Agustus 27, 2012
Pesantren
Syiah, Darut Taqrib, berdiri di tengah lingkungan Nahdlatul Ulama, yang
merupakan penganut Sunni di Desa Candi Bangsri, Jepara. Meski beberapa praktek
peribadatannya berbeda, warga Syiah dan warga NU hidup damai di wilayah ini.
Menurut Miqdad Turkan, murid Abdul Ghadir Bafaqih, pendiri aliran Syiah di
Jepara, ada beberapa faktor yang menyebabkan kaum Syiah dan Sunni di Jepara
bisa hidup damai.
Ada
faktor hubungan kekerabatan dan pertemanan sejak lama. “Banyak tokoh kiai di
Jepara dan sekitarnya pernah menjadi murid Ghadir,” kata Miqdad. Karena itu,
ketika Abdul Ghadir beralih ke Syiah, muridnya tahu bahwa Abdul Ghadir memang
berbeda sejak awal, sehingga tak menimbulkan masalah.
Selain
itu, para kiai muda di Jepara juga berteman baik sejak di bangku sekolah. Yang
tak kalang penting, kata Miqdad, kaum Syiah di sana tak pernah bertindak
ekstrem atau berambisi mengajak orang Sunni masuk ke Syiah. “Orang Syiah
berkembang secara alamiah dan orang lain melihat Syiah juga secara alamiah
pula,” katanya.
Bagi
Miqdad, secara naluriah, orang terus berproses dalam pencarian akibat
ketidakpuasan spiritual. “Silakan diskusi. Selanjutnya Anda jadi Syiah atau
tidak, itu hak anda. Orang yang bijak adalah yang bisa memahami orang lain
tanpa harus mengikuti,” kata Miqdad.
Muhammad
Ali, salah satu pengasuh pondok Darut Taqrib, menyatakan menjadi penganut Syiah
secara alamiah setelah banyak membaca buku. “Saat umur 16 tahun, saya banyak
membaca buku tentang Islam dan masyarakat, serta tentang Islam dan tantangan
zaman,” katanya. Setelah itu, dia mondok di Pekalongan.
Sebelumnya,
Ali adalah penganut Sunni tulen. Keluarganya pun pengikut setia Sunni. Kini,
Ali beralih ke Syiah, sedangkan keluarganya masih ikut Sunni. Keluarga Ali juga
tak mempersoalkan pilihan keyakinan anaknya. “Perbedaaan dalam hal kehidupan
adalah sesuatu yang biasa, yang penting saling menghargai,” katanya.
Miqdad
menambahkan, silakan menjadi pengikut Syiah atau Sunni. “Yang penting jangan
berhenti belajar dan selalu membela kaum mustad’afin (kaum lemah),”
ujarnya. Miqdad mencontohkan, penganut Syiah dan Sunni di Jepara sering
melakukan salat berjamaah. Miqdad mengatakan, dalam salat berjamaah itu, tangan
penganut Sunni bersedekap, sedangkan tangan penganut Syiah tidak demikian.
“Tidak ada masalah. Itu hanya perbedaan yang tak substansial,” katanya.
Miqdad
memperkirakan bahwa konflik antara kaum Syiah dan Sunni yang terjadi di
beberapa tempat di Indonesia menunjukan ketidakpahaman mereka tentang Syiah.
Dia menjamin hubungan Syiah-Sunni di Jepara akan tetap aman. “Kecuali kalau ada
provokator dari luar daerah,” kata dia.
Menurut
Miqdad, yang menarik perhatian masyarakat lain terhadap Syiah adalah kisah
heroisme beberapa tokoh, misalnya pemimpin Hizbullah Lebanon, Syekh Hasan
Nasrullah; Presiden Iran Mahmoud Ahmadinnejad, dan pemimpin Revolusi Iran,
Ayatullah Khomeini.
Selain
di Jepara, jemaah Ahlul Bait ada di Semarang. Sekitar 200 penganut Syiah
terpencar di seantero Semarang. Berbeda dari sebelumnya, kini penganut Syiah
tak lagi bersembunyi (taqiyah). Di Kampung Bulu, Stalan, misalnya, meski
hanya ada tiga keluarga penganut Syiah, mereka sudah secara terbuka menunjukkan
keyakinannya sebagai penganut Syiah.
Pengurus
Yayasan Nuruts Tsaqalain, Nurkholishm menyatakan penyebaran Syiah tak dilakukan
melalui doktrinasi. “Salah besar jika ada anggapan kalau Syiah berkembang di
Indonesia karena mobilisasi,” katanya. Beralihnya seseorang menjadi Syiah lebih
didasarkan pada pencarian kepuasan keilmuan. Salah satunya melalui buku. Pada
2009, buku tentang Syiah berjumlah sekitar 750 judul.
Pencarian
kepuasan ilmu memang menjadi ciri khas penganut Syiah. Berbagai tema kehidupan
juga menjadi bahan diskusi mereka. Namun kini komunitas Syiah juga mulai berkonsentrasi
pada kegiatan sosial. “Dialog intelektual diminimalkan karena kebutuhan
masyarakat luas adalah aksi nyata,” kata Nurkholis.
Jemaah
Syiah di Jepara dan Semarang sering menyalurkan beasiswa, membedah rumah,
melakukan bakti sosial, mendonorkan darah, dan membantu korban bencana alam.
Mereka juga bekerja sama dengan berbagai kelompok penganut agama lain tanpa
mengibarkan atribut apa pun.
Pengajar
Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, Muhksin Jamil, yang menyusun
disertasi tentang Syiah di Jepara, menyatakan komunitas Syiah Jepara terbangun
atas dasar persamaan proses pencarian kepuasan keilmuan dan peribadatan. Yang
tak kalah penting, kata Muhksin, penganut Syiah tak menutup mata terhadap
masalah sosial. “Mereka sering membela kaum mustad’afin (kaum lemah)
dengan membedah rumah, memberi beasiswa, dan menyalurkan bantuan,” katanya. (DarutTaqrib/Koran Tempo/Adrikna!)