Kamis, 12 Desember 2013

Berada Di Kepungan Fitnah Besar



Oleh: Hertasning Ichlas, Koordinator YLBHU

Bulan-bulan belakangan ini para aktivis hukum dan HAM yang meneliti dan mengadvokasi kelompok rentan dan minoritas telah menyaksikan panasnya fitnah, hasutan kebencian dan naiknya eskalasi kekerasan terhadap warga muslim Syiah Indonesia.
Gejalanya cukup serentak dan kompak mulai dari makin beraksinya “faksi” di MUI yang menyebarkan buku kesesatan Syiah secara masif dan gratis. Seturut makin menggilanya aksi-aksi jalanan  kelompok intoleran dalam mendemo dan menyebarkan hasutan kebencian dan kekerasan sampai yang paling hangat kekerasan fisik terhadap 5 orang  yang terjadi baru saja dalam peringatan Asyura di Makassar.
Acara Asyura yang bertahun-tahun terselenggara di Surabaya tiba-tiba dibatalkan sehari sebelum penyelenggaraan karena alasan keamanan. Yayasan Rausyan Fikr di Yogyakarta yang sudah belasan tahun hidup damai dengan lingkungan intelektual Yogya, diancam bakal diserang dan ditutup hingga perlu dievakuasi dan diamankan polisi dengan jaminan keamanan yang tegas dari Sultan Yogya.
Secara umum hasutan kebencian, ancaman dan rencana sabotase serupa terjadi di kota-kota lain tempat komunitas Syiah berada.
Satu hal yang paling menggelisahkan di sejumlah peristiwa yang kami catat adalah pola ketika pengkafir dan penyesat Syiah ini semakin aktif menjelmakan sentimen pengkafiran, kekerasan dan perasaan paling benar dan paling eksis dari mereka tertular menjadi pikiran, agenda keagamaan dan kecemasan warga kebanyakan. Isu antisyiah kemudian dengan cepat berubah menjadi critical mass.
Kita bahkan mencatat sejumlah pejabat kepolisian daerah telah turut serta menjadi bagian kelompok intoleran dan memberi angin keras terhadap kelompok pengkafir dan penyesat Syiah tersebut. Meskipun harus dikatakan sebagian kepolisian lain yang memilih bersikap obyektif dan aktif untuk mengklarifikasi kedua belah pihak, bertindak sangat bagus dan fair dengan mengutamakan prinsip-prinsip kewargaan.
Kemampuan kelompok pengkafir dan penyesat —yang dalam terminologi Islam politik lebih tepat disebut sebagai kelompok Wahabi atau dalam konteks perang di Suriah biasa diberi label sebagai kelompok Jihadis Salafi, menelusup, menumpang dan mendesakkan agenda ke pelbagai pihak seperti institusi-institusi negara dan keagamaan dengan seolah-olah menyamakan agenda diri mereka atas nama Islam Sunni, harus diakui cukup militan dan gencar.
Dalam sesaat, Muslim Sunni dan Syiah, yang telah sama-sama menjadi pewaris dan menghiasi jejak tradisi Islam nusantara yang damai dan terbukti ko-eksisten selama ratusan tahun, tiba-tiba terkoyak dan terbakar perasaan curiga, permusuhan hingga kebencian instan.
Begitu gencarnya pengadukan kebencian dan upaya pecah-belah Sunni-Syiah sebagai sesama rumpun Islam dan saudara tua Islam, membuat kita patut bertanya. Spekulasi rasional kita mencurigai bahwa sentimen antiSyiah ini adalah sebuah orkestrasi yang teratur dan memiliki sumber daya politik dan finansial yang kuat.
Berdasarkan dari pola ancaman, ujaran kebencian dan teror terhadap kelompok Syiah Indonesia yang kami teliti, ada faktor geopolitik yang pekat di belakang kampanye antisyiah di Indonesia.Dari bukti-bukti ancaman dan bahasa kekerasan yang kami teliti, terdapat upaya mengekspor perang di Suriah yang secara menyesatkan dianggap —atau hendak dianggap sebagai perang Sunni versus Syiah, berpindah ke Indonesia persisnya terhadap muslim Syiah di Indonesia yang sebenarnya tak ada sangkut-paut dengan kondisi politik di Timur Tengah.
Kampanye hitam dan ujaran kebencian terhadap muslim Syiah di Indonesia setelah kita teliti terutama dilakukan dengan sebuah metode yang nampaknya sangat sistematis dan ampuh yakni FITNAH.
Dalam perasaan kaget, terkepung atau karena panggilan untuk membela Islam Sunni sebagai wajah umum Islam di Indonesia, masyarakat kebanyakan, tokoh-tokoh bahkan pejabat publik dan aparat hukum dengan mudah terhasut dan menerima fitnah bahwa Syiah begini dan begitu yang ujungnya berbahaya, menakutkan dan menjijikkan tanpa reserve dan kritisisme. Pola fitnah seperti dilakukan terbukti sangat efektif mengubah secara instan masyarakat awam dan pada gilirannya menghadirkan kekerasan dan penindasan terhadap hak-hak konstitusional warga muslim Syiah.
Fitnah yang dilakukan oleh kelompok pengkafir dan penyesat atau kelompok takfiri (kelompok yang dakwahnya hanya mengkafirkan dan menyesatkan) merasuk begitu dalam melalui media-media propaganda mereka. Tak jarang mereka menyebar foto-foto ustad-ustad Syiah dengan menambahkan ustad tersebut sebagai orang kafir yang halal darahnya dan mengobarkan perang terhadap mereka. Tak jarang pula mereka mengatakan Syiah membenci dan menghina istri nabi dan sahabat secara luas di mimbar-mimbar serta mengajarkan kawin sedarah dan jika Syiah menjadi kuat, mereka  akan menghabiskan saudara Sunni di Indonesia. Tanpa perlu memeriksa kebenarannya siapa pun orang awam secara instingtif akan mendahulukan sikap defensif terhadap hal asing yang tak diketahuinya.
Aktivitas hasutan kekerasan dan fitnah untuk kebencian ini terus merembes masuk ke pengajian-pengajian dan acara keagamaan warga kebanyakan di pelosok Indonesia. Herannya aktivitas provokasi ini berlangsung terus tanpa ada upaya bahkan penilaian serius dari negara dan aparat hukumnya bahwa hal-hal tersebut tergolong aktivitas hasutan kriminal serius karena menyebar kebencian dan memprovokasi warga bertindak anomi.
Naiknya intoleransi dapat terlihat dari produksi dakwah Islam belakangan ini yang semakin kecil berbicara tentang akhlakul karimah, tentang kemanusiaan dan pemihakan sosial, tetapi lebih bernafsu menjadi ajang agitasi dan propaganda membenci kelompok tertentu seraya membuat paling benar dan eksis kelompok lainnya.
Hal ini semakin membesar dan serius karena hukum dan negara gamang bahkan turut serta memihak atas suatu keyakinan dan menghakimi keyakinan lain secara in-absentia tanpa dialog yang tulus dan beradab. Kelompok takfiri berhasil memanfaatkan situasi keawaman dan kepanikan warga serta aparat negara untuk tidak lagi berpikir kritis dan adil.
Jika saja kita ingin berpikir lebih bebas dan obyektif, Muslim Syiah di Indonesia secara sosiologis dan antropologis memiliki corak keislaman dan gerakan yang sangat lama dan khas di Indonesia. Kalau tidak bisa mengatakan menjadi sangat membudaya, sinkretik dan melebur. Demikian khas sehingga yang berkembang adalah Syiah budaya seperti doa-doa, tasawuf, kebatinan yang sebagian besarnya menyatu dengan Islam NU melalui proses asimilasi yang damai. Baru belakangan sekitar 20 tahunan tradisi intelektual Syiah diperkenalkan seturut dengan proses demokrasi Indonesia yang terbuka dan  melonggarkan karya-karya dan wacana dalam bentuk buku dan multimedia.
Syiah di Indonesia tak bisa dipisahkan dengan ke-Indonesiaan. Gerakannya bukan seperti gerakan Islam politik Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tathir, dll. Pendeknya dari hasil amatan kami terhadap gerakan Syiah melalui yayasan dan komunitas di Indonesia, gerakan Syiahnya lebih dekat dengan Syiah kebudayaan yang pertama kali masuk ke Indonesia secara damai dan bukan atau setidaknya tidak sedang mengarah menjadi Islam politik hasil inspirasi dan transformasi pasca-revolusi Islam Iran atau hasil pergulatan kontemporer  konstelasi geo-politik Timur Tengah yang memiliki konteks politiknya masing-masing. Apa yang sedang terjadi dengan pasang surut di Iran, Irak dan Hizbullah di Timur Tengah tidak berbanding lurus dengan agenda muslim Syiah di Indonesia yang relatif merasa Islam mereka adalah Islam kebudayaan dan identitas diri mereka adalah inheren dengan Indonesia dan bersama pergulatan bangsanya.
Tak sedikit catatan historiografi yang menyebut Islam Syiah sebagai yang pertama kalau bukan yang utama menghiasi corak Islam Indonesia. Jejaknya terutama bisa terlihat dalam kesultanan nusantara yang telah melebur dalam akulturasi etnik dan kearifan lokal yang damai dan penuh kesepakatan.
Warga muslim Syiah telah hidup ratusan tahun lamanya semenjak Islam masuk di Indonesia. Selama ratusan tahun itu di Indonesia, bahkan selama ribuan tahun lamanya menjadi bagian dari rumpun Islam, adakah mereka mengkafirkan, menyesatkan dan melakukan kekerasan bahkan memberontak dan menyerang kehormatan negara tempatnya hidup atau menyerang negara lain? Tidakkah atribusi dan ciri-ciri itu lebih identik dan dekat dengan gerakan islam politik yang berada di balik fitnah besar ini? Gerakan yang sebenarnya baru muncul kemarin sore dalam sejarah dan kemudian merasa nyaman menumpang di dalam tubuh Islam Sunni untuk kemudian digunakan dalam politik pecah-belah. Sekarang mereka ingin memberangus Syiah, namun pada akhirnya mereka akan memberangus siapa pun yang berbeda dengan kehendak mereka.
Dalam situasi panik dan takut, daya kritis kita mudah dijerat ke arah persetujuan kotor untuk menindas dan menghakimi keyakinan sesama saudara muslim yang mestinya harus kita jaga kehormatan nyawa dan harga dirinya atas nama ketentuan agama dan konstitusi.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...