By.
Evi Risna Yanti, S.H
Tetapi
secara umum untuk semua WNI, ada hukum positif yang berlaku untuk kita semua,
yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU
Perkawinan”) yang juga memiliki kaitan dengan masalah warisan, karena adanya
ketentuan mengenai Harta Bersama.
Di
dalam UU Perkawinan diatur tentang Harta Benda Dalam Perkawinan pada Pasal
35, yang menyatakan:
1)
Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama.
2)
Harta bawaan dari masing-masing
suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.
Ini artinya, bahwa:
a.
Selama masa perkawinan Bapak dan
Ibu, sekalipun hanya Bapak saja yang bekerja mencari nafkah dan mengumpulkan
harta, maka Ibu-pun berhak atas setengahnya dari harta perolehan Bapak
tersebut, begitu pula sebaliknya.
b.
Dan jika mau dibagi “WARISAN BAPAK”,
maka yang dimaksud dengan WARISAN BAPAK di dalam UU Perkawinan ini, adalah
setengah (1/2) dari seluruh harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan
Bapak dan Ibu, ditambah:
b.1. Harta Bawaan Bapak (jika ada).
Ini adalah harta yang diperoleh beliau sebelum masa pernikahan dengan Ibu.
b.2. Juga bisa jadi Bapak memperoleh
hadiah dari seseorang, dari keluarganya atau lembaga, maka itu juga bisa
dimasukkan ke dalam Harta WARISAN BAPAK.
b.3. Satu lagi adalah warisan yang
diperoleh Bapak dari Pihak keluarganya, maka harta warisan tersebut dimasukkan
kedalam kelompok HARTA WARISAN BAPAK, yang akan dibagikan kepada semua ahli
warisnya.
Dan
untuk yang beragama Islam, dikhususkan lagi pengaturannya dalam Kompilasi
Hukum Islam(“KHI”), yang mengatur mengenai Harta Bersama yang menyatakan:
1)
Pasal 85:
Adanya harta bersama dalam
perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami
atau isteri.
2)
Pasal 86:
(1) Pada dasarnya tidak ada
percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak
isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak
suami dan dikuasai penuh olehnya.
3) Pasal 87:
(1) Harta
bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang
para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2) Suami
dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta
masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
Pasal-pasal
KHI tersebut berarti:
a.
Sekalipun ada Harta Bersama dalam
Perkawinan, tetapi bisa saja ada harta masing-masing, yang bisa berupa harta
bawaan sebelum perkawinan, harta warisan yang diperoleh setelah perkawinan, ada
hadiah yang diterima salah satu pihak ketika dalam perkawinan, atau bisa juga
karena diperjanjikan dalam Perjanjian Perkawinan.
b.
Bahwa terhadap harta-harta pada poin
a, tidak ada percampuran, dan masing-masing berhak mengakuinya sebagai harta
pribadinya. Dan berhak bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri.
Jika
ada ahli waris yang meminta dilakukannya pembagian WARISAN BAPAK, maka hanya
harta milik Bapak sajalah yang bisa dibagikan terlebih dahulu. Yang milik Ibu,
dipisahkan. Secara teknis memang agak repot, jika ingin dibagikan langsung,
karena terkadang Ibu tidak memiliki uang untuk meng-uang-kan harta bagian
Bapak, sehingga yang bisa dilakukan adalah menjual HARTA BERSAMA Bapak dan Ibu,
kemudian hasilnya dibagi dua. Bagian Ibu diserahkan kepada Ibu pemanfaatannya.
Apakah akan dibelikan rumah pengganti, atau untuk peruntukkan lainnya. Yang
perlu diingat juga, bahwa sekalipun Ibu sudah menerima ½ dari HARTA BERSAMA,
beliau masih berhak atas bagian dalam kedudukannya sebagai istri (sebesar 1/8
dari Harta WARISAN Bapak, jika ada anak). Sesuai dengan ketentuan Hukum Islam
yang berlaku.
Tetapi
bisa juga pengurusan pembagian WARISAN BAPAK, tetap dilakukan, hanya sekadar
untuk mengetahui siapa saja ahli waris dan bagiannya masing-masing, sementara
eksekusinya belum dilaksanakan dahulu. Hal ini bisa dilakukan dengan
pertimbangan misalnya karena Ibu masih menempati (dalam hal warisan berupa
sebuah rumah) karena didalamnya juga terdapat harta bagian Ibu, apalagi Ibunya
masih ada. Jadi, bergantung kesepakatan bersama saja.
Sementara,
jika kita mengacu kepada Hukum Islam (yang bukan hukum positif yang sudah
berlaku di Indonesia), yang tidak mengenal konsep HARTA BERSAMA, maka jika
Bapak meninggal dan harta tersebut adalah harta pencarian Bapak, selama
hidupnya, maka harta tersebut bisa dibagikan, dengan memastikan terlebih
dahulu, dilunasinya utang-utang beliau, juga dikeluarkannya hak Ibu, misalnya
dalam hal Ibu Anda pernah dihadiahi sesuatu ketika Bapak masih hidup. Atau ada
harta Ibu yang tercampur di dalamnya, misalnya apakah itu hadiah, atau
warisannya.
Sebagai
catatan tambahan, saya ingin menginformasikan bahwa di dalam Hukum Islam
ketiadaan harta bersama dalam perkawinan ini sebenarnya dapat diantisipasi
dengan MAHAR ketika seorang perempuan akan dinikahi. Seorang calon istri berhak
meminta MAHAR yang diinginkannya, yang bisa saja misalnya berupa sebuah rumah
(atau yang lainnya). Jika suaminya tidak panjang umur dan meninggal terlebih
dahulu, kemudian yang diberlakukan adalah Hukum Islam murni (bukan hukum
positif Indonesia, yaitu harta selama perkawinan dianggap sebagai HARTA
BERSAMA), maka untuk pihak istri, dia telah memiliki tempat tinggal yang layak.
Dan ketika suaminya meninggal, maka ia hanya berhak mendapatkan warisan dari
suaminya sebesar 1/8 (seperdelapan) bagian jika ada anak, dari Harta WARISAN
Suaminya tersebut.
Adapun
mengenai bagian masing-masing ahli waris, setelah dipisahkannya HARTA WARISAN
BAPAK, yang akan dibagi, harus didata siapa saja ahli warisnya.
Apakah
Bapak masih memiliki orang tua kandung (Kakek dan Nenek)? Kalau masih, maka
merekapun berhak menjadi ahli waris Bapak. Jika ada anak-anak maka bagiannya
masing-masing 1/6. Tetapi, untuk Ibu-nya Bapak, ada catatan: Pertama,
apabila Pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan, atau cucu laki-laki
keturunan anak laki-laki; Kedua, apabila Pewaris memiliki saudara yaitu
dua orang saudara atau lebih.
Selain
itu Istri, jika ada anak-anak, maka bagiannya 1/8. Dan masing masing anak
mendapatkan sisanya setelah dipotong bagian Kakek/Nenek dan Ibu, dengan
pembagian laki-laki dan perempuan 2:1.
Demikianlah
yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat.
Wassalamualaikum
wr.wb.
Dasar
hukum:
3. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang
Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
60750 hits
Di: Hukum Keluarga dan Waris
sumber dari: PAHAM Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar