Oleh: Iman Fauzan
Berbicara mengenai perempuan memang manarik namun juga menyedihkan. Menarik, karena perbincangan ini berkenaan langsung dengan diri kita sebagai manusia yang secara biologis tercipta sebagai laki-laki dan perempuan. Menyedihkan, karena secara empiris-sosiologis tidak bisa dinafikan akan banyaknya ketidakadilan sosial yang terjadi terhadap gender perempuan. Dan ketidakadilan ini barang kali merupakan ketidak adilan tertua dalam sejarah manusia.
Fenomena ketidak adilan sosial terhadap perempuan itu menurut analisa kontemporer Mansour Fakih bisa dilihat dalam lima gejala yang ada: marjinalisasi perempuan baik di rumah tangga maupun tempat kerja, subordinasi terhadap perempuan karena anggapan gender yang salah, streotif yang merugikan kaum perempuan, berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan baik fisik maupun psikologis, dan pembagian kerja seksual yang merugikan kaum perempuan.
Dalam dunia Islam sendiri perempuan cenderung diletakan sebagai makhluk sekunder, terutama oleh kaum konservatif Islam yang hanya memperhatikan aspek-aspek luar dan formalnya saja dalam memperlakukan perempuan dan keperempuanannya. Dengan tidak memperhatikan aspek spiritual yang biasa digali oleh kaum teosofi, dan ini lebih bersifat humanis, perenial, dan universal. Maka tidak heran kalau Islam diklaim sebagai agama yang melegitimasi kekerasan terhadap perempuan. Dan patut kita cari juga jawaban atas maraknya pernyataan para western yang menyatakan, “I am sufism but not moeslim”. Terutama yang terkait dengan persoalan-persoalan perempuan dalam perbincangan dunia Islam kontemporer.
Para teosofi Islam memandang perempuan sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki keistimewaan lebih dibanding laki-laki. Itulah mengapa asy-Syaykh al-Akhbar Ibn ‘Arabi tidak henti-hentinya takjub setiap kali bertemu dengan perempuan-perempuan istimewanya seperti; Maryam (istri pertamanya), Sayyidah Nizam (rekan termuda dan cantik), dan Fathimah bint Ibn al-Mutsana (seorang guru spiritual Ibn ‘Arabi), yang ketiga-tiganya menjadi elan vital dalam perjalanan spiritualnya menuju illahi, karena mereka juga pada kenyataanya adalah seorang feminin sofianik.
Dengan demikian tulisan ini bertujuan untuk menjernihkan pemahaman yang menyatakan bahwa Islam sebagai agama yang melegitimasi kekerasan terhadap perempuan. Padahal dalam Islam sendiri terdapat berbagai macam corak pemikiran dan penafsiran. Maka di sini akan menyuguhkan satu sudut pandang yang berbeda, yaitu mengenai status perempuan dalam teosofi Ibn ‘Arabi yang lebih humanis.
Menurut Ibn ‘Arabi, perempuan memang mulia dan tak sekedar dimuliakan, kemuliaan itu terkait langsung dengan kodrat perempuan sebagai pantulan kasih sayang Tuhan yang bersifat perenial dan universal. Perempuan mendapat status yang tinggi di mata Tuhan, karena pada dirinya melekat citra Tuhan sebagai Yang Mahakasih. Ke-rahim-an perempuan menandakan ke-rahim-an Tuhan yang menyejukan dunia dengan kasihnya. Dan “penampakan” Tuhan terjadi paling sempurna pada diri seorang perempuan. Laki-laki boleh mendapatkan sederet keistimewaan dalam hukum agama, tetapi pada diri seorang perempuan lah kualitas-kualitas spiritual sejati itu ditampakan.
Para teosof memiliki pandangan yang berbeda mengenai relasi gender dari pandangan kaum feminis kontemporer saat ini. Ini satu hal yang menarik umtuk digarisbawahi. Tidak seperti kaum feminis yang melihat relasi gender sebagai sesuatu yang socially constructed, para teosof memandang relasi gender sebagai suatu hal yang “kodrati”. Kalaupun relasi itu dapat berubah, bagi teosof seperti Ibn ‘Arabi, setidaknya ia merupakan manifestasi illahi yang intrinsik dan bersifat perenial. Kualitas-kualitas feminin dan maskulin adalah dua kembar dari perwujudan kasih sayang Tuhan dalam kehidupan. Karena Tuhan mengandung di dalam dirinya sifat-sifat feminin dan maskulin sekaligus.
Selain itu Ibn ‘Arabi sendiri menyadari jebakan maskulinitas dalam doktrin Islam. Dalam Futuhat al-Makiyah (kitab termashur pertama yang konon dalam penulisannya ia didikte langsung oleh Tuhan), Ibn ‘Arabi memperingatkan agar umat Islam tidak terpukau dengan pernyataan nabi yang terkenal, yang menyatakan bahwa kerusakan akan melanda sekelompok orang yang menjadikan perempuan sebagai pemimpinnya. Karena kedudukan perempuan bagi Ibn ‘Arabi tidak berbeda dengan laki-laki, tidak ada yang direndahkan atau diunggulkan. Meskipun kadang dalam derajat spiritual tertentu, mengungguli laki-laki tertentu pula, seperti yang pernah dialami oleh Rabiah Al-Adawiyah dalam perjalanan cintanya bagi kami sebagai lelaki awam yang belum pernah merasakan cinta seperti cintanya.
Kami kembali pada Ibn ‘Arabi yang memiliki analisa menarik dalam mengekplorasi argumen-argumennya. Ia mengawali analisanya dengan menafsirkan secara spiritual kata mar’ dan mar’ah dalam yang terdapat dalam al-Qur’an. Menurutnya, jika laki-laki disebut dalam al-Qur’an sebagai mar’ dan perempuan sebagai mar’ah (dengan tambahan huruf ha’), itu dilakukan Tuhan bukan tanpa hikmah. Imbuhan ha’ pada kata mar’ah melambangkan satu tingkat kesempurnaan yang ditambahkan Tuhan pada perempuan. Uniknya, ha’ itu bersifat aktif dan sekaligus pasif, karena ketika dibaca dengan kata lain, ia menjadi “penyambung” bagi kalimat sesudahnya. Tetapi ha’ juga bersifat pasif, karena menandai saat-saat ketika pembaca berhenti dan mengakhiri bacaanya pada titik itu. Dengan kata lain ha’ adalah kehidupan dan kematian selakigus, yang menyambung harapan kepada apa yang akan datang, tetapi juga berakhir dan mengakhiri dirinya dalam ketiadaan dan kekosongan.
Citra Tuhan yang maskulin dalam agama monotoisme memang mengakar dalam kesadaran. Citra in menurut Ibn ‘Arabi, mengaburkan kenyataan bahwa sesungguhnya Tuhan “mengandung” unsur-unsur feminin. Secara lahir nama tertinggi bagi Tuhan memang asma Allah yang bersifat maskulin. Tetapi dalam level yang lain, Allah juga disebut juga dengan nama adz-Dzat. Penyebutan Allah dengan adz-Dzat menandakan esensi Tuhan yang tak terjangkau dan tak kergambarakan. Tapi uniknya ketakterjangkauan Tuhan dan kemustahilannya untuk dinamai justru dirujuk dengan istilah feminin yang sangat akrab bagi pikiran manusia.
Meskipun kita akan mengakui tanpa ragu bahwa bahasa tidak akan pernah memadai untuk mendeskripsikan wujud Tuhan yang sesungguhnya. Karena dengan menggunakan bahasa yang terbatas kita tidak akan bisa mendeskripsikan seluruh apa yang kita rasa, apa lagi untuk mendeskripsikan wujud Tuhan yang menampung seluruh rasa. Dan bahkan bisa jadi kita akan “terperangkap” dalam penjara bahasa. Maskulinitas atau feminisitas masing-masing saling mengisi dan melengkapi. Ibarat “dua tangan” Tuhan yang bekerja secara bersamaan. Keduanya saling membutuhkkan dan saling berhasrat kepada yang lain. Dan hubungan dari kedua unsur ini bukan lah oposisi biner yang mensyaratkan adanya superioritas dan inferioritas, yang satu lebih unggul dari yang lain. Hubungan perempuan dan laki-laki adalah hubungan yang membutuhkan satu sama lain, hubungan belahan jiwa yang ingin melebur menjadi satu kembali. Meskipun dalam bentuknya yang empiris (yang terlihat dengan mata) laki-laki dan perempuan memiliki keunikan dan kelainannya masing-masing.
Pada bagian akhir, bab tiga dan empat, dalam kitab termashur keduanya (Fusus al-Hikam) yang konon dalam penulisannya ia didikte langsung oleh Nabi Muhammad, Ibn ”Arabi juga menjelaskan secara panjang lebar tentang kelebihan aspek spiritual pada diri perempuan sebagai antitesa terhadap penafsiran-pebafsiran yang lebih memihak pada maskulinitas. Diantaranya ia berbicara tentang hubungan timbal-balik Tuhan—laki -laki—perempuan yang dengan demikian mengilustrasikan ‘Rangkaian Cinta’ diantara ketiganya, dengan menginterpretasikan kata ‘tiga’ dalam salah satu Hadis Nabi dengan menyebut satu-persatu dari tiga hal yang disukai Nabi secara beurutan: perempuan, parfum/wangi-wangian, dan salat—adalah dalam bentuknya yang mu’annas. Meskipun salah satu diantara tiga hal itu berbentuk muzakkar, yang menurut interpretasi Ibn ‘Arabi adalah sebagai penegasan implisit Nabi terhadap kelebihan feminin. Untuk mendukung deduksinya ini Ibn ‘Arabi melanjutkan dengan menunjukan bahwa mayoritas kata yang berhubungan dengan asal-usul dan penciptaan berbentuk feminin, seperti esensi (‘zat), sebab (‘illah), kekuatan (qudrah). Oleh karena itu, ia melanjutkan juga bahwa kata benda muzakkar (wangi-wangian) ditempatkan diantara dua kata kerja mu’annas, perempuan dan salat, sebagaimana laki-laki dirinya berada diantara Zat Illahi (kata kerja mu’annas) dan perempuan, yang bermakna dia (laki-laki) berasal dari Yang Pertama (Tuhan) dan berasal dari asal yang kedua (perempuan). Dengan demikian perempuan adalah “rahmat semesta”. Karena ia memiliki kedudukan tersendiri yang tak tegantikan dalam menjaga keseimbangan kosmos. Dan Ibn ‘Arabi pernah berjanji, jika pada hari kiamat nanti Tuhan memberinya ampunan, ampunan itu akan ia hadiahkan pertama kali buat perempuan-perempuan yang ia cintai.
Dan untuk mengetahui, dengan tidak mencoba menyederhanakan, konsep perempuan dalam gerakan feminis Islam kontemporer yang mirip dengan pemahaman Ibn ‘Arabi. kami akan mengetengahkan dua model gerakan feminis Islam: Pertama, gerakan feminis Islam yang memperjuangkan keadilan gender dengan berusaha menyamakan (mensetarakan) antara laki-laki dan perempuan, fifty-fifty. Dengan dalih bahwa gender hasil konstruksi sosial budaya masyarakat, di sini ada pengaruh paradigmatis, untuk mengatakan tidak mengkopy, feminis barat tahun 1960 dan 1970-an, terutama oleh pemikiran orientasi kultur (cultur-all oriented contestants), laki-laki putih perempuan jug harus putih, laki-laki hitam perempuan juga harus hitam. Kedua, gerakan feminis Islam yang memperjuangkan keadilan gender dengan berusaha menjelaskan bahwa perempuan dan laki-laki di bidang gender seperti seks bagaimana pun tetap berbeda. Perbedaaan ini bersifat “given” alamiyah (nature). Perbedaan ini tidak untuk saling mendominasi (mengeksploitasi) dalam sebuah relasi yang hierarkis, tetapi untuk saling mengisi dan melengkapi. Ide dasar yang diperjuangkan adalah kesatuan dan keseimbangan antara nilai maskulinitas dan nilai feminitas dengan polaritas warna yang tetap berbeda.
Rujukan,
1. R.W.J.Austin, Feminin Sofianik (Wanita Bijak) Dalam Karya Ibn ‘Arabi Dan Rumi, dalam buku Warisan Sufi Persia Abad Pertengahan (1150-1500) karya Seyyed Hossein Nasr. Hal. 405
2. Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan Tentang Relasi Gender Dalam Kosmologi Dan Teologi Islam (Bandung: Mizan, 1998)
3. Saiful Amin, S.Ag., Teologi Perempuan:Mensejajarkan Atau Menyatukan?, dalam majalah el-Harakah, No.56, Tahun XXII, Januari-Maret 2001
4. Muhammad al-Fayyadl, Wajah Perempuan Wajah Tuhan, dalam majalah Basis, No.03-04, Tahun Ke-55, Maret-April 2006
5. Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? (Bandung: Mizan, 1999)
6. Mansour Fakih, Analisa Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
NOMOR 2
Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...
-
Tokoh pemimpin yang amat sangat Religius sampai sampai digambarkan bagaikan seorang Resi Begawan (PINANDITO) dan akan senantiasa bert...
-
☼ MENUJU CAHAYA ALLAH (NUR ILLAHI) Apakah sesungguhnya cahaya Allah itu ? Perlu dipahami bahwa jika sinar matahari itu terdiri dari ...
-
18 Agustus 2017, wanci 14:30 perjalanan itu Saya lakukan. Bandung - Semarang dengan mengendarai motor Bajaj Pulsar 135. Jalur tengah Band...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar