Deseng lahir di Gang Tamim, Pasar Baru, Bandung, 22 Agustus 1942. Ayahnya, Tan Tjin Hong yang totok, dan ibunya Yo Mbok Nie yang peranakan. Wangsa Tan berasal dari Ciou–phou/Zhangpu, Hokkian Selatan.
Tan Tjin Hong adalah sastrawan amatiran yang menuliskan karyanya dalam bahasa dan huruf China. Ia juga terampil memainkan instrumen tradisional Tionghoa, dan bisa melukis kaligarfi. Sisi lain, Tjin Hong adalah tabib atau shinse.Pasangan ini melahirkan delapan bersaudara. Menurut Deseng, ia tercatat nomor lima. Mereka diberi nama: Tan Dekun, Tan Debin, Tan Djunan, Tan Djulam, Tan Detjeng, Tan Deseng (di kliping, ada juga yang menulisnya Tan De Seng), Tan Dekong, Tan Djulim.
Bakat seni Tan Tjin Hong menitis kepada anak-anaknya, di antaranya Tan Detjeng (Chen Lizheng), koko-nya Deseng, yang kini berkiprah sebagai guru musik dan vocal di Dandong (Tingkok Timur Laut), sedangkan adik Deseng, Tan Dekong, adalah pemusik yang pandai memainkan yangqin (semacam kacapi, tapi dimainkan dengan cara diketuk), dan ehru (rebab Tionghoa berdawai dua).
Bakat seni wangsa Tan ini juga menitis kepada salah seorang keponakan Deseng, yaitu Felicia yang pandai menari Jaipongan. Gadis remaja ini pernah mempertontonkan tari Jaipongan dengan iringan lagu Dongfang zhi zhu yang digubah oleh Deseng.
Pendidikan formal Deseng hanya setingkat SMP Tionghoa. Sekolah Tionghoa di Bandung yang pernah dimasukinya adalah Longhua (1959-1951), Xinhua (1951-1953), Nanhua (1953-1956), Xin Longhua (1956-1957), dan terakhir di Zhonghua Zhongxue hingga kelas dua SMP, karena keburu dikeluarkan akibat badung.
Dari koko terdekatnya, Tan Detjeng, ia beroleh pelajaran meniup harmonika dan memetik guzheng (kacapi China). Pada usia 9 tahun, Deseng mulai terkesiap oleh suara kacapi. Ia juga terpukau oleh rengekan piul (biola). Waktu masih tinggal di Gang Dulatif, sewaktu akan bersekolah, ia selalu melawati Stasiun KA Bandung. Di sana, ada pengamen biola yang handal, orang-orang memanggilnya Mang Adang. Deseng tidak berangkat sekolah, tapi berhenti di situ untuk menyimak piul.
Deseng memang mahiwal (eksentrik). Darah yang mengalir di nadinya murni dari negeri lalangse awi (rumpun bambu), tapi sedari cilik sudah keranjingan nonton wayang, apalagi jika yang memainkannya Dalang Ki Sunarya.
Bagai meteor, skill Deseng dalam bermusik, nampak melesat. Jelang akil balig, ia sudah menguasai karawitan Sunda, musik pop Barat, Mandarin, jazz, bluess, bosanova, hingga lagu-lagu klasik Mozart atau Beethoven. Ia menguasai instrumen musik Tionghoa seperti guzheng (kacapi), dizi (suling), ehru.
Pada 1955, usia 13 tahun, Deseng benar-benar piawai memainkan gitar, dan membuat seorang temannya, yaitu Adjat Sudradjat, alias Atun, ingin belajar kepadanya. Sedang Adjat di keluarganya memiliki grup musik kacapi-suling. Maka terjadilah barter keterampilan.
Dapur seniman saat itu seringlah Senin-Kamis. Karena itu, ayahnya yang katkutan akan masa depannya, memaksa Deseng belajar dagang seumumnya kaum tauke. Pada usia 14, maka ia berkemas-kemas ke Palembang. Bersama temannya, Syafe’i, ia mecoba dagang besi seperti orang Madura.
Namun di suatu malam, di kamar kostnya, tak sengaja ia mendengar radio tetangga yang sedang memutar kawih Sunda yang lawas-tilawas. Tak dinyana, air mata Deseng menitik. Esoknya, ia segera berkemas, pulang Ke Bandung. Hanya empat bulan Deseng di Palembang. Ia dapat ongkos pulang kampung dengan mengamen di kapal.
Belajar kesenian lagi. Kata orang Sunda, Deseng itu hejo tihang (haus) dalam berguru. Pada usia 17 tahun, Deseng berguru kacapi kepada Ebar Sobarna dan Sutarya. Sekira usia 19, belajar nembang Cianjuran kepada Nyi Mas Saodah yang dikenal sebagai penembang paling beken di Jawa Barat. Juga rajin menyambangi padepokan wayang golek Giri Harja, sambil menimba sasmita dari Abah Sunarya dan Asep Sunandar. Belajar juga dari Titin Fatimah, pesinden kondang lagu-lagu Sunda dari Jakarta (1959), juga kepada Euis Komariah dan Tati Saleh.
Di jalur diatonis, Deseng berguru kepada gitaris jazz legendaris Eddy Karamoy, dan menjadi murid kanineung.
Bagai domba muda yang rajin mengasah tanduk, Deseng belia rajin bergabung dengan grup band untuk mempertontonkan kebolehannya, di antaranya menjadi gitaris Young Brothers, Hemming Youth. Ia bergabung dengan grup Paramor, Maria Musica, Inti Nada (khusus lagu Mandarin dan jaazz), Blue Diamond (khusus lagu Barat). Khusus untuk musik kacapi suling, ia mendirikan grup Bhakti Siliwangi. Ini nama grup pemberian dari almarhum Bing Slamet. Tampil bersama mereka, Deseng menerima juluk: Setan Melodi.
“Saya jago memainkan smith guitar. Itu kojo saya. Jarang orang bisa memainkannya,” demikian Deseng mengenangnya.
Sebagai seniman, ternyata hidup Deseng terkatung-katung. Sampai akhirnya ia bertemu pengusaha kaya dari Cicadas yang terpana pada permainan iramanya, yang kebetulan punya putri, Tan Lie Joe. Pada 1964, Deseng dinikahkan dengan Joe, dikaruniai seorang putra. Beda hobi dan cita-cita, biduk rumah tangga mereka terhempas pada 1976.
Hidup Deseng jadi kasut. Pikiran gelap. Di suatu akhir petang, ia mendengar azan Magrib berkumandang. Tiba-tiba ada yang melintas dalam batinnya. Ia pun memeluk Islam, juga dengan restu keluarganya yang tiba-tiba kembali mengakuinya.
Sewaktu menggarap ilustrasi musik untuk film Misteri Jaipongan, Deseng corat-coret dengan huruf Arab, yang kedapatan oleh Tuti dan Mardali yang juga terlibat dalam produksi. Tuti mengusulkan, agar Deseng menambah nama Mohammad. Usul diterima. Sejak itu, sesekali wartawan menulis namanya dengan Mohammad Tan Deseng.
Pada 1977, Deseng menikah untuk kedua kalinya dengan Nia Kurniasih dari Subang. Dikaruniai dua putri: Fitri Chen Huimin (Cici) yang telah menikah dengan Dody Tjia Hong Wie, dan Tantri Chen Huiyun (Dede) yang akan menikah pada 14 Juli ini.
Warna-warni hidup Deseng tidak mirip pelangi, sebab ada warna yang paling kuat, mencolok, intens, dan konsisten: musik Sunda.
Benar ia berpaling juga pada musik lain, apalagi ketika mendirikan The Christone Band sekira tahun 1982, bersama Christian dan Tony (pimpinan), Jimy Manux (bas), Engkun (organ), Wawan Darmawan (mantan Paramor Band dan The Rollies) pegang drum. Pada tahun itu, nama grup band seperti God Bless, AKA, The Rollies sudah di atas angin.
Tetapi Deseng selalu kembali pada musik Sunda. Sejak 1968, ia sudah bergerak di bidang studio dan recording yang dikelolanya di Jl Kamsi, lalu pindah ke jalan Entit. Ia merekam suara emas Tati Saleh, Euis Komariah, Ida Widyawati, Titin Fatimah dalam tembang Cianjuran. Dia mengangkat nama Mang Adang, mantan pengamen biola yang rengekannya maut itu.
Pada 1983, ia kembali menghidupkan studio dan rekaman dengan bendera Bhatara. Ia ikut mendokumentasikan tembang pengiring tari Jaipongan. Di era itu, di Bandung bermunculan pula studio rekaman khusus untuk musik Sunda, di antaranya Jugala, SP, Wisynu, Asmara, Gema Populer.
Ia sudah berjasa untuk seni Sunda. Tapi jasa tidak identik dengan kaya. Buktinya, rumahnya saja masih gontrak. Apakah ini karena ia terkena tulah di mana ia pernah berujar, “Saya kira, kalau orang masih mengganggap saya China, maka sayalah orang China pertama yang bicara tidak kepingin kaya. Buat saya, miskin tidak apa, asal tidak menjadi pelacurnya cukong-cukong,” seperti dikutip oleh Remy Sylado di majalah Amanah edisi 148.
Adapun konsepsi Deseng tentang musik Sunda adalah sebuah musik yang irama dan nadanya berasal dari tatacara dan pakem Sunda, bukan hanya syairnya berbahasa Sunda. Sebab itu, bagi Deseng, lagu pop Sunda yang berbasis pada nada diatonis, hanyalah musik pop Barat yang diberi syair Sunda.
Sebagai seniman Sunda, Deseng nyaris paripurna. Sesuatu yang masih kurang dari Deseng adalah munggubah sendiri musik Sunda, yang suatu hari barangkali akan dicatat sebagi mailstone.
Menurut Ahda Imron, penyair yang orang Minang, yang besar di Bandung seraya menghayati budaya Sunda, Deseng memang hebat. “Tapi saya ingin menguping akulturasi antara musik Sunda dan China. Pertanyaan saya, mengapa Deseng harus membawakan musik Sunda dengan gaya orang Sunda? Mengapa tidak dengan gaya China?” katanya kemarin.
Bagi Deseng sendiri, yang masih tersisa dari obsesinya ialah melakukan peleburan yang likat antara etnis Tionghoa dengan etnis lain di negeri ini, sehingga tidak terdengar lagi istilah pri dan nonpri.
Saat bincang-bincang itu, saya berkali-kali melihat cucu Deseng paling besar. Namanya Putri (7 tahun), anak sulung dari Fitri (anak sulung Deseng). Kelopak mata Putri yang sipit, kulitnya yang kuning langsat, rambutnya yang menjurai, menegaskan bahwa darah wangsa Tan masih menderas, dan diwariskan secara genetis. Tetapi Deseng dan anak cucunya adalah Sunda pituin.