Rabu, 19 September 2018

Mengintip Tradisi Jawa di Malam Kesembilan Bulan Suro


MetroIslam.com – Ritual di bulan Suro bagi masyarakat Jawa terbilang cukup padat. Dari malam pertama bulan Suro hingga hari ke sepuluh termasuk setelahnya, merupakan hari-hari yang memiliki nilai kesakralan. Di hari yang diyakini sakral itulah, masyarakat Islam Jawa, termasuk di Yogyakarta menyikapinya dengan berbagai ritual, yang sudah menjadi tradisi turun temurun.
“Dari keseluruhan peribadatan pada bulan Muharram, yang paling populer adalah ritual pada hari Asyuro, atau hari kesepuluh bulan Muharram. Terkadang juga ditambah dengan satu atau dua hari sebelumnya (tarwiyah= 8, hari kedelapan dan tasu’a = 9 ), dan juga ditambah pula satu hari sesudahnya (tanggal 11),” kata penulis “Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar” KH. Muhammad Solikhin.
Tasu’a sendiri makna asalnya ‘sembilan’ yang dalam lidah Jawa biasanya disebut ‘tasungan’. Malam Tasungan berarti ritual malam kesembilan di bulan Suro. Biasanya orang-orang berkumpul di suatu tempat atau rumah untuk mendengarkan manaqib Baginda Hasan dan Husain, cucu Kanjeng Nabi SAW. Manaqib atau kisah perjalanan cucu Nabi yang dibacakan berasal dari teks melayu kuno Ali Hanafiah.
Namun sebelumnya, lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an dan doa dari kitab Al Barazanji terdengar mengawali ritual ini. Setelah manaqib dibacakan, hadirin mendengarkan ceramah dan diakhiri oleh pembagian potongan tumpeng dan bubur Suran (Suro) kepada semua yang hadir. 
Selama pembagian potongan tumpeng, tembang khas Jawa “Lir-ilir” dilantunkan bersama-sama tanpa diiringi alat musik apapun.


Bubur merah dan putih ini juga populer disebut “bubur Hasan dan Husain” merupakan bubur yang disedekahkan sebagai tanda kehormatan dan pemuliaan terhadap dua cucu Nabi Muhammad SAW, putra Ali bin Abi Tholib dan Fatimah,” kata Kiai Solikhin. 
Setiap orang juga diberikan bubur Suran yang berwarna putih dan merah dalam satu tempat (mangkuk). Setelah menjelaskan proses akulturasi bahasa, budayawan Ki Herman Sinung Janutama mengatakan bahwa bubur sebenarnya berasal dari kata “gugur” dan Suran atau Suro berasal dari kata “Asyuro”. Keduanya, jika digabung berarti gugur di hari Asyuro. 
Adapun warna putih dan merah melambangkan Hasan dan Husain sebagai simbol untuk mengenang cucu Kanjeng Nabi SAW.
Bubur Suro sangat dikenal di kalangan masyarakat muslim di Jawa. Cerita mengenai bubur suro ini, lanjut Kiai Solikhin, terdapat dua riwayat yang sesuai dengan dua macam bentuk bubur yang dihidangkan sebagai sedekah. Cerita pertama terkait dengan syahidnya Sayyidnia Husain di padang Karbala. Keluarga ahlulbait Nabi dibantai oleh keluarga Khalifah Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan, atas perintah Yazid bin Muawiyah.
“Untuk mengenang kesyahidan itu, maka dibuatlah sedekah dalam bentuk bubur merah dan putih sebagai simbol keberanian Husain membela kebenaran. Ada juga yang menafsirkan bubur merah dan putih sebagai simbol dari Hasan-Husain sebagai cucu kesayangan Rasulullah sehingga dalam kenduri yang berhubungan dengan kelahiran anak, umumnya kedua macam bubur ini disajikan,” katanya. 
Sayangnya, tambah Ki Herman, ritual malam tasungan ini sulit lagi ditemukan pada masa kini. Sebabnya beragam. Menurut pengkaji literatur dan hikayat Melayu, Mohammad Faisal, selain kependudukan kolonial, kedatangan Wahabi abad ke-19 juga memberikan dampak signifikan. Karena itu, menarik untuk diteliti lebih dalam lagi soal fakta-fakta budaya historis sebelum dan setelah adanya kolonialisme dan wahabisme di Yogyakarta.
Menurut sastrawan Prof. Dr. Abdul Hadi, tradisi Islam Jawa yang bercorak mistis tidak lepas dari sumbangsih Tasawuf dalam Islam itu sendiri. Peranan para ahli tasawuf atau sufi tidak disangkal lagi, karena sebagian besar penyebar-penyebar agama Islam pada abad ke-13 – ke-17 M adalah ahli-ahli tasawuf dan jejaknya dapat disaksikan dalam berbagai bukti seperti kitab-kitab keagamaan dan sastra, juga dalam adat istiadat.
“Para sufi itu berpengaruh besar dalam penentuan kalender Islam, penentuan bentuk-bentuk upacara keagamaan seperti maulid dan lain-lain,” katanya.
Penyair yang juga sufi besar dalam dunia Islam, Jalaluddin Rumi misalnya, menganggap kecintaan kepada Sayyidina Husain sebagai kelanjutan dari kecintaan kepada Nabi Muhammad saw, dengan cara yang sama sebuah telinga mencintai mutiara.
Dalam kitab keenamnya, Rumi menggambarkan Nabi Muhammad Saw sebagai wujud telinga dan Sayyidina Husain adalah mutiara, “Tidakkah engkau tahu bahwa hari Asyura adalah hari duka cita bagi satu jiwa yang lebih utama ketimbang seluruh abad?”
Masih dalam kitab yang sama, Rumi melanjutkan bait-baitnya, “Bagaimana bisa tragedi ini dianggap ringan oleh seorang Mukmin hakiki? Kecintaan kepada anting (Husain) sama dengan kecintaan kepada telinga (Nabi Muhammad saw). Dalam pandangan Mukmin sejati, duka cita kepada ruh murni lebih agung ketimbang ratusan banjir pada (zaman) Nuh.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...