Jumat, 19 Juli 2013

Tasawuf Bukan Berasal dari Islam ?




Oleh : Haidar Bagir
Dalam sejarahnya, tasawuf tak pernah lepas dari hu­jatan orang. Menurut mereka, tasawuf adalah bid‘ah, mengada-adakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada dalam agama. Bahkan, tasawuf adalah suatu aliran yang sesat dan menyesatkan, baik karena kejahilan, motif me­nutupi ketidaksetiaan mereka kepada syariat, maupun malah untuk menghancurkan agama dari dalam. Apa yang menyebabkan sikap-sikap bermusuhan seperti ini terhadap tasawuf? Yang pertama adalah keyakinan ta­sawuf bahwa selain syariat, ada tharîqah dan hakikat. Keyakinan inilah yang menyebabkan penolakan secara total terhadap tasawuf. Sedang yang kedua adalah ada­nya kepercayaan-kepercayaan tertentu yang diungkap­kan sebagian sufi, seperti hulûl, ittihâd, wahdah al-wujûd, dan sebagainya. Keberadaan-keberadaan ke­per­cayaan yang heterodoks (nyeleneh) dan rumit se­perti ini menyebabkan para penentangnya hanya mem­­­­­­per­soalkan kepercayaan-kepercayaan ini tanpa mesti menolak keseluruhan tasawuf—kecuali seke­lom­pok orang yang memang cenderung mengafir-ngafir­kan kelompok lain yang bukan kelompoknya.

Mengenai sebab yang pertama, kaum sufi memang percaya bahwa syariat—dalam makna melaksanakan kewajiban-kewajiban keagamaan secara lahiriah de­ngan kriteria fiqh semata, dan bukan dalam makna agama itu sendiri—tak akan mampu membawa se­orang Muslim kepada tujuan puncak keberagama­annya. Tujuan ini, menurut kaum sufi adalah hakikat (haqîqah), sesuatu yang bersifat batiniah dan pada akhirnya ber­puncak pada hilangnya ego (nafs) dalam Tuhan secara total, serta menyatunya (tauhîd) manusia kembali (ma‘âd ) dengan Tuhan yang juga sebagai sumber-awal (mabda’)-nya. Untuk mencapai tingkat ini, orang harus menjalani tharîqah, yakni maqâmât dan ahwâl yang me­rupakan esensi tasawuf itu sendiri. Seperti “syariat” juga, istilah tharîqah bermakna “jalan”. Hanya saja, jika “sya­riat” berarti jalan raya, “tharîqah” berarti jalan kecil atau sempit. (Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa menempuh tharîqah jauh lebih sulit ketimbang me­nempuh “syariat”). Nah, dalam konteks ini, syariat “ha­nyalah” kendaraan untuk tharîqah, dan tharîqah, pada gilirannya, adalah kendaraan untuk mencapai ha­kikat. Nah, sebagai kon­sekuensi ke­yakinan seperti ini, terkadang—dalam se­gala kesetia­annya kepada syariat—kaum sufi memiliki pendapat yang berbeda mengenai fiqh dengan pen­dapat para ulama fiqih itu sendiri.
Untuk membuktikan ketidak-Islaman tasawuf, biasa­nya orang menggunakan dua cara. Pertama, istilah atau ilmu yang bernama tasawuf itu tak terdapat, baik da­lam Al-Quran maupun Sunnah. Kedua, banyak di antara kepercayaan tasawuf bisa ditunjukkan sebagai berasal, atau setidak-tidaknya sama, dengan sumber-sumber lain di luar Islam—baik sumber Yunani, Kristen, Hindu, Buddha, maupun Persia.
Menanggapi pandangan-pandangan seperti itu, para pendukung tasawuf biasanya mulai dengan menyata­kan bahwa penamaan tasawuf hanyalah sekadar suatu cara untuk menampilkan ciri-ciri khas kelompok ini. Per­sis seperti Rasul dan para sahabatnya dulu menju­luki Bilal si orang Etiopia dengan Al-Habsyi, atau Shahiba atau Suhail Al-Rumi (orang Romawi), atau Salman Al-Farisi (orang Persia). Bahkan Al-Quran tak cukup me­nyebut orang-orang Mukmin yang baik-baik dengan hanya menyebut mereka sebagai Mukmin, melainkan terkadang menyebut sebagian di antara mereka al-tâ’ibîn, atau sebagian yang lain al-mutashaddiqîn, al-‘âbidîn, al-hamidîn, al-shalihîn, dan banyak lagi lain­nya. Lagi pula, kenapa hanya penamaan shûfî saja yang diperdebatkan padahal dalam sejarah kaum Muslim, umat ini dikelompokkan di bawah nama-nama Mu‘tazili, Asy’ari, Maturidi, Salafi, Hanafi, Maliki, Syafi‘i, Hanbali dan tak terhitung nama-nama kelompok lainnya. Se­lan­­jut­nya, jika asal kata tasawuf itu dipersoalkan karena tidak terdapat di dalam Al-Quran, maka kita dapati banyak sekali ilmu yang tidak disebut di dalam Al-Quran tapi tak pernah dianggap sebagai bid‘ah. Tentu saja kita harus mulai dari fiqh karena, meskipun kata ini dipakai di dalam Al-Quran, ia tak pernah dipakai untuk menunjuk ilmu tentang hukum-hukum ibadah seperti yang kita kenal sekarang ini. Lalu ada ushûl al-dîn, mushthalah al-hadîts, ilmu tafsir, ilmu nahwu (tata bahasa), ilmu al-kalam, dan sebagainya. Apalagi jika argumentasi ini kita perluas hingga ke ilmu-ilmu non­agama yang, dalam sejarah Islam awal diterima luas oleh kaum Muslim, seperti ilmu falak, ilmu kedokteran, ilmu kimia, dan sebagainya. Argumentasi seperti ini sekaligus menunjukkan bahwa sesuatu ilmu bisa saja berkembang melewati apa yang secara eksplisit ter­kandung dalam Al-Quran dan Al-Sunnah, tanpa harus dianggap sebagai bidah atau malah sesat.
Untuk menjawab keberatan orang mengenai asal-usul ajaran tasawuf, para pendukungnya cukup sigap untuk menunjukkan sumber-sumber Qurani paham ini. Tapi, sebelum itu kiranya mudah dipahami bahwa ada­nya kesamaan antara ajaran-ajaran tasawuf tertentu de­­ngan ajaran agama Kristen, Hindu, Buddha, bahkan pemikir­an Yunani sama sekali tak otomatis berarti bahwa ajaran-ajaran tasawuf itu sesat. Karena, jika argumen­tasi seperti ini bisa dibenarkan, maka hukum fiqih tertentu yang ternyata sama dengan hukum Kristen haruslah di­anggap sesat pula. Padahal kenyataan seperti ini amat banyak terjadi. Demikian pula dengan kesamaan-kesa­ma­an pandangan dalam ilmu Kalam dengan teologi Kristen. Dan seterusnya. Lagipula, bukan hanya peng­anut pandangan tasawuf yang berpendapat bahwa se­sungguhnya hikmah itu tercecer di mana-mana. Bukan­kah Rasulullah sendiri bersabda bahwa “Hikmah ada­l­­ah barang kaum Mukmin yang hilang” dan bahwa kita diperintahkan untuk memungutnya di mana pun ia kita temukan? Belum lagi jika kita mempercayai bahwa, sam­pai batas tertentu, ajaran-ajaran agama itu—bahkan mungkin juga pemikiran Yunani tertentu—adalah pe­ning­galan para Nabi dan Rasul yang diturunkan Allah kepada berbagai bangsa. Apalagi agama Kristen, yang jelas-jelas pada awalnya adalah memang merupakan wahyu Allah, sebagaimana juga agama Yahudi dan aga­ma-agama samawi lainnya.
Ada lagi yang bersikap antitasawuf karena dalam tasawuf terdapat paham-paham atau pandangan-pan­dangan yang dianggap sesat. Terhadap keberatan seperti ini, pendukung tasawuf akan balik bertanya: apa­kah kita harus membuang hadis hanya karena di da­lamnya menyusup hadis-hadis palsu, atau mencam­pak­kan ilmu tafsir karena di dalam sebagiannya ter­kandung isrâ’iliyyat, atau ilmu fiqih karena adanya upaya-upaya manipulatif dalam bentuk perumusan berbagai hîlah yang seringkali mengada-ada, tidak ber­tanggung jawab, bahkan melecehkan syariat itu sendiri? Bahkan pun jika para pendukung tasawuf se­pakat me­ngenai kesesatan-kesesatan yang ada dalam seba­gian paham atau pandangan dalam tasawuf, maka yang perlu dilakukan adalah membersihkan tasawuf—persis seperti yang kita lakukan terhadap ilmu-ilmu lain—dari kesesatan-kesesatan, dan bukan mencam­pak­kan­nya sama sekali.[islam indonesia]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...