Kamis, 28 Januari 2010

SAMKHYA: FILSAFAT YANG MENGAJARKAN OPTIMISME

2010 January 19
by ahmadsamantho

Oleh: Prof.Dr. Abdul Hadi W. M.

Dalam filsafat India yang bersumber dari kitab suci Hindu — Veda, Brahmakanda dan Upanishad – terdapat enam aliran utama yang menjadi cikal bakal aliran-aliran lain dalam masa-masa berikutnya. Keenam aliran atau madzab itu ialah Nyaya, Vaishesika, Samkhya, Yoga, Mimamsaka dan Vedanta. Aliran yang akan kita bicarakan sekarang ialah Samkhya, lazim dipasangkan dengan aliran lain yang merupakan penjabarannya dalam bentuk disiplin kerohanian yaitu Yoga.

Arti kata Samkhya ialah jumlah, hitungan, sintesa atau perpaduan. Istilah samkhya dijumpai dalam Upanishad dan Mahabharata. Nama ini diberikan kepada sistem filsafat ini karena filsof-filosof Samkhya secara umum mengemukakan bahwa terjadinya alam semesta beserta perkembangan dan perubahan obyek-obyek yang ada di dalamnya didasarkan atas 25 asas atau kategori keberadaan. Corak filsafatnya bersifat dualis dan sering disebut sebagai sistem filsafat yang mengajarkan teori evolusi (Parinama Vada).
Ada anggapan bahwa Samkhya merupakan sistem filsafat Hindu yang paling tua. Pengasasnya ialah Rsi Kapila Muni, hidup sekitar tahun 700-600 SM. Nama Kapila dikaitkan dengan nama kota Kapilavastu, pusat pemerintahan Dinasti Maurya da kota tempat lahirnya Siddharta Gautama, yang lahir sekitar satu setengah abad setelah Kapila Muni. Pengaitan ini bukanlah tanpa alasan. Filsafat Buddha banyak mengambil dasar dari ajaran filsafat Samkhya yang non-theistik.

Kapila Muni dan Ajarannya
Menurut legenda, Rsi Kapla Muni merupakan orang pertama yang menyangkal faham monisme (advaita) yang terbaca dalam Upanishad dan meng Istilah Samkhya juga diartikan sebagai “vicara” atau “perenungan filsafat”. Selain berkecenderungan non-theistik dan berpandangan bahwa materi (prakrti) kekal sebagaimana ruh (purusha), Samkhya juga memiliki ciri yang membedakannya secara menyolok dari sistem filsafat Hindu yang lain. Yaitu penekanannya pada persoalan dualitas dan pluralitas. Pendukung sistem ini menyangkal bahwa dunia ini dicipta dari tiada atau ketiadaan.
Dalam mencari pengetahuan yang benar, filosof Samkhya menggariskan tiga metode. Yaitu: (1) Pratyaksa pramana atau pengamatan langsung; (2) Anumana pramana (penyimpulan); (3) Apta Vakya atau penegasan yang pantas, berlandaskan apa yang diajarkan kitab Veda atau ucapan para maharesi.
Penekanan pada dualitas dapat dilihat pada ajarannya yang menyatakan bahwa awal terjadinya dunia atau alam semesta ialah purusha dan prakrti. ‘Purusha’ ialah asas ruhani, dan ‘prakrti’ ialah asas kebendaan atau jasmani. Keduanya tanpa awal (anadi) dan tanpa akhir (ananta). Purusha adalah ruh yang jumlahnya banyak, sedangkan prakrti ialah materi yang kacau balau yang tidak berbentuk, jumlahnya tidak terkira banyaknya dan berpusing dalam kegelapan. Prakrti mendapat bentuk tertentu setelah bercampur dengan purusha. Dalam kehidupan keduanya tidak dapat dibedakan dan dipisahkan. Jika purusha dan prakrti terpisah maka kehidupan akan berakhir dan kelahiran baru akan mulai.
Tentang purusha dan prakrti dapat diuraikan seperti berikut. Purusha itu ‘nyata’ (sat) dan dapat dikatakan sebagai suatu kesadaran yang meresapi segala sesuatu dan abadi. Prakrti adalah pelaku kehidupan yang mengandung unsur ruhani dan benda. Arti prakrti ialah yang mula-mula dan yang mendahului semua kejadian. Pra= sebelum; kri= membuat sesuatu yang mirip, yaitu dengan alam maya yang digambarkan oleh Vedanta. Prakrti disebut pradhana, pokok asal segala sesuatu. Bergerak dan berkembangnya prakrti menjadi obyek-obyek hidup yang banyak di alam semesta, disebabkan adanya tiga guna atau sifat (triguna) yang melekat dalam dirinya dan ketiganya bersama-sama melakukan aktivitas tanpa henti. Tiga guna itu ialah Sattva, Rajas dan Tamas.
Sattva ialah kesesuaian, keseimbangan, kebaikan, kepantasan atau kepatutan. Rajas ialah kegiatan, kegairahan, gerak tanpa henti, tindakan maju ke depan. Tamas ialah kelesuan, kebekuan, kekebalan dan kekokohan. Apabila sattva yang berpengaruh, tumbuhlah gejolak, keresahan, gonjang-ganjing dan dinamika. Rajas dinyatakan sebagai raga dvesa yaitu suka dan tidak suka, cinta dan benci, senang dan tidak senang, menarik simpati dan memualkan. Tamas menimbulkan kelesuan, kemalasan, kemasabodohan, kegiatan yang dungu dan ketidakpedulian. Ketiga guna itu ada pada manusia dengan keseimbangan yang berbeda-beda, serta menentukan watak, perangai dan pribadi seseorang. Dengan kata lain Sattva ialah unsur terang atau cahaya. Rajas ialah unsur aktif dan penggerak. Tamas ialah unsur gelap dan berat’
Sebagai sistem filsafat, Samkhya Darsana memiliki banyak pendukung dan penafsie. Di antara tokoh-tokoh yang menonjol sebagai penafsir dan perumus-perumus baru ajaran Kapila Muni ialah Isvara Krisna (abad ke-3 M), Vacaspati Misra (abad ke-9 M), Ganganatha Jha (abad ke-10 M), Anirudha (abad ke-15), Vijnana Bhiksu (abad ke-16 M), Mahadeva Vedantin (abad ke-18 M) dan masih banyak lagi yang lain.

Teori Evolusi
Sebagai sistem filsafat yang menguraikan masalah evolusi, yaitu perkembangan dan perubahan segala sesuatu yang ada di alam semesta, barangkali dapat dijelaskan sebagai berikut. Samkhya bertolak dari kategori-kategori jamak yang dijumpai dalam kitab Veda dan dikemukakan secara rumit dan kompleks oleh filsafat Nyaya dan Vaisesika. Berdasarkan kategori tersebut kemudian filosof Samkhya menyederhanakannya menjadi dua asas, yaitu purusha dan prakrti. Purusha adalah subyek yang mengetahui segala sesuatu, sedangkan prakrti adalah obyek yang diketahui.
Prakrti yang sering diartikan sebagai alam merupakan material primordial yang merupakan asas dari semua keberadaan obyektif, baik keberadaan jasadi maupun keberadaan jiwani (psikologis). Pakrti adalah obyek yang senantiasa berubah dan merupakan sumber dari alam yang menjadi atau kejadian-kejadian di alam semesta. Di dalamnya semua keberadaan yang ditentukan tersimpan dan tersembunyi sebagai benih potensial bagi terjadinya sesuatu. Ia bukan wujud, tetapi suatu daya atau kekuatan yang selalu dalam keadaan tegang. Ketegangan yang dialaminya disebabkan adanya tiga guna (sifat asas) yang melekat dalam dirinya secara abadi. Ketiga guna itu ialah sattva, rajas dan tamas.
Dengan perkataan lain prakrti adalah tali senar yang menjadi sarana kegiatan atau permainan tiga guna itu. Perpaduan ketiga guna ini melahirkan kesenangan, duka, kebencian, kemalasan dan seterusnya tergantung guna yang mana yang paling kuat. Bila ketiganya seimbang maka tidak ada gerak dari prakrti, alias diam dan hening. Bila keseimbangan terganggu, ketegangan akan muncul dan bermulalah proses evolusi itu.
Seperti telah dijelaskan prakrti merupakan kekuatan buta yang tidak memiliki kesadaran. Ia bisa beevolusi atau menjadi sesuatu obyek actual disebabkan hadirnya purusha pada dirinya. Purusha adalah kebuatan sadar dan kehadirannya bagi prakrti akan membuat prkrti melakukan aktivtas dan gerakan. Keseimbangannya menjadi goyah. Purusha sering diumpamakan orang lumpuh yang mempunyai penglihatan terang. Prkrti adalah orang yang kuat berjalan tetapi buta. Apabila purusha mengendarai prakrti maka mulailah prakrti aktif dan mengenal arah dalam melakukan aktivitasnya.
Proses evolusi dapat dilukiskan tatanan menurun sebagai berikut: Dari perpaduan purusha dan prakrti lantas muncul mahat. Mahat arti harfiahnya ialah besar atau maha besar. Mahat ini adalah aktualitas yang muncul dari potensi prakrti setelah hadirnya purusha. Dengan munculnya mahat maka evolusi bermula. Mahat merupakan dasar dari buddhi (inteligensia). Dalam proses awal evolusi ini, mahat mengeluarkan aspek-aspek semesta dari prakrti, sedangkan buddhi merupakan padanan dari aspek semesta yang terdapat jiwa manusia. Buddhi bukan purusha, tetapi atman (jiwa individual) yang jumlahnya banyak dan merupakan substansi halus dari semua proses kehidupan mental. Dari buddhi, muncul ahamkara (rasa keakuan) dari segala sesuatu yang merupakan prinsip individuasi.
Ada tiga garis perkembangan yang muncul sebagai akibat dari gerak ahamkara, yaitu sebagai berikut:
Pertama, dari berkembang dan berubahnya sattva muncul manas (pikiran yang diekspresikan), disertai lima indera dan organ motoris yang merupakan sarana gerakan atau tindakan. Kedua, dari berkembang dan berubahnya tamas muncul ahamkara (hawa nafsu, rasa keakuan) dan lima unsur halus, selanjutnya lima unsure kasar. Ketiga, rajas mensuplai energi terhadap kedua perkembangan tersebut.
Demikianlah proses evolusi dari prakrti, setelah campur tangan purusha, menjelma 24 kategori yang keseluruhannya adalah sebagai berikut: (a) Prakrti ; (b) Mahat, artinya yang agung, dalam jiwa manusia disebut buddhi, yang perannya ialah mengatur informasi yang diterima dari indera. Buddhi (budi) disebut juga sebagai common sense, akal sehat; (c) Lima organ indera – 5 kategori; (d) Lima organ motoris atau penggerak tubuh: alat bicara, tangan, kaki, alat pelepasan dan alat perkembangan tubuh – semuanya 5 kategori; (e) Lima unsur halus sebagai padanan panca indera, yaitu obyek penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan pencecapan; (f) Lima unsur kasar yang berasal dari lima unsur halus, yaitu ‘ruang’ dari penglihatan, ‘api’ dari penglihatan, ‘udara’ dari perabaan, ‘air’ dari pencecapan dan ‘tanah’ dari penciuman – semuanya 5 kategori. Mahat muncul langsung dari alam; (g) Ahamkara, prinsip ego muncul dari mahat sebagai akibat kerja tamas.
Atman adalah pribadi yang dialami dan mengalami, diri yang dibatasi oleh jasmani dan pancaindera. Ia merupakan bagian dari alam dunia. Setiap atman dalam diri jasmaninya memiliki tubuh halus yang dibentuk dari sarana mental. Pancaindera termasuk ke dalam kategori tubuh halus. Ada pun unsure halus yang ada pada alam sebagai akibat dari prkrti memiliki tiga guna juga seperti prkrti. Karena kehadiran purusha maka atman atau diri individual yang empiris terdiri dari dua perkara, yaitu roh yang merupakan wakil dari purusha dan badan jasmani yang merupakan aktualisasi prkrti.
Karena lupa pada kodrat asalnya, purusha dalam diri manusia sering meluluhkan dirinya dalam pikiran, perasaan dan tindakan yang membuat dia (roh) tidak bebas. Pembebasan purusha atau atman dapat dilakukan apabila seseorang mampu menarik rintangan yang menghalangi purusha merealisasikan dirinya secara penuh. Realisasi diri secara penuh dapat dilakukan melalui disiplin diri seperti meditasi dan samadhi, serta melakukan kebajikan atau dharma.Tetapi sistem ini tidak menjelaskan bagaimana bentuk disiplin diri dan samadhi yang harus dilakukan. Keterangan tentang itu dikemukakan dalam filsafat Yoga, karenanya Samkhya selalu dipasangkan dengan Yoga.
Jika dirumuskan prinsip-prinsip dasar filsafat Samkhya menjadi sebagai berikut:
1. Apa saja yang ada selalu ada, apa saja yang tidak ada, ia tidak akan pernah ada;
2. Perubahan meliputi segala sesuatu yang berubah;
3. Secara hakiki, akibat dari terjadinyaa sesuatu itu sama saja dengan sebab- sebab jasmani dari
terjadinya sesuatu;
4. Segala sesuatu yang aneka ragam dapat dikembalikan kepada tiga guna atau sumbernya,
sedangkan sesuatu yang tidak dapat dikembalikan kepada sumber, bebas (memiliki kewujudan
tersendiri) sekalipun (keberadaan masing-masing saling tergantung;
5. Materi selalu dalam gerak yang menjadi secara terus-menerus;
6. Pikiran tidak berasal dari materi, materi tidak berasal dari pikiran. Keberadaan pikiran bebas dari materi, walaupun memerlukan materi.
Samkhya dalam Bhagavat Gita
Faham Samkhya mengenai dharma tidak saja dapat dijumpai dalam sutra-sutra dan karika yang disusun oleh para filosof yang secara nyata berpegang pada sistem filsafat ini. Butir-butir hikmah dan ajaran filsafat ini juga dapat dijumpai dalam kitab Mahabharata dan Bhagavad Gita. Dalam Bhagavad Gita malahan diletakkan pada bagian awal perbincangan, yaitu percakapan kedua antara Krishna dan Arjuna. Dalam percakapan ini Krishna mengatakan kepada Arjuna bahwa mereka yang mengerti tentang hakikat kehidupan dan dharma, tidak akan pernah bersedih menghadapi baik kematian maupun kehidupan. Kematian hanyalah pergantian badan jasmani, dan jiwa yang menghuni badan jasmani ini akan berpindah-pindah ke badan jasmani lain, bagaikan mengambil baju lama dengan baju baru (Nyoman S. Pendit 1978).
Lebih jauh Krishna mengatakan agar Arjuna memusatkan pikiran pada kesucian, bertindak tanpa mengharapkan pahala kerja, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Dia Yang Maha Tahu. Disarankan pula agar Arjuna meneguhkan iman untuk bisa samadhi, menghilangkan nafsu rendah, rasa takut dan angkara murka, serta mampu menjaga keseimbangan jiwa menghadapi senang dan duka. Penulis Bhagavad Gita pada bagian ini menggandengkan ajaran filsafat Samkhya dan amalan disiplin rorani dari Yoga Darsana.
Sribhagavan avacha:
Kutas tva kasmalam idam
Vishame samupasthitam
Anaryajustam asvagyam
Akirtikaram arjuna
Klaibyam masma gamah partha
Nai `tat tvayy upapadyate
Kashudra, hridayadaurnalyam
Tyaktvo `ttishtha paramtapa
Artinya:
Sri Bhagawan (krishna) berkata:
Dari mana duka dan kelemahan hati datang
Pada saat-saat gentiing seperti ini?
Ini bukan semangat seorang kestria
Tidak terpuji dan memalukan, o Arjuna!
Jangan biarkan kelemahan itu, o Parta
Sebab itu tidak sesuai bagimu
Enyahkan rasa lemah dan kecut itu
Bangkitlah, o pahlawan jaya
Selanjutnya Krishna mengatakan dengan meminjam kearifan dari filosof Shamkya:
Tidak pernah ada saat di mana
Aku, engkau dan para raja ini tidak ada
Dan tidak akan ada saat di mana
Kita berhenti ada, sekalipun sesudah ini
Setelah memakai badan ini dari masa kecil
Hingga masa muda dan tua
Demikian jiwa berpindah ke badan lain
Ia yang budiman tidak akan tergoyahkan
Hubungan dengan benda jasmani, o Arjuna
Menimbulkan panas dan dingin, senang dan duka
Dan semua itu datang dan pergi, tidak abadi
Karenanya pikullah, wahai Kuntiputra
Ajaran tentang ‘eternal recurrence’ (perulangan kekal) yang dikemukakan filosof Jerman Fridriech Nietzsche, yang lebih dua ribu tahun sebelumnya telah dikemukakan oleh Rsi Kapila Muni, bergaung kembali dalam Bhagavad Gita. Begitu pula keyakinan bahwa Dzat Maha Tahu yang dipandang meresapi segala sesuatu, bertolak dari pandangan filsafat Samkhya. Misalnya sebagaimana dikemukakan dalam percakapan kedua dalam kitab itu seperti berikut:
Apa yang tiada, tidak akan pernah ada
Apa yang ada, tidak akan berhenti ada
Keduanya hanya dapat dimengerti
Oleh orang-orang yang melihat kebenaran
Ketahuilah yang meliputi semua ini
Tidak dapat dihancurkan
Tidak seorang pun dapat memusnahkan
Dia yang tidak mengenal kemusnahan
Badan jasmani — yang membungkus Dia
Akan binasa – Dialah yang abadi
Tak terhancurkan dan tak terhingga
Sebab itu bertempurlah, wahai Bharata!
Keabadian Dia Yang Maha Tahu, yang identik dengan Purusha, dan sifat-sifat-Nya yang tidak bisa dihancurkan oleh apa pun dan siapa pun diuraikan sebagai berikut:
Nai `nam chhindantii sastrani
Nai `nam dahati pavakah
Nai chai `nam kledyanty apo
Na soshayati marutah
Senjata tidak dapat melukai-Nya
Api pun tidak bisa membakar-Nya
Angin tidak dapat mengeringkan Dia
Air tidak dapat membuat Dia basah
Dalam bait-bait dari Bhagavad Gita jelas bahwa selain pengetahuan yang benar tentang dunia dan hakikat kehidupan, manusia perlu menjalankan dharma atau tugas kewajibannya di dunia memerangi kejahatan dan menegakkan kebajikan. Dalam ajaran Islam istilahnya ialah amar ma’ruf nahiy munkar wa tu’minuna billah (Menegakkan kebaikan, memerangi kemungkaran, dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...