MetroIslam.com –
Ritual di bulan Suro bagi masyarakat Jawa terbilang cukup padat. Dari malam
pertama bulan Suro hingga hari ke sepuluh termasuk setelahnya, merupakan
hari-hari yang memiliki nilai kesakralan. Di hari yang diyakini sakral itulah,
masyarakat Islam Jawa, termasuk di Yogyakarta menyikapinya dengan berbagai
ritual, yang sudah menjadi tradisi turun temurun.
“Dari keseluruhan peribadatan pada bulan
Muharram, yang paling populer adalah ritual pada hari Asyuro, atau hari
kesepuluh bulan Muharram. Terkadang juga ditambah dengan satu atau dua hari
sebelumnya (tarwiyah= 8, hari kedelapan dan tasu’a = 9 ), dan juga ditambah
pula satu hari sesudahnya (tanggal 11),” kata penulis “Ajaran Ma’rifat Syekh
Siti Jenar” KH. Muhammad Solikhin.
Tasu’a sendiri makna asalnya ‘sembilan’
yang dalam lidah Jawa biasanya disebut ‘tasungan’. Malam Tasungan berarti
ritual malam kesembilan di bulan Suro. Biasanya orang-orang berkumpul di suatu
tempat atau rumah untuk mendengarkan manaqib Baginda Hasan dan Husain, cucu
Kanjeng Nabi SAW. Manaqib atau kisah perjalanan cucu Nabi yang dibacakan
berasal dari teks melayu kuno Ali Hanafiah.
Namun sebelumnya, lantunan ayat-ayat
suci Al Qur’an dan doa dari kitab Al Barazanji terdengar mengawali ritual ini.
Setelah manaqib dibacakan, hadirin mendengarkan ceramah dan diakhiri oleh
pembagian potongan tumpeng dan bubur Suran (Suro) kepada semua yang
hadir.
Selama pembagian potongan tumpeng,
tembang khas Jawa “Lir-ilir” dilantunkan bersama-sama tanpa diiringi alat musik
apapun.
Bubur merah dan putih ini juga
populer disebut “bubur Hasan dan Husain” merupakan bubur yang disedekahkan
sebagai tanda kehormatan dan pemuliaan terhadap dua cucu Nabi Muhammad SAW,
putra Ali bin Abi Tholib dan Fatimah,” kata Kiai Solikhin.
Setiap orang juga diberikan bubur Suran
yang berwarna putih dan merah dalam satu tempat (mangkuk). Setelah menjelaskan
proses akulturasi bahasa, budayawan Ki Herman Sinung Janutama mengatakan bahwa
bubur sebenarnya berasal dari kata “gugur” dan Suran atau Suro berasal dari
kata “Asyuro”. Keduanya, jika digabung berarti gugur di hari Asyuro.
Adapun warna putih dan merah melambangkan
Hasan dan Husain sebagai simbol untuk mengenang cucu Kanjeng Nabi SAW.
Bubur Suro sangat dikenal di kalangan
masyarakat muslim di Jawa. Cerita mengenai bubur suro ini, lanjut Kiai
Solikhin, terdapat dua riwayat yang sesuai dengan dua macam bentuk bubur yang
dihidangkan sebagai sedekah. Cerita pertama terkait dengan syahidnya Sayyidnia
Husain di padang Karbala. Keluarga ahlulbait Nabi dibantai oleh keluarga
Khalifah Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan, atas perintah Yazid bin Muawiyah.
“Untuk mengenang kesyahidan itu, maka
dibuatlah sedekah dalam bentuk bubur merah dan putih sebagai simbol keberanian
Husain membela kebenaran. Ada juga yang menafsirkan bubur merah dan putih
sebagai simbol dari Hasan-Husain sebagai cucu kesayangan Rasulullah sehingga
dalam kenduri yang berhubungan dengan kelahiran anak, umumnya kedua macam bubur
ini disajikan,” katanya.
Sayangnya, tambah Ki Herman, ritual
malam tasungan ini sulit lagi ditemukan pada masa kini. Sebabnya beragam.
Menurut pengkaji literatur dan hikayat Melayu, Mohammad Faisal, selain
kependudukan kolonial, kedatangan Wahabi abad ke-19 juga memberikan dampak
signifikan. Karena itu, menarik untuk diteliti lebih dalam lagi soal
fakta-fakta budaya historis sebelum dan setelah adanya kolonialisme dan
wahabisme di Yogyakarta.
Menurut sastrawan Prof. Dr. Abdul Hadi,
tradisi Islam Jawa yang bercorak mistis tidak lepas dari sumbangsih Tasawuf
dalam Islam itu sendiri. Peranan para ahli tasawuf atau sufi tidak disangkal
lagi, karena sebagian besar penyebar-penyebar agama Islam pada abad ke-13 –
ke-17 M adalah ahli-ahli tasawuf dan jejaknya dapat disaksikan dalam berbagai
bukti seperti kitab-kitab keagamaan dan sastra, juga dalam adat istiadat.
“Para sufi itu berpengaruh besar dalam
penentuan kalender Islam, penentuan bentuk-bentuk upacara keagamaan seperti
maulid dan lain-lain,” katanya.
Penyair yang juga sufi besar dalam dunia
Islam, Jalaluddin Rumi misalnya, menganggap kecintaan kepada Sayyidina Husain
sebagai kelanjutan dari kecintaan kepada Nabi Muhammad saw, dengan cara yang
sama sebuah telinga mencintai mutiara.
Dalam kitab keenamnya, Rumi
menggambarkan Nabi Muhammad Saw sebagai wujud telinga dan Sayyidina Husain
adalah mutiara, “Tidakkah engkau tahu bahwa hari Asyura adalah hari duka cita
bagi satu jiwa yang lebih utama ketimbang seluruh abad?”
Masih dalam kitab yang sama, Rumi
melanjutkan bait-baitnya, “Bagaimana bisa tragedi ini dianggap ringan oleh
seorang Mukmin hakiki? Kecintaan kepada anting (Husain) sama dengan kecintaan
kepada telinga (Nabi Muhammad saw). Dalam pandangan Mukmin sejati, duka cita
kepada ruh murni lebih agung ketimbang ratusan banjir pada (zaman) Nuh.”
Source: http://www.islamindonesia.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar