Senin, 25 Februari 2013

Cara Membuat Jus Manggis



Cara membuat jus kulit manggis -  Pada kesempatan ini saya akan menukis artikel Cara membuat jus kulit manggis untuk pengobatan, karena kandungan antioksidan yang terdapat di kulit manggis sangat begitu besar.Telah di teliti oleh para ilmuwan bahwa kandungan yang terdapat di dalam kulit manggis ini mencapai 123.97 mg per 100 ml. Buah manggis ini mendapat julukan ratu dari segala buah (Quin of the fruit). Dasar rujukan ilmiah dari resep ini berdasarkan artikel yang dimuat oleh Majalah Trubus No.503, Edisi Oktober 2011.



Cara membuatnya :
Bahan-bahan cara membuat jus kulit manggis:
  • 1 buah manggis.
  • Madu
  • Gula rendah kalori, atau gula aren.
  • 1 gelas air matang.
  • Siapkan 1 buah manggis yang bagus, sudah matang, dengan ukuran sedang sampai besar.
  • Pilih yang kulitnya paling bersih, dan bebas dari getah2 kuning khas manggis.
  • Buanglah kelopak manggis (yang berwarna hijau) yang berada di pangkal buah manggis tempat batang manggis tsb.
  • Cuci bersih buah manggis tsb, utk menghilangkan kotoran dan noda2 yang yg menempel pada kulit manggis.
  • Jika anda mau, anda boleh mengupas (tipis-tipis saja) kulit luar manggis yang keras itu dan membuangnya.
  • Siapkan blender, atau alat pembuat jus.
  • Bukalah manggis dengan tangan sehingga pecah merekah.
Walaupun ini namanya “Jus Kulit Manggis”  tapi bukan kulitnya saja yang di jus tapi semuanya termasuk bijinya.
Jadi, masukkan semua daging manggis (yg berwarna putih sekalian biji manggis di dalamnya) kedalam wadah blender.
  • Potong-potonglah kulit manggis (daging kulit), boleh dengan pisau, atau boleh dengan menyobek2nya, dan masukkan juga kedalam wadah blender.
  • Tambahkan 4-5 sendok makan madu, dan air matang sebanyak 1 gelas (350-400 cc). Nantinya jika kurang manis, boleh ditambahkan madu secukupnya atau gula aren atau gula rendah kalori (Tropicana Slim) sesuai selera.
  • Blenderlah manggis beserta kulit (daging kulit), dan bijinya tsb sampai benar-benar halus (sekitar 3 – 4 menit).
Jus kulit manggis telah siap.
  • Simpanlah dalam wadah yang bisa di tutup rapat, bisa botol, atau wadah Tupperware, dan simpan di lemari es.
Aturan pakai :
3 x sehari, @3-4 sendok makan (40cc) setelah makan.
Catatan : setelah selesai cara membuat jus kulit manggis:
  • Jus ini rasanya tidak enak. Untuk merubah rasanya agar lebih enak, silahkan berimprovisasi dengan menambahkan 1 sendok teh cuka rosella, atau cuka apel, atau setengah buah apel, atau 8 buah buah anggur, atau perasan jeruk lemon dll.
(Tapi kalau saya pribadi, tidak ada masalah dengan rasa jus yg tidak enak ini) Dan jika anda ingin berimprovisasi, maka pikirkan agar bahan-bahan tambahan yang anda campurkan, tidak merusak rasa asli dan khasiat dari kulit manggis itu sendiri.jangan mematok dengan cara membuat jus kulit manggis ini saja
  •  Permukaan atas jus ini akan menghitam jika terkena udara, ini tidak ada masalah, tidak perlu dibuang lapisan yang menghitam ini.
  •  Tidak disarankan untuk dikonsumsi dalam keadaan perut kosong.
  •  Pada awal pemakaian, perut terasa tidak enak. Maka tidak usah kuatir. Ini biasa, sebab ada reaksi tindak balas utuk pertama kali dari tubuh terhadap kandungan zat dalam jus ini.
Untuk pemakaian berikutnya, rasa tidak enak ini akan hilang dengan sendirinya (at least, ini yang saya alami).
Dalam 2-3 hari pemakaian, efek pengobatan dari jus ini akan membuahkan hasil secara nyata dan signifikan, baik sekali untuk pengobatan Jantung Koroner. 

Sumber :
http://www.minuman-sehat.com/khasiat-kulit-manggis-2/cara-membuat-jus-kulit-manggis.html

Jumat, 22 Februari 2013

Filsafat Sejarah Menurut Murtadha Muthahhari (bagian -2)



Gerak Sejarah
Jiwa dari teori-teori sejarah beranggapan bahwa sejarah itu merupakan suatu gerak yang tumbuh dan berkembang secara evolusi atau perubahan secara alami. Menurut Muthahhari, pengertian evolusi secara sederhana dapat diartikan sebagai kemajuan dan transformasi. Secara terminologi oleh sebagian orang diartikan sebagai suatu proses yang di dalamnya terdapat suatu proses pelipatgandaan bagian-bagian yang diikuti oleh pembagian yang ditandai oleh suatu gerakan dari homogenitas ke arah heterogenitas.
Dalam proses evolusi sejarah, peran manusia sangat menentukan sekali. Bahkan, manusia menjadi inti masalah dari gerak sejarah itu sendiri. Oleh karena manusia eksistensinya begitu kompleks, maka para sejarawan berbeda pendapat dalam menentukan gerak sejarah. Secara garis besar dan ringkas konsepsi gerak sejarah dapat diterangkan sebagai berikut.
  1. Pandangan sosial yang individualistis cenderung pada anggapan bahwa kerja individulah yang menggerakkan perkembangan umat manusia. Pendapat ini menitikberatkan pada karya pribadi yang menggerakkan atau mendorong gerak perkembangan masyarakat. Individu-individu yang berbuat dan berlaku serta mencipta kebudayaan, sedangkan masyarakat merupakan latar belakangnya dan bersifat abstrak.
  2. Gerak sejarah merupakan kesadaran umat manusia. Manusia adalah makhluk budaya. Pikiran dan kesadaran manusia berkembang dari tingkat yang bersahaja ke tingkat yang tinggi. Perkembangan pikiran dan kesatuan manusia ini menjadi tenaga penggerak kemajuan manusia.
  3. Pengaruh alam terhadap kehidupan manusia. Perbedaan antara kebudayaan dapat dilihat dari segi perbedaan tempat. Cara hidup ini membentuk corak kebudayaan. Gerak sejarah dipersamakan dengan gerak kebudayaan.
  4. Kekuatan penggerak sejarah berada dalam bangsa. Perbedaan ruhani ataupun watak di antara bangsa-bangsa menimbulkan perbedaan cara berpikir dan perasaan, begitu pula tingkah-laku dan perbuatan. Hasrat yang ada pada suatu bangsa menimbulkan daya cipta, hasrat untuk mengubah dan mengambil alih dari bangsa lain. Aliran ini membuka jalan bagi Cauvinisme.
  5. Teori evolusionisme atau Darwinisme. Darwin berpendapat bahwa setiap makhluk itu berkembang dan berubah secara alami dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang sempurna sesuai dengan alam lingkungannya. Proses perubahan ini adalah proses penyesuaian diri, baik yang bersifat ruhani maupun jasmaninya. Perubahan ini dapat diterapkan dalam perkembangan bangsa dan negara.
  6. Teori historis materialisme. Teori ini berdasarkan pada paham determinisme ekonomi. Gerak sejarah ditentukan oleh cara-cara menghasilkan barang untuk keperluan masyarakat. Cara produksi ini menentukan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang bertentangan satu sama lain. Tujuan gerak sejarah menurut paham ini adalah mewujudkan masyarakat tanpa pertentangan kelas.
Dari berbagai pendapat tentang gerak sejarah, Muthahhari memandang bahwa gerak sejarah dari arti active cause, yakni pemahaman tentang determinisme sejarah dan arti ideal cause, yakni pandangan tentang masa depan manusia. Bagi Muthahhari, determinisme sejarah dipahami dari dua makna yang saling terkait. Makna ini diambil dari ayat al-Qur’an surat [35]: 43 “ Maka engkau sekali- kali tidak akan mendapatkan pergantian di dalam sunnatullah ”, dan di dalam al-Qur’an surat [13]: 11 “ Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah diri mereka sendiri ”. Ayat pertama determinisme sejarah dipahami sebagai “undang-undang hidup manusia yang tidak berubah”. Ayat kedua determinisme sejarah dipahami bahwa “nasib perjalanan hidup manusia berhubungan dengan kondisi jiwa, pikiran, dan akhlak manusia itu sendiri”. Selagi semuanya belum berubah, maka mustahil keadaan mereka akan berubah.
Sementara itu, tentang pandangan masa depan manusia ada yang bersifat pesimis, optimis, atomistik, dan sosialis. Bagi Islam, masa depan manusia ditanggapi dengan dua sikap. Pertama, Islam tidak menganggap masa lalu dengan pesimis secara total. Kedua, Islam tidaklah demikian sinis terhadap watak manusia. Dengan kata lain, Islam memandang masa depan manusia dengan sikap optimisme
Pandangan masa depan ini sangat terkait dengan pemahaman hukum-hukum sejarah. Hukum- hukum sejarah memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan Kitab Allah dalam kedudukannya sebagai petunjuk suci yang akan mengantarkan manusia dari kegelapan menuju pada terangnya kebenaran.
Apabila pandangan tentang masa depan manusia dan hukum-hukum sejarah yang mengitari proses dinamika sejarah ini diambil makna esensialnya, maka akan terlihat secara jelas sifat-sifat dari gerak sejarah itu sendiri, yakni bersifat progresif. Hal ini disebabkan adanya kepercayaan yang tinggi kepada kebaikan esensial (fitrah) manusia. Meskipun demikian, kita tidak mampu menentukan bentuk fisik masa depan sejarah manusia.
Penggerak Sejarah
Di dalam al-Qur’an surat ar-Ra’du [13] ayat 11; “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi (objektif) suatu bangsa, hingga bangsa tersebut mau mengubah kondisi (subjektif) yang ada pada mereka sendiri ” menggambarkan bahwa manusia memainkan peran penting dalam gerak sejarah. Selain itu, dalam ayat tersebut juga tergambar hubungan kausalitas dalam hukum sejarah, yakni antara perubahan yang ada di dalam diri manusia dengan perubahan yang ada di luar manusia.
Konsepsi Islam dan al-Qur’an meyakini bahwa dua proses perubahan ini harus berjalan beriringan. Proses pembangunan manusia terhadap pribadi, semangat, dan pikirannya harus seiring dengan pembangunan fisik dan sosial budayanya. Jika pembangunan mental berjalan jauh di depan pembangunan fisik, maka yang akan terjadi adalah menara gading yang tidak berpondasi. Demikian pula sebaliknya, jika pembangunan fisik meninggalkan pembangunan mental, maka yang terjadi adalah istana megah yang kropos.
Penjelasan Muthahhari tentang peran manusia dalam menggerakkan sejarah tidak hanya bersifat umum, tetapi beliau menjelaskan secara lebih rinci terutama tentang kecenderungan yang dimiliki manusia. Penjelasan ini dimaksudkan untuk melawan pendapat kaum Marxis yang mengatakan bahwa kecenderungan pokok dalam diri manusia hanya satu jalan, yakni ekonomi  Muthahhari menyatakan bahwa Islam mengakui manusia pada hakikatnya lebih komitmen kepada keimanan dan ideologi daripada kepada kepentingan material yang cenderung buruk seperti kelemahan (Q.S. [4]: 20), sentimentalisme (Q.S. [11]: 9-11), sifat membangkang (Q.S. [18]: 54), dan tergesa-gesa (Q.S. [21]: 37).
Meskipun manusia memiliki seluruh kecenderungan ke arah nafsu, hal-hal inderawi, korupsi dan kejahatan, wujudnya (manusia) dianugerahi suatu percikan suci yang secara esensial menentang kejahatan, pertumpahan darah, kepalsuan, korupsi, kehinaan, degradasi, dan penghinaan serta penekanan dan kezaliman. Manusia memiliki kecenderungan kepada kesempurnaan.
Ada kecenderungan lain pada diri manusia selain dari kecenderungan pada perbuatan baik, yaitu kecenderungan untuk tetap hidup, menghilangkan rasa lapar, kecenderungan pada makanan dan kelezatan, kecenderungan seksual, kecenderungan pada seni dan keindahan, serta kecenderungan pada ilmu pengetahuan.
Kecenderungan yang beragam tersebut, menurut Muthahhari, semuanya dapat dijadikan sebagai motor penggerak. Alasannya, dalam realitas kehidupan manusia, segala macam bentuk pertentangan, perselisihan, dan tidak adanya keserasian bersumber dari satu kenyataan bahwa dalam diri manusia tidak hanya satu motor penggerak. Jika memang benar dalam masyarakat hanya ada satu motor penggerak, maka mustahil akan timbul segala macam bentuk pertentangan dan perselisihan dalam masyarakat. Penyebab paling mendasar bagi timbulnya pertentangan dan perselisihan karena berbagai naluri dalam diri manusia selalu berperang satu sama lain.
Penjelasan Muthahhari tentang manusia sebagai penggerak sejarah tidak hanya dilihat dari setting individual yang terpisah, melainkan juga dari sisi masyarakat. Muthahhari membedakan secara jelas tindakan individu dengan tindakan kolektif. Tindakan individu mengandung dua dimensi (sebab aktif dan sebab material), sedangkan tindakan kolektif mengandung tiga dimensi (sebab aktif, material, dan sebab akhir).
Penutup
Muthahhari dalam kajian sejarahnya lebih memfokuskan pada kajian yang bersifat filosofis. Kajian ini dimaksudkan untuk menampilkan filsafat sejarah perspektif al-Qur’an. Selain itu, kajiannya dimaksudkan untuk melawan pemikiran-pemikiran sejarah yang ada, khususnya Marxisme. Untuk membedakan filsafat sejarahnya dengan filsafat-filsafat sejarah yang ada, Muthahhari mengawali pembahasannya tentang sifat sejarah yang bukan hanya bersifat bendawi, melainkan bersifat non-bendawi dan suprabendawi. Sifat inilah yang menjadi dasar dalam pembahasan filsafat sejarah berikutnya, khususnya tentang tujuan sejarah, gerak sejarah, dan penggerak sejarah.
Daftar Pustaka
  • Algar, Hamid. 1985. The Roots of the Islamic Revolution. London: The Open Press.
  • Bagir, Haidar. 1988. Murthada Muthahhari, Sang Mujahid, Sang Mujtahid. Bandung: Yayasan Muthahhari.
  • Hugiono dan Poerwantara. 1992. Pengantar Ilmu Sejarah. Semarang: Rineka Cipta.
  • Kuntowijoyo. 1993. Paradigma Islam. Bandung: Mizan.
  • Muthahhari, Murthada. 1984. Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama. Bandung: Mizan.
  • _______, 1991. Menguak Masa Depan Manusia Suatu Pendekatan Filsafat Sejarah. Jakarta: Pustaka Hidayah.
  • _______, 1991. Kritik Islam terhadap Paham Materialisme. Jakarta: Risalah Masa.
  • _______. 1991. Falsafah Kenabian. Jakarta: Pustaka Hidayah.
  • ______. 1996. Islam dan Tantangan Zaman. Jakarta: Pustaka Hidayah.
  • Qutb, Muhammad. 1992. Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
  • Siddiqi, Mazheruddin. 1986. Konsep Qur’an tentang Sejarah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
  • Suryanegara, Ahmad Mansur. 1995.  Menemukan Sejarah. Bandung: Mizan.
  • Al-Sarqawi, Effat. 1981. Filsafat Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Hidayah. Shadr,
  • Muhammad Baqir. 1992. Tafsir Modern. Jakarta: Risalah Masa.
  • ____. 1993. Sejarah dalam Perspektif al-Qur’an Sebuah Analisis. Jakarta: Pustaka Hidayah.

Selasa, 19 Februari 2013

Filsafat Sejarah Menurut Murtadha Muthahhari (bagian -1)



Oleh; Abdul Basit. MA.  (Jurnal Ibda- jurnal studi islam dan budaya)
Sejarah berasal dari bahasa Arab “syajaratun” yang berarti pohon. Kata ini memberikan gambaran pendekatan ilmu sejarah yang lebih analogis karena memberikan gambaran pertumbuhan peradaban manusia dengan “pohon” yang tumbuh dari biji yang kecil menjadi pohon yang rindang dan berkesinambungan. Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran atau pesan-pesan sejarah di dalamnya memerlukan kemampuan pesan-pesan yang tersirat sebagai ibarat atau ibroh di dalamnya.
Menurut Muthahhari, ada tiga cara mendefinisikan sejarah dan ada tiga disiplin kesejarahan yang saling berkaitan, yaitu pertama, sejarah tradisional (tarikh naqli) adalah pengetahuan tentang kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan kemanusiaan di masa lampau dalam kaitannya dengan keadaan-keadaan masa kini. Kedua, sejarah ilmiah (tarikh ilmy), yaitu pengetahuan tentang hukum-hukum yang tampak menguasai kehidupan masa lampau yang diperoleh melalui pendekatan dan analisis atas peristiwa-peristiwa masa lampau. Ketiga, filsafat sejarah (tarikh falsafi), yaitu pengetahuan tentang perubahan-perubahan bertahap yang membawa masyarakat dari satu tahap ke tahap lain, ia membahas hukum-hukum yang menguasai perubahan-perubahan ini. Dengan kata lain, ia adalah ilmu tentang menjadi masyarakat, bukan tentang mewujudnya saja.
Pendapat lain tentang sejarah dikemukakan oleh Hugiono dan Poerwantara bahwa dalam penulisan sejarah perlu dibedakan terlebih dahulu antara sejarah dalam kerangka ilmiah, dan sejarah dalam kerangka filosofis. Sejarah dalam kerangka ilmiah adalah sejarah sebagai ilmu, artinya sejarah sebagai salah satu bidang ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa lampau beserta seluruh kejadian-kejadian, dengan maksud untuk menilai secara kritis seluruh hasil penelitian dan penyelidikan tersebut, untuk akhirnya dijadikan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah program masa depan.
Sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam pengertian sebagai filsafat sejarah. Filsafat sejarah mengandung dua spesialisasi. Pertama, sejarah yang berusaha untuk memastikan suatu tujuan umum yang mengurus dan menguasai semua kejadian dan seluruh jalannya sejarah. Usaha ini sudah dijalankan berabad-abad lamanya. Kedua, sejarah yang bertujuan untuk menguji serta menghargai metode ilmu sejarah dan kepastian dari kesimpulan-kesimpulannya.
Dalam kajian-kajian modern, filsafat sejarah menjadi suatu tema yang mengandung dua segi yang berbeda dari kajian tentang sejarah. Segi yang pertama berkenaan dengan kajian metodologi penelitian ilmu ini dari tujuan filosofis. Ringkasnya, dalam segi ini terkandung pengujian yang kritis atas metode sejarawan. Pengujian yang kritis ini termasuk dalam bidang kegiatan analitis dari filsafat, yakni kegiatan yang mewarnai pemikiran filosofis pada zaman modern dengan cara khususnya, di mana si pemikir menaruh perhatian untuk menganalisis apa yang bisa disebut dengan sarana-sarana intelektual manusia. Ia mempelajari tabiat pemikiran, hukum-hukum logika, keserasian dan hubungan-hubungan antara pikiran-pikiran manusia dengan kenyataan, tabiat, realitas, dan kelayakan metode yang dipergunakan dalam mengantarkan pada pengetahuan yang benar.
Dari segi yang lain, filsafat sejarah berupaya menemukan komposisi setiap ilmu pengetahuan dan pengalaman umum manusia. Di sini perhatian lebih diarahkan pada kesimpulan dan bukannya pada penelitian tentang metode atau sarana-sarana yang digunakan seperti yang digunakan dalam metode analitis filsafat. Dalam kegiatan konstruktif, filosof sejarah bisa mencari pendapat yang paling komprehensif yang bisa menjelaskan tentang makna hidup dan tujuannya.
Kritik Muthahhari terhadap Konsep Sejarah Kaum Marxis
Ada tiga hal yang dikritik oleh Muthahhari terhadap kaum marxisme, yaitu sifat sejarah, hukum sejarah, dan perkembangan sejarah. Menurut Muthahhari, sifat sejarah bukan hanya bersifat bendawi, melainkan ada wujud yang bersifat nonbendawi dan suprabendawi. Yang dimaksud dengan nonbendawi adalah keberadaan sejati manusia sebagai dirinya sendiri, sedangkan supra bendawi adalah apa yang ada di atas diri manusia.
Hukum sejarah yang dianut oleh kaum Marxis termuat dalam pandangannya tentang determinisme sejarah. Menurut kaum Marxis, hukum sejarah adalah menentukan, ttdak dapat diganggu gugat dan di luar kehendak manusia. Dengan kata lain, kaum Marxis memaknai hukum sejarah adalah hukum alam yang menggunakan prinsip kemestian sejarah.
Sementara itu, menurut Muthahhari, ada tiga bentuk hukum sejarah dari al-Qur’an. Pertama, hukum determinisme, yaitu hukum sejarah yang berjalan menurut hukum-hukum umum dan secara natural tidak bertentangan dengan kebiasaan di dalam alam. Teori ini merujuk kepada Al-Qur’an surat [35]: 43, [48]: 23, [17]: 77, [33]: 62, dan sebagainya. Kedua, hukum ketuhanan, yaitu hukum-hukum sejarah terikat dan terkait dengan Allah ( sunnatullah). Hukum ini bertujuan untuk mengikatkan manusia dengan Tuhannya dan manusia dapat mengambil manfaat dan meminta bantuan untuk menyempurnakan perkembangan sejarah. Hal itu sesungguhnya merupakan penampakan hukum Allah, kebaikan takdirnya, dan bangunan dalam perkembangan sejarah. Ketiga, hukum ikhtiar manusia. Hukum ini berkaitan dengan konsep al-bada’ (perubahan perjalanan hidup yang telah ditentukan). Maksudnya, Allah tidak menentukan bentuk yang pasti dan final bagi perjalanan sejarah manusia. Manusialah yang bertanggung jawab memenuhi ketentuan Tuhan, dapat memajukan atau menghentikan perjalanan sejarah.
Kritik ketiga dari Muthahhari terhadap kaum Marxis berkenaan dengan perkembangan sejarah.
Dalam pandangan Marx, keputusan manusia tidak dibuat oleh pilihan dan keinginan bebas manusia karena manusia kebanyakan dikuasai oleh kepentingan bebas. Oleh karena itu, keputusan-keputusan mereka yang menyangkut kehidupan masyarakat merupakan hasil dari kelas mereka. Sementara itu, Muthahhari mengakui adanya tahapan-tahapan perkembangan sejarah yang terus berproses menuju kesempurnaannya. Ia menjelaskan bahwa masalah perkembangan zaman adalah masalah yang tidak perlu diragukan lagi. Komunitas manusia mirip dengan kafilah yang terus bergerak maju tanpa henti. Manusia dan masyarakat tidak pernah tetap berada pada satu masalah. Kalau kita berusaha menghentikan gerak manusia dan masyarakat dalam perjalanan sejarahnya, maka berarti kita menentang hukum alam.
Oleh karena itu, kata Muthahhari, dari masa ke masa manusia dan masyarakat bergerak menyempurnakan dirinya, dan yang menjadi titik awal penyempurnaannya adalah masa lampaunya. Islam tidak menganggap masa lampau dengan pesimisme secara total.
Tujuan Sejarah
Penjelasan Muthahhari tentang tujuan sejarah diambil dari al-Qur’an yang menjelaskan adanya dua eksistensi manusia, yaitu sebagai individu, dan sebagai anggota masyarakat. Tindakan manusia sebagai individu memiliki dua dimensi, yaitu sebab aktif, dan sebab material. Tindakan manusia sebagai anggota masyarakat memiliki tiga dimensi, yaitu sebab aktif (pelaku), sebab ideal (tujuan), dan sebab material (tindakannya). Meskipun ada dua eksistensi dan tindakan, namun al-Qur’an tidak memisahkan secara objektif antara tindakan pribadi manusia secara individual dengan tindakan manusia sebagai aktivitas masyarakat.
Tujuan-tujuan utama dalam kehidupan adalah satu-satunya faktor yang menciptakan sejarah. Pada gilirannya, mereka memiliki pondasi yang mendalam di dalam kandungan batin manusia, yakni cita-cita utama kehidupannya. Cita-cita ini merupakan tiang utama semua tujuan yang menggerakkannya. Makin tinggi dan luhur suatu cita-cita masyarakat, makin layak dan luas tujuan- tujuannya atau sebaliknya. Oleh karena itu, cita-cita yang besar dari suatu masyarakat adalah titik tolak dari pembentukan batin masyarakat manusia. Cita-cita utama masyarakat bergantung pada konsepsinya tentang kehidupan dan dunia.
Dalam hal ini, Muthahhari meyakini benar perlunya mengenal masa depan sebagai tujuannya. Sejarah bagi Muthahhari berperan untuk membuka jalan bagi masa depan. Jika manusia tidak mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya serta tidak memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat sejarah, maka manusia berhak mendapatkan celaan dari generasi mendatang. Sejarah dibuat oleh manusia dan bukannya manusia dibuat sejarah. Jika manusia tidak mempunyai rencana tentang masa depan, tidak seorang pun dapat menjanjikan bahwa bahtera ini akan mencapai tujuannya secara otomatis.
Selain tujuan sejarah untuk mengetahui masa depan, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati. Idealisme sejati itu akan mampu membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan kekuatan pada subjek sejarah. Semangat itu bukan berupa kekuatan fisik, melainkan berupa spirit yang bergejolak dalam jiwa manusia sebagai penyebab penggerak ( active cause ) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit dalam memecahkan problematika manusia.
Perjalanan sejarah manusia untuk mencapai idealisme sejati yang mampu menciptakan dinamika bentuk dan proses perjalanan itu sendiri sangat bergantung pada beberapa prinsip sebgai berikut:
  1. Bergantung pada konsep yang jelas baik dilihat dari pikiran dan ideologinya terhadap idealisme sejati;
  2. Harus mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber pada idealisme itu agar kekuatan spiritual ini bisa menjadi sumber motivasi abadi bagi tindakan manusia dalam dinamika gerak sejarah;
  3. Ia harus berbeda dengan idealisme lain yang hanya bersifat siklus pengulangan. Dengan dasar ideologi ini sebagai objek yang terlepas dari subjektivitas manusia, bukan bagian dari manusia dan bukan pula hasil olah budi manusia, tetapi harus memiliki benang merah yang menghubungkannya dengan manusia;
  4. Prinsip kelembagaan terhadap nilai-nilai yang telah dirumuskan oleh para Nabi dalam berbagai bentuk pranata sosial kemasyarakatan.
Bersambung….

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...