Rabu, 02 Desember 2009

Ke-faQiran Ruhani (2)

By. Mas Kumitir
16 Oktober 2009 jam 17:03

Hud-hud melanjutkan; “Terakhir dari semua itu menyusul. Lembah Keterampasan dan Kematian. Lembah ini ialah kelupaan, kebutaan, ketulian dan kebingungan; seratus bayang-bayang yang melingkungimu menghilang dalam sepancar sinar surya samawi. Bila lautan kemaharayaan mulai bergelora, pola pada permukaannya opun kehilangan bentuknya, dan pola ini tak lain dari dunia kini dan dunia nanti. Siapa yang menyatakan bahwa dirinya tak ada mendapat keutamaan besar? Titik air yang menjadi bagian dari lautan raya ini akan tetap tinggal di sana selamanya dan dalam kedamaian. Di laut yang tenang ini, kita pada mulanya hanya akan mengalami kehinaan dan keterbuangan; tetapi setelah terangkat dari keadaan ini , kita akan memahaminya sebagai penciptaan, dan banyak kerahasiaan akan tersingkap bagi diri kita.
Banyak makhluk telah salah mengambil langkah pertama dan karena itu, tak dapat mengambil langkah kedua- mereka hanya sebanding dengan barang-barang tambang. ... (Musyawarah Burung, Fariduddin Attar Naisapuri)


Betapa mungkin orang banyak memahami bahwa hakikat Cahaya ada di dalam kehidupan? Dan betapa mungkin diuraikan dengan kata bahwa hakikat dzikr ada di dalam kelupaan? Hakikat penglihatan (bashiroh) ada dalam kebutaan? Hakikat pendengaran ada dalam ketulian? Dan hakikat pengetahuan ada di dalam kebingungan?

Wujud murni, - yaitu Hakikat Zat Tuhan-, benar-benar tak bisa dibandingkan dengan apa - pun, laisa kamitslihi syai`an , hingga tidak ada kategori, alegori, deskripsi, narasi, imajinasi , ..., apa pun yang mampu memerikannya. Maka hakikat pengetahuan tentang-Nya adalah kebingungan tentang-Nya. Tak mungkin pula Ia dapat diingat sebagaimana Ada-Nya, maka hakikat dzikr pada-Nya adalah kelupaan atas - Nya. Betapa mungkin pula ada penglihatan atas - Nya kecuali senantiasa dalam kebutaan mutlak yang gelap pekat. Dan betapa mungkin pula mendengar -Nya kecuali senantiasa dalam ketulian mutlak yang sepi tiada tara?

Bukankah Tuhan, - yaitu wujud an sich -, adalah realitas (syai`iyyah) dari segala sesuatu, sehingga adalah kemestian ( bukan hanya keharusan) manusiawi - lah kelupaan, kebutaan, ketulian dan kebingungan atas segala sesuatu.

Kefakiran (al-faqr ) ruhani, - yaitu kepapan, ketakpunyaan amal dan kualitas batin, kebutaan, kegelapan, kebusukan , kegelapan, kesesatan, kezaliman, kehinaan, keterhinaan, ketulian, kebodohan - adalah langkah pertama. Perhatikan rintihan Imam 'Ali bin Abi Thalib (a.s.) dalam doa Kumailnya berikut; "Irham mar-ro`su maalihir-rojaa`, wa silaahuhul bukaa`." "Kasihilah yang tak punya apa-apa kecuali harapan, dan senjatanya hanyalah tangisan." Atau dalam bait lain; "Wa qod ataituka yaa ilaahii ba'da taqshiirii wairoofii 'alaa nafsii. mu'tadziron-naadima,, munkasiron mustaqiila, mustaghfiron muniibaa muqirron mudz'inan mu'tarifaa " " Dan aku datang kini menghadap - Mu, Yaa Ilahi, dengan segala kekuranganku, dengan segala kedurhakaanku (pelanggaranku), sambil menyampaikan pengakuan dan penyesalanku, dengan hati yang hancur lulurh, memohon ampun dan berserah diri, dengan rendah hati mengakui segala kenistaanku." Atau pula ucapan beliau (a.s.); " Barangsiapa mencintai kami, Ahl Al-Bayt, hendaknya ia menyiapkan baju kemiskinan bagi dirinya !" hendaknya ia menyiapkan baju kemiskinan bagi dirinya !"

Seorang penyair berkata;
segelas es menjadi manis tatkala melewati kerongkongan haus
setitik lilin menjadi terang tatkala melewati lorong -lorong gulita
Kehidupan menjadi mata air segar tatkala melewati hati-hati nan telah aus
Tuhan menjadi Cahaya Mata bagi orang-orang nan telah buta

hakikat seekor kambing adalah sebagai sembelihan, bagi Adam
hakikat seekor kecoak adalah hewan menjijikkan , bagi Adam
hakikat seorang hamba adalah sebagai kegelapan, bagi Cahaya Tuhan
hakikat seorang hamba adalah sebagai kenistaan, bagi Agung Tuhan

sebagaimana seorang pelacur
hakikatnya adalah perzinahan
aku-lah sang maha pelacur
batinku adalah perzinahan

sucilah kau Tuhan, dari lisanku
sucilah kau Tuhan, dari gerak hatiku
karena hatiku selalu berzinah, sedang kau Agung Sendirian
karena hatiku selalu bernanah, sedang kaulah Kesturi Asmara

Pada waktu Suhrawardi dalam "Hikayat-Hikayat Mistisnya" bercerita tentang Mata Air Kehidupan, diberikan sebuah dialog berikut ini;
" Temukanlah mata air kehidupan, " jawabnya. " Dan kucurkan dari mata air itu ke seluruh kepalamu, sehingga baju baja itu dapat lolos dari tubuhmu, dan kamu terhindar dari tebasan pedang, sebab air itu dapat membuat baju bajamu lepas. Jika sudah lepas, maka tebasan pedang akan terasa ringan."
" Di manakah mata air kehidupan itu?" tanyaku.
"Dalam kegelapanm," katanya. " Jika kamu mencarinya, talikanlah sepatumu sebagaimana Khidir, dan ambillah jalan kepercayaan agar kamu dapat sampai ke kegelapan."
"Ke arah manakah jalannya?" tanyaku.
"Ke arah mana pun kamu pergi, " katanya. "Kalau kamu pergi, kamu akan sampai."
"Apakah tandanya kegelapan itu?." tanyaku
"Kehitaman," katanya. " Dan kamu sendiri berada dalam Kegelapan tapi kamu tidak mengetahuinya. Orang yang pergi, ketika menyadari dirinya berada dalam kegelapan, mengetahui bahwa dia berada dalalam kegelapan sebelum itu, dan bahwa dia tidak pernah melihat cahaya. Maka langkah pertama bagi mereka yang hendak pergi adalah ini, dan dari sini dia dapat melangkah maju. Nah, jika orang itu telah mencapai tahap ini, dia akan dapat melanjutkannya dari situ. Seorang pencari mata air kehidupan harus banyak berkelana dulu di dalam kegelapan. Jika dia pantas mendapatkan mata air itu, pada akhirnya dia akan meliahat cahaya setelah kegelapan. Maka dia tidak perlu mengikuti cahaya itu, sebab asalnya dari surga, dan ia berada di atas mata air kehidupan. Jika dia berpergian dan mandi di dalam mata air itu, maka dia akan selamat dari tebasan pedang Balarak.

wallahu a'lam bish-showwab


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...