Rabu, 23 Desember 2009

Mengintip malam ke-20, penganten Syeh Amongrogo

By. Serat Centini

“Duhai adinda, kekasihku denayu niken Tambangraras……” suara Syeh Amongraga begitu berwibawa. “Ketahuilah bahwa siapa yang selalu istiqomah mengingat-ingat mati dalam kehidupan ini, maka dialah yang akan bisa merasakan “mati dalam hidup”. Bahwa hidup ini hanya sementara, fana, mampir ngombe, dan hidup akan berakhir menuju pada Gusti Allah.

Untuk memulai hidup yang baru, yang abadi, kekal bersama-Nya. Dan karena itu kita mempersiapkanya di dunia ini dengan laku kebajikan, mematikan segala nafsu keburukan yang merusak jiwa. Itulah hidup yang terbebaskan, hidup yang mulia. Kematian akan menjadikanya menyatu dengan-Nya.
(malam ke-20 dari pernikahan Syeh Amongraga dg Denayu Niken Tambangraras dalam kesaksian Niken Centini)

Pengetahuan ontologis, dari mana kita berasal (sangkan paraning dumadi) menjadi pengetahuan awal bagi manusia untuk kemudian menetapkan tujuan sebagai akhir perjalanan (pengetahuan epistimologis). Diantara keduanya meniscayakan adanya penghubung (shirot), dari awal bermula hingga akhir yang dituju yaitu disebut dengan yang “diutus”.

Illahi qolbi mahjub, wanafsii ma’yub, wa ‘aqli maghlub, wa hawaa’ii gholib.
Waf’al bi maa anta ahluh ya kariim.
(Illahi, hatiku tertutup tabir, jiwaku fakir, akalku terkalahkan, hawa nafsuku mendominasi, oleh itu lakukan apapun yg Kau kehendaki karena Engkau Ahlianya wahai yg Maha Mulia).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...