Selasa, 24 April 2012

Kaderisasi Bisnis Gaya Si Mantan Anak Bandel

Posted on May 12, 2011 by Eddy Dwinanto Iskandar
Pernah dipenjara saat remaja, Yacob Kusmanto ternyata mampu mengubah jalan hidupnya. Kini, jebolan kelas 2 SMA itu sukses membangun 16 perusahaan tekstil dan distribusinya. Misi hidupnya kini: mencetak 2.000 pemimpin bisnis! “Maaf, saya terlambat turun. Tadi saya ditelepon orang yang saya beri mentoring bisnis. Dia dan keluarganya habis dipukulin warga di rumahnya di Tangerang.” Kalimat yang membuat SWA agak terkejut itu diucapkan dengan nada biasa oleh seorang pria separuh abad yang hendak diwawancarai SWA, penghujung Februari lalu, di Apartemen CBD Pluit, Jakarta. Itulah Yacob Kusmanto, pengusaha handuk, tirai, gorden, perlengkapan dapur, dan perlengkapan bayi yang berbasis tekstil di Bandung. Bagi pengusaha yang kenyang makan asam-garam kehidupan dan mengalami jatuh-bangun kodisi perekonomian Indonesia ini, tidak ada lagi peristiwa yang membuatnya kaget. “Karena, memang semua situasi itu netral. Tidak ada kepahitan, tidak ada kesusahan. Kecelakaan pun punya kesan yang baik, yang positif. Semua kondisi menarik,” ujarnya.
Hal yang sama diajarkannya kepada mentee-nya atau orang yang diberi mentoring olehnya, yang dipukuli warga itu. “Saya bilang ke dia, bersyukurlah bahwa kamu dan ketiga anakmu yang masih kecil dan remaja itu sudah belajar kepekaan hidup sejak dini. Mereka kan digebukin karena meledakkan petasan kencang-kencang sehingga warga sekitar marah. Ya sudah. Anggap saja itu pelajaran agar mereka lebih peka lingkungan ke depannya,” ungkap Yacob. Demikian juga di ranah bisnis. Saat salah seorang karyawannya hengkang dengan membawa banyak karyawan kunci, Yacob hanya tersenyum menceritakannya. “Itulah pilihannya,” ujar pria kelahiran Bandung, 13 Januari 1961, ini tanpa kesan mendendam.
Yacob memang tidak patut bersedih atas hilangnya karyawan ataupun hadirnya pesaing. Toh, perusahaan miliknya kini berjumlah total 16 buah. Jadi, roda bisnisnya tidak akan goyah hanya karena ada satu pesaing baru. Yacob bercerita, separuh perusahaannya digunakan untuk berproduksi dan separuhnya lagi untuk mendistribusikan produknya. PT Tirai Pelangi Nusantara memproduksi selimut, tas, handuk dan perlengkapan bayi bermerek Snobby. PT Tegar Prima Nusantara membuat perlengkapan bayi berbasis tekstil bermerek Dialogue. PT Harmoni menghasilkan tirai dan kelambu bermerek Harmoni. PT Imanuel memproduksi taplak meja. PT Adiguna membuat gorden tebal. CV Duta Baby menghasilkan tas gendong, kasur dan kelambu bayi. PT Kota Pelangi memproduksi perlengkapan dapur seperti kain penutup air mineral. PT Garmindo Utama mendistribusikan merek Dialogue. Lalu, PT Rabat dan PT Putra Raja Sejahtera mendistribusikan merek Snobby. “Saya lupa sisa nama perusahaan saya, ha-ha-ha,” ujarnya sambil tertawa kecil. Wajar bila Yacob, yang mempekerjakan kurang-lebih 2.000 karyawan, lupa. Sebab, ia mengaku kini hanya babat alas alias sekadar membuka jalan demi pendirian perusahaan. Setelah didirikan, perusahaan itu langsung dipercayakan kepada anak buahnya yang dirasanya kompeten dan berintegritas tinggi. “Kalau tidak begitu, kapan kita ada waktu memikirkan yang lain,” ujarnya santai. Ia tidak khawatir bisnisnya hancur dengan pola demikian. ”Saya kan juga kontrol sesekali. Kalau ada yang salah, ya saya tegur. Kalau tidak ada, ya silakan saja teruskan.” Bagi Yacob, yang utama adalah integritas dan militansi seseorang dalam bekerja. Dia menyukai orang yang tidak hitung-hitungan dalam bekerja. Atas dasar itulah, ia kini memiliki seorang lulusan STM yang memimpin produksi merek Dialogue; seorang lulusan SMA yang notabene mantan pramuwiswa di rumahnya kini menjadi manajer pabrik perlengkapan bayi bermerek Snobby, dan seorang lulusan SMEA Akuntansi yang memimpin CV Duta Baby, pabrik perlengkapan bayi miliknya yang lain. Mudah saja dicari alasannya mengapa Yacob berprinsip demikian. Sebab, ia juga menerapkan perilaku serupa semasa menjadi karyawan dulu. “Itulah yang saya alami di masa lalu.” Di ruang apartemennya yang jauh dari kesan mewah, Yacob pun mengajak SWA menelusuri masa lalunya. Ia melewati masa kecilnya dengan penuh perjuangan. Sebagai anak pasangan sopir taksi 4848 di Bandung dan penjual kue, ia terbiasa dengan kondisi ekonomi pas-pasan. “Kami lahir dari keluarga miskin di Bandung. Kami miskin sekali,” ungkapnya. Tak ada kesan berupaya menarik simpati dengan pengulangan itu. Malah, yang terdengar justru nada ceria. Yacob mengaku bersyukur atas masa kecilnya. Dari kondisi yang penuh keterbatasan itulah justru dirinya diperkenalkan dengan kerja keras, pemahaman bisnis, dan pengelolaan keuangan yang cermat sejak dini. “Saya diajari bisnis sejak umur 4-5 tahun,” ungkapnya. Ketika itu, ia terbiasa mendapat uang jajan jika membantu memarutkan kelapa untuk usaha kue semprong, telur asin dan tauge yang dibuat ibunya. Berhubung “upah” yang diterimanya sangat kecil, ia jadi terbiasa berhemat dan menabung. Bahkan, untuk sekolah, ia hanya membawa bekal nasi hangat yang dikepal-kepal dengan “lauk” garam. Namun, perjalanan hidupnya sempat memasuki masa kelam saat remaja. Ketika bersekolah di SMA Santa Maria, Bandung, ia kerap berkelahi dengan sesama siswa di sekolahnya. “Saya lemah di sekolah. Maka, untuk eksis, saya berusaha menonjolkan diri dengan cara lain. Saya berkelahi dengan kakak kelas yang lebih besar agar saya populer,” tuturnya seraya tersenyum. Akibatnya, ia kerap mendapat perlakuan tidak enak. Bahkan, pernah karena kenakalannya, ia dipenjara di Bandung dan merasakan “kenikmatan” saat kakinya ditekan dengan kaki meja dan tulang keringnya digetok pistol. Akibat itu juga, ia terpaksa hengkang dari rumahnya dan terdampar di lingkungan yang penuh dengan minuman keras dan narkotika.
Untung saja, pada suatu ketika Yacob sadar. Ia lantas meminta pekerjaan kepada Yamin Haryanto, teman sekampung orang tuanya, dari Cilacap, yang berbisnis tekstil di Bandung. Bahkan, sebelum memutuskan keluar saat kelas 2 SMA di usia 18 tahun, ia membolos seminggu untuk menjajal suasana kerja. Akhirnya, ketika mantap bekerja, ia langsung izin dari kantornya untuk pamit kepada pihak sekolah. “Setelah itu, saya fokus bekerja di CV Wiska milik Pak Yamin,” ujarnya seraya menyebut produk-produk CV Wiska seperti handuk, gorden dan tirai. Di sinilah titik balik seorang Yacob terjadi. Ia yang bertekad berubah lantas bekerja sangat keras melebihi jam kerja normal. Ia selalu masuk pukul 6 pagi dan pulang di atas pukul 5 sore. Selalu mematuhi perintah atasan dan tidak pernah membantah saat dikritik atasan. “Saya mendapat pelajaran di keluarga untuk menghormati pemimpin, bagaimanapun kondisinya. Dan saya selalu berprinsip memberi lebih dari gaji yang saya terima,” katanya. Setelah lewat enam bulan bekerja, ia memberanikan diri membeli handuk-handuk reject dari CV Wiska. Ternyata, permintaannya dikabulkan. Beragam handuk cacat produksi itu lantas dipermaknya menjadi sapu tangan kecil dan wash lap sehingga cacatnya terbuang. Lebih jauh lagi, melihat ada tetangganya yang berbisnis printing, ia pun memberikan motif cetak di produknya. Ia lantas menjualnya di pasar tradisional Cibangkong, Bandung, tidak jauh dari kontrakannya saat itu di Gang Warta, Jalan Gatot Subroto, Cibangkong. Ternyata, hasilnya bagus. Ia pun mengangkat temannya sebagai tenaga penjualan untuk membantu pekerjaannya. Yacob kemudian menjajal peruntungannya di luar kota, Purwokerto tepatnya. Dengan kecerdikannya, ia bisa mengirim produknya dengan nyaris gratis ke luar kota. Pasalnya, ia kerap mencucikan kendaraan-kendaraan milik travel yang juga berlokasi tidak jauh dari tempat tinggalnya. Hasilnya, setiap libur kerja di Sabtu dan Minggu, ia mengirim produk ke daerah. “Maklum, orang kecil banyak akalnya,” ujarnya. Satu tahun 10 bulan bekerja di CV Wiska, Yacob digaji Rp 75 ribu/bulan. Namun, penghasilan dari bisnis sampingannya itu justru mencapai Rp 2 juta/bulan. Karena itu, 5 tahun kemudian, pada 1987 ia memutuskan membuka pabrik sendiri. Setelah pamit kepada atasannya, ia membuka pabrik pertamanya di Leuwigajah, Bandung, dengan mengontrak lahan seluas 1 hektare selama lima tahun. Berkat hubungan baiknya dengan mantan bosnya, ia diizinkan membeli mesin bekas milik mantan bosnya itu. Bahkan, tak cuma mesin, ia juga dipinjami suku cadang dan teknisi saat mesin-mesinnya mengalami masalah. Dari situ bisnisnya terus berkembang. Yacob mengakui, baginya sekarang lebih mudah membuka perusahaan. Sebab, pertama, selama ini ia selalu cermat mengalokasikan modalnya. Ia mengaku sebagai orang yang cukup hemat, baik dalam gaya hidup maupun pengeluaran perusahaan. Itu sebabnya, saat krisis 1997, dia justru mendapat untung besar dari pembelian aset-aset mesin perusahaan tekstil lainnya, sehingga perusahaannya bisa melakukan efisiensi biaya produksi dengan mesin-mesin yang baru tetapi bekas. Dari mana sumber dananya? “Ya, dari hasil penghematan itu,” ujarnya. Kedua, ia memiliki perusahaan distribusi sendiri untuk produknya. Berkat strategi tersebut, ia memiliki jaringan nasional yang kuat sampai ke pasar becek. Berkat itu pula, ia merasa tidak perlu berpromosi besar-besaran. “Ada berbagai cara untuk ekspansi. Saya sendiri memilih menguatkan distribusi kami yang hingga kini sampai ke pasar modern dan pasar becek,” katanya. Pilihan strategi ini juga yang membuat perusahaan-perusahaan Yacob tetap bernapas di saat perusahaan produk tekstil lainnya limbung dihajar produk kembaran asal Cina. Menurutnya, kebanyakan perusahaan jatuh karena terlalu mengandalkan pasar grosir. “Sektor tekstil itu dulu dipuja-puja, jadi banyak yang hanya bermain grosir. Sementara saya sudah menyasar ke pasar-pasar langsung dengan perusahaan distribusi. Jadi, begitu produk Cina menyerbu pada tahun 2000-an, saya sudah memiliki jaringan distribusi yang kuat,” ungkap suami dari Puji Binarti, atau yang akrab disapa Rosa itu. Strategi lainnya yang menurut Yacob menjadi salah satu kunci keberhasilan pengembangan bisnisnya adalah kemampuannya mencetak kader-kader pemimpin bisnis yang gres. Ia berprinsip, jika seorang karyawan sudah 10 tahun mengikutinya, itulah saatnya dia harus menjadi pemimpin. Kalau tidak, berarti yang salah pemimpinnya karena tidak mampu memercayai bawahannya. “Kalau saya terus-menerus menaruh curiga dan memupuk ketidakpercayaan, perusahaan saya tidak akan sampai sebanyak sekarang,” ujar ayah Sylviana Kusmanto dan Naomi Kristiana Kusmanto ini. Yacob menegaskan, bisnisnya yang sejati adalah mencetak pemimpin. Bisnis tekstil hanyalah kendaraan baginya. Dengan begitu, ia tidak sulit melepas perusahaan ke tangan orang yang dipercayainya. Bahkan, meski perusahaan itu baru didirikannya. Dengan pengalaman mengader orang, ia kini hanya menyingkat waktu kaderisasi dari 10 menjadi lima tahun saja. Dengan kian cepatnya kemampuan mencetak pemimpin, laju ekspansi perusahaan juga kian kencang. “Dulu untuk menambah satu perusahaan bisa lima tahun, kini satu tahun bisa membuat 3-4 perusahaan,” katanya. Ia memang tak ragu mengader anak buahnya yang berkarakter jujur, gigih dan tak hitung-hitungan dalam bekerja. Mirip dirinya semasa muda dulu. “Yang terpenting bagi saya dalam menunjuk pemimpin adalah karakternya. Soal pendidikan, skill, dan lainnya itu bisa dilatih.” Yacob mengaku prinsipmya merupakan kebalikan dari prinsip pengusaha lain yang kerap menutup rapat-rapat kondisi keuangan perusahaan. Di perusahaannya, mulai dari level kepala bagian sampai GM harus tahu kondisi keuangan perusahaan, berapa modal, berapa biaya pembelian, berapa harga jual, dan sebagainya. Ia tak takut rahasia bisnisnya dicuri pesaing atau karyawan yang berubah menjadi pesaing. Menurutnya, dari persaingan justru muncul kreativitas. Dan, Yacob lebih suka menyikapi kompetisi dengan dorongan untuk lebih kreatif ketimbang mengeluarkan sumpah serapah. Hal itu dibuktikan saat salah satu pegawainya hengkang dari perusahaannya dengan membentuk perusahaan sejenis, plus membetot beberapa karyawan kuncinya. “Memang, dia kurang elok keluarnya. Tapi ya sudah. Kami tidak perlu cemas. Kami terus saja berinovasi,” ceritanya seraya tersenyum. Yacob pun tidak merasa perlu mengubah pendiriannya. Toh, laju perusahaannya yang masih tak terbendung seakan-akan memberikan dukungan nyata bagi prinsip-prinsipnya. Retnowati, lulusan SMA yang menjadi Manajer Pabrik PT Tirai Pelangi Nusantara yang memproduksi Snobby, turut membuktikan implementasi prinsip bosnya. Sepuluh tahun lalu, Retno adalah pekerja di rumah Yacob yang juga dijadikan kantor. Berhubung turut tinggal di rumah Yacob di Bandung, Retno berinisiatif mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu dan mengepel sebelum masuk kerja dan setelah jam kantor usai. Semua itu dilakukan tanpa perintah Yacob. “Soalnya, saya sejak awal berkeinginan bekerja sebaik mungkin jika mendapat pekerjaan. Semua itu saya lakukan karena saya tidak ingin gagal karena sekolah saya saja dibantu orang lain. Jadi, saya harus berikan yang terbaik saat bekerja,” ungkap muslimah kelahiran Cilacap itu.
Yacob pun ternyata memperhatikan kegigihannya. Walhasil, Retno yang awalnya bekerja di bagian pengemasan diberi keterampilan menjahit, selanjutnya menjadi pemimpin grup jahit, lalu dididik pengetahuan administrasi, kemudian diberi kepercayaan memimpin sebuah grup jahit di Kembangan, Jakarta Barat. Tentu saja, tak semuanya berjalan mulus. Saat dipindahkan ke rumah Yacob di Kembangan yang juga merangkap kantor, Retno gagal memimpin grupnya. Ia pun kembali ditarik ke Bandung menjadi staf biasa. Meski sempat merasa kecewa pada diri sendiri, Retno tidak patah semangat. Dan ketika ada posisi lowong di PT Tirai pada 2009, ia pun kembali dipercaya Yacob menjadi manajer yang membawahkan bagian produksi. Dan, Juni 2010 ia dipercaya memegang seluruh kendali operasional, produksi dan pergudangan perusahaan tersebut dengan karyawan sekitar 500 orang. “Saya bersyukur diberi kepercayaan kembali. Saya sendiri ingin menaikkan omset perusahaan jadi dua kali lipat,” ujarnya yakin. Di mata Felix Ferryanto Lukman, pengamat bisnis sekaligus dosen Manajemen Strategi Prasetiya Mulya Business School, Yacob mampu mengatasi salah satu masalah utama dalam bisnis keluarga, yakni delegasi kekuasaan karena minimnya kaderisasi. Umumnya, menurut Felix, perusahaan keluarga berpola one man show. Namun, tidak dengan Yacob. Ia mampu mendelegasikan hal-hal penting plus dengan tanggung jawab sepenuhnya ke calon pemimpin. “Jadi, dia tidak menitipkan pistol berpeluru hampa,” ujar Felix bermetafora. Felix juga menyetujui langkah Yacob mendistribusikan produknya dengan memiliki perusahaan distribusi sendiri. Menurutnya, bisnis melulu bicara tentang sustainaibility. “Kalau Yacob mampu survive dengan cara ini, ya monggo,” ujarnya. Selain itu, dalam promosi tidak selalu harus mengandalkan iklan. Yacob bisa saja menggunakan word of mouth alias promosi getok tular dari para penjualnya yang terkadang bisa lebih berpengaruh ketimbang iklan di televisi. Terkait corporate social responsibility (CSR) di bidang mentoring bisnis, Felix berpendapat seharusnya Yacob mempromosikannya ke publik. Karena, hal tersebut akan menguatkan keyakinan masyarakat bahwa orang yang berada di balik produk Dialogue, Snobby, dan sebagainya adalah orang yang kerap membantu sesama. “Dan cara terbaik melakukannya adalah dengan menggunakan strategi public relations agar penerimaan masyarakat lebih baik.” Yacob, yang selalu enggan memaparkan omsetnya, tidak berniat berhenti di sini. Dirinya kini masih memiliki impian besar: mencetak 2.000 pemimpin, baik di lini bisnis maupun ranah masyarakat. “Saya bermimpi mencetak banyak general manager. Rumus saya untuk karyawan yang sudah saya serahi tanggung jawab sederhana: kalau mau dihancurkan, silakan; kalau mau dikembangkan, silakan. Karena ini semua juga milik Tuhan, saya hanya dipercaya jadi pengelolanya. Kalau pembantu rumah saya saja bisa jadi manajer, tentu yang lain juga. Itu yang saya katakan. Kita sebagai pemimpin bekerjanya juga jangan sampai jadi lokomotif yang terus-menerus menarik muatan. Tapi, mereka sendiri yang harus bisa mendorong dirinya. Dan, pendorong selanjutnya bukan saya, melainkan mereka. Ini saatnya mereka tampil,” kata Yacob menandaskan.(*) Riset: Evi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...