Soedirman, Panglima Besar Tentara
Republik Indonesia yang tergolek lemah akibat TBC tiba-tiba bangkit. Sehari
sebelum agresi kedua belanda, ia seperti mendapat firasat jika ibukota akan
diserang. Seperti mendapat mukjizat, ia yang sebelumnya tak bisa beranjak dari
tempat tidur justru berangkat ke Gedung Agung untuk meminta Soekarno
meninggalkan Yogyakarta.
Sayang, Presiden Soekarno kala itu
menolak untuk hengkang dari ibukota. Bung Karno memilih bertahan. Soedirman
kecewa. Ia pun menolak ajakan Presiden untuk bertahan di Yogya. Baginya, haram
menyerah sebagai tentara. Ia pun segera meninggalkan ibukota beserta pengawal
dan pasukannya. Tujuh bulan ia menjalankan perlawanan dari tandu yang
membawanya selama perang Gerilya.
Itulah Soedirman, seorang panglima besar
yang digambarkan dalam buku keluaran Tempo ini. Seperti biasa, buku seri tokoh
kali ini mampu menampilkan sosok Soedirman sebagai pejuang dan manusia biasa.
Menggambarkan sosok Soedirman yang patuh kepada sumpah tapi juga mengisahkan
kemanusiaan Soedirman kala peristiwa madiun 1948.
Mengawali kisah kepemimpinan Soedirman,
buku ini menghadirkan cerita dibalik terpilihnya Soedirman sebagai Panglima
Besar. Dalam sebuah rapat revolusioner yang panas, ia mengalahkan pilihan
pemerintah dalam pemilihan tiga tahap. Segera setelah terpilih, masih dalam
pertemuan yang sama ia mempersiapkan perang ambarawa. Perang ambarawa sendiri
memiliki arti yang besar dalam hidup Pak Dirman. Sejarah mencatat perang
ambarawa adalah kemenangan terbesar Soedirman.
Kisah berlanjut pada peristiwa Madiun
1948. Bagi Soedirman, ini adalah permasalahan internal angkatan perang. Bentrok
yang terjadi adalah akibat Siliwangi yang hijrah ke jawa dan membuat kehidupan
pasukan disana sulit. Soedirman sendiri mengutus Letkol Soeharto untuk membujuk
Musso agar bentrok tak berlanjut. Musso sendiri memperlihatkan kondisi Madiun
ternyata tak seperti yang digambarkan media. Tapi sayang, sebelum laporan
Soeharto sampai, peintah menumpas PKI lebih dulu turun.
Sebagai tentara, jika ia diperintah
menyerang, maka ia menyerang. Maka ketika perintah menyerang Madiun turun,
soedirman berangkat ke Madiun. Dari sinilah penyakit Soedirman bermula.
Sepulang dari madiun, ia syok menyaksikan genangan darah sedalam 5 sentimeter
dan kondisi korban yang mengenaskan. Setelah bercerita, Soedirman mandi tanpa
menggunakan air hangat. Sehabis mandi, Pak Dirman merasa lemas dan tergolek
saja hingga sehari berikutnya. Akhirnya ia dirawat dan didiagnosa menderita
Tuberkulosis.
Begitulah kisahnya. Sebagai seorang
perokok berat Soedirman tak bisa lepas dari asap rokok. Pernah ketika ia
dipaksa dokter untuk tidak merokok, Soedirman justru meminta istrinya
menyemburkan asap rokok kepadanya. Meski ia menderita TBC, pada akhirnya ia
mati karena kesalahan diagnosa dokter yang membuat sebelah paru-parunya tak
berfungsi. 29 Januari 1950, ia berpulang ke haribaan Tuhan.
Dilengkapi dengan pandangan beberapa
tokoh, sosok Soedirman semakin terlengkapi kisah hidupnya. Begitu juga
sosoknya, sekalipun sudah meninggal yang terus dimanfaatkan oleh pejabat
Republik untuk mendapat simpati rakyat. Mulai dari Soekarno, Soeharto, hingga
Yudhoyono. Bagi mereka yang hanya kenal sosok Pak Dirman dari buku pelajaran
sejarah sekolahan, buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca guna melihat
sosok Panglima besar secara utuh.
ISBN
: 9789799105240
Rilis
: 2012
Halaman : 176
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia