Wajah dan wangsanya memang totok China. Tetapi kacapi dan suling seolah telah menyulap Tan Deseng menjadi orang Sunda pituin (asli
“Kang Dada, saya memang tak tinggal di Kota Bandung & bukan orang Sunda, tapi saya suka kesenian Sunda. Melihat tokoh budaya Sunda yang kebetulan keturunan Tionghoa itu, Bapak Tan Deseng yang rumahnya saja masih ngontrak, apakah Pemkot tidak memikirkan beliau? Harusnya masyarakat Sunda berterimakasih dengan dedikasi Pak Tan Deseng.”
Kang Dada ialah Dada Rosada, Walikota Bandung. Menurut si pengirim SMS, Kang Dada sebagai representatif masyarakat Sunda, harus memikirkan rumah bagi Deseng, sebagai ungkapan terimakasih atas jasa dan dedikasinya dalam mengembangkan seni-budaya Sunda, terkhusus karawitan buhun ala Cianjuran.
Sekalipun sudah diterakan sekilas identitasnya pada SMS di atas, barangkali bagi Anda nama Deseng tetaplah samar. Kurang karib. Tapi mungkin Anda mengenal satu orang atau lebih nama-nama ini: Remy Sylado, Dian Pisesa, Gilang Ramadhan, Indra Lesmana, Pra B Dharma, Teti Kadi, Euis Darliah, Jajat Paramor, Hety Koesendang, Harry Rusli (alm), Sam Bimbo, Ireng Maulana, Kiboud Maulana, Oelle Pattyselano, Victor Rompas, Bujana, Joko, Coni Constantia, Tri Utami.
Nama-nama yang dibanjarkan itu, setidaknya pernah bertautan dengan Deseng pada sebuah kolaborasi musik. Terkhusus Dian Pisesa dan Remy Sylado, relasi yang terjalin dengan Deseng lebih intim lagi. Dian dididik Deseng sedari nol, hingga menjadi vokalis bertaraf nasional. Sedangkan korespondensi Remy dan Deseng bersifat resiprokal.
Kata almarhum Henry Guntur Tarigan, dosen kuliah Membaca Universitas Pendidikan Indonesia, hubungan antara guru dan murid selaiknya bersifat resiprokal: Guru yang murid dan murid yang guru. Titah ini mengisyaratkan, bahwa tak ada guru yang sempurna. Nobodys perfect in the world. Di satuan waktu yang sama, guru sehendaknya sekaligus belajar kepada murid.
Demikianlah, sejak 1979 Deseng belajar kepada Remy soal filsafat estetika dan wawasan berkesenian, sedang Remy belajar pelbagai instrumen musik dan memetik gitar dari Deseng. Remy dan Deseng sudah seperti bersaudara. Remy sangat mengenal Deseng secara komprehensif.
Saya sendiri tidak mengenal Deseng. Hanya pernah membaca namanya di media massa, yang sering disebut-sebut sebagai “Lebih Sunda dari orang Sunda”, “Pendekar karawitan Sunda”, “Orang China yang Nyunda”, dan sederet identitas lainnya. Saya tidak tahu persis apakah pernah bertemu atau melihat wajah Deseng secara langsung.
Sampai akhirnya saya membuat janji untuk berbincang-bincang di rumahnya, di Jl Babakan Jeruk II No 16, kawasan Terusan Pasteur, Bandung. Sekira pukul dua siang kami akan bertemu. Sabtu siang itu (30/6), hari nampak cerah, dan udara terasa gerah. Setelah pemanasan global, Bandung memang tidak sesejuk dulu lagi.
Demikianlah, sejak 1979 Deseng belajar kepada Remy soal filsafat estetika dan wawasan berkesenian, sedang Remy belajar pelbagai instrumen musik dan memetik gitar dari Deseng. Remy dan Deseng sudah seperti bersaudara. Remy sangat mengenal Deseng secara komprehensif.
Saya sendiri tidak mengenal Deseng. Hanya pernah membaca namanya di media massa, yang sering disebut-sebut sebagai “Lebih Sunda dari orang Sunda”, “Pendekar karawitan Sunda”, “Orang China yang Nyunda”, dan sederet identitas lainnya. Saya tidak tahu persis apakah pernah bertemu atau melihat wajah Deseng secara langsung.
Sampai akhirnya saya membuat janji untuk berbincang-bincang di rumahnya, di Jl Babakan Jeruk II No 16, kawasan Terusan Pasteur, Bandung. Sekira pukul dua siang kami akan bertemu. Sabtu siang itu (30/6), hari nampak cerah, dan udara terasa gerah. Setelah pemanasan global, Bandung memang tidak sesejuk dulu lagi.
SELEPAS Dzuhur, Bandung jadi mendung. Hujan turun lumayan deras. Terdengar petir mengguntur-guntur. Reda sejeda. Kemudian gerimis menitis ritmis. Saya tembus gerimis dengan payung. Lalu naik angkutan kota menuju rumah Tan Deseng. Gerimis yang ritmis mendatangkan suasana ganda: sendu dan syahdu.
"Cuaca teh mani jiga nu ceurik. Sararedih kieu nya (Cuaca seperti sedang menangis. Terasa begini sedih),” kata sopir angkutan kota kepada kernetnya.
Sudah tiga hari hujan mengguyur Bandung selepas Dzuhur. Saya teringat semasa kecil di Bandung, tahun 80-an. Bila musim penghujan, matahari biasanya baru lingsir menjelang sepenggalah, bahkan bisa seharian absen, karena sebentar-sebentar hujan turun, atau sekedar rintik-rintik.
Di tengah hujan yang mulai mereda saya tiba di rumah Deseng. Pintu rumah terbuka. Di tengah ruangan tamu tampak seorang lelaki bertubuh cengkar mengenakan sarung dan kemeja putih. Ia sedang menelepon. Dialah Tan Deseng, lelaki yang saya cari. Senyumnya terkembang, menyambut saya yang berdiri di depan pintu.
“Silahkan masuk,” kata Deseng.
Saya membuka percakapan. Bukan untuk basa-basi. Saya kenal Deseng melalui banyak tulisan mengenai kesenian Sunda. Sebelum bincang-bincang lebih mendalam, saya meminta Deseng bermusik supaya pernyataannya jadi tambah afdol. Ia mengambil salah satu gitar yang terpajang di ruang tamu. Ada dua gitar di ruang tamu itu, merk Yamaha jenis string. Permainan musiknya mengingatkan saya pada Kitaro dan Gypsy Kings, menyatakan kekagumannya pada gitar dan kacapi Sunda. Di tangan Deseng gitar jadi multiguna.
Ia bisa memainkan pelbagai jenis musik dan tangga nada, baik yang diatonis (7 tangga nada modernis), maupun yang pentatonis (5 tangga nada tradisionalis). Kami terlibat perbicangan soal tembang sunda lawas, dan Deseng menembangkan salah satu mamaos, saya semakin yakin, musik Sunda itu bernada sendu, syahdu, mellow. Watak alam Sunda memang telah ikut membentuk karakter musiknya.
Ia memetik gitar itu, memainkan irama kacapi. Setelah petikan intro, Deseng menembangkan mamaos jenis madenda yang bernada sorog (salah satu jenis musik Sunda), yang liriknya seperti ini:
Udan Mas
kukupu tilu kulawu
harimumu hideung deui
cat mancat ka bale pulang
ngait mayang ku kareumbi
badoang manuk badoang
eunteup dina paku haji
jung nangtung asa lalanjung
gek diuk asa tiguling
leumpang asa ngalongkewang
pipikiran selang seling
sukma na manglayang-layang
tayoh aya nu di lingling
Tiga kupu-kupu warna kelabu
Harimumu (kenangan) hitam kembali
Manjat dan pulang ke bale
Mengait mayang dengan kareumbi (pohon)
Badoang burung badoang (burung gelatik)
Hinggap pada paku haji
Berdiri serasa pusing kepala
Duduk serasa jatuh
Berjalan serasa goyah
Pikiran silang sengkarut
Sukma melayang-layang
Alih-alih ada yang dicari
Petikan gitar dengan irama kacapi itu, berikut lirik-liriknya, terdengar oleh pengupingan saya, seperti suara masa lalu yang memutar ulang kenangan, yang memanggil-manggil hati ini untuk kembali. Ya, kembali ke alam yang masih eksotis, harmonis, alam Pasundan.
"Cuaca teh mani jiga nu ceurik. Sararedih kieu nya (Cuaca seperti sedang menangis. Terasa begini sedih),” kata sopir angkutan kota kepada kernetnya.
Sudah tiga hari hujan mengguyur Bandung selepas Dzuhur. Saya teringat semasa kecil di Bandung, tahun 80-an. Bila musim penghujan, matahari biasanya baru lingsir menjelang sepenggalah, bahkan bisa seharian absen, karena sebentar-sebentar hujan turun, atau sekedar rintik-rintik.
Di tengah hujan yang mulai mereda saya tiba di rumah Deseng. Pintu rumah terbuka. Di tengah ruangan tamu tampak seorang lelaki bertubuh cengkar mengenakan sarung dan kemeja putih. Ia sedang menelepon. Dialah Tan Deseng, lelaki yang saya cari. Senyumnya terkembang, menyambut saya yang berdiri di depan pintu.
“Silahkan masuk,” kata Deseng.
Saya membuka percakapan. Bukan untuk basa-basi. Saya kenal Deseng melalui banyak tulisan mengenai kesenian Sunda. Sebelum bincang-bincang lebih mendalam, saya meminta Deseng bermusik supaya pernyataannya jadi tambah afdol. Ia mengambil salah satu gitar yang terpajang di ruang tamu. Ada dua gitar di ruang tamu itu, merk Yamaha jenis string. Permainan musiknya mengingatkan saya pada Kitaro dan Gypsy Kings, menyatakan kekagumannya pada gitar dan kacapi Sunda. Di tangan Deseng gitar jadi multiguna.
Ia bisa memainkan pelbagai jenis musik dan tangga nada, baik yang diatonis (7 tangga nada modernis), maupun yang pentatonis (5 tangga nada tradisionalis). Kami terlibat perbicangan soal tembang sunda lawas, dan Deseng menembangkan salah satu mamaos, saya semakin yakin, musik Sunda itu bernada sendu, syahdu, mellow. Watak alam Sunda memang telah ikut membentuk karakter musiknya.
Ia memetik gitar itu, memainkan irama kacapi. Setelah petikan intro, Deseng menembangkan mamaos jenis madenda yang bernada sorog (salah satu jenis musik Sunda), yang liriknya seperti ini:
Udan Mas
kukupu tilu kulawu
harimumu hideung deui
cat mancat ka bale pulang
ngait mayang ku kareumbi
badoang manuk badoang
eunteup dina paku haji
jung nangtung asa lalanjung
gek diuk asa tiguling
leumpang asa ngalongkewang
pipikiran selang seling
sukma na manglayang-layang
tayoh aya nu di lingling
Tiga kupu-kupu warna kelabu
Harimumu (kenangan) hitam kembali
Manjat dan pulang ke bale
Mengait mayang dengan kareumbi (pohon)
Badoang burung badoang (burung gelatik)
Hinggap pada paku haji
Berdiri serasa pusing kepala
Duduk serasa jatuh
Berjalan serasa goyah
Pikiran silang sengkarut
Sukma melayang-layang
Alih-alih ada yang dicari
Petikan gitar dengan irama kacapi itu, berikut lirik-liriknya, terdengar oleh pengupingan saya, seperti suara masa lalu yang memutar ulang kenangan, yang memanggil-manggil hati ini untuk kembali. Ya, kembali ke alam yang masih eksotis, harmonis, alam Pasundan.
sumber : http://gugahjanari.blogspot.com/2007/07/leburnya-tan-deseng.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar