Kamis, 12 Desember 2013

M E D I T A S I



Dalam olah batin, meditasi menjadi salah satu topik pembicaraan yang tiada habis-habisnya. Tentu hal tersebut ada sebabnya, sebabnya tiada lain karena meditasi adalah salah satu usaha proses untuk meningkatkan pengembangan pribadi seseorang secara total. Tulisan ini didasari dari berbagai literatur mengenai meditasi.
Tulisan ini merupakan usaha melengkapi tulisan J. Sujianto yang berjudul “ Pengembangan Kwalitas Pribadi di Bidang Kebatinan, suatu Proses Meningkatkan Kreatifitas dan Pengetahuan Dunia Gaib “
Apakah Meditasi ?
Mengusahakan rumus yang pasti mengenai arti meditasi tidaklah mudah, yang dapat dilakukan adalah memberi gambaran berbagi pengalaman dari mereka yang melakukan meditasi, berdasarkan pengalaman meditasi dapat berarti :
1.Melihat ke dalam diri sendiri
2.   Mengamati, refleksi kesadaran diri sendiri
3.    Melepaskan diri dari pikiran atau perasaan yang berobah-obah, membebaskan keinginan duniawi sehingga menemui jati dirinya yang murni atau asli.
Tiga hal tersebut diatas baru awal masuk ke alam meditasi, karena kelanjutan meditasi mengarah kepada sama sekali tidak lagi mempergunakan panca indera ( termasuk pikiran dan perasaan ) terutama ke arah murni mengalami kenyataan yang asli.
Perlu segera dicatat, bahwa pengalaman meditasi akan berbeda dari orang ke orang yang lain, karena pengalaman dalam bermeditasi banyak dipengaruhi oleh latar belakang temperamen, watak dan tingkat perkembangan spiritualnya serta tujuan meditasinya dengan kulit atau baju kebudayaan orang yang sedang melaksanakan meditasi.
Secara gebyah uyah (pada umumnya) orang yang melakukan meditasi yakin adanya alam lain selain yang dapat dijangkau oleh panca indera biasa. Oleh karena itu mungkin sekali lebih tepat jika cara-cara meditasi kita masukkan ke golongan seni dari pada ilmu. Cara dan hasil meditasi dari banyak pelaku olah batin dari berbagai agama besar maupun perorangan dari berbagai bangsa, banyak menghasilkan kemiripan-kemiripan yang hampir-hampir sama, tetapi lebih banyak mengandung perbedaan dari pribadi ke pribadi orang lain. Oleh karena itu kita dapat menghakimi hasil temuan orang yang bermeditasi, justru keabsahan meditasinya tergantung kepada hasilnya, umpamanya orang yang bersangkutan menjadi lebih bijaksana, lebih merasa dekat dengan Tuhan, merasa kesabarannya bertambah, mengetahui kesatuan alam dengan dirinya dan lain-lainnya.
Keadaan hasil yang demikian, sering tidak hanya dirasakan oleh dirinya sendiri, tetapi juga oleh orang-orang ( masyarakat ) di sekitar diri orang tersebut karena tingkah-lakunya maupun ucapan-ucapannya serta pengabdiannya kepada manusia lain yang membutuhkan bantuannya, mencerminkan hasil meditasinya.
Cara-cara dan akibat bermeditasi.
Cara bermeditasi banyak sekali.
Ada yang memulai dengan tubuh, arti meditasi dengan tubuh adalah mempergunakan menyerahkan tubuh ke dalam situasi hening. Lakunya adalah dengan mempergunakan pernafasan, untuk mencapai keheningan, kita menarik nafas dan mengeluarkan nafas dengan teratur. Posisi tubuh carilah yang paling anda rasakan cocok / rileks, bisa duduk tegak, bisa berbaring dengan lurus dan rata. Bantuan untuk lebih khusuk jika anda perlukan, pergunakan wangi-wangian dan atau mantra, musik yang cocok dengan selera anda, harus ada keyakinan dalam diri anda, bahwa alam semesta ini terdiri dari energi dan cahaya yang tiada habis-habisnya. Keyakinan itu anda pergunakan ketika menarik dan mengeluarkan nafas secara teratur.
Ketika menarik nafas sesungguhnya menarik energi dan cahaya alam semesta yang akan mengharmoni dalam diri anda, tarik nafas tersebut harus dengan konsentrasi yang kuat. Ketika mengelurkan nafas dengan teratur juga, tubuh anda sesungguhnya didiamkan untuk beberapa saat. Jika dilakukan dengan sabar dan tekun serta teratur, manfaatnya tidak hanya untuk kesehatan tubuh saja tetapi juga ikut menumbuhkan rasa tenang.
Bermeditasi dengan usaha melihat cahaya alam semesta,yang dilakukan terus menerus secara teratur, akan dapat menumbuhkan ketenangan jiwa, karena perasaan-perasaan negatif seperti rasa kuatir atau takut, keinginan yang keras duniawi, benci dan sejenisnya akan sangat berkurang, bahkan dapat hilang sama sekali, yang hasil akhirnya tumbuh ketenangan. Meditasi ini harus juga dilakukan dengan pernafasan yang teratur.
Kesulitan yang paling berat dalam bermeditasi adalah “mengendalikan pikiran dengan pikiran“ artinya anda berusaha “ mengelola “ pikiran-pikiran anda, sampai mencapai keadaan “ Pikiran tidak ada “ dan anda tidak berpikir lagi, salah satu cara adalah “ mengosongkan pikiran “ dengan cara menfokuskan pikiran anda kepada suatu cita-cita, umpamanya cita-cita ingin menolong manusia manusia lain, cita-cita ingin manunggal dengan Tuhan. Cita-cita ingin berbakti kepada bangsa dan negara, cita-cita berdasarkan kasih sayang dan sejenis itu menjadi sumber fokus ketika hendak memasuki meditasi.
Secara fisik ada yang berusaha “ mengosongkan pikiran “ dengan memfokuskan kepada “ bunyi nafas diri sendiri “ ketika awal meditasi, atau ada juga yang menfokuskan kepada nyala lilin atau ujung hidung sendiri.
Jika proses meditasi yang dilukiskan tersebut diatas dapat anda lakukan dengan tepat, maka anda dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dalam pengertian spiritual, yang akibatnya pasti baik untuk diri anda sendiri, mungkin juga bermanfaat untuk manusia lain.
Sesuatu itu jangan dijadikan tujuan meditasi, karena hasil sesuatu itu adalah hasil proses meditasi, bukan tujuan meditasi.
Jika dalam proses tersebut pikiran anda belum dapat anda “ kuasai atau hilangkan “ janganlah putus asa atau berhenti, tetapi juga memaksakan diri secara keterlaluan. Pengembangan selanjutnya dari proses meditasi tersebut, anda sendiri yang akan menemukan dan meneruskannya, karena berciri sangat pribadi.
Untuk dapat berhasil anda sangat perlu memiliki motivasi yang cukup pekat dan dalam, sehingga dengan tiada terasa anda akan bisa khusuk dalam keheningan bermeditasi. Jika menemui sesuatu, apakah itu cahaya atau suara atau gambaran-gambaran, jangan berhenti, teruskan meditasi anda.
Pengalaman sesudah keadaan demikian, hanya andalah yang dapat mengetahui dan merasakannya, karena tiada kata kalimat dalam semua bahasa bumi yang dapat menerangkan secara gamblang. Dalam keadaan demikian anda tidak lagi merasa lapar, mengantuk bahkan tidak mengetahui apa-apa lagi, kecuali anda tersadar kembali. Biasanya intuisi anda akan lebih tajam sesudah mengalami proses meditasi yang demikian itu, dan mungkin pula memperoleh “ pengetahuan “ tentang alam semesta atau lainnya.
Di dalam serat Wulang Reh, karya “kasusastran” Jawa (dalam bentuk syair) yang ditulis oleh Kanjeng Sunan Paku Buwono IV, terdapat juga ajaran untuk hidup secara asketik, dengan usaha menuju kasampurnaning urip.
Pada gulangen ing kalbu ing sasmita amrih lantip aja pijer mangan nendra kaprawiran den kaesti pesunen sarira nira sudanen dhahar lan guling (Intinya, orang harus melatih kepekaan hati agar tajam menangkap gejala dan tanda-tanda. termasuk ajaran tak boleh mengumbar nafsu makan serta tidur). 


http://alangalangkumitir.wordpress.com

Berada Di Kepungan Fitnah Besar



Oleh: Hertasning Ichlas, Koordinator YLBHU

Bulan-bulan belakangan ini para aktivis hukum dan HAM yang meneliti dan mengadvokasi kelompok rentan dan minoritas telah menyaksikan panasnya fitnah, hasutan kebencian dan naiknya eskalasi kekerasan terhadap warga muslim Syiah Indonesia.
Gejalanya cukup serentak dan kompak mulai dari makin beraksinya “faksi” di MUI yang menyebarkan buku kesesatan Syiah secara masif dan gratis. Seturut makin menggilanya aksi-aksi jalanan  kelompok intoleran dalam mendemo dan menyebarkan hasutan kebencian dan kekerasan sampai yang paling hangat kekerasan fisik terhadap 5 orang  yang terjadi baru saja dalam peringatan Asyura di Makassar.
Acara Asyura yang bertahun-tahun terselenggara di Surabaya tiba-tiba dibatalkan sehari sebelum penyelenggaraan karena alasan keamanan. Yayasan Rausyan Fikr di Yogyakarta yang sudah belasan tahun hidup damai dengan lingkungan intelektual Yogya, diancam bakal diserang dan ditutup hingga perlu dievakuasi dan diamankan polisi dengan jaminan keamanan yang tegas dari Sultan Yogya.
Secara umum hasutan kebencian, ancaman dan rencana sabotase serupa terjadi di kota-kota lain tempat komunitas Syiah berada.
Satu hal yang paling menggelisahkan di sejumlah peristiwa yang kami catat adalah pola ketika pengkafir dan penyesat Syiah ini semakin aktif menjelmakan sentimen pengkafiran, kekerasan dan perasaan paling benar dan paling eksis dari mereka tertular menjadi pikiran, agenda keagamaan dan kecemasan warga kebanyakan. Isu antisyiah kemudian dengan cepat berubah menjadi critical mass.
Kita bahkan mencatat sejumlah pejabat kepolisian daerah telah turut serta menjadi bagian kelompok intoleran dan memberi angin keras terhadap kelompok pengkafir dan penyesat Syiah tersebut. Meskipun harus dikatakan sebagian kepolisian lain yang memilih bersikap obyektif dan aktif untuk mengklarifikasi kedua belah pihak, bertindak sangat bagus dan fair dengan mengutamakan prinsip-prinsip kewargaan.
Kemampuan kelompok pengkafir dan penyesat —yang dalam terminologi Islam politik lebih tepat disebut sebagai kelompok Wahabi atau dalam konteks perang di Suriah biasa diberi label sebagai kelompok Jihadis Salafi, menelusup, menumpang dan mendesakkan agenda ke pelbagai pihak seperti institusi-institusi negara dan keagamaan dengan seolah-olah menyamakan agenda diri mereka atas nama Islam Sunni, harus diakui cukup militan dan gencar.
Dalam sesaat, Muslim Sunni dan Syiah, yang telah sama-sama menjadi pewaris dan menghiasi jejak tradisi Islam nusantara yang damai dan terbukti ko-eksisten selama ratusan tahun, tiba-tiba terkoyak dan terbakar perasaan curiga, permusuhan hingga kebencian instan.
Begitu gencarnya pengadukan kebencian dan upaya pecah-belah Sunni-Syiah sebagai sesama rumpun Islam dan saudara tua Islam, membuat kita patut bertanya. Spekulasi rasional kita mencurigai bahwa sentimen antiSyiah ini adalah sebuah orkestrasi yang teratur dan memiliki sumber daya politik dan finansial yang kuat.
Berdasarkan dari pola ancaman, ujaran kebencian dan teror terhadap kelompok Syiah Indonesia yang kami teliti, ada faktor geopolitik yang pekat di belakang kampanye antisyiah di Indonesia.Dari bukti-bukti ancaman dan bahasa kekerasan yang kami teliti, terdapat upaya mengekspor perang di Suriah yang secara menyesatkan dianggap —atau hendak dianggap sebagai perang Sunni versus Syiah, berpindah ke Indonesia persisnya terhadap muslim Syiah di Indonesia yang sebenarnya tak ada sangkut-paut dengan kondisi politik di Timur Tengah.
Kampanye hitam dan ujaran kebencian terhadap muslim Syiah di Indonesia setelah kita teliti terutama dilakukan dengan sebuah metode yang nampaknya sangat sistematis dan ampuh yakni FITNAH.
Dalam perasaan kaget, terkepung atau karena panggilan untuk membela Islam Sunni sebagai wajah umum Islam di Indonesia, masyarakat kebanyakan, tokoh-tokoh bahkan pejabat publik dan aparat hukum dengan mudah terhasut dan menerima fitnah bahwa Syiah begini dan begitu yang ujungnya berbahaya, menakutkan dan menjijikkan tanpa reserve dan kritisisme. Pola fitnah seperti dilakukan terbukti sangat efektif mengubah secara instan masyarakat awam dan pada gilirannya menghadirkan kekerasan dan penindasan terhadap hak-hak konstitusional warga muslim Syiah.
Fitnah yang dilakukan oleh kelompok pengkafir dan penyesat atau kelompok takfiri (kelompok yang dakwahnya hanya mengkafirkan dan menyesatkan) merasuk begitu dalam melalui media-media propaganda mereka. Tak jarang mereka menyebar foto-foto ustad-ustad Syiah dengan menambahkan ustad tersebut sebagai orang kafir yang halal darahnya dan mengobarkan perang terhadap mereka. Tak jarang pula mereka mengatakan Syiah membenci dan menghina istri nabi dan sahabat secara luas di mimbar-mimbar serta mengajarkan kawin sedarah dan jika Syiah menjadi kuat, mereka  akan menghabiskan saudara Sunni di Indonesia. Tanpa perlu memeriksa kebenarannya siapa pun orang awam secara instingtif akan mendahulukan sikap defensif terhadap hal asing yang tak diketahuinya.
Aktivitas hasutan kekerasan dan fitnah untuk kebencian ini terus merembes masuk ke pengajian-pengajian dan acara keagamaan warga kebanyakan di pelosok Indonesia. Herannya aktivitas provokasi ini berlangsung terus tanpa ada upaya bahkan penilaian serius dari negara dan aparat hukumnya bahwa hal-hal tersebut tergolong aktivitas hasutan kriminal serius karena menyebar kebencian dan memprovokasi warga bertindak anomi.
Naiknya intoleransi dapat terlihat dari produksi dakwah Islam belakangan ini yang semakin kecil berbicara tentang akhlakul karimah, tentang kemanusiaan dan pemihakan sosial, tetapi lebih bernafsu menjadi ajang agitasi dan propaganda membenci kelompok tertentu seraya membuat paling benar dan eksis kelompok lainnya.
Hal ini semakin membesar dan serius karena hukum dan negara gamang bahkan turut serta memihak atas suatu keyakinan dan menghakimi keyakinan lain secara in-absentia tanpa dialog yang tulus dan beradab. Kelompok takfiri berhasil memanfaatkan situasi keawaman dan kepanikan warga serta aparat negara untuk tidak lagi berpikir kritis dan adil.
Jika saja kita ingin berpikir lebih bebas dan obyektif, Muslim Syiah di Indonesia secara sosiologis dan antropologis memiliki corak keislaman dan gerakan yang sangat lama dan khas di Indonesia. Kalau tidak bisa mengatakan menjadi sangat membudaya, sinkretik dan melebur. Demikian khas sehingga yang berkembang adalah Syiah budaya seperti doa-doa, tasawuf, kebatinan yang sebagian besarnya menyatu dengan Islam NU melalui proses asimilasi yang damai. Baru belakangan sekitar 20 tahunan tradisi intelektual Syiah diperkenalkan seturut dengan proses demokrasi Indonesia yang terbuka dan  melonggarkan karya-karya dan wacana dalam bentuk buku dan multimedia.
Syiah di Indonesia tak bisa dipisahkan dengan ke-Indonesiaan. Gerakannya bukan seperti gerakan Islam politik Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tathir, dll. Pendeknya dari hasil amatan kami terhadap gerakan Syiah melalui yayasan dan komunitas di Indonesia, gerakan Syiahnya lebih dekat dengan Syiah kebudayaan yang pertama kali masuk ke Indonesia secara damai dan bukan atau setidaknya tidak sedang mengarah menjadi Islam politik hasil inspirasi dan transformasi pasca-revolusi Islam Iran atau hasil pergulatan kontemporer  konstelasi geo-politik Timur Tengah yang memiliki konteks politiknya masing-masing. Apa yang sedang terjadi dengan pasang surut di Iran, Irak dan Hizbullah di Timur Tengah tidak berbanding lurus dengan agenda muslim Syiah di Indonesia yang relatif merasa Islam mereka adalah Islam kebudayaan dan identitas diri mereka adalah inheren dengan Indonesia dan bersama pergulatan bangsanya.
Tak sedikit catatan historiografi yang menyebut Islam Syiah sebagai yang pertama kalau bukan yang utama menghiasi corak Islam Indonesia. Jejaknya terutama bisa terlihat dalam kesultanan nusantara yang telah melebur dalam akulturasi etnik dan kearifan lokal yang damai dan penuh kesepakatan.
Warga muslim Syiah telah hidup ratusan tahun lamanya semenjak Islam masuk di Indonesia. Selama ratusan tahun itu di Indonesia, bahkan selama ribuan tahun lamanya menjadi bagian dari rumpun Islam, adakah mereka mengkafirkan, menyesatkan dan melakukan kekerasan bahkan memberontak dan menyerang kehormatan negara tempatnya hidup atau menyerang negara lain? Tidakkah atribusi dan ciri-ciri itu lebih identik dan dekat dengan gerakan islam politik yang berada di balik fitnah besar ini? Gerakan yang sebenarnya baru muncul kemarin sore dalam sejarah dan kemudian merasa nyaman menumpang di dalam tubuh Islam Sunni untuk kemudian digunakan dalam politik pecah-belah. Sekarang mereka ingin memberangus Syiah, namun pada akhirnya mereka akan memberangus siapa pun yang berbeda dengan kehendak mereka.
Dalam situasi panik dan takut, daya kritis kita mudah dijerat ke arah persetujuan kotor untuk menindas dan menghakimi keyakinan sesama saudara muslim yang mestinya harus kita jaga kehormatan nyawa dan harga dirinya atas nama ketentuan agama dan konstitusi.[]

Kamis, 14 November 2013

Wa’tashimu bi Hablillahi Jami’an



Haydar Bagir dan Muhammad Bagir

Belakangan ini, mungkin karena terdorong oleh semangat yang tinggi untuk mengamalkan Islam, dan menegakkan sunnah Rasulullah, cukup banyak di kalangan umat Islam yang begitu mudah memberikan stempel kafir, syirik, munafik, dan ahli bid'ah kepada orang-orang Muslim lain yang dianggap tidak memiliki pemahaman yang sama dengan mereka. 

Padahal, Allah Swt. dengan gamblang telah memerintahkan kepada kita, agar menempatkan persatuan umat di atas segalanya :“Berpegang-teguhlah kamu pada tali Allah, dan jangan bercerai-berai”? (Ali Imran 3: 103). Begitu kerasnya perintah untuk mterus mengutamakan peratuan itu sehingga, sebagian ulama menyatakan bahwa  ayat yang disebut terakhir di atas adalah satu-satunya ayat dalam kitab-suci-Nya yang menggabungkan secara sekaligus perintah (positif) untuk bersatu, dan kalimat lawannya dalam bentuk larangan bercerai berai. Maka, barangkali ada baiknya, jika kita menyegarkan fikiran kita dengan pandangan para ulama tentang siapa yang disebut sebagai Muslim, dan bagaimana kita harus bersikap kepada mereka, meskipun terdapat banyak perbedaan faham dan pendapat di antara mereka.

Dalam al-‘Aqidah al-Thahawiyah dikutip salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut : “Seseorang yang melakukan shalat sebagaimana kita, dan menghadap kiblat, serta makan daging sembelihan kita adalah bagian dari kita (Muslim).” Selanjutnya Imam ath-Thahawi menyatakan : “Kita tidak menisbatkan  kekafiran, kemusyrikan dan tidak (pula) kemunafikan kepada seseorang selama tidak tampak dari mereka sesuatu yang menunjukkan hal-hal demikian itu. Dan, sebagai gantinya, kita menyerahkan semua yang tidak tampak itu kepada Allah. Kita hanya diperintahkan untuk menghukum berdasar yang tampak saja ...”

Imam Ahmad bin Hanbal berkata:  “Sesungguhnya masalah wajib, haram, pahala, siksa, kafir dan fasik adalah urusan (hak) Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada hak bagi seorangpun dalam menetapkan hukum ini.” Sedangkan Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah  menegaskan: “Tidak ada hak bagi seorang pun untuk mengafirkan seorang Muslim, meskipun dia salah dan keliru, sehingga dijelaskan padanya hujjah (argumen) (yang dapat menunjukkan kekeliruannya), hingga hujjah tersebut dapat diterima olehnya”.

Selanjutnya, belakangan ini juga banyak orang yang suka mengutip hadis Nabi Saw. tentang “akan berpecahnya umat menjadi tujuh puluh tiga firqah, hanya satu saja di antaranya yang akan masuk surga dan selebihnya masuk neraka.”
Menurut Imam Al-Ghazali (pengarang Ihyâ' Ûlumiddîn), terdapat beberapa riwayat hadis itu dengan teks yang berbeda. Satu riwayat menyebut  “yang binasa di antaranya, satu firqah”. (Al-Maqdisi, dalam bukunya yang berjudul Ahsanut Taqâ­sim termasuk di antara yang menyebutkan hal ini). Yang tidak selamat pun, menurut Imam Ghazali lagi, berarti orang-orang yang ditangkap oleh para petugas neraka untuk digiring ke neraka, walaupun dalam kenyataannya mereka kemudian dilepaskan--dengan adanya syafâ'at Nabi Saw.


Ibnu Taimiyah  menegaskan: “Tidak ada hak bagi seorang pun untuk mengafirkan seorang Muslim, meskipun dia salah dan keliru, sehingga dijelaskan padanya hujjah (argumen) (yang dapat menunjukkan kekeliruannya), hingga hujjah tersebut dapat diterima olehnya”
Seorang ulama terkenal lainnya yang juga bernama Al-Ghazali, tetapi yang ini hidup pada abad ke-20, yakni almarhum Syaikh Muhammad Al-Ghazali, seorang yang pernah menjadi aktivis dan tokoh penting Al-Ikhwan Al-Muslimin di Mesir, pernah menulis:

“Siapa kiranya firqah yang selamat? Itulah firqah yang berpegang teguh pada Sunnah Rasul Saw. dan para sahabatnya, atau yang disebut 'al-jamaah' dalam salah satu riwayat. ... setiap Muslim pasti berusaha sungguh-sungguh untuk mengikuti jejak Rasul Saw. dalam pikiran dan perbuatannya. Para salaf (yakni, generasi-generasi terdahulu) dan khalaf (generasi-generasi kemudian), Ahlussunnah, Syi'ah, para pengikut aliran tasawuf atau filsafat (Islam), semuanya mengaku dan beranggapan dirinya memperjuangkan Islam, membela dan mendukung nabinya serta mengibarkan panjinya ....”

Dalam akhir uraiannya itu, Al-Syaikh Al-Ghazali mengutip pendapat Al-Syaikh Al-Kautsari dalam mukadimah buku At-Tabshîr fid-Dîn sebagai berikut:

“Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang dimaksud terpecah ke dalam dalam bilangan kelompok tersebut, apakah itu ummah ad-da'wah (yakni, seluruh umat manusia yang sampai kepada mereka dakwah Nabi Muhammad Saw., tak peduli mereka menjadi Muslim atau tidak) ataukah ummah al-ijâbah (yakni, umat yang menerima seruan beliau dan memeluk agama Islam).” Dengan kata lain, jika yang dimaksud adalah ummah ad-da’wah, maka yang dimaksudkan dengan tujuh puluh dua firqah yang tidak selamat adalah yang tidak menerima Islam.

Salah seorang Syaikh Al-Azhar di Mesir, yakni DR. Abdul Halim Mahmud, selain juga menyatakan bahwa hadis ini dirawikan dengan beberapa susunan kalimat, dalam beberapa kitab dan dengan berbagai sanad, menegaskan bahwa Imam Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya. Seperti juga Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Imam Fakhrurrazi dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa hadis ini lemah. Ibn Hazm menyatakan tentang hadis ini: “Sama sekali tidak sah ditinjau dari segi sanadnya.” Ibn Al-Wazir, dalam buku Al-'Awâshim minal Qawâshim, berkata, “Jangan sekali-kali Anda tertipu oleh tambahan kalimat  'semua firqah itu masuk neraka, kecuali satu'. Ini adalah tambahan yang fâsid (palsu, rusak). Besar kemungkinannya disisipkan oleh kaum mulhid (ateis).”

Akhirnya, marilah terus kita hayati doa yang diajarkan oleh Allah kepada kita :

“Ya Allah, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam keimanan. Dan jangan jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Engkau Maha Kasih dan Mahapenyayang.” (Al-Hasyr : 10)

Catatan

Tulisan ini adalah makalah yang disampaikan oleh Ust Haidar Bagir dalam acara seminar "Islam Agama Dialogis dan Cinta Damai" di hotel Benakutai, Balikpapan 20 Januari 2013. Tulisan ini dimuat atas izin penulis yang diberikan kepada saudara Mustamin al-Mandary di hari pelaksanaan seminar tersebut.

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...