by ahmadsamantho
by Quito Riantori
Sunday, February 7, 2010 at 7:59pm
Di dalam kitab Mizan al-Hikmah diriwayatkan sebuah hadits bahwa seseorang bernama Majasyi’ datang kepada Rasulullah saww dan bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan menuju pengenalan kepada Allah (al-Haq)?”
Rasul saww menjawab, “Pengenalan diri (nafs)”
Orang itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara menyesuaikan diri dengan Allah?”
Rasulullah saww menjawab, “Menyelisihi ego (nafs)”
Orang itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan menuju keridhaan Allah?”
Jawab Nabi, “Membenci ego (nafs)”
Dia bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara untuk sampai kepada Allah?”
Jawab Nabi, “Hijrah dari ego (nafs)”.
Orang itu masih bertanya lagi, “Wahai Rasulullah bagaimana jalan untuk taat kepada Allah”
Jawab Nabi, “Menentang ego (nafs)”.
Orang itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara berdzikir kepada Allah?”,
Jawab Nabi, “Melupakan ego (nafs)”
Dia terus bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara mendekat kepada Allah?”
Jawab Nabi, “Menjauhi ego (nafs)”
Dia bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara berakraban dengan Allah?”,
Nabi menjawab, “Melepaskan diri dari ego (nafs)”.
Sampai pada akhirnya orang itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan untuk mencapai-Nya”
Rasulullah saww menjawab, “Memohon pertolongan kepada Allah di dalam mengatasi ego (nafs)” [1]
Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saww mengajarkan cara berdzikir kepada Allah. Ketika seseorang yang bernama Majasyi’ bertanya kepada beliau, bagaimana cara berdzikir kepada Allah, maka Rasulullah saww menjawab, “Melupakan nafs”. Lalu apakah nafs itu?
APA ITU NAFS?
SALAH satu jalan untuk mencapai Ma’rifatullah atau mengenal Allah adalah Ma’rifat al-Nafs atau mengenal diri. Di dalam hadits yang cukup masyhur di kalangan kaum Irfan atau pun Sufi, Nabi saww pernah bersabda : “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu : “Barangsiapa yang mengenal nafs-nya (dirinya) maka sungguh dia akan mengenal Tuhannya” [2].
Hadits ini secara gamblang menjelaskan keniscayaan pengenalan diri menuju kepada pengenalan kepada Tuhan. Mungkin karena itulah di dalam hadits lainnya Imam Ali as berkata: “Aku heran kepada orang yang tidak (berusaha untuk) mengenal dirinya, bagaimana (mungkin) ia bisa mengenal Tuhannya” [3]
DUALITAS NAFS
SYAHID Ayatullah Murtadha Muthahhari di dalam tulisannya Falsafe Akhlaq mencoba menjelaskan dualitas Nafs. Beliau mengatakan : “Kerap kali Al-Qur’an berbicara tentang Nafs manusia, yang mana manusia harus berperang melawannya, karena kecenderungannya yang buruk, seperti :
“Dan adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri (Nafs) dari hawa-nafs, maka surgalah tempat tinggalnya” (QS 79 : 40), dan ayat lainnya : “Sesungguhnya Nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali Nafs yang mendapatkan ke-Rahim-an Tuhanku” (QS 12 : 53).
Namun di lain ayat, Al-Qur’an menghormati dan menyanjung Nafs : “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada Nafs (diri) mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasiq” (QS 59:19).
Al-Syahid Muthahhari mengatakan : Sekiranya Nafs ini adalah Nafs yang pertama (yang cenderung kepada yang buruk) maka alangkah baiknya jika mereka lupa. Dengan alasan inilah Ayatullah Murtadha Muthahhari membagi nafs menjadi dua macam: Nafs (Diri) Sejati dan Nafs (Diri) Fantasi. Agar lebih mudah dipahami, saya menyebut Diri Sejati dengan Nafs Insani dan Diri Fantasi dengan Nafs Basyari. Saya akan menjelaskan alasan saya nanti.
MAKNA NAFS DAN HUBUNGANNYA DENGAN RUH
Sachiko Murata di dalam bukunya The Tao of Islam juga mencoba menjelaskan makna Nafs secara lebih rinci dan jelas. [4]
Beliau mengatakan bahwa banyak pengarang tidak membedakan antara Nafs dan Ruh. Memang dengan tidak membedakan keduanya kita akan bingung. Karenanya Sachiko Murata berusaha membedakan keduanya dan menjelaskan potensinya masing-masing. Ruh tercipta dari cahaya (nur) dan sebagaimana para malaikat, sepenuhnya terpisah dengan dunia jasadi (materi).
Sebaliknya jasad atau tubuh manusia yang tercipta dari tanah liat bersifat gelap. Sementara Nafs memiliki sifat-sifat dari kedua pihak tersebut dan bertindak sebagai perantara keduanya (Ruh dan Jasad).
Nafs menjadi lembut dan bercahaya ketika menjalin hubungan dengan Ruh, sebaliknya menjadi keras, padat dan gelap ketika menjalin hubungan dengan jasad. Posisi nafs berada di antara Ruh dan Jasad, ia menjadi barzakh (tanah genting) antara keduanya.
Biasanya Nafs dianggap berada pada tingkat yang lebih rendah dari Ruh, karena Ruh berasal lang¬sung dari Tuhan: “Dan telah Kutiupkan ke dalam jasadnya Ruh-Ku” (QS 15:29) Al-Qur’an tidak menyarankan bahwa Nafs manusia dan Tuhan terkait erat, sebagaimana Ruh manusia dengan Tuhan, dalam pengertian bahwa Nafs muncul setelah Ruh, karenanya sering diacu sebagai anak Ruh.
Dari Ruh sifat-sifat Ilahi mengalir kedalam Nafs, seperti sifat-sifat kehidupan, pengetahuan, kehendak (iradah), kekuasaan (qudrah), pembicaraan, pendengaran dan penglihatan. Nafs bersikap reseptif dengan mewujudkan sifat-sifat ini melalui jasad.
Ruh menyuburkan Nafs dan Nafs melahirkan aktivitas-aktivitas jasadi di dunia terlihat. Begitu Ruh dan Nafs hidup dalam keselarasan, yaitu masing-masing menjalankan fungsinya sesuai dengan hubungan itu maka dimensi batin manusia akan merasakan kedamaian.
Sebaliknya jika terjadi kegagalan di dalam mewujudkan keselarasan dan keharmonisan antara Ruh dan Nafs maka manusia akan merasakan kegelisahan atau ketidaknyamanan. Sachiko Murata menggambarkan posisi Ruh, nafs dan jasad dengan mengatakan: “Tuhan adalah langit dan Ruh adalah bumi Ruh adalah langit dan Nafs adalah bumi Nafs adalah langit dan Jasad adalah bumi (The Tao of Islam)
NAFS BASYARI DAN NAFS INSANI
“Dan Nafs serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada Nafs itu kefasikan dan ketaqwaannya” (QS 91:7-8) Ruh Ilahi yang merupakan unsur Ketuhanan menarik Nafs kepada ketaqwaan, sebaliknya Jasad yang mewakili unsur materi menariknya kepada kefasikan.
Jadi seluruh gerak dan tindak tanduk manusia didorong oleh dua macam kekuatan yang berusaha mempengaruhi Nafs tadi. Nafs yang condong kepada Ruh Ilahi mengarahkan aktivitasnya kepada taqwa, inilah yang disebut Nafs Insani. Adapun Nafs yang ditarik oleh unsur jasadinya kepada kefasikan disebut Nafs Basyari.
Nafs Basyari mendorong manusia berbuat dan bertindak berdasarkan kecenderungan jasadinya (fisiknya), seperti makan minum, berhubungan seks dan segala aktivitas yang juga dilakukan oleh hewan.
Karena itu Murtadha Muthahhari juga menyebutnya dengan Nafs hewani (diri hewani). Tatkala Iblis membangkang untuk bersujud kepada Adam, ia berkata: “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia (basyar) yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk!” (QS 15 : 33).
Iblis menggunakan kata basyar mengacu kepada penciptaan jasad manusia. Ia tertipu dan terhijabi oleh kecongkakannya sehingga ia melupakan bahwa manusia telah disempurnakan Allah dengan Ruh-Nya: “Dan telah Kutiupkan ke dalam (jasad)-nya Ruh-Ku”(QS 15:29)
Ada secercah cahaya Ilahi dalam diri manusia. Seluruh manusia termasuk Nabi saww juga sama memiliki kedua macam Nafs ini. Allah SwT memerintahkan kepada Nabi saww untuk mengatakan kepada manusia bahwa dari sisi basyari-nya beliau memang sama seperti manusia lainnya. “Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia (basyar) seperti kamu” (QS 18:110)
Dalam banyak kesempatan Nabi saww berkata kepada khalayak manusia : “Aku ini juga manusia seperti kalian, makan, minum, berkumpul dengan isteri dan berjalan di pasar-pasar”. Namun kita tidak bisa menilai Rasulullah saww hanya dari sisi basyari-nya saja, seperti yang dilakukan oleh kaum Wahabi-Salafi.
Jangan kau seperti Iblis,
Hanya melihat air dan lumpur ketika
memandang Adam. Lihatlah di balik lumpur,
beratus-ratus ribu taman yang indah!
(Mawlawi Rumi, Diwan i Syams 18226)
Menilai Nabi saww atau orang-orang suci hanya dari sisi basyariyahnya saja merupakan suatu kesalahan yang besar dan berbahaya. Anda bisa lihat bagaimana Iblis menilai Adam as, bukanlah dia hanya melihat Adam dari sisi tanah-nya dan melupakan sisi Ruh Allah-nya.
Karena bangga diri dan buta hati
Seperti Iblis, manusia-manusia ini tak lagi memuliakan orang suci
Katanya, “Bagi Tuhan saja, sujud kupersembahkan.”
Pada mereka Adam memberikan jawaban:
“Sujud kepadaku ini untuk-Nya
Kalian melihatnya berupa dua sujud
Karena ketersesatan dan keingkaran!”
(Mawlawi Rumi, Diwan i Syamsi 9605-9606)
Sesungguhnya kecenderungan Nafs Basyari ini tidak seluruhnya buruk. Maksudnya adalah bahwa selama kecenderungan-kecenderungan ini diletakkan pada proporsi yang semestinya, Allah justru memberi pahala untuknya, tetapi jika kecenderungan ini keluar dari batas-batas yang proporsional maka hal inilah yang dicela agama.
Diriwayatkan oleh Abu Dzar ra bahwa para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saww tentang hubungan sebadan antara suami isteri. “Bukankah kita merasakan nikmatnya, ya Rasulullah. Mengapa kita masih mendapat pahala juga?” Beliau menjawab: “Bukankah bila kamu menyalurkannya di jalan yang haram kamu berdosa?” sahabat menjawab, “Ya” Rasul berkata lagi, “Begitu juga kamu akan diberi pahala jika menyalurkannya pada jalan yang halal!” [5]
TARIK MENARIK UNSUR TANAH DAN RUH ALLAH
RUH Allah yang ditiupkan ke dalam jasad manusia merupakan sebuah potensialitas yang mampu menarik Nafs dan mengangkatnya ke puncak kesadaran Ilahiyah. Dengan Ruh Ilahi inilah Nafs sanggup mengadakan mi’raj melalui tafakkur, zikir, dan shalatnya.
Dengan Ruh Allah pulalah Nafs mampu mencapai kesadaran pada keberadaannya yang bergantung pada Khaliq-Nya. Dan dengan kesadaran seperti ini pula Nafs mampu membentuk manusia yang arif, kuat, kreatif, serta memiliki tujuan yang luhur.
Nafs yang mampu mencerap kekuatan ruh Ilahi dan sanggup mengontrol kecenderungan jasadnya, akan mampu menarik manusia ke kesempurnaan Ilahi yang tiada batas. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya” (QS 95:4-5) Kata taqwiim mempunyai asal dan akar kata yang sama dengan al-qawiim yang berarti bagus, benar atau lurus.
Nafs Insani mengarahkan manusia kepada Shirath al-Mustaqim, jalan yang lurus ke kesempurnaan Insaniyyah (al-Jannah). Sebaliknya Nafs Basyari menjatuhkan manusia ke derajat yang paling rendah, Asfala Safilin (serendah-rendahnya derajat).
Tarikan-tarikan yang berlawanan arah inilah yang senantiasa terjadi dalam diri (Nafs) manusia. Karena itu jika manusia yang tidak segera mengambil langkah pasti untuk bermujahadah (berjihad terhadap Nafs basyarinya) niscaya ia akan dihinggapi keraguan. Ia menjadi seperti tangkai pendulum yang berayun-ayun antara ke dua arah itu.
Nafs manusia diberikan kehendak bebas untuk memilih, Ruh Allah (kecenderungan Insani-nya) atau tanah (fisik:kecenderungan basyari-nya) “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (QS 90:10),
“Sesungguhnya beruntunglah manusia yang mensucikan Nafs (diri) nya dan sesungguhnya merugilah dia yang mengotori Nafs-nya” (QS 91:9-10)
Jika manusia sanggup memenuhi panggilan (ilham) Ruh-Nya niscaya ia akan menjadi makhluk Tuhan yang terbaik. Kita bisa melihat manusia-manusia yang telah mencapai kemuliaan ruhani, keagungan, keindahan, kesadaran, kesalihan, keberanian, keimanan, kedermawanan, toleransi yang tinggi serta integri¬tas watak yang menakjubkan.
Tidak ada zat, baik material maupun immaterial, malaikat ataupun jin yang mampu berkembang sedemikian rupa! Namun kita juga bisa melihat manusia-manusia keji, nista, lemah, pengecut, dan kriminal, merosot lebih rendah dan lebih jelek dari hewan, kuman bahkan setan! Lihatlah manusia-manusia semacam Fir’aun, Hitler, Saddam Hussein, George W. Bush, Ehud Olmert, atau bahkan Syimr al-Jausan. “Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi” (QS 7:179)
Nafs yang terseret kepada kecenderungan-kecenderungan basyarinya saja niscaya terselimuti oleh kegelapan. Nafs yang seperti inilah inilah yang wajib dilupakan di dalam hadits di atas yang dikatakan oleh Rasulullah saww.
Di dalam al-Qur’an, Nafs yang terseret kepada kecenderungan basyari yang melampaui batas adalah Nafs Ammarah, atau nafs yang memerintah kepada kejahatan atau pun kemunkaran.
Buanglah seluruh keakuanmu,
karena ia tidak lain adalah rumput liar dan belukar
Pergilah, bersihkan relung hatimu,
tatalah sebagai tempat semayam Sang Kekasih.
Ketika kau beranjak, Dia akan masuk,
dan kepadamu, dengan keakuan yang terbuang,
Dia kan menyingkap Keindahan-Nya.
(Mahmud Syabistari, Kebun Mawar Rahasia h. 112, Gulshan i Raz)
Catatan Kaki :
1. Mizan al-Hikmah 6:142-143
2. Bihar al-Anwar 2 : 32
3. Mizan al-Hikmah 6 : 142
4. Sachiko Murata, The Tao of Islam, Edisi terjemahan, Penerbit Mizan, Cet II
Sepetember 1996
5. Mustadrak al-Wasail 2 : 531
Tidak ada komentar:
Posting Komentar