Minggu, 29 November 2015

SEPOTONG CINTA DI KARBALA


Peringatan perjalanan 40 hari keluarga Imam Hussain as pasca gugurnya beliau dan pengikutnya di padang Karbala atau yang biasa dinamakan Arbain, selalu meninggalkan kesan yg mendalam buat saya.
Bukan ritualnya yang menohok hati, tetapi nilai spiritualitasnya yang tinggi.
Perjalanan sejauh 80 km dari makam Imam Ali as di Najaf ke makam Imam Hussain as di Karbala Irak, bisa disebut sebagai prosesi ziarah terbesar di dunia. Bayangkan saja, total 20 juta orang berjalan kaki dengan perasaan mengharu biru mengingat peristiwa penting dalam sejarah umat Islam. Sebagai perbandingan, musim haji saja otoritas haji hanya sanggup menampung 2 juta orang.
Sisi spiritual yang tinggi bukan hanya dalam perjalanannya saja, tetapi juga di sepanjang jalan. Ribuan masyarakat Irak, bahkan dari luar Irak, berlomba2 menyediakan apa yg bisa mereka sediakan untuk para peziarah. Ada yang menyediakan tenda, ada yang menyediakan pijat kaki dan banyak lagi yang menyediakan makanan.
Dan semua itu gratis.
Ini ruang dan waktu dimana materi tidak berlaku. Mereka berlomba-lomba mencari dan memperbanyak pahala dari apa yg mereka mampu. Mereka akan meminta para penziarah untuk mengambil apa yang mereka tawarkan dan mereka akan sangat berterima-kasih untuk itu. Karena mereka akhirnya berfungsi sebagai pelayan dari tamu-tamu agung yang datang dari seluruh dunia.
Begitu banyak sisi humanis yang bisa dipotret dalam satu peristiwa ziarah. Membuat bahkan mendengar ceritanya saja, diri ini merasa rendah. Bagaimana diri ini merasa lebih mulya dari seorang papa yang mampu menyisihkan apa yg dia punya untuk diberikan kepada para penziarah ? Mereka bahkan mengemis supaya diterima. Mereka luar biasa kaya.
Tidak berlebihan ketika seorang teman pernah bercerita bahwa untuk membersihkan toilet di makam Imam Hussain as, banyak yang menunggu antrian selama sekian tahun lamanya. Dan mereka malah bukan dari kalangan papa, tetapi para pejabat, para pengusaha sampai para ulama.
Apa yang mereka cari sebenarnya ?
Pada tingkatan keimanan seperti mereka, manusia materi tidak akan pernah mengerti bahwa mereka menganggap materi ini semua sampah belaka. Dunia ini lebih rendah dari segala sesuatu, karena itulah ia dinamakan dunia. Mereka mencari materi bukan untuk menjadi budaknya, tetapi untuk berguna bagi manusia lainnya.
Seorang teman pernah bertanya, kapan saya akan ziarah kesana ?
Saya hanya tersenyum dan menjawab, apakah tidak cukup jiwa saya yang selalu berada disana ? Saya begitu larut dalam kisah tragis itu, sehingga saya masih belum merasa kuat untuk berada disana.
Saya takut, bahkan ketika kaki baru saja menginjak tanah di bandara, airmata saya langsung deras berderai tiada hentinya.
dennysiregar.com

Sabtu, 21 November 2015

Perjalanan Mengenang Tragedi Karbala


Oleh : Dahlan Iskan

SUNNI berlebaran Minggu, Syiah keesokan harinya. Di Iraq, tidak ada gejolak atas perbedaan itu. Pemerintah tidak terlibat. Masing-masing golongan mengumumkan hari rayanya sendiri.

Hari itu saya salat Id di Masjid Syekh Abdul Qadir Jailani. Letaknya di tengah Kota Baghdad. Tidak sampai 15 menit naik mobil dari Hotel Isthar (dahulu Hotel Sheraton), tempat saya menginap. Hotel tersebut terletak di samping taman yang patung Saddam Hussein-nya dirobohkan itu.

Nama Syekh Abdul Qadir Jailani sangat terkenal di Indonesia. Dialah tokoh utama tarekat/tasawuf Naqsyabandiyah, khususnya aliran Qadiriyah. Sejak saya kecil, nama itu sudah saya hafal. Doa-doa yang diucapkan ayah saya selalu menyebut nama itu di bagian akhirnya. 

Ke sinilah memang, ke makam Syekh Abdul Qadir Jailani ini, tujuan utama saya pergi ke Baghdad. Selama dua hari di Baghdad, tiga kali saya ke makam tokoh tasawuf tersebut. Tentu saya juga ziarah ke makam Abu Hanifah. Meski di Indonesia umumnya menganut mazhab Syafi"i, tidak ada salahnya ziarah ke makam pendiri mazhab Hanafi tersebut. Toh, letaknya juga di dalam Kota Baghdad yang terpisah hanya sekitar 5 km.

Dua makam itu sama-sama terletak di dalam masjid. Seperti makam Nabi Muhammad yang terletak di dalam Masjid Nabawi. Pengunjung tidak henti-hentinya ziarah. 

Di Masjid Syekh Abdul Qadir Jailani, seusai salat Id, sebuah bendera hitam dengan tulisan Arab berwarna kuning emas diusung ke depan masjid. Ternyata, itulah bendera "kebangsaan" tarekat Naqsyabandiyah. Orang pun berebut menciuminya.

Pimpinan masjid itu, yang juga mursyid (pimpinan) tarekat Naqsyabandiyah Qadiriyah, adalah keturunan ke-17 Syekh Abdul Qadir Jailani. Masih muda, sekitar 35 tahun. Pagi itu, kami dijamu makan pagi khas Arab. Tentu diselingi diskusi mengenai tarekat Naqsyabandiyah. 

Dia juga banyak bertanya mengenai pengikut tarekat tersebut di Indonesia. "Saya ingin ke Indonesia menemui mereka. Waktu ke Malaysia tahun lalu, saya ingin mampir ke Indonesia, tapi ada masalah visa," katanya. "Keluarga kami sering ke Malaysia. Ayah kami meninggal di Malaysia tahun lalu," tambahnya.

Orang-orang Iraq memang sangat mudah datang ke Malaysia. Tapi, masih sulit untuk mendapatkan visa ke Indonesia. Akibatnya, hubungan dagang Indonesia-Iraq tertinggal jauh dari Malaysia. Perdagangan Indonesia-Iraq baru USD 100 juta. Sedangkan Iraq-Malaysia sudah mencapai hampir USD 1 miliar. Padahal, Malaysia belum membuka kedutaan di Iraq. 

Ekonomi Menggeliat

Kami juga ziarah ke pusat aliran Syiah: Najaf dan Karbala. Najaf terletak sekitar 300 km di luar Kota Baghdad. Atau 4 jam perjalanan dengan mobil. 

Sebenarnya banyak yang mengingatkan agar saya tidak ke sana. Apalagi dengan istri, anak-anak, dan cucu. Iraq belum sepenuhnya aman. Ledakan-ledakan bom mobil masih sering terjadi. Sampai-sampai, mereka menyebut istri saya sebagai perempuan asing pertama yang berani berkunjung ke Iraq. "Mestinya istri Anda dapat sertifikat," guraunya.

Saya merasa beruntung ziarah ke Najaf dan Karbala. Saya bisa melihat kondisi Iraq tidak hanya di ibu kotanya. Kalau melihat Baghdad saja, hampir-hampir putus harapan: gersang, panas, kering, dan berdebu. 

Tidak terlihat geliat ekonomi baru sama sekali. Tidak banyak bangunan bekas perang yang sudah direnovasi. Jalan-jalan penuh dengan barikade militer. Kendaraan harus sering berhenti melewati pos bersenjata. Melewati jalan raya pun seperti memasuki terowongan: kanan kiri jalan dipagar dengan beton-beton knockdown setinggi 3 meter.

Tapi, begitu keluar dari Baghdad, ke arah selatan menuju Najaf, kesan saya tentang Iraq berubah. Ekonomi terasa mulai menggeliat di jalur itu. Hampir sepanjang jalan saya melihat pelebaran jalan, pembangunan jalan baru, dan pembuatan flyover. Di beberapa lokasi, seperti di Provinsi Babilon (di sinilah pusat kekaisaran Babilonia kuno), terlihat pembangunan perumahan rakyat. Bentuknya apartemen empat lantai yang terdiri atas ratusan blok. 

"Sebetulnya rakyat kurang senang apartemen. Tapi, zaman modern harus diikuti," ujar teman saya yang orang Iraq. "Kami sebenarnya senang dengan rumah biasa berlantai dua. Pada musim tertentu, kami terbiasa tidur di atas atap. Bisa terasa seperti tidur di padang pasir," tambahnya.

Kami tidak berhenti di Babilon meski di situ ada makam Nabi Ayub. Kami langsung ke Najaf: ke makam Sayidina Ali bin Abi Thalib. Dialah sahabat utama Nabi Muhammad SAW yang menjadi khalifah ke-4 pada zaman Khulafaur-rasyidin. Dialah tokoh sentral golongan Syiah.

Luar biasa banyaknya pengunjung makam Sayidina Ali yang juga menantu Nabi Muhammad itu. Banyak sekali peziarah yang sangat emosional: meratap, mengusap, dan menciumi pintu makam yang letaknya di dalam Masjid Imam Ali tersebut. Setelah ziarah, kami salat dua rakaat di dekat makam itu. Tentu kami segera diketahui bukan orang Syiah lantaran kami salat tidak menggunakan thurob. 

Thurob adalah tanah kering yang berbentuk bundar seperti kue mari. Thurob harus diletakkan di lantai, tepat di lokasi kening kita saat bersujud. Semua orang Syiah mengantongi thurob di sakunya. Ke mana pun mereka pergi dan di mana pun mereka salat, sujudnya harus di thurob itu.

Waktu pejabat tinggi Iran datang ke Jakarta beberapa bulan lalu dan saya bertugas menjemputnya di bandara, saya juga melihat itu. Waktu itu, sang pejabat minta salat di bandara. Saya jadi makmumnya. Saya lihat beliau merogoh saku dan meletakkan thurob di tempat sujud. Waktu saya ke Iran tahun lalu, saya juga membeli thurob di sana. Namun, ke Najaf kali ini, saya membeli thurob lagi karena yang dari Iran dulu diminta orang. 

Masjid Imam Ali indahnya luar biasa. Interiornya gemerlapan karena campuran kristal dan potongan-potongan cermin yang dibentuk dengan indahnya. Dulunya masjid ini sangat kecil. Tidak lama setelah Saddam Hussein terguling, diperluas menjadi dua kali lipatnya. 

Yang juga menarik, begitu banyak keranda yang dibawa masuk ke dalam masjid tersebut. Hanya untuk dilewatkan dekat makam Imam Ali. Hampir tiap 10 menit ada keranda yang lewat di makam itu. Tentu, maksudnya agar mendapat syafaat Imam Ali.

Begitu banyak yang meninggal? Ternyata, mayat itu tidak hanya dari Najaf. Mayat tersebut datang dari seantero negeri. Seluruh orang Syiah, di mana pun meninggal, mayatnya dibawa ke makam yang letaknya di sebelah Masjid Imam Ali. 

Tentu makam itu sangat-sangat luasnya. Garis tengahnya 7 km! Pasti, itulah makam terbesar di dunia! "Ayah saya meninggal di Baghdad. Juga dimakamkan di sini," ujar teman saya tersebut.

Dengan dimakamkan di situ, tidak saja bisa bersebelahan dengan makam Imam Ali (yang dipercaya juga sekaligus makamnya Nabi Adam dan Nabi Nuh), namun juga membuat kunjungan lebih praktis. Ziarah ke makam Imam Ali sekalian ke keluarga masing-masing.

Bagi warga Syiah, sekali datang ke Najaf juga harus ke Karbala. Dua kota tersebut berjarak 70 km. Itu mirip dengan orang yang ke Makkah sebaiknya juga ke Madinah. Bedanya, perjalanan ziarah Najaf-Karbala ini sangat demonstratif, atraktif, dan emosional. Di Karbala itulah anak Imam Ali, Sayidina Hussein, dimakamkan. 

Setiap bulan Asyura, jutaan orang Syiah melakukan perjalanan suci dari Najaf ke Karbala. Mereka jalan kaki sambil merintih, menangis, dan memukul-mukul dada. Mereka mengenang penderitaan Sayidina Hussein dan solider atas penderitaan itu. 

Menyusuri jalan dua arah yang sangat mulus itu, saya membayangkan betapa padatnya sepanjang jalan tersebut saat bulan Asyura. "Kami biasanya menempuh jarak Najaf-Karbala tiga hari," kata teman saya itu. "Anda lihat, di sepanjang jalan ini banyak dibangun toilet umum dan rumah singgah. Kami bisa bermalam di sepanjang jalan ini," tambahnya.

Kisah penderitaan Hussein di Karbala tentu tidak bisa hilang dari ingatan saya. Pelajaran tarikh (sejarah) Islam sewaktu di madrasah tsanawiyah, khususnya bab Karbala, sangat hidup di benak saya. Apalagi guru tarikh saya sangat pandai bercerita. Bagaimana Hussein dan rombongannya dikhianati, disiksa, dan akhirnya dibunuh dengan kejamnya diceritakan seperti dalang menceritakan babak perang Baratayuda. Bagaimana kepala Sayidina Hussein yang setelah dipenggal kemudian ditendang-tendang ke sana kemari menimbulkan imajinasi seperti permainan sepak bola dan kepala Hussein sebagai bolanya.

Ketika dewasa, saya menemukan dua buku yang bercerita sangat baik mengenai tragedi berdarah dalam sejarah Islam tersebut. O Hassem menulis dengan judul Karbala yang penuturannya penuh dengan gaya jurnalistik. Rupanya, ketika Hussein dan rombongan meninggalkan Makkah berjalan kaki berminggu-minggu menuju Khurasan (sekarang berada di wilayah Iran), ada seorang pencatat yang mengikutinya. 

Pencatat itu, meskipun menguntit dalam jarak yang tidak dekat, masih bisa melihat dengan jelas tragedi apa saja yang menimpa Hussein dan rombongan sepanjang perjalanan tersebut. Catatan "jurnalistik" itulah yang jadi sumber penulisan O Hassem. 

Baru belakangan saya tahu bahwa O Hassem yang meninggal di Jakarta pada 1990-an tersebut adalah seorang penganut Syiah di Indonesia. Begitu detail catatan itu sampai-sampai ketika di suatu tempat Hussein harus lari dari cegatan musuhnya, digambarkan bagaimana salah satu sandal Hussein tertinggal. 

Buku satunya lagi adalah sebuah novel berjudul Jalan Menuju Khurasan. Saya lupa siapa penulisnya. Tapi, rupanya, itu novel terjemahan. 

Ketika berada di makam Sayidina Hussein, saya merenungkan mengapa bisa terjadi tragedi seperti itu. Juga tragedi-tragedi berdarah lainnya. Sejak zaman Khulafaur-rasyidin hingga zaman setelah Abbasyiah. Bagaimana bisa terjadi, gara-gara politik kekuasaan, pertumpahan darah tidak henti-hentinya mengalir justru ketika umat Islam menganut paham pemerintahan kekhalifahan.

Permenungan saya terhenti karena tiba-tiba ada suara riuh rendah. Saya lihat ada atraksi yang menakjubkan di dalam masjid itu. Sekitar 50 orang berdiri membuat lingkaran. Mereka mengayun-ayunkan badan, mengalunkan puji-pujian, sambil menunjukkan gerakan memukul dada seperti penari saman dari Aceh. "Mereka itu peziarah dari Iran," ujar teman saya. "Mereka menggunakan bahasa Parsi," tambahnya.

Sejak Saddam Hussein yang Sunni tergusur oleh tentara Amerika Serikat, pemerintahan Iraq memang dikuasai golongan Syiah. Maka, kawasan padat Syiah seperti Najaf dan Karbala bangkit luar biasa. "Dulu tidak ada perhatian Saddam ke wilayah ini," kata teman saya tersebut.

Sore itu saya kembali ke Baghdad. Puluhan barikade pemeriksaan bersenjata kembali harus kami lewati. Sore itu hari terakhir bulan puasa. Kami ingin berbuka puasa di Baghdad, di sebuah restoran terbuka di pinggir Sungai Tigris yang legendaris. Buka puasa terenak tahun ini. (*)


http://www.jpnn.com/

Nasehat Bagi Para Ibu setelah melahirkan dari Imam Ja'far


Imam Ja’far as-Sadiq (as) menasehatkan para ibu agar "mereka menidurkan bayi-bayi mereka yang baru lahir di samping sebelah kiri dari para ibu".32*)
Selama berabad-abad, nasehat ini dianggap oleh banyak orang sebagai nasehat yang tidak ada artinya dan dianggap mengada-ada karena tidak ada satu orangpun yang bisa melihat manfaat dari meletakkan bayi untuk tidur di sebelah kiri dari sang ibu.

Beberapa orang malah berpendapat lebih jauh lagi. Mereka menganggap bahwa meletakkan bayi di sebelah kiri ibunya itu malah berbahaya. Ibu dari si bayi itu bisa saja—secara tidak sadar—berguling ketika sedang tidur dan melindas si bayi hingga si bayi tidak bisa bernafas dan akan mengalami kematian. Tidak ada satu orangpun baik di Timur maupun di Barat yang mau mempertimbangkan nasehat Imam Ja’far (as) dan melihatnya dengan serius. Bahkan itu berlanjut sampai jaman Renaissance ketika para cerdik cendikia dan para ilmuwan di Eropa mulai mempelajari setiap teori secara kritis. Tidak ada seorangpun yang mau mencoba untuk meneliti atau menemukan apakah nasehat Imam Ja’far (as) itu memiliki dasar ilmiah atau tidak.

Pada tahun 1865, Ezra Cornell mendirikan the Cornell University di NYK. Di universitas ini, ia mendirikan sebuah institut (di bawah jurusan kedokteran) yang diberi-nama Institute for the Research on New Born and Suckling Babies. Seorang ahli riset di lembaga ini pernah berkeliling ke berbagai penjuru dunia dan melihat bahwa semua ibu di setiap Negara yang ia kunjungi secara naluriah menggendong bayi-bayi mereka dengan meletakkan bayi-bayinya di sebelah kiri lengannya.

Para dokter di lembaga ini melihat bahwa bayi-bayi yang diletakkan di sebelah kiri si ibu ketika mereka tidur, akan tidur nyenyak sekali dan damai sekali sampai mengeluarkan bunyi
dengkur pertanda mereka tidur pulas. Akan tetapi bayi-bayi yang diletakkan di sisi kanan si ibu ketika mereka tidur akan terbangun sesekali dan kemudian menangis keras. Dalam sebuah observasi diketahui bahwa di hari-hari pertama setelah kelahiran, bayi-bayi itu akan resah dan tidak bisa istirahat sama sekali, apabila mereka tidak diletakkan di sebelah kiri dari ibu-ibu mereka.

Setelah adanya penemuan holografi, dan gambar-gambar holografis dari bayi-bayi yang belum lahir bisa diambil maka kita bisa melihat bahwa detak jantung si ibu itu bisa mencapai telinga si bayi yang ada di dalam rahimnya. Eksperimen-eksperimen dilangsungkan dengan menggunakan mamalia yang berbeda untuk melihat reaksi yang diberikan oleh janin-janin yang sedang dikandungnya. Semua eksperimen menunjukkan bahwa ketika jantung si ibu dari si bayi itu berhenti berdetak (walaupun sesaat), maka si janin mulai menjadi resah dan bergerak-gerak, karena bayi itu memerlukan pasokan makanan dan makanan itu dialirkan lewat darah yang dipompa jantung si ibu. Setiap jantung si ibu berdetak, maka sari-sari makanan dan oksigen mengalir ke si janin.

Eksperimen-eksperimen ini menunjukkan bahwa bayi-bayi yang belum lahir itu tidak hanya terbiasa dengan detak jantung sang ibu, tapi keberadaan si bayi itu memang sangat tergantung dari jantung si ibu yang mengandungnya.
Detak-detak jantung—bagi si bayi—artinya pasokan suplai makanan yang konstan. Sedangkan berhentinya detak jantung dari si ibu akan berarti kelaparan dan kematian. Para bayi dalam kandungan itu sangat tergantung kepada detak jantung ibu-ibunya. Saking tergantungnya mereka kepada detak jantung si ibu hingga bahkan setelah mereka lahir-pun, mereka menjadi resah, apabila mereka tidak mendengar detak jantung.

Seorang bayi yang baru lahir tahu benar akan detak jantung ibunya sendiri dan itulah sebabnya si bayi itu akan tidur lebih nyaman dan lebih damai apabila ia diletakkan di sebelah kiri ibunya. Karena hanya dengan tidur di sebelah kiri ibunya maka si bayi bisa mendengar detak jantung ibunya secara jelas.33*)  
Apabila Cornell University belum didirikan dan riset terhadap bayi itu belum dilakukan, maka tidak ada seorangpun yang pernah menyadari (secara ilmiah) pentingnya nasehat dari sang Imam bahwa para ibu mesti menidurkan bayinya di sebelah kirinya.

Imam Ja’far as-Sadiq (as) memiliki pemikiran yang jauh ke depan melintasi ruang dan waktu. Pemikirannya melampaui rentang waktu 1,100 tahun. Dengan itu kita bisa dengan mudah menyimpulkan bahwa Imam Ja’far as-Sadiq (as)—seperti para Imam lainnya dari Ahlul Bayt (as)—semuanya memiliki Ilmu Ladunni (divine knowledge atau pengetahuan Illahiah).
Pengetahuan Illahiyah inilah yang menjadikan Ilmu Imam Ja’far (as) itu dasyhat dan tidak tertandingi di jamannya (dan juga di jaman setelahnya).
*)32 Maksudnya ibu-ibu tidur di sebelah kanan dan bayi-bayinya tidur di sebelah kiri. (pen)
*)33 Karena letak jantung manusia ada di sebelah kiri (pen)


http://www.islamitucinta.blogspot.com/

Jumat, 20 November 2015

Ziarah Arba’in Imam Husein (a.s)




Ziarah Arba’in adalah ziarah ke 40 hari dari tragedi Karbala. Tanggal 20 Shafar adalah 40 hari dari peristiwa tragis yang memilukan hati kaum mukminin, tragedi yang menimpa keluarga Rasulullah saw di Karbala, khususnya Al-Husein cucu tercinta Rasulullah saw. Sudah selayaknya kita ummat Rasulullah saw berziarah dan menyampaikan salam kepada cucu tercinta Rasulullah saw. Semoga dengan ziarah ini kita mendapat syafaat Rasulullah saw dan Ahlul baitnya (sa), dilindungi oleh Allah swt dari segala musibah dan bala’. Berikut ini doa ziarahnya:

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على محمد وآل محمد
اَلسَّلامُ عَلى وَلِيِّ اللهِ وَحَبيبِهِ، اَلسَّلامُ عَلى خَليلِ اللهِ وَنَجيبِهِ، اَلسَّلامُ عَلى صَفِيِّ اللهِ وَابْنِ صَفِيِّهِ، اَلسَّلامُ عَلى الْحُسَيْنِ الْمَظْلُومِ الشَّهيدِ، اَلسَّلامُ على اَسيرِ الْكُرُباتِ وَقَتيلِ الْعَبَراتِ

Assalâmu ‘alâ waliyyillâhi wa habîbih
Assalâmu ‘alâ khalîlillâhi wa najîbih
Assalâmu ‘alâ shafiyilâhi wabni shafiyyih
Assalâmu ‘alal Husaynil mazhlûmisy syahîd
Assalâmu ‘alâ asîril kurabâti wa qatîlil ‘abarât

Salam atas wali Allah dan kekasih-Nya
Salam atas keistimewaan Allah dan pilihan-Nya
Salam atas kesucian Allah dan putera kesucian-Nya
Salam atas Al-Husein yang mazhlum dan syahid
Salam atas yang tertawan dalam peristiwa yang paling berduka
dan terbunuh dalam tragedi paling menderita
اَللّهُمَّ اِنّي اَشْهَدُ اَنَّهُ وَلِيُّكَ وَابْنُ وَلِيِّكَ وَصَفِيُّكَ وَابْنُ صَفِيِّكَ الْفائِزُ بِكَرامَتِكَ

Allâhumma innî asyhadu annahu waliyyuka wabnu waliyyika wa shafiyyuka wabnu shafiyyikal fâizu bikaramatika.

Ya Allah, aku bersaksi bahwa dia adalah kekasih-Mu dan putera kekasih-Mu, pilihan-Mu dan putera pilihan-Mu yang beruntung dengan kemuliaan-Mu
اَكْرَمْتَهُ بِالشَّهادَةِ وَحَبَوْتَهُ بِالسَّعادَةِ، وَاَجْتَبَيْتَهُ بِطيبِ الْوِلادَةِ

Akramtahu bisy-syahâdati wa habawtahu bissa’âdah, wa ajtabaytahu bithayyibil wilâdah,

Kau muliakan dia dengan kesyahidan, Kau hampiri dia dengan kebahagiaan, Kau pilih dia dengan kelahiran yang baik.
وَجَعَلْتَهُ سَيِّداً مِنَ السادَةِ، وَقائِداً مِنَ الْقادَةِ، وَذائِداً مِنْ الْذادَةِ

Waja’altahu sayyidan minas sâdah, wa qâidan minal qâdah, wa dzâidan minadz dzâdah.

Kau jadikan dia penghulu para sayyid, pemimpin dari para pemimpin, dan pertahanan dari semua pertahanan.
وَاَعْطَيْتَهُ مَواريثَ الاَْنْبِياءِ، وَجَعَلْتَهُ حُجَّةً عَلى خَلْقِكَ مِنَ الاَْوْصِياءِ

Wa a’thaytahu mawâritsal anbiyâi, wa ja’altahu hujjatah ‘alâ khalqika minal awshiyâi.

Kau karuniai dia pewaris para nabi, Kau jadikan dia hujjah atas makhluk-Mu dari para washi.
فَاَعْذَرَ فىِ الدُّعاءِ وَمَنَحَ النُّصْحَ، وَبَذَلَ مُهْجَتَهُ فيكَ لِيَسْتَنْقِذَ عِبادَكَ مِنَ الْجَهالَةِ وَحَيْرَةِ الضَّلالَةِ

Fa’tadzara fid-du’âi wa Manahan nush-ha, wa badzala muhjatuhu fîka liyastanqidza ‘ibâdaka minal jahâlati wa hayratidh dhalâlah.

Ia telah menyampaikan dalam doanya, mencurahkan dalam nasehatnya, berjuang karena-Mu untuk menyelamatkan hamba-hamba-Mu dari kejahilan dan kebingunan dalam kesesatan.
وَقَدْ تَوازَرَ عَلَيْهِ مَنْ غَرَّتْهُ الدُّنْيا، وَباعَ حَظَّهُ بِالاَْرْذَلِ الاَْدْنى، وَشَرى آخِرَتَهُ بِالَّثمَنِ الاَْوْكَسِ، وَتَغَطْرَسَ وَتَرَدّى فِي هَواهُ، وَاَسْخَطَكَ وَاَسْخَطَ نَبِيَّكَ، وَاَطاعَ مِنْ عِبادِكَ اَهْلَ الشِّقاقِ وَالنِّفاقِ وَحَمَلَةَ الاَْوْزارِ الْمُسْتَوْجِبينَ النّارَ

Wa qad tawâzara ‘alayhi man gharrathud dun-yâ, wa bâ’a hazhzhahu bil-ardzalil adnâ, wa syarâ âkhiratahu bits-tsamanil awkas, wa taghathrasa wa taraddâ fî hawâhu, wa askhathaka wa askhatha nabiyyaka, wa athâ’a min ‘ibâdika ahlasy syiqâq wan-nifâq wa hamalatan awzâril mustawjibînan nâr.

Ia dianggap berdosa oleh orang yang tertipu oleh dunia, 
yang menjual bagiannya dengan harga yang paling rendah, 
yang membeli akhiratnya dengan harga yang paling hina, 
yang sombong dan arogan dalam hawa nafsunya
yang marah pada-Mu dan murka pada nabi-Mu
yang patuh pada hamba-hamba-Mu yang mendambakan perpecahan dan dipenuhi kemunafikan, yang menanggung beban orang-orang yang mengharuskan mereka tercampak ke dalam neraka.
فَجاهَدَهُمْ فيكَ صابِراً مُحْتَسِباً حَتّى سُفِكَ فِي طاعَتِكَ دَمُهُ وَاسْتُبيحَ حَريمُهُ

Fajâhadahum fîka shâbiran mustajî hattâ sufika fî thâ’atika dâmuhu wastubîha harîmuhu.
Lalu beliau berjuang menghadapi mereka karena-Mu penuh kesabaran dan mengharap ridha-Mu, sehingga ia ditumpahkan darahnya dan disembelih kesuciannya dalam ketaatan pada-Mu.

اَللّهُمَّ فَالْعَنْهُمْ لَعْناً وَبيلاً وَعَذِّبْهُمْ عَذاباً اَليماً

Allâhumma fal’anhum la’nan wabîlâ wa ‘adzdzabhum ‘adzâban alîmâ.
Ya Allah, laknatlah mereka dengan laknat yang berat dan azablah mereka azab yang pedih
اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يَا بْنَ رَسُولِ اللهِ، اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يَا بْنَ سَيِّدِ الاَْوْصِياءِ

Assalamu’alayka yabna Rasulillâh
Assalamu’alayka yabna sayyidil awshiyâ’
Salam atasmu duhai putera Rasulullah
Salam atasmu duhai putera penghulu para washi
اَشْهَدُ اَنَّكَ اَمينُ اللهِ وَابْنُ اَمينِهِ، عِشْتَ سَعيداً وَمَضَيْتَ حَميداً وَمُتَّ فَقيداً مَظْلُوماً شَهيداً، وَاَشْهَدُ اَنَّ اللهَ مُنْجِزٌ ما وَعَدَكَ، وَمُهْلِكٌ مَنْ خَذَلَكَ، وَمُعَذِّبٌ مَنْ قَتَلَكَ
Asyhadu annaka aminullâhi wabnu amînih. ‘Isyta sa’îdan wa madhayta hamîdan, wa mutta faqîdan mazhlûman syahidâ. Wa asyahadu annallâha munjizun mâ wa’adaka, wa muhlikun man khadzalaka, wa mu’adzdzibun man qatalaka.

Aku bersaksi bahwa engkau adalah kepercayaan Allah, putera kepercayaan-Nya. 
Engkau hidup bahagia dan terpuji
Engkau terbunuh dalam keadaan mazhlum dan syahid. 
وَاَشْهَدُ اَنَّكَ وَفَيْتَ بِعَهْدِ اللهِ وَجاهَدْتَ فِي سَبيلِهِ حَتّى اَتياكَ الْيَقينُ

Wa asyhadu annaka wafayta bi’ahdillâhi wa jâhadta fî sabîlihi hatta atâkal yaqîn.

Aku bersaksi bahwa engkau telah memenuhi janji Allah, berjuang di jalan-Nya sehingga engkau dipanggil ke haribaan-Nya.
فَلَعَنَ اللهُ مَنْ قَتَلَكَ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ ظَلَمَكَ، وَلَعَنَ اللهُ اُمَّةً سَمِعَتْ بِذلِكَ فَرَضِيَتْ بِهِ

Fala’anallâhu man qatalaka, wa la’anallâhu man zhalamaka, wa la’anallâhu ummatan sami’at bidzâlika faradhiyat bihi.

Semoga Allah melaknat orang yang membunuhmu
Semoga Allah melaknat orang yang menzalimimu
Semoga Allah melaknat ummat yang mendengar tragedimu lalu ridha dengannya.
اَللّهُمَّ اِنّي اُشْهِدُكَ اَنّي وَلِيٌّ لِمَنْ والاهُ وَعَدُوٌّ لِمَنْ عاداهُ

Allâhumma innî usyhiduka annî waliyyun lima wâlâhu wa ‘aduwwun liman ‘âdâhu.

Ya Allah, aku bersaksi di hadapan-Mu bahwa aku mencintai orang yang mencintainya, memusuhi orang yang memusuhinya. 
بِاَبي اَنْتَ وَاُمّي يَا بْنَ رَسُولِ اللهِ، اَشْهَدُ اَنَّكَ كُنْتَ نُوراً فىِ الاَْصْلابِ الشّامِخَةِ وَالاَْرْحامِ الْمُطَهَّرَةِ، لَمْ تُنَجِّسْكَ الْجاهِلِيَّةُ بِاَنْجاسِها وَلَمْ تُلْبِسْكَ الْمُدْلَهِمّاتُ مِنْ ثِيابِها

Biabî anta wa ummi yabna Rasûlillâh, asyhadu annaka kunta nûran fil ashlâbisy syâmikhah wal-arhâmil muthahharah, lam tunajjiskal jâhiliyyatu bianjâsihâ, wa lam tulbiskal mudlahimmâtu min tsiyâbiha.

Demi ayahku dan ibuku duhai putera Rasulullah, aku bersaksi bahwa engkau adalah cahaya dalam sulbi yang mulia dan rahim yang suci. Engkau belum pernah tersentuh oleh noda-noda jahiliyah, dan belum pernah terbungkus oleh pakaian jahiliyah.
وَاَشْهَدُ اَنَّكَ مِنْ دَعائِمِ الدّينِ وَاَرْكانِ الْمُسْلِمينَ وَمَعْقِلِ الْمُؤْمِنينَ، وَاَشْهَدُ اَنَّكَ الاِْمامُ الْبَرُّ التَّقِيُّ الرَّضِيُّ الزَّكِيُّ الْهادِي الْمَهْدِيُّ، وَاَشْهَدُ اَنَّ الاَْئِمَّةَ مِنْ وُلْدِكَ كَلِمَةُ التَّقْوى وَاَعْلامُ الْهُدى وَالْعُرْوَةُ الْوُثْقى، وَالْحُجَّةُ على اَهْلِ الدُّنْيا

Wa asyhadu annaka min da’âimid dîn wa arkânil muslimîn wa ma’qilil mu’minîn.
Wa asyahadu annakal imâmul barrut-taqiy ar-radhiyyuz zakiy al-hâdil mahdiy.
Wa asyhadu annal aimmata min wuldika kalimatut taqwâ wa a’lâmul hudâ wal ‘urwatul wutsqâ, wal-hujjatu ‘alâ ahlid dun-yâ.

Aku bersaksi bahwa engkau adalah penegak agama, tonggak kaum muslimin, pengikat kaum mukminin.
Aku bersaksi bahwa engkau pemimpin yang baik dan bertakwa, yang ridha dan suci, memberi petunjuk dan bimbingan.

وَاَشْهَدُ اَنّي بِكُمْ مُؤْمِنٌ وَبِاِيابِكُمْ، مُوقِنٌ بِشَرايِعِ ديني وَخَواتيمِ عَمَلي، وَقَلْبي لِقَلْبِكُمْ سِلْمٌ وَاَمْري لاَِمْرِكُمْ مُتَّبِعٌ وَنُصْرَتي لَكُمْ مُعَدَّةٌ حَتّى يَأذَنَ اللهُ لَكُمْ، فَمَعَكُمْ مَعَكُمْ لا مَعَ عَدُوِّكُمْ

Wa asyhadu annî bikum mu’minun wa bi-iyabikum, mûqinun bisyarâi’I dînî wa khawâtîmi ‘amalî, wa qalbî liqalbikum silmun, wa biamrî liamrikum muttabi’un, wa nushratî lakum mu’addatun hattâ ya’dzanallâhu lakum, fama’akum ma’akum lâ ma’a ‘aduwwikum.

Aku bersaksi bahwa aku mempercayaimu, menyakini syariat agamaku, dan kesudahan amalku. Hatiku pasrah pada hatimu, urusanku ikut pada perintahmu, pertolonganku kusiapkan karenamu. Semoga aku selalu bersamamu, tidak bersama musuhmu. 

صَلَواتُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَعلى اَرْواحِكُمْ وَاَجْسادِكُمْ وَشاهِدِكُمْ وَغائِبِكُمْ وَظاهِرِكُمْ وَباطِنِكُمْ آمينَ رَبَّ الْعالِمينَ


Shalawâtullâhi ‘alaykum wa ‘alâ arwâhikum wa ajâdikum, wa syâhidikum wa ghâibikum, wa zhâhirikum wa bâtinikum. Âmîna Rabbal ‘âlamîn.

Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat kepadamu, pada arwahmu dan jasadmu, pada kehadiranmu dan keghaibanmu, zahirmu dan batinmu. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Catatan: Setelah membaca doa ziarah ini, lalukan shalat sunnah dua rakaat, kemudian mohonlah kepada Allah apa yang dicita-citakan. Insya Allah, Allah swt mengijabahnya.

Wassalam. 
syamsul rifaei

Keutamaan Ziarah Arbain Berjalan Kaki dari Najaf ke Karbala



Imam Ja'far Shadiq as bersabda, "Barangsiapa yang dengan berjalan kaki berziarah ke makam Imam Husain as, Allah SWT akan memberikan satu kebaikan pada setiap langkah kaki yang diayunkan, satu dosa darinya terhapus dan baginya satu derajat lebih tinggi..." 

Menurut Kantor Berita ABNA, dalam sejarah Jabir bin Abdullah al Anshari dikenal sebagai peziarah pertama yang berjalan kaki dari Madinah menuju Karbala khusus untuk memperingati hari Arbain di Haram Imam Husain as di Karbala Irak yang kemudian selama 1373 tahun tradisi tersebut dijaga dan diikuti oleh jutaan pecinta al Husain setiap tahunnya.
Selama bertahun-tahun ulama-ulama dan para wali-wali Allah SWT menekankan pentingnya dan besarnya keutamaan berziarah kemakam Imam Husain as pada hari Arbain yang dilakukan dengan berjalan kaki dari arah Najaf ke Karbala. Jabir bin Abdullah memulai tradisi ini dengan berziarah ke makam Imam Husain as pada tahun 61 H, tahun kesyahidan Imam Husain as. Tahun-tahun sebelumnya para Aimmah Maksumin as menegaskan keutamaannya dan tradisi tersebut terus berlangsung sepanjang pemerintahan rezim Bani Umayyah dan Abbasiyah. 
Dari sebagian catatan sejarah disebutkan bahwa dimasa Syaikh Anshari (wafat tahun 1281 H) berjalan kaki menuju Karbala adalah tradisi masyarakat yang sangat masyhur. Namun sepeninggal beliau, tradisi tersebut pelan-pelan ditinggalkan masyarakat muslim sampai pada masa Syaikh Mirza Husain Nuri yang lewat upaya dan dakwahnya menghidupkan kembali tradisi tersebut. Ulama besar tersebut tercatat sebagai yang pertama kali berjalan kaki dari Najaf ke Karbala pada hari raya Idul Adha. Beliau bersama 30 orang murid dan sahabatnya menempuh perjalanan selama 3 hari untuk kemudian tiba di Karbala. Setelah melakukan perjalanan tersebut, beliau bertekad akan mengulanginya pada hari Arbain dan selanjutnya mentradisikannya setiap tahun sepanjang umurnya. Tahun 1319 H tercatat dalam rekaman sejarah sebagai perjalanan beliau yang terakhir dari Najaf ke Karbala dengan hanya berjalan kaki.
Sepeninggal beliau, tradisi berjalan kaki ke Karbala terus dijaga dan dihidupkan oleh para pecinta Ahlul Bait dan Imam Husain as. Bahkan tradisi berjalan kaki juga dilakukan oleh ulama-ulama Marja Taklid. Diantara ulama marja taklid besar dikalangan Syiah yang pernah melakukannya adalah Mirza Jawad Agha Malaki Tabrizi bahkan beliau telah berkali-kali melakukannya. Beliau mengenai besarnya keutamaan safar menuju Haram Imam Husain as di Karbala mengatakan, "Seorang muslim yang mengakui mencintai Ahlul Bait dan Imam Husain as utama baginya untuk berziarah ke makam Imam Husain pada hari Arbain (20 Safar) dengan berjalan kaki, hatta melakukannya hanya sekali seumur hidup. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Maksum as bahwa lima tanda-tanda orang beriman adalah, 15 raka'at shalat sehari semalam, ziarah Arbain, memakai cincin di jari kanan, meletakkan keningnya langsung diatas tanah ketika sujud dan melafazkan ucapan Bismillahirrahmanirahim dalam shalat-shalatnya."
Ayatullah Makarim Syirazi juga semasa masih menjadi santri agama sepanjang tahun 1369 sampai 1370 H di Najaf telah dua kali dari Najaf berjalan kaki ke Karbala. Beliau berjalan kaki menyusuri sungai dengan kaki telanjang. Jarak yang ditempuhnya 20 kilometer lebih jauh dari jarak normal Najaf ke Karbala dan waktu yang dipergunakannya sekitar 3 hari untuk kemudian sampai di Haram Imam Husain as di Karbala.
"Kami dalam perjalanan menuju Karbala, senantiasa diminta mampir oleh setiap ahli kampung yang kami lewati. Mereka hendak menjadikan kami tamunya ketika tahu bahwa niat kami berjalan kaki ke Karbala untuk menziarahi makam Imam Husain as. Setiap kami memberi penolakan karena ingin segera tiba ditempat tujuan, ahli kampung itu seketika menunjukkan ekspresi kecewa dan sedih. Ini menunjukkan betapa mereka amat senang memberikan pengkhidmatan dan pelayanan terhadap mereka yang berjalan kaki menuju Karbala." Kenang beliau.
Imam Ja'far Shadiq as mengenai pahala yang didapat mereka yang melakukan ziarah pada hari Arbain menyatakan, "Barangsiapa yang dengan berjalan kaki berziarah ke makam Imam Husain as, Allah SWT akan memberikan satu kebaikan pada setiap langkah kaki yang diayunkan, satu dosa darinya terhapus dan baginya satu derajat lebih tinggi. Selama dalam perjalanan tersebut, hak Allah SWT mengutus baginya dua malaikat yang hanya akan mencatat setiap kebaikan yang keluar dari mulutnya dan tidak mencatat apapun jika yang diucapkannya adalah hal yang buruk. Dan sewaktu kembali maka malaikat tersebut berkata kepadanya, "Wahai wali Allah, dosa-dosa kamu telah terampuni dan kamu telah termasuk dalam golongannya Allah, golongan Rasul-Nya dan golongan Ahlul Bait Nabi-Nya. Demi Allah, kamu tidak akan pernah melihat api neraka, dan api nerakapun tidak akan pernah melihatmu dan kamu tidak akan terperangkap di dalamnya." (Kamil az Ziyarat hal. 134).

Dimasa rezim Saddam Husain yang menerapkan aturan tegas pelarangan berjalan kaki dari Najaf ke Karbala, tradisi Ziarah Arbain tersebut sempat terhenti. Meskipun tetap dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Dan bagi yang ketahuan oleh tentara rezim Saddam maka baginya adalah hukuman mati. Namun setelah kejatuhan Saddam, tradisi ziarah Arbain dengan berjalan kaki kembali dilakukan secara terbuka dan terang-terangan. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, jumlah peziarah membludak menjadi jutaan orang. Hari-hari menjelang Arbain adalah hari yang penuh sesak oleh lautan manusia di jalan-jalan sepanjang Najaf ke Karbala. Assalamu 'alaika ya Aba Abdillah.

http://id.abna24.com/

Rahbar Tegaskan, Terlarang Mengarak Fotonya pada Momentum Arbain di Karbala

Brief
“Rahbar mengingatkan, agar dalam momentum Arbain benar-benar hanya dibatasi untuk hal-hal yang hanya berkaitan dengan Arbain saja. Pesan-pesan yang disampaikan adalah mengingatkan mengenai perjuangan Imam Husain As dan meningkatkan kecintaan kepada Allah Swt, Nabi-Nya dan para Aimmah As. Bukan ajakan untuk memberikan dukungan kepada Republik Islam Iran dan Wilayatul Faqih. Peziarah harus mengindari segala hal-hal yang dapat menyebabkan perpecahan. Karena itu, Rahbar menetapkan larangan foto dan gambarnya diarak dalam perjalanan ke Karbala.”

Menurut Kantor Berita ABNA, Hujjatul Islam wa Muslimin Sayid Ali Qadhi Askari, wakil Wali Faqih untuk urusan haji dan ziarah dalam pertemuan dengan para Muballigh Arbain Husaini kamis pagi [12/11] di Kantor Pusat Tablighat Islami berkata, “Arbain adalah tradisi keagamaan terbesar umat manusia yang tidak ditemukan ditempat lain, yang serupa sebagaimana yang terjadi di kota Karbala pada hari Arbain.”
Dalam pernyataan selanjutnya, ia berkata, “Dengan merujuk pada periwayatan yang ada, kita menemukan sejumlah riwayat yang beraneka ragam terkait dengan Arbain. Yang paling masyhur, adalah riwayat yang menyebutkan, melakukan ziarah Arbain adalah tanda-tanda dan bukti kesyiahan seseorang, dan termasuk diantara tanda-tanda orang yang beriman.”
Ia menambahkan, “Berkaitan dengan ziarah ke Karbala dalam kitab Kāmal al-Ziyārāt disebutkan, jika dikhawatirkan keselamatan jiwa dan harta terganggu dalam perjalanan ziarah, maka terlarang baginya untuk melakukan ziarah namun satu-satunya ziarah yang tetap diperbolehkan bagi Syiah untuk melakukannya meskipun dalam keadaan berbahaya, adalah ziarah ke makam Imam Husain As.”
Wakil Wali Faqih tersebut lebih lanjut menyinggung niat Mutawakkil, salah satu khalifah Dinasti Abbasiyah untuk menghancurkan makam Imam Husain As, ia berkata, “Makam Imam Husain As adalah tempat khusus untuk berkumpulnya para pecinta Ahlul Bait As dari seluruh dunia. Para musuh Islam tahu, bahwa berkumpulnya para pecinta tersebut bukan perkumpulan biasa. Ada sinyal-sinyal bahaya dan mengkhawatirkan dari pertemuan tersebut, yang dapat mengusik eksistensi dan kepentingan musuh. Karena itu mereka senantiasa berusaha untuk menghalangi para pecinta Ahlul Bait As untuk mendekati dan berziarah ke makam Imam Husain As, termasuk dengan cara berencana menghancurkan makam Imam Husain As.”
“Saddam mengetahui dengan pasti, budaya Asyura dan Arbain akan memberi pengaruh besar pada hati-hati umat Syiah, karena itu rezim Saddam Husain melarang pecintah Ahlul Bait untuk berziarah ke makam Imam Husain As karena itu dapat mengancam kekuasaannya.” tambahnya.
“Bagi kita sendiri, perkumpulan ini memiliki peran dan tujuan yang sangat penting. Pertemuan akbar ini akan memberi efek positif pada setiap masalah yang menimpa umat Islam, termasuk mencegah isu-isu perpecahan yang dihembuskan musuh untuk menghancurkan umat Islam.” tambahnya lagi.
Pada bagian lain penyampaiannya, Hujjatul Islam wa Muslimin Sayid Ali Qadhi Askari mengingatkan kepada para peziarah Arbain atas pesan dan penegasan Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al Uzhma Sayid Ali Khamanei agar foto dan gambarnya tidak diarak dalam perjalanan dari Najaf ke Karbala pada momentum ziarah Arbain. Ia berkata, “Rahbar mengingatkan, agar dalam momentum Arbain benar-benar hanya dibatasi untuk hal-hal yang hanya berkaitan dengan Arbain saja. Pesan-pesan yang disampaikan adalah mengingatkan mengenai perjuangan Imam Husain As dan meningkatkan kecintaan kepada Allah Swt, Nabi-Nya dan para Aimmah As. Bukan ajakan untuk memberikan dukungan kepada Republik Islam Iran dan Wilayatul Faqih. Peziarah harus mengindari segala hal-hal yang dapat menyebabkan perpecahan. Karena itu, Rahbar menetapkan larangan foto dan gambarnya diarak dalam perjalanan ke Karbala.”
“Kewajiban kita adalah waspada dan berhati-hati, setiap hari harapan kita jumlah peziarah semakin membesar, karena itu harus bisa dicegah dan dihindari hal-hal buruk yang tidak diinginkan.” tambahnya.
“Tradisi jalan kaki ke Karbala pada momentum Arbain akan menjadi perhatian para turis dan dunia internasional. Mereka pasti akan bertanya-tanya, peristiwa apa yang telah terjadi dibalik dari Asyura dan Arbain ini. Hal inilah yang kemudian memancing mereka akan mencari tahu sendiri dan berupaya mengenal siapa itu Imam Husain As dan tragedi apa yang telah menimpanya.” lanjut Hujjatul Islam wa Muslimin Sayid Ali Qadhi Askari.
“Banyak kejadian menakjubkan yang terjadi pada momentum Arbain. Diantaranya adalah, kemiskinan dan kesulitan hidup rakyat Irak tidak menghalangi mereka untuk berkhidmat dan melayani peziarah dan segala keterbatasan yang mereka miliki. Misalnya karena tidak bisa menyajikan apa-apa, mereka siap memijat kaki para peziarah, dan tidak meminta imbalan apa-apa kecuali doa yang mereka harapkan dari peziarah.” tambahnya lagi.
Lanjutan pernyataannya Sayid Ali Qadhi Askari kembali menekankan agar dalam momentum Arbain, peziarah harus menghindari isu-isu politik yang dapat menimbulkan perpecahan dan kekacauan.
Ia juga mengingatkan bahwa Irak tidak memiliki banyak sumber daya untuk memberi pelayanan maksimal kepada para peziarah. Ia berkata, “Para peziarah harus paham dengan kondisi Irak. Keselamatan dan kenyamanan pribadi harus menjadi tanggunjawab sendiri. Jangan membayangkan segala sesuatunya telah disediakan oleh pemerintah Irak dan mereka yang berkhidmat, sehingga menganggap segala sesuatunya nyaman. Namun peziarah harus telah mempersiapkan diri untuk menemui masalah-masalah berat ditengah perjalanan. Persiapkanlah diri untuk bisa menghadapi masalah dan resiko seberat apapun yang akan ditemui di perjalanan.”
Hujjatul Islam Qadhi Askari melanjutkan pesannya, “Dalam peringatan Arbain ini, saudara kita dari Ahlus Sunnah juga melibatkan diri. Sebagaimana fatwa Rahbar, tidak diperkenankan sama sekali bagi peziarah untuk melakukan hal-hal yang bermuatan penghinaan dan pelecehan terhadap simbol-simbol dan keyakinan Ahlus Sunnah. Berdasarkan fatwa Rahbar dan mayoritas ulama marja taklid lainnya, itu haram hukumnya. Ingat, apapun yang kalian lakukan, itu bisa dengan mudah direkam oleh siapapun yang hadir mengingat hampir semua orang memiliki fasilitas gadget yang dapat mendokumentasikan itu. Karena itu, hindarilah melakukan hal-hal yang dapat memancing aksi-aksi teror dan kebencian.”
Pada bagian akhir penyampaiannya, Hujjatul Islam Qadhi Askari menegaskan kembali pesan Rahbar, “Bagi Rahbar, ziarah ke Karbala ini adalah sebuah keajaiban, seperti sebuah mukjizat, karena itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin dan pada tempatnya. Tentu kita berharap dan menghendaki, ketika insya Allah balik dari perjalanan ini, kita bisa membuat bibir Imam Husain As tersenyum, karena ridha dengan apa yang telah kita lakukan.”

http://id.abna24.com/

Kamis, 19 November 2015

Isteri Tetangga


Oleh :Emha Ainun Nadjib.
Dalam suatu forum saya bertanya:
"Apakah anda punya
tetangga?”.
Dijawab serentak
"Tentu punya”
"Punya istri enggak tetangga Anda?”
"Ya, punya dooong”
"Pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu?”
"Secara khusus, tak pernah melihat” kata hadirin di forum
“Jari-jari kakinya lima atau tujuh? ”
“Tidak pernah memperhatikan”
"Body-nya sexy enggak?”
Hadirin tertawa lepas... dan saya lanjutkan tanpa menunggu jawaban mereka:
“Sexy atau tidak bukan urusan kita, kan?
Tidak usah kita perhatikan, tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan, diskusikan atau perdebatkan, Biarkan saja”.
Keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain.
Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun.
Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan di dalam hati.
Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah.
Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar, ngapain dia jadi non Islam?
Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah. Justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam.
Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan
diungkapkan, diperbandingkan, atau
dijadikan bahan seminar atau pertengkaran.
Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena Bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya.
Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya.
Sementara itu orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silahkan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit.
Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misanya kehujanan, padahal waktunya mendesak, ia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU maupun yang Muhamadiyah.
Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya.
Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga Berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok, atau apapun, silakan bekerja sama di bidang usaha perekonomian, sosial, kebudayaan, sambil saling melindungi koridor teologi masing-masing.
Bisa memperbaiki pagar bersama-sama, bisa gugur gunung membersihi kampung, bisa pergi mancing bareng, bisa main gaple dan remi bersama.
Bisa ngumpul nge "WA", BB an & Facebook-an & media sosial lainnya, bersama.
Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun.
Jangankan kerja sama dengan sesama manusia, sedangkan dengan kerbau dan sapi pun kita bekerja sama nyangkul dan olah sawah.
Itulah lingkaran tulus "hati dengan hati".
Semoga..., kita makin sadar akan pentingnya Toleransi, Solidaritas & Kerukunan, Bahwa semuanya itu Indah nan Fithri...

UNTUK SEORANG KAWAN

Oleh : Deny Siregar
Ketika kita berkata bahwa kita mencintai Tuhan, sanggupkah kita ketika cinta kita dibalas Tuhan ?
Cara Tuhan mencintai hamba-Nya tidak bisa kita sandingkan dengan cara ibu mencintai kita. Jika seorang ibu mencintai anaknya, terbatas pada memberikan perlindungan penuh sehingga kita merasa aman dan tentram. Seorang ibu sulit untuk menyakiti anaknya, karena secara naluri ia mempunyai tali kasih yang sangat erat.
Tapi Tuhan jauh berbeda. Ia mencintai kita melalui sudut pandang tak terbatas. Kasih sayang hanya satu sudut saja.
Tuhan Maha Tahu bahwa dalam setiap langkah hamba-Nya, selalu ada dosa yang mengiringinya. Bisa dibayangkan, jika dosa itu berwujud seperti karat, maka kita tidak akan mampu bergerak bahkan bernapas. Miliaran dosa kita sepanjang hidup, dan miliaran pula Tuhan mengampuni-Nya.
Tuhan ingin kita masuk ke surga-Nya. Karena surga yang suci hanya untuk mereka yang sudah disucikan. Maka dibersihkan-Nya lah kita dari setiap kotoran2 yg menumpuk di tubuh kita. Proses pembersihannya tentu sakit, ibarat tubuh ini dibersihkan dari karat tebal dengan sikat besi.
Tidak ada manusia yang tidak berteriak pada situasi pembersihan jiwa ini. Yang beriman, tentu berteriak pada setiap ibadahnya dengan airmata yang bercucuran deras. Yang tidak, cenderung mengumpat, mengeluh, putus asa, dada sesak dan semua hal yang malah menembah bebannya sendiri.
Rasa nyaman dalam hidup seharusnya menjadikan kita waspada. Jika seperti itu cara membersihkan dosa2, apakah semua kenyamanan yang kita terima sekarang ini bisa berarti Tuhan tidak sayang kepada kita ? Atau malah diitangguhkan, sehingga di alam kematian dosa kita yg tidak dibersihkan di dunia akan dibersihkan dgn lebih perih ?
Tuhan berfirman dalam sebuah hadis Qudsi: “Wahai hamba-Ku sayang! Demi keagungan dan kemuliaan-Ku, sesungguhnya Aku menginginkan kebaikan bagi setiap yang Aku sayangi. Tidak akan Aku matikan ia sebelum Aku mengampuni dosa-dosanya dengan penyakit, kesusahan, kerugian, atau kehilangan anggota keluarga. Dan jika masih ada dosanya yang tersisa, Aku akan beratkan sakratul mautnya. Hal ini Aku lakukan agar ia menjumpai-Ku dalam keadaan suci seperti bayi”. (Jami’us Sa’adat)
Ibarat secangkir kopi, kasih sayang dan keadilan Tuhan adalah air, yang mencampurkan pahit dan manis dan menjadikannya seimbang.
Kawanku sayang, kesulitan itu sejatinya kenikmatan, bagi mereka yang memahami-nya.
by : dennysiregar.fb

Selasa, 17 November 2015

Doa indian sioux


Doa Indian Sioux
Wahai Yang Maha Agung,
yang suara-Mu terdengar dalam angin berhembus
Engkau, yang nafas-Mu menjadikan bumi hidup
Dengarlah permohonanku
Hamba, satu dari ciptaan-Mu, menghadap Engkau
Hamba, yang kecil dan lemah
butuh kekuatan dan kebijaksanaan-Mu
Perjalankan hamba senantiasa dalam keindahan
Jadikan mataku tak pernah lupa indahnya lembayung surut mentari
Jadikan tanganku selalu menghargai apa yang telah Kau ciptakan
Jadikan telinga hamba tajam mendengar-Mu
Jadikan hamba bijak, agar hamba mengerti
ilmu yang kau ajarkan pada semua ciptaan-Mu:
Ilmu yang Engkau sematkan pada setiap helai dedaunan dan batu
Jadikan hamba kuat!
Bukan untuk bangga berjaya atas semua saudaraku,
tapi untuk bertarung
dengan lawan terbesarku:
Diriku sendiri
Jadikan hamba selalu siap untuk datang pada-Mu, dengan mata yang tegak memandang ke depan
Agar saat nafasku surut seperti terbenamnya matahari
Jiwaku bisa melangkah ke arah-Mu
tanpa merasa malu
Amin
: :
Do’a Suku Indian Sioux, terjemahan bahasa Inggris oleh Kepala Suku Yellow Lark (Lakota)
Diterjemahkan oleh Herry Mardian

Mengenang Jejak KH Ahmad Siradj Solo


Oleh : AJIE NAJMUDDIN
Selama ini, tokoh yang akrab dengan panggilan Mbah Siradj (baca : Siroj) dari Kota Solo, dikenal sebagai seorangwaliyullah yang memiliki berbagai kisah penuh karomah. Semisal, ia memiliki ilmu “melipat bumi”, sehingga perjalanan yang ia tempuh menjadi lebih singkat atau cerita tentang berbagai kekeramatan lainnya.
Namun, pada tulisan kali ini, sengaja penulis tidak paparkan berbagai kisah kekeramatan yang dimiliki Kiai Siradj, akan tetapi lebih pada kepribadian serta kisah perjuangannya, agar selalu dikenang dan dapat diteladani oleh para generasi sesudahnya.
Dari buku Mengenang Jejak Kyai Ahmad Siroj Sala (1989), diperoleh keterangan ayah Kiai Siradj bernama Kiai Umar atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Pura, salah seorang Waliyullah. Makam Kiai Imam Pura berada di Susukan, Kabupaten Semarang. Kiai Imam Pura ini bila ditarik lebih adalah memiliki garis keturunan dengan Sunan Hasan Munadi, salah seorang paman R. Fatah yang ditugaskan mengislamkan daerah lereng Gunung Merbabu sebelah utara, atau sekarang dikenal sebagai Desa Nyatnyono.
Selain Kiai Siraj, Kiai Imam Pura ini memiliki beberapa keturunan, di antaranya adalah Kyai Kholil yang bermukim di Kauman, Solo, dan Kyai Djuwaidi yang bertempat tinggal di Tengaran, Kabupaten Semarang.
Sosok yang Inklusif
Kiai Siradj dilahirkan pada tahun 1878 M. Secara fisik, penampilan Mbah Siradj cukup mudah untuk dikenali, sebab dalam sehari-hari maupun saat bepergian jauh, ia sering berpakaian khas dengan memakai iket (semacam kain batik yang digunakan untuk menutupi kepala), berbaju putih, bersarung ‘wulung’ dan memakai ‘gamparan’ tinggi.
Model pakaian ini agak mirip dengan pakaian yang dikenakan para ulama lain di lingkup Keraton Surakarta, semisal guru Mamba’ul Ulum yang memakai kain batik panjang, baju jas dengan leher tinggi (jas tutup) warna putih, dan memakai blangkon.
Namun, tidak hanya kekhasan dalam berpakaian semata, Mbah Siradj juga dikenal sebagai seorang ulama yang alim, bijaksana dan kharismatik. Setiap ucapannya, konon memiliki sejumlahsasmita (isyarat). Bahkan di wilayah Solo dan sekitarnya, banyak yang menyebutnya sebagai seorang Waliyullah, dengan ilmu dan beberapa karomah yang dimilikinya.
Salah satu cicit Mbah Siradj, Agus Taufik, menjelaskan kakek buyutnya dikenal banyak orang karena sosoknya yang inklusif, dan pendekatannya dalam menyebarkan agama Islam dengan cara humanis.
“Mbah Siradj tidak pernah membedakan agama atau suku saat bergaul. Ajaran beliau untuk mempersatukan umat dan pluralisme, mungkin mirip dengan ajaran Gus Dur,” jelasnya.
Bahkan, karena sifatnya yang sangat terbuka terhadap segala macam lapisan masyarakat ini, hingga sekarang setiap diperingati haulnya, seorang penjual bakso di Notosuman yang beragama Khatolik dan seorang Tionghoa, berkenan mengirim tiga kambing serta beberapa kuintal beras untuk menyukseskan acara haul tersebut.
Berawal dari Gedhek
Semasa muda, Kiai Siradj pernah berguru kepada sejumlah ulama besar. Di antaranya di Pesantren Mangunsari yang berada di Nganjuk, Jawa Timur, Siradj muda menimba ilmu kepada Kyai Bahri (ayah Kiai Ibnu Mundhir). Kemudian di Pesantren Tremas, ia berguru kepada K.H. Dimyati At-Tirmizi, dan di Semarang, ia menjadi santri Kiai Sholeh Darat.
Setelah menimba ilmu dari berbagai pesantren, ia kemudian mendirikan pesantren (kelak dikenal dengan nama Pesantren As-Siroj) di Jalan Honggowongso 57 Kelurahan Panularan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah di atas tanah seluas 200 m².
Di pesantren tersebut, Kiai Siradj mengajarkan berbagai pelajaran, antara lain Sullamut Taufiq, Safinatun-Najah, Duratul-bahiyyah dan Fathul Qorib.
Menurut penuturan dari keturunannya, salah satunya Mujab Shoimuri (74), mengungkapkan bangunan pondok dulunya hanya sebuah gedhek (rumah sederhana). “Bangunan ini, dibangun Mbah Siradj, pada awalnya hanya sebuah gedhek. Kemudian setelah Mbah Siraj wafat tahun 1961, pesantren diasuh oleh ayah saya Kiai Shoimuri,” kenang Mujab, kala penulis menyambanginya tahun 2014 lalu.
Pada zaman dulu, Pesantren As-Siraj sangatlah ramai, begitu pula dengan lingkungan di sekitar pesantren. Sebab, selain karena ketokohan Kiai Siraj, di sekitarnya juga terdapat berbagai lembaga pendidikan terkenal seperti Pesantren Jamsaren, Al-Islam, Mamba’ul Ulum dan lain sebagainya.
Mujab juga mengisahkan, ketika ia masih kecil ia bersama santri lainnya, mengikuti pelajaran yang diajarkan Mbah Siradj, yakni belajar membaca surah al-fatihah dan tasyahud.
“Sesudah KH Shoimuri wafat, pondok diasuh oleh adik saya, KH Mubin Shoimuri. Saat dipegang Mubin kemudian tempat ini dibangun rumah dan pondok yang bagus. Santri lambat laun juga bertambah banyak, kalau bulan puasa bahkan ada sekitar 200 santri yang ikut mengaji di sini. Semuanya dicukupi mulai dari makan, pakaian dan lain-lain,” terang dia.
Kiai Mubin, yang juga pernah mengemban amanah sebagai Ketua Tanfidziyah PCNU Surakarta 2003-2008, mengasuh pondok sampai akhirnya dia wafat pada tahun 2007.
Mbah Siradj juga dikenal khalayak sebagai seorang guru Thariqah Qadariyah Naqsabandiyah. Setiap hari, ia senantiasa istiqamah melaksanakan shalat berjamaah lima waktu dan shalat sunnah rawatib, yang selalu dijalankannya secara lengkap.
Doa yang banyak dipanjatkan olehnya adalah “Ya Allah, Tuhan kami, Engkaulah yang kami tuju dan ridha-Mu yang kami cari. Berilah kepada kami ridha-Mu dan kecintaan-Mu serta ma’rifat-Mu.”
Ikut Barisan Kiai
Saat masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia dari cengkraman penjajah, Mbah Siradj juga ikut berjuang dalam kelompok “Barisan Kiai”. Barisan Kiai yang dibentuk pada akhir tahun 1945 ini berisi para kiai sepuh, yang diharapkan nasihat-nasihatnya dalam peperangan juga untuk membakar semangat para pejuang. Beberapa dari mereka juga ada yang memanggul senjata, ikut berperang di front terdepan.
Ulama lain yang tergabung dalam Barisan Kiai ini antara lain KH R M Adnan, Kiai Abdurrahman, Kiai Ma’ruf Mangunwiyoto, Kiai Abdul Karim Tasyrif, Kiai Martoikoro, dan Kiai Amir Thohar.
Sebagai salah satu anggota Barisan Kiai, Mbah Siradj sering didatangkan di hadapan para pejuang Laskar Hizbullah untuk memberikan pengarahan dan penggembelengan, baik jasmani maupun rohani.
H. Abdullah Adnan, veteran pejuang RI eks Laskar Hizbullah dan pasukan “Lawa-Lawa”, mengenang pernah suatu ketika ia dan pasukan lainnya yang tergabung dalam Hizbullah berkumpul di Begalon Solo. Ketika itu, tentara Belanda sudah mulai memasuki Kota Solo untuk mengadakan Agresi Militer II tahun 1948.
Saat itulah, Mbah Siradj bersama anggota Barisan Kiai mengadakan inspeksi kepada pasukan Hizbullah yang berjumlah sekitar 50 orang. Tiba-tiba seorang anggota Hizbullah bernama Hayyun, 25 tahun, didekati lalu dipeluknya seraya berucap : “ahlul jannah … ahlul jannah!”.
Tak lama kemudian, datang tentara Belanda dengan sejumlah pasukan tank, lewat Pasar Kembang ke arah selatan. Hayyun maju dengan beraninya sendirian sambil membawa granat nanas, lalu dicabutnya dan melompat sambil melempar granat ke arah tank. Ketika tank meledak, terbakarlah tentara Belanda yang berada di dalam tank juga termasuk Hayyun, si pelempar granat tersebut.
Wariskan Perjuangan NU
Tidak banyak yang dapat diceritakan dari kisah perjuangan Mbah Siradj bersama NU, mengingat keterbatasan data dan narasumber. Namun, dari satu fakta penting yang penulis temukan pada catatan dari Kongres ke Kongres (Muktamar) Nahdlatul Ulama (NU), nama KH Siradj tercatat pernah mengikuti Kongres I NU yang diadakan pada bulan Rabi’ul Awwal 1345 H/ 21-23 September 1926 di Hotel Muslimin Peneleh Kota Surabaya. Ketika itu ia datang bersama KH Mawardi (ayah KH Chalid Mawardi) sebagai utusan golongan ulama muda dari Kota Solo.
Melalui fakta tersebut, dapat penulis asumsikan, pertama, sosok bernama lengkap KH Ahmad Siradj ini merupakan salah satu tokoh generasi pertama yang ikut mendirikan NU di lingkup daerah Karesidenan Surakarta, khususnya di Kota Solo.
Kedua, ini berarti NU di Kota Solo juga sudah ada sejak tahun 1926, tahun awal berdirinya NU, meski baru dalam lingkup kecil. Sampai sekarang, Kota Solo sebagai sebuah kota pergerakan yang terdapat berbagai macam aliran ideologi, keberadaan NU di daerah itu, tentu menjadi pilihan warna dan wadah tersendiri bagi para kaum santri.
Perjuangan Mbah Siradj bersama NU kemudian diteruskan oleh anak keturunannya hingga sekarang. Semisal puteranya yang bernama KH Shoimuri (wafat tahun 1983) pernah menjadi Rais Syuriyah PCNU Boyolali. Kemudian dilanjutkan oleh para cucunya antara lain KH Tamam Shoimuri (Rais Syuriyah PCNU Boyolali/ wafat tahun 2014), KH Mubin Shoimuri (Ketua PCNU Surakarta/ wafat tahun 2007), KH Makin Shoimuri (Pengasuh Pesantren Putri Raudhatut Thalibin Leteh Rembang), Nyai Hj. Basyiroh Shoimuri (Ketua PP IPPNU periode kedua) dan lain sebagainya.
Kabar Kematian
Menjelang kematiannya, Mbah Siradj hadir dalam mimpi beberapa sahabatnya, antara lain KH Zaenal Makarim (Karang Gede).
“Mengapa saya sakit tak kau jenguk?” Tanya Mbah Siradj kepada KH Zaenal Makarim dalam mimpi.
Terperanjatlah Kiai Zaenal Makarim, lalu seketika beliau berangkat ke Solo untuk menjenguk Kyai Ahmad Siroj. Sesampai di Solo, ternyata jenazah telah diberangkatkan sampai di Jalan Rajiman, Kadipolo.
Kejadian serupa juga dialami oleh Habib Abdullah di Kepatihan, Solo. Pada pagi hari itu, ia bermimpi didatangi Mbah Siradj, dan membangunkannya seraya berucap : “Sampun nggih Bib, kula rumiyin, sampeyan kantun.” (Sudah ya, Bib! saya duluan, anda menyusul).
Alangkah terkejutnya Sang Habib. Seketika itu pula, Sayyid Abdullah pergi ke Panularan di mana rumah Kyai Ahmad Siroj. Ternyata dapat berita, bahwa Kyai Ahmad Siroj telah meninggal dunia pada pukul 04.00 pagi hari itu.
Kyai Ahmad Siroj wafat pada hari Senin Pahing, 27 Muharram 1381 H atau 10 Juni 1961 M. Jenazahnya dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Makam Haji, Kartasura, Sukoharjo.
(Ajie Najmuddin)
Daftar Pustaka :
    Hakim, Adnan. 1989. Mengenang Jejak Kyai Ahmad Siroj Sala. Solo: Pesantren As-Siroj.
    Aboebakar, Atjeh. Sejarah Hidup KH A Wahid Hasjim. Jombang: Pesantren Tebuireng.
    Abdul Basit, Adnan. 2003. Prof. KHR Mohammad Adnan, Untuk Islam dan Indonesia. Solo: Yayasan Mardikontoko Surakarta.

    NOMOR 2

    Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...