Meski saat
ini dianggap sebagai madzhabnya kaum Syiah, Imam Ja’far bukanlah tokoh yang
mewakili kelompok tertentu. Ini terbukti dari murid-muridnya yang datang dari
berbagai aliran.
Hingga saat ini, dalam khazanah keberagamaan kaum ahlussunnah wal jama’ah, madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali yang telah ditulis pada pada tulisan-tulisan sebelumnya secara berturut-turut dianggap sebagai empat madzhab fiqih mu’tabar yang masih ada atau tersisa hingga saat ini. Madzhab-madzhab tersebut terus bertahan dan mendunia karena dukungan penguasa. Madzhab Hanafi, misalnya, mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, diangkat menjadi qadhi dalam pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah: al-Mahdi, al-Hadi, dan al-Rasyid.
Hingga saat ini, dalam khazanah keberagamaan kaum ahlussunnah wal jama’ah, madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali yang telah ditulis pada pada tulisan-tulisan sebelumnya secara berturut-turut dianggap sebagai empat madzhab fiqih mu’tabar yang masih ada atau tersisa hingga saat ini. Madzhab-madzhab tersebut terus bertahan dan mendunia karena dukungan penguasa. Madzhab Hanafi, misalnya, mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, diangkat menjadi qadhi dalam pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah: al-Mahdi, al-Hadi, dan al-Rasyid.
Madzhab
Maliki berkembang di khilafah Timur atas dukungan Al-Manshur, di khilafah Barat
atas dukungan Yahya bin Yahya ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah
Andalusia, dan di Afrika oleh al-Mu’iz yang mewajibkan seluruh penduduk untuk
mengikuti madzhab Maliki. Madzhab Syafi’i juga membesar di Mesir ketika
Shalahuddin Al-Ayyubi menguasai negeri itu. Dan Madzhab Hanbali menjadi kuat
pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil dari Dinasti Abbasiyyah. Waktu itu
al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang qadhi kecuali dengan persetujuan Imam
Ahmad ibn Hanbal.
Padahal
dalam perjalanan tarikh tasyri’ (sejarah perkembangan ilmu fiqih), selain empat
madzhab tersebut, pernah muncul banyak ahli fiqih yang mengeluarkan fatwa-fatwa
fiqih secara kontinyu dan terstruktur yang memuat mereka layak dianggap sebagai
imam-imam madzhab.
Ahli fiqih pertama yang ijtihad dan fatwa-fatwa fiqihnya cukup populer adalah Sayyidina Umar bin Khaththab, khalifah kedua setelah Sayyidina Abu Bakar Shiddiq. Beberapa ijtihadnya belakangan dibukukan dengan judul Fiqih Umar. Setelah Umar, semakin banyak ulama dari generasi sesudahnya yang dikenal sebagai mujtahid dan fatwanya dianggap sebagai madzhab tersendiri.
Ahli fiqih pertama yang ijtihad dan fatwa-fatwa fiqihnya cukup populer adalah Sayyidina Umar bin Khaththab, khalifah kedua setelah Sayyidina Abu Bakar Shiddiq. Beberapa ijtihadnya belakangan dibukukan dengan judul Fiqih Umar. Setelah Umar, semakin banyak ulama dari generasi sesudahnya yang dikenal sebagai mujtahid dan fatwanya dianggap sebagai madzhab tersendiri.
Diantara
mereka terdapat nama-nama besar seperti Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad
Al-Baqir (82 – 148 H), Abu Abdullah Sufyan bin Masruq Ats-Tsauri (65
– 161 H), Imam Abdurrahman bin Amr Al-Auza’i (88-157 H),
Abul Harits Al-Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman Al-Fahmi (94 – 175 H), Abu
Muhammad Sufyan ibn ‘Uyaiynah (wafat 198 H), Abu Sulayman Dawud ibn ‘Ali
Azh-Zhahiri (202 – 270 H) dan Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir At-Thabari (224 –
310 H).
Diikuti
Sunni Dan Syi’i
Meski saat ini madzhab Ja’fari diklaim sebagai madzhabnya kaum Syiah, pada awalnya fiqih Ja’fari tidak berafiliasi ke aliran aqidah mana pun. Dengan kedalaman ilmunya dan kemuliaan yang ada pada dirinya, Imam Ja’far di masa hidunya memang menjadi media bertemunya berbagai paham dan golongan pada kaum muslimin. Berbagai madzhab syariat dan tarekat merujukkan ajaran- ajarannya kepada Imam Ja’far, termasuk kaum Syiah.
Meski saat ini madzhab Ja’fari diklaim sebagai madzhabnya kaum Syiah, pada awalnya fiqih Ja’fari tidak berafiliasi ke aliran aqidah mana pun. Dengan kedalaman ilmunya dan kemuliaan yang ada pada dirinya, Imam Ja’far di masa hidunya memang menjadi media bertemunya berbagai paham dan golongan pada kaum muslimin. Berbagai madzhab syariat dan tarekat merujukkan ajaran- ajarannya kepada Imam Ja’far, termasuk kaum Syiah.
Bahkan bisa
dibilang Imam Ja’far adalah guru utama bagi sebagian besar ahli fiqih yang belakangan
menyusun madzhab. Sebut saja Imam Sufyan Ats-Tsauri, Imam Sufyan bin Uyainah,
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Yahya bin Sa’id Al-Anshary, Ibu Jarih, Al
Qaththan, Muhammad bin Ishar bin Yassar, Syu’bah bin Al Hajjaj, dan Abu Ayyub
as Sjistaniy yang tercatat pernah berguru kepada Imam Ja’far.
Sementara
dalam ranah kesufian nama Imam Ja’far Shadiq tercatat dalam berbagai mata rantai
silsilah thariqah shufiyyah seperti Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, Alawiyyah
dan sebagainya. Fakta-fakta tersebut tentu menguatkan bukti bahwa sebenarnya
sang Imam adalah tokoh Ahlussunnah, sebab jika sebaliknya pasti kaum sunni
tidak akan menjadikannya sebagai salah satu rujukan.
Meski
begitu, seiring perjalanan waktu, madzhab Ja’fari yang dikembangkan oleh ulama
sesudahnya semakin kental bernuansa syiah. Karena itu, jika mengkaji madzhab
Ja’fari di zaman modern ini, mau tidak mau kita akan bertemu dengan tradisi
Madzhab Ja’fari ala kaum syiah. Karena hanya sumber-sumber itu saja yang hingga
kini masih bisa ditemui.
Pengikut madzhab Ja’fari di zaman modern (kaum Syiah) membagi periodisasi fiqih menjadi dua : periode tasyri’ dan periode tafri’.
Pengikut madzhab Ja’fari di zaman modern (kaum Syiah) membagi periodisasi fiqih menjadi dua : periode tasyri’ dan periode tafri’.
Periode
tasyri’ (penetapan syariat) adalah periode turunnya syariat yang meliputi masa
kenabian Rasulullah SAW sejak awal hingga beliau wafat. Periode ini diwarnai
dengan turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan ajaran ilahi kepada Rasul SAW. Selama
rentang masa 23 tahun beliau menerima wahyu yang mencakup semua hukum syariat.
Periode
tafri’ (penafsiran syariat) dimulai sejak Nabi SAW wafat dan berlangsung sampai
kelak Imam Mahdi as muncul di tengah-tengah umat. Tafri’ secara umum dimaknai
istinbath dan penyimpulan hukum berdasarkan syariat yang diterima dan diajarkan
oleh Nabi SAW.
Periode tafri’ juga terbagi menjadi beberapa tahapan lagi. Tahapan pertama adalah masa hidup para imam. Ketika itu, para pengikut Ahlussunnah sudah memasuki masa ijtihad, berbeda halnya dengan para pengikut Ahlul Bait atau Syiah. Di zaman itu, Syiah merujuk kepada pendapat dan kata-kata para imam Ahlul Bait dalam semua masalah syariat.
Periode tafri’ juga terbagi menjadi beberapa tahapan lagi. Tahapan pertama adalah masa hidup para imam. Ketika itu, para pengikut Ahlussunnah sudah memasuki masa ijtihad, berbeda halnya dengan para pengikut Ahlul Bait atau Syiah. Di zaman itu, Syiah merujuk kepada pendapat dan kata-kata para imam Ahlul Bait dalam semua masalah syariat.
Di antara 12
imam tersebut, Imam Muhammad al-Baqir dan Imam Jafar Shadiq yangdianggap paling
banyak mendapat kesempatan untuk berbicara dan menerangkan hukum-hukum agama.
Karena itu, dalam kepustakaan hadits pengikut Madzhab Ja’fari modern, jumlah
riwayat dari kedua Imam tersebut jauh lebih besar dibanding riwayat para imam
yang lain.
Menolak
Qiyas
Tahap kedua dimulai sejak masa ghaibnya Imam Mahdi, atau sekitar paruh pertama abad keempat hijriyah hingga paruh pertama abad kelima. Periode ini adalah masa keemasan bagi penyusunan hadis, dengan kemunculan para muhaddits dan faqih besar Syiah, diantaranya Syekh Kulaini dan Syekh Shaduq. Kitab-kitab kumpulan hadis yang ditulis pada masa ini menjadi rujukan Syiah sepanjang masa.
Tahap kedua dimulai sejak masa ghaibnya Imam Mahdi, atau sekitar paruh pertama abad keempat hijriyah hingga paruh pertama abad kelima. Periode ini adalah masa keemasan bagi penyusunan hadis, dengan kemunculan para muhaddits dan faqih besar Syiah, diantaranya Syekh Kulaini dan Syekh Shaduq. Kitab-kitab kumpulan hadis yang ditulis pada masa ini menjadi rujukan Syiah sepanjang masa.
Tahap ketiga
adalah masa ijtihad. Di masa ini para ulama melakukan aktivitas pengumpulan
nash syariat secara ijtihad. Dengan berpijak pada teori ushul fiqh mereka
menyimpulkan hukum dari nash-nash yang ada. Berkat kerja keras ulama di zaman
itu, ilmu uhsul fiqh Syiah disusun dan menemukan
bentuknya. Hal itu terjadi berkat upaya keras para ulama semisal Ibn Abi Aqil.
Tahap
keempat adalah masa taqlid. Masa ini dimulai sejak wafatnya Syekh Thusi yang
dikenal sebagai faqih Syiah sepanjang masa. Kepergian ulama sekaliber beliau
meninggalkan luka yang amat dalam di tengah kaum Syiah. Ketinggian dan keluasan
ilmu Syekh Thusi membuat ulama berpikir untuk tidak beramal selain dengan fatwa
beliau. Mereka bahkan menilai orang yang berani berijtihad sebagai orang yang
lancang terhadap Syekh Thusi.
Tahap kelima
adalah masa maraknya kembali ijtihad. Masa ini dimulai dengan tampilnya Ibnu
Idris sebagai pembaharu. Dengan menulis buku fiqh al-Sarair, Ibnu Idris
mendorong para ulama untuk tidak hanya mengikuti pendapat ulama terdahulu.
Kitab al-Sarair sampai saat ini menjadi rujukan para ulama. Langkah Ibnu Idris
membuat para ulama berani untuk berijtihad kembali. Di masa itu studi dan riset
fiqh mengalami kemajuan yang pesat dengan bermunculannya para ulama besar
semisal Allamah Hilli, Muhaqqiq Hilli dan Fakhrul Muhaqqiqin.
Tahap keenam
adalah periode munculnya gerakan akhbariyyin. Pada masa ini, sebagian ulama
berpendapat bahwa sumber syariat hanya terbatas pada al-Qur’an dan sunnah.
Mereka menolak metode ijtihad. Akibatnya ilmu ushul yang mengajarkan metode
bertijtihad dengan benar, mengalami kelesuan. Umumnya kitab fiqh yang ditulis
pada masa ini berporos pada riwayat dan hadis. Diantara kitab-kitab tersebut
adalah al-Qafi, Wasail al-Syiah dan Bihar al-Anwar.
Tahap
ketujuh adalah periode kebangkitan kembali gerakan ijtihad. Perintis periode
ini adalah Muhammad Baqir bin Muhammad Akmal yang dikenal dengan sebutan Syekh
Wahid Bahbahani. Beliau dengan lantang menolak cara berpikir kaum akhbari, dan
dengan membawakan berbagai dalil kuat membantah klaim dan pendapat mereka.
Bahbahani juga menerangkan kebutuhan umat kepada kaedah untuk istinbath.
Gerakan itu membuahkan hasil gemilang dengan kemunculan ulama sekaliber Syekh
Murtadha Anshari (wafat tahun 1281 hijriyah), yang dikenal sangat jeli dalam
mengurai hukum dan beristinbath.
Prinsip
dasar madzhab Ja’fari, selain menolak qiyas, adalah: Pertama, sumber syariat adalah
al-Qur’an, al-Sunnah dan akal. Termasuk ke dalam sunnah adalah sunnah ahlul
bait. Mereka tidak mau menjadikan hujjah hadits-hadits yang diriwayatkan para
sahabat yang memusuhi ahl al-Bayt;
Kedua,
istihsan tidak boleh dipergunakan. Qiyas hanya dipergunakan bila ‘illat-nya
manshush (terdapat dalam nash). Pada hal-hal yang tak terdapat ketentuan
nashnya, digunakan akal berdasarkan kaidah-kaidah tertentu;
Ketiga,
Al-Qur’an dipandang telah lengkap menjawab seluruh persoalan agama. Tugas
seorang mujtahid adalah mengeluarkan jawaban-jawaban umum untuk masalah-masalah
yang khusus dari al-Qur’an.
Dekat Dengan
Syafi’i
Mengenai hukum-hukum dalam madzhab Ja’fari Syaikh Ahmad Kaftaro, mufti madzhab Syafi’i di Mesir mengatakan, sebenarnya madzhab Ja’fari –yang modern pun– cukup dekat dengan madzhab Syafi’i, kecuali dalam 17 perkara yang memang sangat berbeda dengan fiqh yang dianut mayoritas kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah saat ini. Salah satunya adalah khums atau khumus, pajak keagamaan yang diberikan kepada Ahlul Bait seperti zakat.
Mengenai hukum-hukum dalam madzhab Ja’fari Syaikh Ahmad Kaftaro, mufti madzhab Syafi’i di Mesir mengatakan, sebenarnya madzhab Ja’fari –yang modern pun– cukup dekat dengan madzhab Syafi’i, kecuali dalam 17 perkara yang memang sangat berbeda dengan fiqh yang dianut mayoritas kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah saat ini. Salah satunya adalah khums atau khumus, pajak keagamaan yang diberikan kepada Ahlul Bait seperti zakat.
Menurut
madzhab Ja’fari, sebenarnya khumus telah diberlakukan pada masa nabi, namun
dihapus pada masa khalifah Abu Bakar Shiddiq. Karena itu khumus tidak lagi
didapati dalam fiqih-fiqih kaum sunni. (Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3, 1996)
Hal lain
yang juga sangat berbeda dengan fiqih sunni adalah dalam masalah nikah mut’ah,
atau nikah berjangka. Tidak sebagaimana madzhab empat yang mengharamkan nikah
mut’ah, madzhab Ja’fari modern justru menghalalkannya.
Fuqaha Syi’i
menganggap nikah mut’ah masih boleh diamakan berdasarkan keumuman hukum dalam
ayat 24 surah an-Nisa’ dan amalan beberapa shahabat sepeninggal Nabi. Baru pada
masa khalifah Umar, negara yang secara tegas melarang nikah mut’ah dengan
disertai ancaman hukum rajam. Sementara menurut fuqaha sunni ayat 24 surah
An-Nisa itu sudah dimansukh dengan hadit hadits shahih yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dan Imam Muslim. Dalam hadits tersebut dengan tegas Rasulullah SAW
melarang pelaksanaan nikah mut’ah yang sebelumnya dibolehkan.
Tidak mudah
memang melacak fatwa-fatwa Imam Ja’far Shadiq yang asli. Kitab Rasail
Ikhwan Ash Shafa yang diklaim sebagai buku induk fatwa Imam Ja’far, misalnya,
dikarang pada masa pemerintahan Dinasti Buwaihiyyah (321 H – 447 H), atau lebih
dari dua ratus tahun setelah wafatnya Imam Ja`far pada tahun 148 H. Dan masih
banyak lagi contoh-contoh lain.
Imam Ja’far
Ash Shadiq adalah keturunan kelima Rasulullah SAW melalui Sayidah Fatimah
Az-Zahra yang menikah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ayahnya, Muhammad
Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein Asy-Syahid bin Ali bin Abi Thalib
menikah dengan Ummu Farwah yang nama aslinya Qaribah atau Fatimah binti
Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shidiq. Dengan nasab yang luar biasa
tersebut Imam Ja’far mewarisi darah beberapa tokoh paling utama di bumi
sekaligus : Fatimah binti Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar
Shiddiq.
Sedangkan
nenek dari ibunya adalah Asma binti Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Karena nasab kakek-nenek dari pihak ibunya bermuara pada kepada Abu Bakar
Shiddiq, Imam Ja`far Ash-Shadiq pun mengatakan, “Aku dilahirkan oleh Abu Bakar
dua kali.” (Syiar `A`lam An Nubala : 259).
Karena
ikatan darah yang sangat kuat itulah Imam Ja`far Ash Shadiq sangat mencintai
datuk-datuknya, Ali Bin Abi Thalib dan Abu Bakar Ash-Shiddiq serta orang-orang
yang mereka sayangi seperti Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Aisyah binti
Abu Bakar dan lain-lain. Dalam berbagai literatur sejarah juga diceritakan
bahwa Imam Ja`far membenci orang-orang yang membenci sahabat-sahabat Nabi
tersebut dan orang-orang yang menetapkannya sebagai imam yang ma`sum.
Mencintai
Abu Bakar
Diriwayatkan oleh Abdul Jabbar bin Al-Abbas Al-Hamdzani, Ja`far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir mendatangi mereka ketika mereka hendak meninggalkan Madinah, lalu berkata, “Sesunggunya kalian –insya Allah– termasuk orang-orang shalih di negeri kalian, maka sampaikanlah kepada mereka ucapanku ini, ‘Barangsiapa mengira aku adalah imam ma`shum yang wajib ditaati maka aku benar-benar tidak ada sangkut paut dengannya. Dan barangsiapa mengira bahwa aku berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar maka aku berlepas diri dari orang itu’.” (Syiar `A`lam An Nubala : 259).
Diriwayatkan oleh Abdul Jabbar bin Al-Abbas Al-Hamdzani, Ja`far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir mendatangi mereka ketika mereka hendak meninggalkan Madinah, lalu berkata, “Sesunggunya kalian –insya Allah– termasuk orang-orang shalih di negeri kalian, maka sampaikanlah kepada mereka ucapanku ini, ‘Barangsiapa mengira aku adalah imam ma`shum yang wajib ditaati maka aku benar-benar tidak ada sangkut paut dengannya. Dan barangsiapa mengira bahwa aku berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar maka aku berlepas diri dari orang itu’.” (Syiar `A`lam An Nubala : 259).
Muhammad bin
Fudhail menceritakan dari Salim bin Abu Hafshah, “aku bertanya kepada Abu
Ja`far (Imam Muhammad Al-Baqir) dan putranya, Ja`far, tentang Abu Bakar dan
Umar. Ia (Imam Muhammad) berkata, ‘Wahai Salim, cintailah keduanya dan berlepas
diri musuh-musuhnya karena keduanya adalah imam al-huda (pemimpin yang mendapat
petunjuk).’
Kemudian
Ja`far berkata, ‘Hai Salim apakah ada orang yang mencela kakeknya sendiri? Abu
Bakar adalah kakekku. Aku tidak akan mendapatkan syafaat Muhammad SAW pada hari
kiamat jika aku tidak mencintai keduanya dan memusuhi musuh-musuhnya.’
Ucapan Imam Ash Shadiq seperti ini ia ucapkan di hadapan ayahnya, Imam Muhammad Al-Baqir dan dia tidak mengingkarinya. (Tarikh Al-Islam 6/46).
Ucapan Imam Ash Shadiq seperti ini ia ucapkan di hadapan ayahnya, Imam Muhammad Al-Baqir dan dia tidak mengingkarinya. (Tarikh Al-Islam 6/46).
Hafsh bin
Ghayats, murid dari Ash-Shadiq berkata, “Saya mendengar Ja`far bin Muhammad
berkata, ‘Aku tidak mengharapkan syafaat untukku sedikit pun melainkan aku
berharap syafaat Abu Bakar semisalnya. Sungguh dia telah melahirkanku dua kali’.”
Murid Imam Ja`far yang lain, Amr bin Qais Al-Mulai mengatakan, “Saya mendengar Ibnu Muhammad (Ash-Shadiq) berkata, ‘Allah ta`ala berlepas diri dari orang yang berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar’.” (Syiar Alam An Nubala : 260).
Murid Imam Ja`far yang lain, Amr bin Qais Al-Mulai mengatakan, “Saya mendengar Ibnu Muhammad (Ash-Shadiq) berkata, ‘Allah ta`ala berlepas diri dari orang yang berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar’.” (Syiar Alam An Nubala : 260).
Zuhair bin
Mu`awiyah berkata, “Bapaknya berkata kepada Imam Ja`far bin Muhammad,
‘Sesungguhnya saya memiliki tetangga yang mengira engkau berlepas diri dari Abu
Bakar dan Umar’. Imam Ja`far pun mejawab, “Semoga Allah berlepas diri ` dari
tetanggamu itu. Demi Allah sesungguhnya saya berharap mudah-mudahan Allah
memberikan manfaat kepadaku karena kekerabatanku dengan Abu Bakar. Sungguh aku
telah mengadukan (rasa sakit) maka aku berwasiat kepada pamanku (dari ibu)
Abdurrahman bin Al Qasim. (At Taqrib, Ibnu Hajar dan Tarikh Al-Islam, Adz
Dzahabi).
Imam Ja’far
bin Muhammad lahir di Madinah pada tahun 82 H, pada masa pemerintah Abd
al-Malik ibn Marwan. Selama lima belas tahun ia tinggal bersama kakeknya, Ali
Zainal Abidin keturunan Rasulullah yang selamat dari pembantaian di Karbala.
Setelah Imam Ali wafat, ia diasuh oleh ayahnya Muhammad al-Baqir dan hidup
bersama selama sembilan belas tahun.
Ia sempat
menyaksikan kekejaman Al-Hajjaj, gubernur Madinah, pemberontakan Zaid ibn Ali,
dan penindasan terhadap para pengikut keturunan nabi. Ia juga menyaksikan
naiknya al-Saffah menjadi khalifah pertama Dinasti Abbasiyah, yang semula
mendukung kaum Alawiyyin namun belakangan berbalik memusuhinya. Dalam suasana
seperti itulah, Imam Ja’far tumbuh, belajar dan berdakwah untuk menyebarkan
sunnah Rasulullah dan akhlak kaum Muslim.
Imam Ja’far
termasuk ulama yang tidak setuju dengan penggunaan logika (ra’yu) dalam
beragama. Diceritakan, suatu ketika Ibnu Abi Layla, salah seorang murid Imam
Ja’far mengajak dua orang temannya Abu Hanifah dan Ibn Syabramah menghadap
gurunya.
Digelari
Imam Sunni
Imam Ja’far lalu bertanya kepada Ibn Abi Layla tentang kawannya (Abu Hanifah). Sang murid menjawab, “Ia orang pintar dan mengetahui agama.”
“Bukankah ia suka melakukan qiyas dalam urusan agama?,” tanya Ja’far.
“Benar.”
Ja’far bertanya kepada Abu Hanffah: “Siapa namamu?”
“Nu’man,” jawab Abu Hanifah.
Imam Ja’far lalu bertanya kepada Ibn Abi Layla tentang kawannya (Abu Hanifah). Sang murid menjawab, “Ia orang pintar dan mengetahui agama.”
“Bukankah ia suka melakukan qiyas dalam urusan agama?,” tanya Ja’far.
“Benar.”
Ja’far bertanya kepada Abu Hanffah: “Siapa namamu?”
“Nu’man,” jawab Abu Hanifah.
Imam Ja’far
mengajukan, “Hai Nu’man, ayahku memberitahukan kepadaku dari kakekku bahwa Nabi
SAW bersabda, ‘Orang yang pertama kali menggunakan qiyas dalam agama adalah iblis.
Karena ketika Allah menyuruhnya bersujud kepada Adam ia berdalih, Aku lebih
baik dari dia karena aku Kau buat dari api dan ia Kau buat dari tanah.”
“Manakah
yang lebih besar dosanya – membunuh atau berzina?,” tanya Imam Ja’far lebih
lanjut.
“Membunuh,” jawab Imam Abu Hanifah.
“Membunuh,” jawab Imam Abu Hanifah.
“Lalu,
mengapa Allah hanya menuntut dua orang saksi untuk pembunuhan dan empat orang
saksi untuk zina.”
Imam Abu Hanifah terdiam.
Imam Abu Hanifah terdiam.
“Mana yang
lebih besar kewajibannya, shalat atau shaum (puasa)?”
“Shalat,” jawab Imam Abu Hanifah.
“Shalat,” jawab Imam Abu Hanifah.
“Mengapa
wanita yang haidh harus mengqadha puasanya tetapi tidak harus mengqadha
shalatnya. Bagaimana kamu menggunakan qiyasmu. Bertaqwalah kepada Allah dan
jangan melakukan qiyas dalam agama.”
Karena
keluasan dan kedalaman ilmunya itulah, Imam Ja’far juga digelari Al-Imam oleh
kaum Ahlussunnah wal Jamaah.Betapa tidak luas, tak kurang lima belas tahun ia
dididik langsung oleh kakeknya, Imam Zainal Abidin, seorang ahli ibadah, ulama
besar dan pemimpin ahlul bait yang paling dihormati seluruh lapisan umat Islam
pada zamannya.
Selain
kepada ayah dan kakeknya, Imam Ja’far juga menimba ilmu dari para sahabat besar
seperti Sahl bin Sa`ad As-Sa`idi dan Anas bin Malik serta dari ulama dari
generasi tabi`in seperti Atha` bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, Urwah
bin Az-Zubair, Muhammad bin Al-Munkadir, Abdullah bin Abu Rafi` dan Ikrimah
Mawla bin Al-Abbas.
Imam Ja’far
wafat pada 25 Syawal 148 H –ada juga yang mengatakan pada bulan Rajab– dalam
usia 68 tahun di kota kelahirannya, Madinah. Sang Imam meninggalkan tujuh putra
yang belakangan juga dikenal sebagai permata-permata ilmu, yaitu Ismail,
Abdullah, Musa Al Kazhim, Ishaq, Muhammad, Ali dan Fathimah.
Ahmad Iftah
Sidik, (Santri Asal Tangerang)
http://www.thohiriyyah.com