Kamis, 24 Desember 2009

Dengan rahmat-Mu, Kau kuakkan Fajar Ketiadaan

Kemarin jam 15:53
By. Mas Kumitir

luthfe- tuu nagufteye maa mii syunuud
(Matsnawi, I, hlm. 602)
kelembutan - Mu menjawab doa-doa diam kami

Konon, bahkan belum ada ruang maupun waktu apa - pun. Zat - Nya sendiri. Ia - pun sedih karena kesendirian - Nya. Tapi karena Zat - Nya adalah Wujud Mutlak Tiada Berbatas. Benar- benar tak ada apa - pun selain Zat - Nya.


Pembatas dari Zat - Nya adalah ketiadaan mutlak. Dan sungguh ketiadaan mutlak benar - benar tak punya bahkan potensi apa-pun untuk membatasi dalam arti apa-pun.

Maka Ia menyaksikan ke-Esa-an Wujud - Nya dengan Wujud - Nya sendiri. Dan bukankah Ia disebut sebagai Yaa Munfarid.

Maka dengan Kelembutan - Nya, didengarlah potensi - potensi yang maha tersembunyi dalam palung - palung tergelap ketiadaan. Itulah doa-doa diam kita yang masih merintih - rintih dalam ketiadaan. Dalam kegelapan.

Siapakah yang merintih, siapakah yang berdoa, siapakah potensi - potensi itu? Tiada lain adalah Nama - Nama dari diri - Nya sendiri yang merintih kesakitan, kerna ingin dikenali. Sebagian orang menyebutnya sebagai a’yaanuts-tsaabit (bakat-bakat yang tetap). Sebagian orang menyebutnya sebagai Idea. Sebagian orang menyebutnya sebagai archetype.

Nama-Nama, a’yaanuts-tsaabit, idea, archetype, tidak mempunyai Wujud Mutlak. Maka, Ia dengan Wujud-Nya mengecup Nama-Nama - Nya sendiri, kun fayakun. Jadilah, maka jadilah ia.

Maka dikatakan dalam sebuah hadits qudsi, “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin dikenali. Karena itu Aku ciptakan makhluk-makhluk, agar aku dikenali di dalam makhluk-makhluk tersebut.”

Maha Suci Zat-Nya dari semua apa yang kita sifatkan! Makhluk - nya tidaklah ‘ada’ melainkan hanya bak bayangan fatamorgana. Makhluk - nya, - apakah ruang, waktu dan segala alam yang maujud-, hanyalah khayalan. Hanyalah Nama - Nama dari Zat yang Satu.

Wahai Yang Maha Sendiri dalam Ke-Tunggalan-Nya, telah kaudengarkan doa-doa diam kami dalam ketiadaan dan kausentuh kami dalam ketiadaan dengan Wujud - Mu Yang Maha Cantik. Maka, kini ke-Cantik-an dan ke-Indah-an Wujud - Mu mengalir, dan dadaku dipenuhi airmata darah kerinduan atas Wujud - Mu. Wahai Yang Maha Ada, kaucicipkan manisnya Wujud-Mu pada ‘bayangan ketiadaan’ ini, maka apatah setrilyun lidahku yang tertekuk mampu mengungkap manisnya Syukurku, sedangkan Engkau sendirilah Yaa Syakuur.

Maka ada - lah berjuta hikmah yang terlantunkan dari doa Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib (k.w.), Allohumma yaa man dala’a lisaanash-shobaahi bi nuthqi tabaljih. Wa saro’a qitho’al-lailil-muzhlimi bighoyaahibi talajlujih. Wa atqona sun’al falaqid dawwaari fiya maqoodiiri tabarrujih, wasya’sya’a dhiyaa`asy-syamsi binuuri ta`ajjujih. Yaa man dalla ‘ala dzaatihi bidzaatihi,..... (Doa Ash-Shobah). Diumpamakan dalam doa ini betapa Ia memotong-motong kegelapan malam (baca ; ketiadaan), dan menggantinya dengan terangnya matahari (baca; Cahaya Wujud-Nya), membuat segala yang ada Gemilang dalam Samudra Wujud-Nya, Samudra Ke-Tunggalan Zat-Nya.

Subhanallooh, Yaa Allah , dengan Rahmat - Mu telah kaukuakkan fajar ketiadaan ke dalam Kegemilangan Kesempurnaan Zat-Mu Yang Esa. Kasihanilah tetesan airmata hambamu, - bayangan ketiadaan yang telah kaukasihani ini-, dan rahmatilah ia menuju menatap Wajah - Mu Yang Esa.

Kasihanilah hambamu yang mahamiskin dan mahahina ini, - yang bahkan tak mempunyai wujudnya sendiri ini-, Duhai Pemilik Segenap Keindahan dan Kemuliaan. Dengan berkah Sholawat pada Muhammad dan keluarganya.

wallahu a’lam bish-showwab

Rabu, 23 Desember 2009

Mengintip malam ke-20, penganten Syeh Amongrogo

By. Serat Centini

“Duhai adinda, kekasihku denayu niken Tambangraras……” suara Syeh Amongraga begitu berwibawa. “Ketahuilah bahwa siapa yang selalu istiqomah mengingat-ingat mati dalam kehidupan ini, maka dialah yang akan bisa merasakan “mati dalam hidup”. Bahwa hidup ini hanya sementara, fana, mampir ngombe, dan hidup akan berakhir menuju pada Gusti Allah.

Untuk memulai hidup yang baru, yang abadi, kekal bersama-Nya. Dan karena itu kita mempersiapkanya di dunia ini dengan laku kebajikan, mematikan segala nafsu keburukan yang merusak jiwa. Itulah hidup yang terbebaskan, hidup yang mulia. Kematian akan menjadikanya menyatu dengan-Nya.
(malam ke-20 dari pernikahan Syeh Amongraga dg Denayu Niken Tambangraras dalam kesaksian Niken Centini)

Pengetahuan ontologis, dari mana kita berasal (sangkan paraning dumadi) menjadi pengetahuan awal bagi manusia untuk kemudian menetapkan tujuan sebagai akhir perjalanan (pengetahuan epistimologis). Diantara keduanya meniscayakan adanya penghubung (shirot), dari awal bermula hingga akhir yang dituju yaitu disebut dengan yang “diutus”.

Illahi qolbi mahjub, wanafsii ma’yub, wa ‘aqli maghlub, wa hawaa’ii gholib.
Waf’al bi maa anta ahluh ya kariim.
(Illahi, hatiku tertutup tabir, jiwaku fakir, akalku terkalahkan, hawa nafsuku mendominasi, oleh itu lakukan apapun yg Kau kehendaki karena Engkau Ahlianya wahai yg Maha Mulia).


Rabu, 02 Desember 2009

Ke-faQiran Ruhani (3)

By. Mas Kumitir
01 November 2009 jam 19:29

MANIK-MANIK DOA ASMARA,


Dalam sebuah riwayat Allah memesankan kepada Musa a.s.: “Wahai Musa, Kosongkanlah hatimu untuk diisi cinta-Ku. Karena Aku menjadikan hatimu medan cinta-Ku. Aku lapangkan bumi di dalam hatimu dari makrifat - Ku. Aku membangun matahari dengan kerinduan - Ku. Aku menyempurnakan bulan dengan kecintaan - Ku. Aku jadikan di hatimu penglihatan dari tafakur. Aku memperdengarkan angin di hatimu dari taufik - Ku. Aku menurunkan hujan di hatimu dari karunia - Ku. Aku menumbuhkan di hatimu pepohonan dari ketaatan-Ku. Aku meletakkan gunung di hatimu dari keyakinan - Ku.

Dan apakah hati (al-qalb) yang kosong itu? Tidak berisi. Tidak berisi pengetahuan apa pun. Tidak berisi persepsi apa pun. Tidak berisi keyakinan apa pun. Tidak berisi bersitan - bersitan imajinasi apa pun. Tidak berisi intellegebles apa pun. Kosong. Titik nol.



Betapa mungkin ? Bukankah pada hakikatnya seluruh pengetahuan kita bersifat mungkin, dan tidaklah mungkin kita memestikan kebenaran pengetahuan kita selama pembenarnya (yaitu indera, persepsi dalam arti luas) masih bersifat mungkin. Bukankah pada hakikatnya seluruh persepsi kita bersifat relatif, - menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain-, yang tentu tidak mempunyai landasan kebenaran pada persepsi sebagaimana persepsi itu sendiri? Apa lagi bersitan - bersitan imajinasi.

Meminjam istilah Shadra`iyyiin, bahkan seluruh wujud kita adalah hanya dan hanyalah wujud kopulatif , yang meng-ada secara relatif, - karena hubungan imajinatif satu sama lain-, dalam lautan gradasi wujud murni tiada batas ini ? Sehingga semestinyalah kita menyadari , bahwa kita secara wujudiyyah relatif, subyektif, imajinatif, gelap, bodoh dan kosong dari semua pengetahuan. Meminjam istilah anti-Descartesian, “ Aku berfikir, maka aku tidak ada”.

Atau kembali mengingat kata - kata agung Syaikh Suhrawardi Al-Maqtul (q.s.);
"Ke arah manakah jalannya?" tanyaku."Ke arah mana pun kamu pergi, " katanya. "Kalau kamu pergi, kamu akan sampai.""Apakah tandanya kegelapan itu?." tanyaku "Kehitaman," katanya. " Dan kamu sendiri berada dalam Kegelapan tapi kamu tidak mengetahuinya. Orang yang pergi, ketika menyadari dirinya berada dalam kegelapan, mengetahui bahwa dia berada dalam kegelapan sebelum itu, dan bahwa dia tidak pernah melihat cahaya.

Pada keadaan titik nol ini, maka hati secara otomatis akan berbunga-kesturi wangi dengan Cinta kepada Tuhan. Dan Tuhan-lah yang akan menjadi Sang Maha Wangi ! Mekar di hati. Semerbak rancak. Menyala , menjadi cahaya dan biji mata. Menjadi satu-satunya yang dikenang dan mengenang. Menjadi satu-satunya yang melihat dan dilihat. Menjadi satu-satunya Pengetahuan dan Yang Diketahui. Menjadi satu-satunya makrifat dan yang memakrifati. Meletakkan gunung keyakinan dari keyakinan - Nya. Dan adakah yang lebih baik dari itu? Maka pada saat itu mungkin hamba itu akan benar - benar menyadari bahwa Allah adalah Cahaya Langit dan Bumi. Dan, Allah adalah wali orang - orang beriman yang mengeluarkannya dari kegelapan menuju cahaya Atau, Tuhanku, jika tak kaudahului aku dengan kebaikan taufik - Mu maka siapakah yang akan menghantarkan aku menuju jalan yang terang ?

Maka mari kita akhiri majlis kita dengan salah satu dari doa Al-Ma’shumin (a.s.); “ Jadikan kami di antara orang yang Kau kosongkan dirinya untuk diri-Mu. Yang Kau ikhlaskan untuk memperoleh cinta dan kasih-Mu. Yang kau bersihkan hatinya untuk diisi cinta-Mu. yang Kau putuskan dari padanya segala sesuatu yang memutuskan hubungan dengan-Mu.”

wallohu a’lam bish-showwab


Ke-faQiran Ruhani (2)

By. Mas Kumitir
16 Oktober 2009 jam 17:03

Hud-hud melanjutkan; “Terakhir dari semua itu menyusul. Lembah Keterampasan dan Kematian. Lembah ini ialah kelupaan, kebutaan, ketulian dan kebingungan; seratus bayang-bayang yang melingkungimu menghilang dalam sepancar sinar surya samawi. Bila lautan kemaharayaan mulai bergelora, pola pada permukaannya opun kehilangan bentuknya, dan pola ini tak lain dari dunia kini dan dunia nanti. Siapa yang menyatakan bahwa dirinya tak ada mendapat keutamaan besar? Titik air yang menjadi bagian dari lautan raya ini akan tetap tinggal di sana selamanya dan dalam kedamaian. Di laut yang tenang ini, kita pada mulanya hanya akan mengalami kehinaan dan keterbuangan; tetapi setelah terangkat dari keadaan ini , kita akan memahaminya sebagai penciptaan, dan banyak kerahasiaan akan tersingkap bagi diri kita.
Banyak makhluk telah salah mengambil langkah pertama dan karena itu, tak dapat mengambil langkah kedua- mereka hanya sebanding dengan barang-barang tambang. ... (Musyawarah Burung, Fariduddin Attar Naisapuri)


Betapa mungkin orang banyak memahami bahwa hakikat Cahaya ada di dalam kehidupan? Dan betapa mungkin diuraikan dengan kata bahwa hakikat dzikr ada di dalam kelupaan? Hakikat penglihatan (bashiroh) ada dalam kebutaan? Hakikat pendengaran ada dalam ketulian? Dan hakikat pengetahuan ada di dalam kebingungan?

Wujud murni, - yaitu Hakikat Zat Tuhan-, benar-benar tak bisa dibandingkan dengan apa - pun, laisa kamitslihi syai`an , hingga tidak ada kategori, alegori, deskripsi, narasi, imajinasi , ..., apa pun yang mampu memerikannya. Maka hakikat pengetahuan tentang-Nya adalah kebingungan tentang-Nya. Tak mungkin pula Ia dapat diingat sebagaimana Ada-Nya, maka hakikat dzikr pada-Nya adalah kelupaan atas - Nya. Betapa mungkin pula ada penglihatan atas - Nya kecuali senantiasa dalam kebutaan mutlak yang gelap pekat. Dan betapa mungkin pula mendengar -Nya kecuali senantiasa dalam ketulian mutlak yang sepi tiada tara?

Bukankah Tuhan, - yaitu wujud an sich -, adalah realitas (syai`iyyah) dari segala sesuatu, sehingga adalah kemestian ( bukan hanya keharusan) manusiawi - lah kelupaan, kebutaan, ketulian dan kebingungan atas segala sesuatu.

Kefakiran (al-faqr ) ruhani, - yaitu kepapan, ketakpunyaan amal dan kualitas batin, kebutaan, kegelapan, kebusukan , kegelapan, kesesatan, kezaliman, kehinaan, keterhinaan, ketulian, kebodohan - adalah langkah pertama. Perhatikan rintihan Imam 'Ali bin Abi Thalib (a.s.) dalam doa Kumailnya berikut; "Irham mar-ro`su maalihir-rojaa`, wa silaahuhul bukaa`." "Kasihilah yang tak punya apa-apa kecuali harapan, dan senjatanya hanyalah tangisan." Atau dalam bait lain; "Wa qod ataituka yaa ilaahii ba'da taqshiirii wairoofii 'alaa nafsii. mu'tadziron-naadima,, munkasiron mustaqiila, mustaghfiron muniibaa muqirron mudz'inan mu'tarifaa " " Dan aku datang kini menghadap - Mu, Yaa Ilahi, dengan segala kekuranganku, dengan segala kedurhakaanku (pelanggaranku), sambil menyampaikan pengakuan dan penyesalanku, dengan hati yang hancur lulurh, memohon ampun dan berserah diri, dengan rendah hati mengakui segala kenistaanku." Atau pula ucapan beliau (a.s.); " Barangsiapa mencintai kami, Ahl Al-Bayt, hendaknya ia menyiapkan baju kemiskinan bagi dirinya !" hendaknya ia menyiapkan baju kemiskinan bagi dirinya !"

Seorang penyair berkata;
segelas es menjadi manis tatkala melewati kerongkongan haus
setitik lilin menjadi terang tatkala melewati lorong -lorong gulita
Kehidupan menjadi mata air segar tatkala melewati hati-hati nan telah aus
Tuhan menjadi Cahaya Mata bagi orang-orang nan telah buta

hakikat seekor kambing adalah sebagai sembelihan, bagi Adam
hakikat seekor kecoak adalah hewan menjijikkan , bagi Adam
hakikat seorang hamba adalah sebagai kegelapan, bagi Cahaya Tuhan
hakikat seorang hamba adalah sebagai kenistaan, bagi Agung Tuhan

sebagaimana seorang pelacur
hakikatnya adalah perzinahan
aku-lah sang maha pelacur
batinku adalah perzinahan

sucilah kau Tuhan, dari lisanku
sucilah kau Tuhan, dari gerak hatiku
karena hatiku selalu berzinah, sedang kau Agung Sendirian
karena hatiku selalu bernanah, sedang kaulah Kesturi Asmara

Pada waktu Suhrawardi dalam "Hikayat-Hikayat Mistisnya" bercerita tentang Mata Air Kehidupan, diberikan sebuah dialog berikut ini;
" Temukanlah mata air kehidupan, " jawabnya. " Dan kucurkan dari mata air itu ke seluruh kepalamu, sehingga baju baja itu dapat lolos dari tubuhmu, dan kamu terhindar dari tebasan pedang, sebab air itu dapat membuat baju bajamu lepas. Jika sudah lepas, maka tebasan pedang akan terasa ringan."
" Di manakah mata air kehidupan itu?" tanyaku.
"Dalam kegelapanm," katanya. " Jika kamu mencarinya, talikanlah sepatumu sebagaimana Khidir, dan ambillah jalan kepercayaan agar kamu dapat sampai ke kegelapan."
"Ke arah manakah jalannya?" tanyaku.
"Ke arah mana pun kamu pergi, " katanya. "Kalau kamu pergi, kamu akan sampai."
"Apakah tandanya kegelapan itu?." tanyaku
"Kehitaman," katanya. " Dan kamu sendiri berada dalam Kegelapan tapi kamu tidak mengetahuinya. Orang yang pergi, ketika menyadari dirinya berada dalam kegelapan, mengetahui bahwa dia berada dalalam kegelapan sebelum itu, dan bahwa dia tidak pernah melihat cahaya. Maka langkah pertama bagi mereka yang hendak pergi adalah ini, dan dari sini dia dapat melangkah maju. Nah, jika orang itu telah mencapai tahap ini, dia akan dapat melanjutkannya dari situ. Seorang pencari mata air kehidupan harus banyak berkelana dulu di dalam kegelapan. Jika dia pantas mendapatkan mata air itu, pada akhirnya dia akan meliahat cahaya setelah kegelapan. Maka dia tidak perlu mengikuti cahaya itu, sebab asalnya dari surga, dan ia berada di atas mata air kehidupan. Jika dia berpergian dan mandi di dalam mata air itu, maka dia akan selamat dari tebasan pedang Balarak.

wallahu a'lam bish-showwab


ke-faQiran ruhani(1)

By. Mas Kumitir
10 Oktober 2009 jam 22:59


Demi Allah, andaikata hatimu mencair seluruhnya, matamu mengalirkan air mata darah karena rindu atau takut kepada-Nya, dan kamu juga diperkenankan tinggal selama dunia ini maujud, maka amalmu takkan dapat membayar kemurahan-Nya yang besar serta tuntunan-Nya dalam keimananmu.

(Kutipan dari Khotbah 52, Nahjul Balaghah, Imam ‘Ali bin Abi Thalib (k.w.))

Adakah ungkapan yang lebih indah tentang kefakiran-esensial ruhani kita, - baik itu adalah hati yang telah mencair, mata yang telah mengalirkan airmata darah karena rindu atau takut kepada-Nya-, dalam membayar kemurahan-Nya dan hidayah- Nya? Bukankah Qur’an Suci mengatakan; “Allah Maha Kaya dan kamu semua miskin (fuqaraa`)”



Ia, wujud murni, yang bebas dari semua penyifatan, terbebaskan dari seluruh kebutuhan. Ia-lah yang Maha Kaya dan Terpuji (al-ghoniyyul-hamiid). Sedangkan esensi seorang manusia, hanyalah fakir-miskin, peminta-minta yang senantiasa meraung - raung kesakitan dalam kehinaan serta bergeletar tangannya mengetuk-ngetuk pintu rahmat-Nya....wa ana ‘abdukadh-dho`iifudz-dzaliilul-haqiirul-miskiinul-mustakiin Bukankah esensi kita hanyalah potensi - potensi yang tenggelam dalam palung ketiadaan mutlak yang senantiasa menanti pelukan Ia, Sang Maha Wujud, sehingga terasalah aliran Kenikmatan dan Keindahan wujud manakala Ia mengecup kita dengan rahmat-Nya?

Diriwayatkan bahwa telah bersabda Rasulullah (S.A.W.): “ Kemiskinan ruhani adalah kebanggaanku” (“al-faqru fakhriy”) Dan apakah kemiskinan? Adalah ke-papa-an, ke-takpunya-an, ke-gelap-an, ke-takcahaya-an, ke-hina-an, ke-terhina-an. Sungguh bagi para faqiir, tak ada apa-pun yang patut dibawa dan ditunjukkan kehadapan -Nya kelak kecuali ke-papa-an dan ke-terhinaan-nya ini! Dan lidah mereka pun senantiasa bergeletaran dengan guman puja dan puji kepada - Nya , Yang Maha Kaya Tiada Tara, Yang Maha Cantik Tiada Terkata, Yang Maha Sempurna dan senantiasa Sendiri dalam ‘Izzah dan Kesempurnaannya. Sungguh Ia benar-benar Maha Kaya lagi Terpuji. Alhamdu lil-laahi robbil-’aalamiin.

Saya teringat sebuah adengan yang mengharukan dalam film kartun “Huchback of Notredame” ketika Esmeralda, - seorang wanita gipsy - terdampar di gereja Notre Dame yang agung. Terdapat sebuah acara doa di gereja besar tersebut. Orang-orang berdoa meminta kemakmuran, meminta harta, meminta kesuksesan dan keagungan. Sedang Esmeralda menyapa Maria lembut, “Aku tak tahu apakah orang se-hina aku ini patut menyapa-mu dan meminta pada Tuhan-mu, dan aku - pun yakin sepenuhnya akan kehinaanku. Maka, aku tak - kan minta apa - apa kepada Tuhan. Tuhan, lakukan apa saja sesuka - mu . lakukan apa saja yang Engkau Kehendaki. Maha Agung Engkau Yang Maha Mewujudkan segala - nya sesempurnanya.”

Sebagian orang beribadah untuk mendapatkan dunia, rizki, kemakmuran dan ketenangan hidup di dalamnya. Sebagian orang beribadah untuk mendapatkan akhirat, bidadari, kekekalan kenikmatan yang ada di dalamnya. Sebagian orang lagi tak menginginkan dunia dan akhirat, namun hanya - lah menginginkan Ridho dan Wajah - Nya. Tapi ada sebagian orang, - yang demikian papa dan papa-, tenggelam dalam kehinaan kemiskinannya. Ia terpaku di sajadah nya, beserta butiran-butiran air mata serta jantung nan berdetak berdegupan. Tak mengucapkan apa pun di depan Hadhirat Tuhan - Nya, melainkan ilaahii qolbii mahjuub, wanafsii ma’yuub, wa’aqli maghluub, wa hawaa`ii ghoolib (Tuhanku hatiku bertabir, jiwaku berkekurangan, akalku terkalahkan dan hawa nafsuku telah memenagkan) ......, dan ia sadar akan ke-miskinan ruhani-nya yang teramat kronis dan fatal hingga mengotori seluruh doa dan tasbihnya....., maka ia ucapkan waf’al bi maa anta ahluh yaa kariim (lakukan apa yang Kau adalah ahlinya Wahai Yang Maha Mulia)..... walhamdulillaahi robbil ‘aalamiin.

Bukankah Lao Tsu telah berkata

Betapa pun kuatnya seorang laki-laki, bila ia tetap menyadari kelembutan wanita, ia akan puas walau harus menempati kedudukan yang terendah di dunia
Bila ia puas dengan kedudukan yang terendah di dunia selalu menyadari jati dirinya, ia memiliki kemurnian seperti bayi yang baru dilahirkan
Bila seorang laki-laki yang murni, tidak menolak ketidakmurnian lingkungannya, maka ia akan puas tinggal di tempat yang sangat rendah
Bila ia merasa puas tinggal di tempat yang terendah di dunia, dan selalu menyadari jati dirinya, ia akan kembali ke kesederhanaan alam
Bila seorang laki-laki yang menyadari daya tarik status, tapi puas dengan ketidakpedulian, ia akan menjadi lemah bagi segala makhluk di bumi
Berada dalam lembah dunia, ia akan kekal dalam kebaikannya. Ia kembali ke alam Tao.

Akhirul-kalam marilah kita renungi bersama untaian kata berikut ini ; Kegelapan adalah Cahaya dari Zat. Di dalamnya adalah air kehidupan.

wallohu a’lam bish-showwab.

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...