Jumat, 18 Juli 2014

Surat Terbuka bukan untuk Prabowo maupun Jokowi



 KOMPAS.com
Catatan Kaki Jodhi Yudono

Kemarin saya bertemu karib saya. Don namanya. Kepada saya dia mengaku sedang dimabuk rindu. Kepada siapa rindu Don dialamatkan, saya sudah tahu jawabannya. Yani, itulah nama perempuan yang sudah memenjarakan cinta Don hingga kini. Itulah sebabnya, cuma kepada Yani seorang rindu Don ditumpahkan.

Semenjak perpisahan sekira sepuluh tahun lalu di kawasan Senayan, tak pernah sekalipun pasangan ini bersua.

Don pernah bercerita, kali terakhir mereka bertemu di sebuah kafe di Plaza senayan. Hari beranjak senja saat mereka bersua. Dua gelas lemon tea dan sejumlah penganan kecil, menemani mereka berbincang. Sebelum pada akhirnya mereka sepakat untuk berpisah. "Mungkin sebulan, setahun, lima tahun, sepuluh tahun, kita baru berjumpa lagi. Mungkin juga selamanya kita tak akan bertemu," ujar Yani ketika hari telah sempurna senja.

Semenjak itulah keduanya seperti memilih jalan yang bertolak belakang. Don ke Utara, sedang Yani ke selatan, begitu seterusnya. Hingga saya ketemu Don kemarin dan dia menyatakan rindu yang menggebu kepada Yani.

"Temui saja dia, toh kamu tahu alamat kantornya, alamat rumahnya," kata saya enteng.
Don cuma menggeleng.

"Kalian berkawan di media sosial?"

Kembali Don menggeleng, lantas pergi begitu saja, seperti biasanya. Saya pun tidak mencoba untuk memintanya kembali. Saya tahu betul tabiat lelaki jomblo itu., Sebentar lagi tentu dia akan bikin kejutan buat saya.

Malam harinya, dia pun kirim pesan di HP saya. "Cek tulisanku di inbox FBmu," begitu bunyi pesan Don.

Saya pun segera membuka laptop, dan segera menemukan tulisan Don yang lumayan panjang. Begini bunyinya:

Untuk Yani kekasihku.

Demi cuaca yang labil, aku tidak sedang meniru banyak tokoh yang belakangan banyak membuat surat terbuka untuk Prabowo, calon presiden nomor urut satu. Maafkan juga aku, sebab pasti jauh dari yang disebut heroik. Sebab, sementara banyak orang berkirim surat kepada calon presiden, aku malah berkirim surat kepadamu.

Sekali lagi aku minta maaf, sebab masih menyebutmu kekasih. Padahal sudah sepuluh tahun lewat kita tak bertemu dan saling bertegur sapa. Sampai kapan pun, engkau adalah kekasih jiwaku, kendati sampai mati kita tak akan dipertemukan kembali.

Apa kabarmu? Moga-moga kau baik-baik saja.

Jujur kuakui, aku rindu padamu. Lebih dari itu, aku juga ingin bercerita banyak mengenai apa saja yang kujumpai belakangan ini. Sekedar untuk mengurangi beban, sebelum aku gila oleh peristiwa demi persitiwa yang tak masuk akal yang bisa merusak pikiran dan nuraniku.

Tentu kau tahu, Pilpres kali ini nyaris seperti perang Baratayudha. Sebab yang maju cuma dua kandidat, seperti halnya keluarga Pandawa dan Kurawa. Cuma anehnya, para tim sukses masing-masing kandidat merasa keduanya adalah keluarga Pandawa alias keluarga baik-baik. Lebih aneh lagi, jika mereka mengaku dari golongan orang-orang baik, mengapa situasi sekarang sedemikian genting justru oleh ulah kedua kubu itu yang saling melempar isu.

Kubu yang satu menuduh kubu lainnya sebagai PKI, kurang taat beragama, capres boneka, antek asing. Sementara kubuh yang dituduh lantas membalas, bahwa kubu yang menuduh adalah seorang penculik, pelanggar berat HAM, perpanjangan rezim Orde Baru, dan temperamental.

Untunglah pada hari pemilihan berlangsung dengan aman. Kedua kandidat berterimakasih kepada masyarakat dan juga kepada Presiden SBY yang sudah dengan baik menyelenggarakan Pilpres.  

Tapi lihatlah, wahai kekasihku. Rupanya konflik belum usai meski proses pencoblosan sudah berakhir. Beberapa jam setelah coblosan berakhir, kubu Jokowi mendeklarasikan kemenangannya berdasarkan penghitungan cepat hasil survei 7 lembaga survei yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum.

Aku hanya menduga, barangkali kubu Jokowi hanya menjalankan tradisi yang telah berlangsung, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Bahwa mereka yang memenangi quick count dari lembaga-lembaga yang kredibel sudah sewajarnya mengumumkan kemenangannya di hadapan publik.

Tapi apa yang terjadi? Kubu Prabowo juga mengumumkan kemenangannya, juga berdasarkan hasil penghitungan cepat empat lembaga survei versi mereka.

Prabowo menyebut semua quick count yang tidak mengunggulkan dirinya adalah bayaran dan komersil tanpa mempertimbangkan soal rekam jejak lembaga-lembaga itu. Sementara pendukung Jokowi meuduh "lantas bagaimana dengan Ines, IRC, JSN, Puskaptis, LSN, memangnya merewka bukan bayaran? Tidak komersil? Bagaimana dengan rekam jejak lima lembaga survei tersebut?

Kita pun kemudian merasai, betapa bangsa ini terbelah menjadi dua. Golongan pertama adalah mereka yang percaya Prabowo-Hatta pemenangnya. Sedang golongan kedua, meyakini Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai juaranya. Perpecahan bangsa rasanya sudah di depan mata. Sebab, media yang seharusnya berdiri di atas semua golongan, hari itu juga terpecah menjadi dua. Kandidat nomor urut satu didukung oleh TVOne, ANTV, RCTI, MNC, dan Global TV. Sementara kandidat nomor dua didukung oleh Metro TV. Sementara stasiun televisi lainnya di luar dua kelompok media itu, menayangkan quick count yang memenangkan Jokowi dan JK.

Malamnya, kedua kandidat sowan kepada Presiden SBY di Cikeas. Pesan Presiden sama untuk keduanya, agar keduanya mengendalikan massa pendukung masing-masing agar tidak terjadi benturan. Keduanya pun mematuhi hari itu dengan tidak mengerahkan massa turun ke jalan.

Tapi pada Jumat (11/7) atas nama Rakyat Palestina yang dianiaya Israel, pendukung Prabowo berhimpun di bunderan Hotel Indonesia. Di tempat itu, Prabowo sudah disebut "presiden" oleh pendukungnya. Sementara pada hari yang sama, para relawan Jokowi berkumpul di Tugu Proklamasi pada Jumat (11/7/2014) juga untuk mendoakan warga Palestina.


Hmmm... lucu ya? Kadang kita menyaksikan kebengisan mereka, tapi di saat yang lain, kita juga menyaksikan betapa manisnya mereka. Kadang kita sampai bergidik membaca dan mendengar fitnah keji mereka atas kelompok lainnya, tapi di lain waktu mereka bagai malaikat yang penuh welas asih dengan mendoakan sesama yang sedang teraniaya.

Yani kekasihku, aku gemetar oleh cuaca pancaroba. Angin dingin menusuk kulitku. Semoga ini bukan pertanda buruk bagi bangsa ini. Semoga ini hanya fenomena alam belaka yang disebabkan oleh angin yang datang dari Timur Tenggara yang cenderung teduh dan menghasilkan suhu dingin.

Aku khawatir, kekasihku. Apalagi belakangan santer beredar pesan-pesan gelap yang seolah-olah bakal terjadi "perang badar" seperti yang diisyaratkan oleh Amien Rais beberapa waktu silam.

Sungguh kekasihku, aku menulis surat ini semata karena aku rindu kepadamu, bukan karena urusan yang lain. Bukan juga ikut-ikutan Arswendo Atmowiloto, Romo Magnis, Mira Lesmana, Happy Salma, Nina Tamam, dan Riri Riza, serta yang lainnya, yang mengirim surat ke Prabowo untuk mempertanyakan kredibilitas hasil penghitungan cepat empat lembaga survei yang menempatkan Prabowo-Hatta sebagai pemenang Pilpres 2014.

Yani kekasihku, sambil menunggu pengumuman KPU pada 22 Juli nanti, marilah kita terus berdoa dan berharap, semoga Tuhan Semesta Alam menjauhkan bangsa kita dari marabahaya dan perpecahan. Semoga mereka yang sedang dibutakan oleh kekuasan, segera diterangi akal dan hatinya. Semoga mereka yang sedang "bermusuhan" segera diakurkan. Mereka yang sedang dikuasai oleh amarah, segera diterbitkan senyumnya.

Sekian surat dariku yang selalu rindu, kepadamu.

Don

@JodhiY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...