwa dirinya adalah spesial, istimewa, pandai, pasti akan menjadi orang sukses, dsb - namun dalam perjalanan waktu anak itu sendiri tidak pernah punya track record of success yang riil dan original (atas dasar usahanya sendiri). Akibatnya, anak tersebut tumbuh menjadi seorang manipulator dan dan otoriter - memperalat, menguasai dan mengendalikan orang lain untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Rasa percaya diri pada individu seperti itu tidaklah didasarkan oleh real competence, tapi lebih pada faktor-faktor pendukung eksternal, seperti kekayaan, jabatan, koneksi, relasi, back up power keluarga, nama besar orangtua, dsb. Jadi, jika semua atribut itu ditanggalkan, maka sang individu tersebut bukan siapa-siapa. (jp)


NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...