Oleh: Hertasning Ichlas, Koordinator
YLBHU
Bulan-bulan belakangan ini para
aktivis hukum dan HAM yang meneliti dan mengadvokasi kelompok rentan dan
minoritas telah menyaksikan panasnya fitnah, hasutan kebencian dan naiknya
eskalasi kekerasan terhadap warga muslim Syiah Indonesia.
Gejalanya cukup serentak dan kompak
mulai dari makin beraksinya “faksi” di MUI yang menyebarkan buku kesesatan
Syiah secara masif dan gratis. Seturut makin menggilanya aksi-aksi
jalanan kelompok intoleran dalam mendemo dan menyebarkan hasutan
kebencian dan kekerasan sampai yang paling hangat kekerasan fisik terhadap 5
orang yang terjadi baru saja dalam peringatan Asyura di Makassar.
Acara Asyura yang bertahun-tahun
terselenggara di Surabaya tiba-tiba dibatalkan sehari sebelum penyelenggaraan
karena alasan keamanan. Yayasan Rausyan Fikr di Yogyakarta yang sudah belasan
tahun hidup damai dengan lingkungan intelektual Yogya, diancam bakal diserang
dan ditutup hingga perlu dievakuasi dan diamankan polisi dengan jaminan
keamanan yang tegas dari Sultan Yogya.
Secara umum hasutan kebencian,
ancaman dan rencana sabotase serupa terjadi di kota-kota lain tempat komunitas
Syiah berada.
Satu hal yang paling menggelisahkan
di sejumlah peristiwa yang kami catat adalah pola ketika pengkafir dan penyesat
Syiah ini semakin aktif menjelmakan sentimen pengkafiran, kekerasan dan
perasaan paling benar dan paling eksis dari mereka tertular menjadi pikiran, agenda
keagamaan dan kecemasan warga kebanyakan. Isu antisyiah kemudian dengan cepat
berubah menjadi critical mass.
Kita bahkan mencatat sejumlah
pejabat kepolisian daerah telah turut serta menjadi bagian kelompok intoleran
dan memberi angin keras terhadap kelompok pengkafir dan penyesat Syiah
tersebut. Meskipun harus dikatakan sebagian kepolisian lain yang memilih
bersikap obyektif dan aktif untuk mengklarifikasi kedua belah pihak, bertindak
sangat bagus dan fair dengan mengutamakan prinsip-prinsip kewargaan.
Kemampuan kelompok pengkafir dan
penyesat —yang dalam terminologi Islam politik lebih tepat disebut sebagai
kelompok Wahabi atau dalam konteks perang di Suriah biasa diberi label sebagai
kelompok Jihadis Salafi, menelusup, menumpang dan mendesakkan agenda ke
pelbagai pihak seperti institusi-institusi negara dan keagamaan dengan
seolah-olah menyamakan agenda diri mereka atas nama Islam Sunni, harus diakui
cukup militan dan gencar.
Dalam sesaat, Muslim Sunni dan
Syiah, yang telah sama-sama menjadi pewaris dan menghiasi jejak tradisi Islam
nusantara yang damai dan terbukti ko-eksisten selama ratusan tahun, tiba-tiba
terkoyak dan terbakar perasaan curiga, permusuhan hingga kebencian instan.
Begitu gencarnya pengadukan
kebencian dan upaya pecah-belah Sunni-Syiah sebagai sesama rumpun Islam dan
saudara tua Islam, membuat kita patut bertanya. Spekulasi rasional kita
mencurigai bahwa sentimen antiSyiah ini adalah sebuah orkestrasi yang teratur
dan memiliki sumber daya politik dan finansial yang kuat.
Berdasarkan dari pola ancaman,
ujaran kebencian dan teror terhadap kelompok Syiah Indonesia yang kami teliti,
ada faktor geopolitik yang pekat di belakang kampanye antisyiah di Indonesia.
Dari bukti-bukti ancaman dan bahasa kekerasan yang kami
teliti, terdapat upaya mengekspor perang di Suriah yang secara menyesatkan
dianggap —atau hendak dianggap sebagai perang Sunni versus Syiah, berpindah ke
Indonesia persisnya terhadap muslim Syiah di Indonesia yang sebenarnya tak ada
sangkut-paut dengan kondisi politik di Timur Tengah.
Kampanye hitam dan ujaran kebencian
terhadap muslim Syiah di Indonesia setelah kita teliti terutama dilakukan
dengan sebuah metode yang nampaknya sangat sistematis dan ampuh yakni FITNAH.
Dalam perasaan kaget, terkepung atau
karena panggilan untuk membela Islam Sunni sebagai wajah umum Islam di
Indonesia, masyarakat kebanyakan, tokoh-tokoh bahkan pejabat publik dan aparat
hukum dengan mudah terhasut dan menerima fitnah bahwa Syiah begini dan begitu
yang ujungnya berbahaya, menakutkan dan menjijikkan tanpa reserve dan
kritisisme. Pola fitnah seperti dilakukan terbukti sangat efektif mengubah
secara instan masyarakat awam dan pada gilirannya menghadirkan kekerasan dan
penindasan terhadap hak-hak konstitusional warga muslim Syiah.
Fitnah yang dilakukan oleh kelompok
pengkafir dan penyesat atau kelompok takfiri (kelompok yang dakwahnya hanya
mengkafirkan dan menyesatkan) merasuk begitu dalam melalui media-media
propaganda mereka. Tak jarang mereka menyebar foto-foto ustad-ustad Syiah
dengan menambahkan ustad tersebut sebagai orang kafir yang halal darahnya dan
mengobarkan perang terhadap mereka. Tak jarang pula mereka mengatakan Syiah
membenci dan menghina istri nabi dan sahabat secara luas di mimbar-mimbar serta
mengajarkan kawin sedarah dan jika Syiah menjadi kuat, mereka akan
menghabiskan saudara Sunni di Indonesia. Tanpa perlu memeriksa kebenarannya
siapa pun orang awam secara instingtif akan mendahulukan sikap defensif
terhadap hal asing yang tak diketahuinya.
Aktivitas hasutan kekerasan dan
fitnah untuk kebencian ini terus merembes masuk ke pengajian-pengajian dan
acara keagamaan warga kebanyakan di pelosok Indonesia. Herannya aktivitas
provokasi ini berlangsung terus tanpa ada upaya bahkan penilaian serius dari
negara dan aparat hukumnya bahwa hal-hal tersebut tergolong aktivitas hasutan
kriminal serius karena menyebar kebencian dan memprovokasi warga bertindak
anomi.
Naiknya intoleransi dapat terlihat
dari produksi dakwah Islam belakangan ini yang semakin kecil berbicara tentang
akhlakul karimah, tentang kemanusiaan dan pemihakan sosial, tetapi lebih
bernafsu menjadi ajang agitasi dan propaganda membenci kelompok tertentu seraya
membuat paling benar dan eksis kelompok lainnya.
Hal ini semakin membesar dan serius
karena hukum dan negara gamang bahkan turut serta memihak atas suatu keyakinan
dan menghakimi keyakinan lain secara in-absentia tanpa dialog yang tulus dan
beradab. Kelompok takfiri berhasil memanfaatkan situasi keawaman dan kepanikan
warga serta aparat negara untuk tidak lagi berpikir kritis dan adil.
Jika saja kita ingin berpikir lebih
bebas dan obyektif, Muslim Syiah di Indonesia secara sosiologis dan
antropologis memiliki corak keislaman dan gerakan yang sangat lama dan khas di
Indonesia. Kalau tidak bisa mengatakan menjadi sangat membudaya, sinkretik dan
melebur. Demikian khas sehingga yang berkembang adalah Syiah budaya seperti
doa-doa, tasawuf, kebatinan yang sebagian besarnya menyatu dengan Islam NU
melalui proses asimilasi yang damai. Baru belakangan sekitar 20 tahunan tradisi
intelektual Syiah diperkenalkan seturut dengan proses demokrasi Indonesia yang
terbuka dan melonggarkan karya-karya dan wacana dalam bentuk buku dan
multimedia.
Syiah di Indonesia tak bisa
dipisahkan dengan ke-Indonesiaan. Gerakannya bukan seperti gerakan Islam politik
Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tathir, dll. Pendeknya dari hasil amatan kami
terhadap gerakan Syiah melalui yayasan dan komunitas di Indonesia, gerakan
Syiahnya lebih dekat dengan Syiah kebudayaan yang pertama kali masuk ke
Indonesia secara damai dan bukan atau setidaknya tidak sedang mengarah menjadi
Islam politik hasil inspirasi dan transformasi pasca-revolusi Islam Iran atau
hasil pergulatan kontemporer konstelasi geo-politik Timur Tengah yang
memiliki konteks politiknya masing-masing. Apa yang sedang terjadi dengan
pasang surut di Iran, Irak dan Hizbullah di Timur Tengah tidak berbanding lurus
dengan agenda muslim Syiah di Indonesia yang relatif merasa Islam mereka adalah
Islam kebudayaan dan identitas diri mereka adalah inheren dengan Indonesia dan
bersama pergulatan bangsanya.
Tak sedikit catatan historiografi
yang menyebut Islam Syiah sebagai yang pertama kalau bukan yang utama menghiasi
corak Islam Indonesia. Jejaknya terutama bisa terlihat dalam kesultanan
nusantara yang telah melebur dalam akulturasi etnik dan kearifan lokal yang
damai dan penuh kesepakatan.
Warga muslim Syiah telah hidup
ratusan tahun lamanya semenjak Islam masuk di Indonesia. Selama ratusan tahun
itu di Indonesia, bahkan selama ribuan tahun lamanya menjadi bagian dari rumpun
Islam, adakah mereka mengkafirkan, menyesatkan dan melakukan kekerasan bahkan
memberontak dan menyerang kehormatan negara tempatnya hidup atau menyerang
negara lain? Tidakkah atribusi dan ciri-ciri itu lebih identik dan dekat dengan
gerakan islam politik yang berada di balik fitnah besar ini? Gerakan yang
sebenarnya baru muncul kemarin sore dalam sejarah dan kemudian merasa nyaman
menumpang di dalam tubuh Islam Sunni untuk kemudian digunakan dalam politik
pecah-belah. Sekarang mereka ingin memberangus Syiah, namun pada akhirnya
mereka akan memberangus siapa pun yang berbeda dengan kehendak mereka.
Dalam situasi panik dan takut, daya
kritis kita mudah dijerat ke arah persetujuan kotor untuk menindas dan
menghakimi keyakinan sesama saudara muslim yang mestinya harus kita jaga
kehormatan nyawa dan harga dirinya atas nama ketentuan agama dan konstitusi.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar