Senin, 27 Juni 2016

Lailatul Qadar Bukan Peristiwa Alam




Lailatul qadar adalah fenomena pengalaman spiritual yang melintasbatasi waktu dan tempat. Meski teks-teks agama menyuratkannya sebagai “peristiwa alam” dan “peristiwa waktu”. Tengok saja ayat lailatul qadar yang terkenal itu: Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Quran pada malam “qadar”. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar  (al-Qadr: 1 dan 5).
Bahkan, teks hadis menunjuk lebih spesifik kapan “malam” itu terjadi. Rasul menyatakan, “Aku pernah dipertemukan dengan lailatul qadar, hanya saja aku lupa kapan peristiwa itu terjadi. Tapi, cobalah kalian mencarinya pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, terutama pada bilangan ganjil,” (HR Imam Bukhari).
Parasahabat juga pernah mengalami peristiwa lailatul qadar pada waktu yang berbeda-beda. Sebagian mengaku diperjumpakan dengan lailatul qadar pada tujuh hari terakhir Ramadhan dan sebagian yang lain mengaku pada sepuluh hari terakhir. Kabar itu kemudian sampai kepada Rasul. Rasul lalu menyimpulkan, seraya menganjurkan kepada orang-orang yang belum pernah diperjumpakan dengan lailatul qadar, “Coba kalian mencarinya pada tujuh hari terakhir Ramadhan,” (HR Imam Bukhari).
Dua pernyataan berbeda dari Rasul itu diriwayatkan dua sahabat berbeda, yang pertama oleh sahabat Abu Sa‘id dan yang kedua oleh sahabat Ibnu Umar. Keduanya riwayat sahih, valid, dalam penelitian Imam Bukhari dan dikompilasikan dalam karya besarnya, al-Jami‘ al-Shahih atau yang lebih masyhur dengan sebutan Shahih al-Bukhari. Dalam kajian hadis, kita tahu, Imam Bukhari dikenal paling ketat dalam meneliti dan menyeleksi hadis-hadis. Ia membuat rumusan standar kesahihan paling tinggi, sehingga para ulama hadis meletakkan Shahih al-Bukhari di tempat tertinggi dalam jajaran Kutub al-Sittah (Kitab Hadis Enam Imam: Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa’i, Abu Dawud, Imam Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Karena dua riwayat di atas sama-sama berstatus sahih maka perbedaan sabda Rasul tersebut bukan perbedaan-kontradiktif, bukan perbedaan yang saling menafikan, melainkan perbedaan-variatif, perbedaan yang memperkaya pemaknaan dan pemahaman, yang mengisyaratkan bahwa lailatul qadar adalah tema yang luwes, multi tafsir.
Jika dalam teks sumber utama saja sudah terjadi perbedaan, perbedaan pendapat yang lebih variatif terjadi di kalangan ulama. Di Fath al-Bari (kitab pengulas Shahih al-Bukhari), Ibnu Hajar al-Asqalani mencatat ada lebih dari empat puluh pendapat soal “tanggal main” lailatul qadar. Berikut saya sebutkan beberapa di antaranya:
  • Lailatul qadar dapat terjadi pada semua bulan, bukan hanya Ramadhan. Pendapat ini populer dalam Mazhab Hanafi.
  • Lailatul qadar dapat terjadi pada semua malam pada bulan Ramadhan. Ini pendapat Ibnu Umar.
  • Ada yang menyebut, lailatul qadar terjadi pada awal Ramadhan.
  • Lailatul qadar terjadi pada sepertiga kedua Ramadhan. Pendapat ini dianut oleh sebagian penganut Mazhab Syafi’i.
  • Lailatul qadar terjadi pada sepertiga pertama Ramadhan. Ini menjadi kecenderungan pendapat Imam Syafi’i.
  • Lailatul qadar terjadi pada malam kedua puluh tujuh Ramadhan. Ini beredar di kalangan Mazhab Ahmad.
  • Lailatul qadar terjadi pada bilangan witir sepuluh hari terakhir Ramadhan, dengan dukungan hadis riwayat Imam Bukhari dari Abu Sa’id di atas.
  • Lailatul qadar terjadi pada kisaran tujuh hari terakhir Ramadhan, berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Umar di atas.
Perbedaan pendapat soal lailatul qadar di antara Rasul, para sahabat, dan para ulama, menurut saya menunjukkan bahwa lailatul qadar pada dasarnya adalah pengalaman jiwa yang sangat pribadi. Karenanya, masing-masing orang bisa mengalaminya pada saat yang berbeda-beda. Jika kemudian Rasul menyimpulkan, lailatul qadar terjadi pada sepuluh atau tujuh hari terakhir Ramadhan, seperti dalam hadis di atas, itu adalah berdasarkan pengalaman pribadi beliau dan pengalaman sebagian sahabat yang secara kebetulan terjadi pada kisaran waktu-waktu tersebut.
Bahkan, Ibnu al-Arabi, seorang ulama bermazhab fikih Maliki (bukan Ibnu Arabi [tanpa “al”] yang terkenal dengan konsep wihdah al-wujud) sampai pada kesimpulan, “al-shahih annaha la tu’lam”. Yang tepat, menurutnya, lailatul qadar tidak dapat diketahui berdasarkan waktu tertentu. Seseorang tak perlu terobsesi dengan waktu untuk mendapatkan lailatul qadar. Tapi,persiapkan diri, bersihkan jiwa, sebab, lailatul qadar hadir dalam jiwa tanpa ikatan waktu dan tempat tertentu. Dengan rahmat Allah, kapan pun dan di mana pun, seseorang dapat meraih spirit lailatul qadar.
Keagungan Tak Terjangkau Nalar
Lailatul qadar adalah rahasia Tuhan. Tak ada yang dapat memastikan. Allah dan Rasul memang memberikan informasi kebenaran lailatul qadar, tapi keduanya tidak memberikan kepastian tentangnya. Inilah rahasia di balik diksi yang dipilih Allah dalam surah al-Qadr: wa ma adraka ma lailatul qadr.  Tahukah kau apakah lailatul qadar itu?
Para pakar tafsir, seperti Imam al-Syaukani dalam karya tafsirnya Fath al-Qadir, menyebutkan, kata “ma adraka” adalah bentuk pertanyaan (istifham) untuk menunjukkan bahwa yang menjadi objek pertanyaan adalah sesuatu yang sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh nalar manusia.
Contoh ayat lain yang menggunakan redaksi “ma adraka” adalah tentang hari kiamat dalam surah al-Infithar ayat 17: wa ma adraka ma yaumuddin? (Tahukah kau apa hari pembalasan itu?) atau surah al-Qari’ah ayat 3: wa ma adraka ma al-qari’ah? (Tahukah kau apa hari kiamat itu?). Berdasarkan ayat Al-Quran, kita tahu kebenaran “hari pembalasan” dan “hari kiamat”. Namun, hanya sebatas bahwa ia benar adanya, sedangkan hakikat “hari pembalasan” dan “hari kiamat” hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
Demikian juga dengan lailatul qadar. Kita hanya sebatas tahu akan kebenarannya, sedangkan tentang hakikatnya dan siapa yang berhak memperolehnya adalah rahasia Allah. Bahkan, saking rahasianya, barangkali seseorang takkan pernah tahu jika dirinya pernah mengalami lailatul qadar.
Bukan Tujuan Utama
Allah memberikan beberapa keistimewaan kepada lailatul qadar ini, antara lain ia lebih baik daripada seribu bulan. Artinya, amal ibadah seorang hamba yang dikerjakan bertepatan dengan pengalaman lailatul qadar dihitung lebih baik daripada amal yang dikerjakan selama pengalaman hidup seribu bulan yang tanpa lailatul qadar.
Namun, angka “seribu bulan” yang dimaksud bukanlah angka pasti, melainkan simbol untuk menjelaskan bahwa amal apa pun yang dikerjakan tepat pada pengalaman lailatul qadar memiliki keistimewaan tak terhingga. Angka itu juga lebih bersifat kualitatif: kata “seribu” menggambarkan hampir tak terbatasnya kemungkinan pemaknaan di baliknya.
Keistimewaan lain adalah seperti dijanjikan Rasul, “Siapa yang menjalani puasa dan beruntung mengalami laitatul qadar—dengan penuh keimanan dan semata-mata Allah yang menjadi tujuan—maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu,” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Penting di sampaikan di sini, tiap kali Allah dan Rasul menganjurkan umat melaksanakan ibadah-ibadah atau amalan-amalan, hampir selalu dibarengi dengan “iming-iming” keuntungan ukhrawi, dengan harapan mereka terdorong melaksanakan anjuran tersebut. Begitu pula dengan lailatul qadar dengan berbagai keistimewaannya. Lailatul qadar ibarat “bonus” dalam beribadah kepada Allah agar umat semakin giat dalam menjalankan ibadah. Sebagai bonus, tentu saja ia bukan tujuan, tapi yang menjadi tujuan adalah penghambaan dan penghayatan nilai-nilai ilahi. “Bonus” tak perlu dicari; ia datang sendiri. “Bonus” akan malu kepada dirinya sendiri jika tak mendatangiorang-orang yang berfokus kepada tujuan.
Bukankah penghambaan tertinggi kepada Tuhan adalah yang didasari oleh kesadaran diri sebagai makhluk serta kesadaran akan rahmat-Tuhan yang tak terhingga, dan bukan penghambaan yang didasari atas “bonus” pahala atau takut akan dosa, atau yang didasari “iming-iming” surga atau takut akan neraka?! Wallahu a’lam.
 https://jumanrofarif.com

Kamis, 16 Juni 2016

Persatuan Islam dalam Perspektif Imam Jafar as-Shadiq



Pada Jumat, 17 Rabiul Awal 83 H (702 M), lahir seorang manusia suci dan penerus risalah Nabi Muhammad Saw. Pada hari yang bertepatan dengan maulid Rasulullah Saw ini, Imam Jafar Shadiq dilahirkan di kota Madinah. Sejak usia 34 tahun, beliau menjadi pemimpin umat memegang tampuk imamah. Tampaknya, tidak ada para Ahlul Bait Rasulullah Saw yang memiliki kesempatan begitu luas seperti Imam Sadiq dalam menyebarkan ajaran Islam dan ilmu pengetahuan serta mendidik para murid.

Imam Shadiq hidup di masa ketika Dinasti Umayah sedang mengalami kemunduran, dan Dinasti Abbasiah mulai merebut kekuasaan. Di tengah pertarungan kekuasaan kedua dinasti itu, Imam Shadiq menyebarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan Islam. Periode kehidupan Imam Shadiq merupakan era pemikiran dan munculnya berbagai aliran dan mazhab. Situasi dan kondisi tersebut menyulitkan masyarakat Muslim untuk menemukan ajaran-ajaran Islam yang benar dan menyeret mereka kepada jalan sesat. Namun cahaya petunjuk Imam Shadiq yang terang benderang telah menyinari sudut-sudut kegelapan pemikiran masyarakat ketika itu.

Para ulama dari berbagai mazhab Islam memandang Imam Shadiq sebagai pelopor berbagai ilmu seperti kalam, fikih, tafsir, akhlak dan disiplin ilmu lainnya. Dilaporkan tidak kurang dari empat ribu orang dengan semua perbedaan yang mereka miliki, telah menimba ilmu kepada Imam Shadiq dan menulis berbagai karya. Selain itu, beliau juga dikenal dengan ketinggian akhlaknya.

Bertepatan dengan peringatan pekan persatuan Islam kali ini, menarik kiranya untuk menggali pandangan Imam Shadiq mengenai persatuan Islam. Imam Shadiq menyebut sesama Muslim sebagai satu saudara, dan mereka tidak boleh bersikap saling memusuhi.

Dalam sebuah riwayat dari Imam Shadiq disebutkan bahwa "Seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya. Seorang Muslim adalah cermin dan panduan Muslim lainnya. Seorang Muslim tidak akan pernah mengkhianati, menipu dan menindas Muslim lainnya, dan tidak berbohong kepadanya serta tidak mengghibahnya."

Imam Shadiq selalu berpesan kepada para pengikut Ahlul Bait untuk menjalin hubungan baik dengan para pengikut mazhab Islam lain. Perilaku, perbuatan dan perkataan beliau telah menarik perhatian para pemimpin dan para pengikut berbagai mazhab lainnya. Beliau berkata, “Satu sama lain harus saling mencintai. Mereka berbuat kebaikan kepada sesamanya dan saling menyayangi”.

Imam Shadiq memberikan nasehat kepada para pengikutnya supaya saling mengasihi sesama Muslim. Imam Shadiq berkata, “Sampaikan salam kepada para pengikutku dan katakan kepada mereka Allah swt merahmati hamba-Nya yang mencintai sesama,”.

Di bagian lain statemennya, Imam  Shadiq menegaskan solidaritas dan persaudaraan seagama yang berpijak pada tiga faktor. Pertama meninggalkan kedengkian untuk mencegah dan menghindari lemahnya masyarakat Islam, sehingga umat Islam tidak terpecah belah dan tercerai-berai. Faktor kedua, saling meningkatkan ikatan persaudaraan dan solidaritas. Faktor ketiga saling membantu sehingga meningkatkan kemuliaan umat Islam.

Kemuliaan akhlak dan ketinggian ilmu Imam Shadiq telah menarik perhatian Abu Hanifah dan para pemimpin mazhab Ahlus Sunnah lainnya sehingga mereka berbondong-bondong mendatangi beliau untuk memanfaatkan kekayaan ilmu cucu Rasulullah Saw ini.

Abu Hanifah, pemimpin mazhab Hanafi hadir di kelas-kelas Imam Shadiq selama dua tahun. Terkait hal ini, ia berkata, "Kalau bukan karena dua tahun [menimba ilmu dari Imam shadiq], maka Nu`man (Abu Hanifah) telah celaka." Malik bin Anas, pemimpin mazhab Maliki mengenai Imam Shadiq berkata, "Belum ada mata yang melihat dan belum ada telinga yang mendengar serta belum ada manusia yang hadir dalam hati, yang lebih baik dari Imam Jafar Shadiq dari sisi keutamaan, ilmu, ibadah, wara` dan ketakwaannya."

Orang-orang yang hadir dalam majelis ilmu Imam Shadiq mengakui keunggulan beliau di bidang ilmu pengetahuan, meskipun sebagian dari mereka tidak sejalan dengan garis pemikirannya. Imam Shadiq mendidik murid-murid besar di antaranya Hisyam bin Hakam, Muhammad bin Muslim dan Jabir bin Hayan.

Sebagian dari mereka memiliki berbagai karya ilmiah yang tiada tara di zamannya. Misalnya Hisyam bin Hakam menulis 31 buku. Jabir bin Hayan menulis lebih dari 200 buku dan pada abad pertengahan, karya tersebut diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa.Mufadhal juga merupakan salah satu murid terkemuka Imam Shadiq yang menulis buku "Tauhid Mufadhal".

Berbagai kitab sejarah baik dari kalangan Sunni maupun Syiah menjelaskan dialog dan perdebatan ilmiah yang diikuti oleh Imam Shadiq. Menariknya, seluruh perdebatan tersebut tidak berujung debat kusir, apalagi pertengkaran. Imam Shadiq kepada para pengikutnya menekankan prinsip akhlak mulia di berbagai bidang, termasuk ketika berdialog. Beliau sangat menjunjung tinggi pesan al-Quran dalam berdialog untuk menggunakan cara yang baik, atau “Jidal Ahsan”.

Para lawan Imam Shadiq pun mengakui ketinggian akhlaknya. Ketika pihak lawan dalam debat menyampaikan pandangan, beliau mendengarkan argumentasinya hingga selesai, lalu secara singkat menanggapinya. Beliau juga menghormati dan menjaga etika berdebat, kemudian mengemukakan pandangannya dengan kalimat yang benar dan berisi, yang disampaikan secara singkat dan padat. Ketika berdebat, Imam Shadiq membela keyakinannya secara tegas dan terang-terangan, tapi disampaikan dengan cara yang bijaksana.

Imam Shadiq meminta para pengikutnya untuk menghormati sesama Muslim, dan menjaga persatuan Islam. Cucu Rasulullah Saw ini memberikan nasehat kepada salah seorang sahabatnya bernama Zaid bin Hisyam supaya menghormati Ahlusunnah.

Beliau berkata, “Datangilah masjid-masjid mereka dan shalatlah di sana. Jenguklah mereka jika sakit, dan iringilah jenazahnya ketika mereka meninggal. Bersikap baiklah kalian, sehingga mereka datang dan ikut bersama-sama shalat dengan kalian. Jika akhlak kalian demikian, mereka akan berkata inilah pengikut mazhab Jafari; Tuhan merahmati Imam Shadiq yang telah mendidik pengikutnya demikian..... Tapi jika akhlak kalian buruk, maka mereka akan memandang buruk mazhab Jafari, dan menilai sebegitu burukkah Imam Shadiq mendidik para pengikutnya”.

Suatu hari Hisyam bin Hakam menanyakan kepada Imam Shadiq alasan mengapa umat Islam diwajibkan untuk menunaikan ibadah haji. Imam Shadiq menjawab, “Allah swt menciptakan makhluk supaya mereka menaati aturan agama dan menjauhi yang dilarang agama, demi kemaslahatan hidupnya di dunia. Dalam ibadah Haji terdapat sarana bagi orang-orang yang ada di timur dan barat untuk saling mengenali. Lalu kelompok dan suku yang satu mengunjungi satu kota ke kota lain, sehingga terjalin perniagaan yang menguntungkan di antara mereka... selain itu warisan Rasulullah saw lebih dikenali dan selalu teringat dan tidak akan pernah terlupakan,”

Dalam pandangan Imam Shadiq fondasi kuat dari persatuan Muslim adalah itikad baik dan berbuat baik serta saling membantu. Mengharapkan terwujudnya sebuah umat yang kuat dan terorganisir tanpa infrastruktur moral yang kokoh hanya sekedar penantian sia-sia. Akar perpecahan dan kelemahan masyarakat Muslim harus dilihat dari moralitas umat Islam sendiri.

Selain menekankan masalah akhlak dan persatuan Islam, Imam Shadiq menegaskan mengenai masalah politik dan nasib masyarakat, termasuk mengkritik kinerja buruk pemerintahan lalim yang merugikan masyarakat.(IRIB Indonesia/PH)

Tasbih Az-Zahra




Secara umum, doa-doa, zikir-zikir dan amal ibadah kita, sekalipun memiliki landasan rasional dan argumentatif, namun bentuk dan caranya berlandaskan teks-teks. Untuk itu masalah tasbih az-Zahra yang diucapkan setelah selesai shalat akan dikaji dalam bingkai ini.
Sejarah Tasbih az-Zahra
Sekaitan dengan masalah tasbih az-Zahra banyak riwayat yang menjelaskan bahwa Sayidah Fathimah Zahra as menemui ayahnya Rasulullah Saw. Tujuan kedatangannya menemui Rasulullah untuk meminta seorang pembantu yang dapat meringankan kerjanya. Rasulullah Saw bersabda,"Wahai anakku! Apakah engkau mau menerima yang lebih baik dari itu?"
Dalam riwayat disebutkan Ali dan Fathimah as serempak berkata, Iya, wahai Rasulullah! Berikan yang lebih baik dari seorang pembantu."
Rasulullah Saw bersabda, "Setiap hari bacalah 33 kali Subhanallah, 33 kali Alhamdulillah dan 34 kali Allah Akbar. 100 kali ucapan tasbih ini memberikan ribuan pahala yang dapat memberatkan timbangan amal perbuatan manusia. (Bait al-Ahzan, hal 63) Wahai Fathimah! Bila tasbih ini engkau ucapkan setiap hari pada waktu pagi, niscaya Allah akan mencukupkan keinginan duniawi dan ukhrawimu.
Keutamaan dan pahala tasbih az-Zahra
Muhaddis Qummi ahli hadis menyebutkan sejumlah riwayat dalam masalah ini. Pada kesempatan kali ini hadis-hadis paling penting akan dimuat sebagaimana berikut:
Imam Muhammad Baqir as berkata,"Setelah selesai melaksanakan shalat wajib, tidak ada yang lebih baik selain membaca tasbih az-Zahra." (Rayyahin, jilid 1, hal 196)
Imam Shadiq as berkata, "Tasbih az-Zahra lebih kusukai dari mengerjakan shalat sebanyak seribu rakaat dalam setiap hari." (Mahajjah al-Baidha' jilid 2, hal 348)
Di tempat lain Imam Shadiq as berkata, "Ajarkan kepada anak-anak kita untuk tidak meninggalkan mengucapkan tasbih az-Zahra sebagaimana kita mengajarkan kepada mereka untuk tidak meninggalkan shalat. Siapa saja yang membacanya secara kontinyu tidak akan bernasib buruk."
Dalam riwayat lain disebutkan, maksud dari Zikir Katsir dalam ayat al-Quran adalah tasbih az-Zahra. Barang siapa yang mengucapkan tasbih az-Zahra secara kontinyu setelah selesai shalat, maka ia telah mengamalkan ayat al-Quran yang menyebutkan,"Dan ingatlah Allah dengan Zikir yang banyak."
Imam Muhammad Baqir as berkata,"Bila ada yang lebih baik dari tasbih az-Zahra, niscaya Rasulullah Saw akan mengajarkannya kepada Fathimah as."
Bentuk tasbih az-Zahra
Dalam penjelasan bentuk pembacaan tasbih az-Zahra ada beberapa riwayat yang menyebutkan caranya dalam bentuk yang berbeda-beda. Namun, yang paling masyhur adalah 34 kali Allah Akbar, 33 kali Alhamdulillah dan 33 kali Subhanallah. Jumlah keseluruhannya menjadi 100. Dalam riwayat disebutkan, bila seseorang selesai shalat mengucapkan tasbih az-Zahra secara lengkap dan menutup bacaannya dengan Laa Ilaaha Illallah, niscaya Allah akan mengampuni dosanya. (IRIB Indonesia)

Rabu, 01 Juni 2016

SHALAT MALAM dan KEUTAMAANNYA



Oleh : Syaikh Husain Mazhahiri
Sesungguhnya salah satu kekuatan yang memungkinkan kita dapat memenangkan pertempuran yang terjadi di dalam diri kita ialah bangun malam, dan terjaga di antara dua terbit (yaitu terbit fajar dan terbit matahari).
Al-Quran Al-Karim secara khusus telah menaruh perhatian terhadap bangun di waktu malam, sahur dan terbitnya fajar hingga terbitnya matahari.
Demi fajar, dan malam yang sepuluh dan yang genap dan yang ganjil, dan malam bila berlalu. Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal. (QS. Al-Fajr :1-5)
Allah SWT melanjutkan sumpahnya dengan kata-kata :
Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal.
Yang dimaksud dengan kata al-hijr ialah akal. Barangsiapa yang mempunyai akal maka niscaya dia memahami sumpah Allah yang agung ini.
Sumpah dengan waktu fajar, malam yang sepuluh, salat malam yang mencakup dua rakaat shalat syafa’ (genap) dan satu rakaat shalat witir (ganjil), dan keseluruhan waktu malam mendapat perhatian Allah SWT.
Terdapat banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang waktu sahur, yang merupakan jantung waktu malam, dan waktu sebelum terbitnya fajar.
Demi malam apabila hampir meninggalkan gelapnya, dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing. (QS. At-Takwir : 17-18)
Pada tempat yang lain, kita membaca di dalam Al-Quran ayat yang mengatakan :
Dan malam ketika telah berlalu, dan Subuh apabila mulai terang. “
Itu mengisyaratkan bagian akhir dari waktu malam. Yaitu, waktu sahur yang merupakan waktu sebelum waktu terbit fajar. Adapun kata-kata “Demi Subuh apabila fajarnya telah menyingsing”. Adalah kiasan dari waktu sebelum terbitnya matahari.
Sesungguhnya mengerjakan shalat dan membaca zikir sebelum dua terbit mempunyai pengaruh yang luar biasa dan faedah yang sangat besar bagi kebaikan umat ini. Al-Quran Al-Karim teleh berbicara dengan cara membangkitkan semangat dalam masalah ini, dan menetapkan pahala yang besar dan kedudukan yang terpuji bagi perbuatan ini.
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS. Bani Israil : 78).
Di dalam ayat ini Allah SWT menetapkan bagi kita shalat yang lima. Yang diwajibkan atas kita dari awal waktu Zuhur hingga pertengahan malam ialah empat salat, yaitu shalat Zuhur, Asar, Magrib dan Isya. Kemudian Al-Quran berkata, “Dan dirikanlah pula shalat Subuh”. Sebagai tanda perhatian terhadap shalat Subuh, yang mana pahala dan ganjarannya sama dengan pahala dan ganjaran semua shalat yang empat itu. Karena, shalat subuh berlangsung pada awal waktu di antara dua terbit. Adapun mengenai shalat malam, Al-Quran Al-Karim menyebutkannya tersendiri, di samping juga menyebutkannya bersama-sama dengan shalat yang lima.
Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (QS. Bani Israil : 79).
Ayat yang mulia ini secara gamblang menjelaskan kepada kita tentang kedudukan terpuji yang dapat diraih manusia dengan mengerjakan shalat nafilah ini, yang merupakan penyempurna bagi shalat yang lima.
Barangsiapa ingin memperoleh keinginan yang kuat, ketajaman ucapan di tengah masyarakat, dan kemuliaan di dalam menghadapi problema, maka hendaklah dia mengerjakan shalat nafilah ini di pertengahan malam ketika manusia sedang lelap tertidur. Ini juga yang dibuktikan oleh para pakar ilmu jiwa modern.
Rasulullah SAW telah bersabda, “Sesungguhnya jika seorang hamba menyendiri dengan Tuhannya pada pertengahan malam yang gelap gulita, dan kemudian dia bermunajat kepada-Nya, maka pasti Allah akan menetapkan cahaya di dalam hatinya. Kemudian Allah SWT berkata kepada malaikat-Nya, “Wahai malaikat-Ku, lihatlah hamba-Ku, dia tengah menyendiri dengan-Ku di tengah malam yang gelap gulita, sementara orang-orang yang malas tengah lupa dan orang-orang yang lalai tengah tidur. Saksikanlah, sesungguhnya Aku telah mengampuninya.”
Pada hadis yang lain Rasulullah SAW juga telah bersabda, “Barangsiapa di antara hamba dikaruniai shalat malam, di mana dia berdiri semata-mata ikhlas karena Allah, berwudhu dengan wudhu yang sempurna, kemudian mengerjakan shalat dengan niat semata-mata karena Allah, sementara hatinya tenang dan anggota khusyu’, maka niscaya Allah menjadikan di belakangnya Sembilan baris yang terdiri dari para Malaikat. Yang mana pada setiap barisnya, tidak ada seorang pun yang menghitung jumlah malaikatnya, selain Allah. Adapun setiap baris, sisi satunya berada di timur sementara sisi lainnya berada di barat. Jika dia telah selesai mengerjakan shalat malam, maka dituliskan baginya berbagai derajat sebanyak bilangan malaikat yang ikut hadir di dalam salatnya.”
Barangsiapa menginginkan kehidupan dunia maka dia harus menaruh perhatian terhadap pembahasan ini; dan barangsiapa menginginkan kehidupan akhirat maka hendaknya dia pun harus memperhatikan pembahasan ini.
Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. (QS. Al-Muzammil;6)
Kita terbiasa sehari-hari melek hingga jam sebelas atau jam dua-belas malam, dan ini terhitung sebagai permulaan malam. Barangsiapa sibuk mengerjakan ibadah di waktu ini, sama dengan orang yang mengerjakan ibadah di pertengahan siang hari, permulaan siang hari maupun permulaan malam hari tidak meberikan apa-apa kepada manusia jika dibandingkan ibadah yang dikerjakan pada akhir malam, atau lebih utama lagi pada waktu sahur. Pengaruh bangun di akhir malam dapat dirasakan meskipun seseorang melaluinya tanpa mengerjakan ibadah.
Oleh karena itu kita membaca bahwa salah satu amalan mustahab malam-malam lailatul qadr ialah bangun dan terjaga sepanjang malam, meskipun itu dilalui tanpa mengerjakan ibadah.
Di dalam banyak riwayat, kita membaca penekanan agar seseorang bangun dan terjaga di antara dua terbit (terbit fajar dan terbit matahari), meskipun tidak melakukan shalat malam. Karena, keadaan terjaga di antara dua terbit atau pada akhir waktu malam sangat bermanfaat sekali bagi seorang manusia dari sisi kejiwaan, dan juga sangat bermanfaat dalam menumbuhkan semangat dan kesungguhan, karena sangat membantu dalam menghilangkan kesedihan dan keresahan jiwa seseorang.
Banyak orang yang mulia yang berusaha tidur pada permulaan malam dengan tujuan supaya bisa bangun pada akhir malam. Sebagian besar mereka menunda muthala’ah (kajian ilmiah) mereka hingga akhir malam. Mereka sibuk mengerjakan ibadah pada waktu di antara dua terbit, dan kemudian membaca Al-Quran setelah mengerjakan shalat subuh. Dikatakan, sesungguhnya doa yang dibaca pada waktu di antara dua terbit sangat mustajab, dan sesungguhnya membaca Al-Quran di waktu ini sangat berpengaruh sekali, dan meninggalkan pengaruh positif pada jiwa manusia. Barangsiapa tidak bisa mengerjakan ibadah di waktu yang berperngaruh ini, hendaknya dia mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain, seperti membaca atau pekerjaan-pekerjaan lain yang sejenisnya, sehingga dia mendapatkan pengaruh positif yang ada pada waktu yang berharga ini.
Rasulullah SAW dan para imam tidur pada awal waktu malam untuk bisa bangun pada akhir waktu malam. Kebanyakan saudara-saudara kita dari kalangan Ahlussunah memegang teguh masalah ini. Mereka telah hadir di masjid sebelum terbit fajar. Saudara-saudara kita, orang-orang Iran, menyaksikan yang demikian tatkala mereka pergi mengerjakan ibadah haji di Baitullah.
Shalat malam terdiri dari sebelas rakaat. Delapan rakaat pertama adalah dengan niat bahwa delapan rakaat ini adalah shalat malam, dan itu dikerjakan dua rakaat dua rakaat.
Adapun dua rakaat setelah delapan rakaat yang pertama, adalah yang diistilahkan dengan shalat syafa’(genap), yang dikerjakan sebelum mengerjakan satu rakaat akhir yang dikenal dengan shalat witir. Kita tidak akan masuk ke dalam rincian shalat malam; kita juga tidak akan bebicara mengenai qunutnya. Di dalam shalat malam sangat dianjurkan untuk mendoakan empat puluh mukmin, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, kemudian menyebut kata al’afwu secara berulang-ulang sebanyak 300 kali; dan lebih diutamakan membaca beberapa doa setelah selesai mengerjakan shalat witir.
Pada permulaannya seseorang akan merasa lelah bila mengerjakan shalat malam. Namun kemudian dia akan terbiasa dengan shalat ini sehingga shalat ini akan menjadi terbiasa di dalam kehidupannya. Orang yang shalat harus memperhatikan kelelahan fisik pada saat dia berusaha memperkuat rohnya. Keadaan ini bisa diibaratkan dengan seekor kuda yang masih liar. Jika kita ingin memanfaatkan kuda yang liar ini maka kita harus meletakkan tali kekang pada mulutnya, dan pada saat yang sama kita harus memperhatikan masalah makanan dan istirahatnya.
Sesungguhnya shalat malam bagi para pemula harus dikerjakan secara singkat saja. Dengan begitu, dia dapat sedikit demi sedikit menjinakkan dirinya untuk bisa bangun pada waktu akhir malam, sebelum azan subuh, dan mengerjakan shalat malam dalam bentuk yang paling sempurna. Al-Quran Al-Karim mengisyaratkan hal ini, “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali hanya sedikit darinya, (yaitu) seperduanya atau kurangilah sedikit dari seperdua itu, atau lebih dari seperdua itu, Dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al-Muzammil : 1-4)
Adapun berkenan dengan shalat pada awal waktu, Imam Muhammad al-Baqir telah berkata bahwa kakeknya Rasulullah SAW telah bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya awal waktu itu paling utama. Oleh karena itu segerakanlah perbuatan kebajikan semampu anda. Dan sesungguhnya amal perbuatan yang paling dicintai oleh Allah SWT adalah amal perbuatan yang dikerjakan secara kontinyu oleh seseorang hamba, meskipun hanya sedikit.”
Imam Ja’far ash-Shadiq telah mengatakan, bahwa kakeknya Rasulullah SAW telah bersabda, “Setiap salat mempunyai dua waktu. Awal waktu dan akhir waktu. Adapun awal waktu adalah seutama-utamanya waktu. Dan tidaklah seseorang berhak mengambil akhir waktu sebagai waktu shalat kecuali karena sakit. Sesungguhya akhir waktu hanya dijadikan bagi orang yang sakit dan bagi orang yang mempunyai halangan. Awal waktu merupakan keridhaan Allah, sementara akhir waktu adalah ampunan Allah.”
Sesungguhnya pembahasan akhlak berbeda dengan pembahasan filsafat. Pembahasan filsafat sangat sulit dari sisi penyampaian dan pendengaran. Saya tidak bisa membahas dan menjelaskan teori harakah jauhariyyah milik Mulla Shadra secara sederhana kepada anda. Jika saya menulis mengenai pembahasan teorai harakah jauhariyyah  selama setahun penuh bagi anda, niscaya anda tidak akan bisa mengambil manfaat dari pembahasan itu; demikian juga dengan saya. Akan tetapi, pembahasan akhlak sangat mudah untuk disampaikan dan didengarkan, hanya saja praktik dan pelaksanaannya sangat sulit. Semua orang tahu bahwa takabur adalah sifat yang rendah, dan dengan fitrahnya setiap orang mengetahui hal itu. Akan tetapi mencegah diri untuk tidak jatuh kepada sifat takabur adalah sesuatu yang sulit. Demikian juga semua orang tahu bahwa tawadhu (sifat rendah hati) adalah sifat yang baik.
Kita mengetahui dengan baik bahwa bangun malam mendapat perhatian yang khusus di dalam Al-Quran; demikian juga kita mengetahui bahwa waktu permulaan terbitnya fajar, dan waktu akhir malam adalah dua waktu yang penting. Al-Quran menyebutnya pada beberapa tempat, dan bahwa hal itu dapat menghilangkan kecemasan dan kesedihan, serta menambah semangat dan kekuatan kepada manusia, sehingga dengan itu dia dapat menang melawan hawa nafsunya. Terkadang seseorang tidak bisa bangun malam meskipun telah menyiapkan semua hal-hal yang diperlukan untuk itu, seperti meletakkan jam weker di dekat telinganya, tidur lebih awal, atau hal-hal lain yang serupa itu yang dapat membantunya untuk bangun malam.
Ketidakmampuan seseorang untuk melakukan bangun malam, pada dasarnya kembali kepada kenyataan bahwa taufik tidak dapat diperoleh kecuali oleh orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah secara ikhlas. Sebagian kalangan mengumpamakan seperti belerang merah yang langka. Di samping itu, perbuatan dosa dan maksiat serta memakan harta yang haram, mempunyai pengaruh yang besar dalam menghalangi seseorang untuk bisa bangun malam. Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, “Jangan engkau tinggalkan bangun malam. Karena, sesungguhnya orang yang tertipu adalah orang yang tidak bangun malam.
Secara umum, amal-amal perbuatan mempunyai pengaruh langsung pada kemampuan seseorang untuk bisa bangun malam. Apa yang kita lakukan di siang hari akan terefleksikan. Baik itu positif atau pun negatif, baik itu menghalangi ataupun membantu kita untuk mengerjakan shalat malam, yang mana menurut sebagian ulama adalah penyempurna bagi shalat wajib.
Almarhum Ustaz Abbas Taherani berkata, “Ketika di Najaf Asyraf saya mempunyai orang yang senantiasa membantu membangunkan saya untuk mengerjakan shalat malam, akan tetapi saya tidak tahu siapa dia. Di dalam riwayat-riwayat disebutkan bahwa para malaikat membangunkan orang-orang mukmin untuk mengerjakan shalat malam. Terkadang saya mendengar suara panggilan “Ya Abbas, bangunlah’, sementara pada kala lain saya mendengar seruan Bangun, wahai laki-laki.”
Hal yang seperti ini juga terjadi pada salah seorang murid Almarhum Taherani. Murid Almarhum Taherani ini berkata, “Saya pernah merasa ada seseorang yang menyepak kaki saya untuk bangun mengerjakan shalat malam.”
Imam  Muhammad al-Baqir berkata, “Seorang laki-laki datang ke hadapan Imam Ali, lalu berkata, Sesungguhnya saya tidak mampu mengerjakan shalat malam. Imam Ali berkata, ‘dosa-dosamu telah membelenggu.”
Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, “Sesungguhnya seorang laki-laki yang mengerjakan suatu dosa tidak mampu mengerjakan shalat malam. Sesungguhnya perbuatan yang buruk lebih cepat mengenai pelakunya dibandingkan pisau mengenai daging.”
Imam Ja’far ash-Shadiq juga berkata, “Sesungguhnya bila seorang laki-laki mengucapkan satu perkataan dusta, dia tidak mampu mengerjakan shalat malam.”
Shalat malam memberikan gelar kepada seseorang di alam malakut tertinggi. Jika dia senantiasa menjaga untuk melakukannya. Adapun gelar yang diberikan itu adalah gelar “al-mutahajjid” (orang yang senantiasa mendirikan shalat tahajud).
Seorang laki-laki maupun perempuan yang mendapat gelar ini di alam malakut, atas perintah Allah SWT para malaikat akan menolongnya di dalam banyak masalah sulit yang dihadapinya. Allah SWT telah mengisyaratkan hal itu di dalam ayat Al-Quran yang mulia, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah”. Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada  mereka. “ (QS. Fushshilat : 30).
Rasulullah SAW bersabda, “(Allah SWT berkata), ‘Sesungguhnya di antara hamba-hamba-Ku ada orang yang bersungguh-sungguh di dalam beribadah kepada-Ku. Dia bangun dari tidurnya dan bangkit dari kelezatan bantalnya. Lalu bermalam-malam dia mengerjakan shalat tahajud, memayahkan dirinya dia dalam beribadah kepada-Ku. Lalu Aku pun mendatangkan rasa kantuk kepadanya semalam atau dua malam, sebagai perhatian dari-Ku kepadanya dan untuk menjaganya supaya tetap dalam keadaannya. Sehingga dia pun tertidur hingga waktu subuh. Ketika bangun, dia mengecam dan menyalahkan dirinya. Karena sekiranya Aku membiarkannya sebagaimana yang dia inginkan, niscaya rasa ‘ujub (berbangga diri) akan masuk ke dalam dirinya, dan rasa ujub itu akan menjadikannya terperosok ke dalam fitnah dengan amalnya. Dari yang demikian itu akan datang kehancurannya, disebabkan rasa ‘ujub-nya (bangganya) terhadap diri dan amal perbuatannya, maka dia pun menjadi semakin jauh dari-Ku, sementara dia menyangka bahwa dia dekat kepada-Ku.”
Pada hadis  yang lain Rasulullah SAW juga telah bersabda, “Tidaklah seorang hamba berkata kepada dirinya bahwa dia akan bangun malam, namun kemudian dia tertidur, kecuali tidurnya itu dihitung sebagai sedekah yang Allah berikan kepadanya, dan Allah tetap menuliskan baginya pahala apa yang diniatinya itu.”

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...