Hakekat Cahaya Al Qur'an HAKEKAT CAHAYA AL QUR'AN Allah telah menciptakan segala sesuatu selalu berpasang-pasangan. Karena segala ciptaan sudah ditetapkan selalu berpasang-pasangan, berarti Al Qur'an pun demikian, yakni ada Al Qur'an yang berwujud lahir : "Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur'an berbahasa Arab supaya kamu berfikir ". (Az zukhruf 43 : 3 ) "Sesungguhnya Kami telah memudahkan AI Qur'an itu dengan bahasamu agar dapat engkau memberi kabar gembira dengannya kepada orang-orang bertaqwa dan agar engkau memberi peringatan denganya kepada kaum yang membangkang ". (QS Maryam 19 : 97) Dan ada Al Qur'an yang berwujud batin (AI Qur'an yang hakiki). Al Qur'an yang hakiki jangan direlevansikan dengan lembaran kertas yang diatasnya di tulis dengan tinta hitam dalam bahasa Arab, yang berisi tentang berita dari Yang Maha Kuasa. Al Qur'an yang berupa lembaran kertas itu ditulis pada zaman khalifah Usman ratusan tahun setelah turunnya Al Qur'an yang hakiki. Al Qur'an hakiki yang dibawa Jibril (Jabr Ilahi) adalah berupa geteran-getaran yang Maha hebat. Jibril tidak mengantarkan kepada Nabi Muhammad lembaran Al Qur'an yang berupa kertas yang kita kenal sekarang, yang ditulis di batu-batu atau di pelepah-pelepah korma agar mudah diingat. "Qul nazzalahuu ruuhul kudusi mir rabbika bil haqqi" "Katakanlah : "Ruhul Kudus menurunkan Al-Qur'an dari Tuhan dengan benar". ( An-NahI 16 :102). Jibril (Jabr Ilahi) membawa Al-Qur'an itu dari sisi Rab-Nya. Tuhan berada pada dimensi yang maha halus berarti sangat mustahil Jibril (Jabar Ilahi) membawa Qur'an berupa kertas yang kasar. "Iqra" itulah ayat yang pertama kali sekali turun, dan bukan kertas dan juga bukan suara tetapi wahyu. Kata "Iqra" adalah kata-kata yang telah ditransfer ke dalam bahasa Arab agar orang Arab atau Bani Adam saat itu dapat mengerti. Tetapi "Iqra" yang sejati ditransfer dari wahyu tanpa huruf dan tanpa suara. Yang paling jelas apa itu AI-Qur'an yang hakiki adalah sesuai dengan firman Allah dalam AI Qur'an : "Wa innahu flu ummil kitaabi ladainaa la'alayyun hakiim" "Dan sesunggunya AI-Qur'an itu dalam induk Al-Kitab (lauh Mahfuz) di sisi Kami adalah benar-benar tinggi dan amat banyak mengandung hikmah" (QS Az Zukhruf 43 : 4) Jadi Al-Qur'an yang hakiki berada di sisi Tuhan yaitu di Lauhul Mahfuz, di alam yang sangat halus. Yang demikian itulah yang dibawa oleh Jibril (Jabr Ilahi), sehingga sewaktu Nabi menerimanya terasa amat berat sekali, seperti yang disabdakannya dalam hadits berikut : Dari Aisyah ibu kaum muslimin r.a, bahwasannya Harits bin Hisyam r.a bertanya kepada Rasulullah s.a.w, : "Wahai Rasulullah bagaimana datangnya wahyu kepada engkau ? "Rasulullah s.a.w, bersabda : "Kadang-kadang datangnya wahyu kepadaku seperti gemerincingnya lonceng, itulah yang paling berat atasku, kemudian wahyu itu terputus (selesai) dan saya telah hafal tentang apa yang dikatakannya; kadang-kadang malaikat itu menampakkan dirinya kepadaku maka saya hafal tentang apa yang dikatakannya ". Aisyah r.a berkata : "Saya melihat beliau ketika wahyu sedang turun pada suatu hari yang sangat dingin, kemudian wahyu itu terputus (selesai) sedang kening beliau mengalirkan keringat (HR. Bukhari). "Kadang-kadang wahyu itu seperti gemerincing lonceng, itulah yang paling berat atasku...." Inilah isyarat bahwa Al Qur'an itu bukan bahasa dan realita yang sebenarnya hanya Allah dan Rasulnya yang tahu. Kalau kita ambil sebuah perumpamaan bahwa apa yang dibawa oleh Jibril (Jabr Ilahi) saat itu berupa gelombang-gelombang elektronik dan setelah berada di bibir dan lidah Rasulullah Saw, berubah menjadi gelombang-gelombang suara. Bila kita bandingkan dengan suara petir bagaimanapun kerasnya tidak pernah mencucurkan keringat manusia yang mendengarnya, namun ketika Nabi Saw menerima wahyu, beliau sampai mencucurkan keringat padahal dalam cuaca yang cukup dingin. Beliau pada saat itu merasa betapa beratnya menerima wahyu yang berupa Nur atau getaran tinggi itu, sebab Al-Qur'an adalah Nur yang Maha hebat getarannya, melebihi getaran Nuklir, melebihi getaran sang iblis, lebih dari malaikat, dan lebih dari bencana apapun namanya di dunia ini. Al Qur'an adalah sesuatu yang hidup, sesuatu yang gaib di balik yang gaib. "Lau anzanaa haadzal qur-aana'alla jabalil la raaitahuu khaasyi'ammutashaddi'ammin khasyyatillaahi wa tikal amtsaalu nadhribuhaa lin naasi la'allahum yatafakkaruun" "Seandainya kami menurunkan AI-Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk pecah belah disebabkan takut kepada Allah, dan perumpamaan¬perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (QS Al Hasyr 99 : 21) Inilah Al Qur'an yang mencucurkan keringat Nabi ketika menerimanya dari Ruhul Kudus. Inilah Al Qur'an dari Lauhul Mahfuz yang Maha dahsyat dari sisi Tuhan, Raja di langit dan di bumi. Al Qur'an itulah yang dapat menghancurkan gunung itu. Lalu bagaimana dengan Al-Qur'an yang ditulis dalam bahasa Arab yang kita baca sehari-hari ? Apakah ia bisa menghancurkan gunung ? Mari kita uji, bawa Al Qur'an yang berupa kertas itu, lalu letakkan di atas gunung mana yang hancur, gunung atau Al Qur'an yang berupa kertas itu ? Al Qur'an yang tertulis itu hanya menjadi petunjuk untuk mengenal Al Qur'an yang hakiki. Yang perlu kita gali sekarang ini adalah Al Qur'an dengan segala kehebatannya. Bagaimana cara untuk mendapatkannya ? Bertanyalah kepada ahli dzikir jika engkau tidak mengetahui karena merekalah teknokratnya. Itulah maksud Tuhan dengan firman-Nya : "Tsumma auratsnal kitaabal ladziinash thafainaa'ibaadinaa" "Kemudian kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba¬hamba Kami (QS Faathir 35 : 32) Orang yang berhak menerima warisan Al Qur'an itu adalah mereka yang rohaninya sederajat dengan Nabi Saw, kalau tidak akan hancurlah orang itu, sebab Al-Qur'an itu maha hebat getarannya, melebihi dari getaran tenaga listrik, atom dan nuklir. Inilah Al Qur'an yang hakiki dari Rabbul Alamin. Mari kita perhatikan kalimat di atas, "....kepada orang yang kami pilih", sesuatu pengkhususan bukan umum. Jadi, yang bisa mewarisinya adalah orang-orang pilihan. Siapakah orang pilihan itu ? "Laa yamassuhuu illal muthahharuun" "AI-Qur'an (ini) tidak disentuh kecuali bagi orang-orang yang disucikan" (QS Al Waaqi'ah 56 79). Dalam riwayat yang sangat terkenal, Nabi Saw, sebelum mengadakan perjalanan Isra' dan Mi'raj beliau dioperasi terlebih dahulu oleh Jibril dalam rangka mengemban tugas menerima sholat untuk mendapatkan Al Qur'an. Dalam tempo bertahun-tahun beliau menyepi di Gua Hira untuk mencapai kesucian sebab beliau nantinya akan menerima Al Qur'an yang maha hebat. Kemudian mari kita renungi Nabi Saw adalah kekasih-Nya, baru bisa dan berhak menerima Al Qur'an yang hakiki tersebut terlebih dahulu harus disucikan. Lantas bagaimana dengan diri kita masing-masing apakah berhak menerima Qur'an itu sebelum disucikan ? Ingat di sini bukan kata "menyucikan" tetapi "disucikan" jelas berbeda maknanya. Al Qur'an yang harus kita warisi itu adalah yang dibawa Jibril (Jabr Ilahi) ke dalam hati Nabi Saw. "Nazala bihir ruuhul amiin" "Dia (AI-Qur'an) di bawa turun oleh ar ruh Al Amin". (QS. Asy syu'araa 26 : 193). Bagaimana Jibril (Jabr Ilahi) memberikan AI Qur'an itu ? Apakah dengan kata-kata yang di dengar ditelinga lalu dihafal oleh Nabi atau berupa lembaran-lembaran kertas dari surga atau berupa batu atau kayu yang ditulis, lalu Nabi membaca dan menghafalnya ? 'Alas qalbika "Ke dalam Qalbu-mu (hai Muhammad) ". (QS Asy Syu'araa' 26 : 194 ). Al Qur'an diturunkan ke dalam hati karena qalbu itu memiliki sifat-sifat khusus, karena alasan itulah Al Qur'an diturunkan ke dalam qalbu. Al-Qur'an merupakan misteri, sesuatu misteri dalam misteri, suatu misteri yang terdiri dari dan diliputi oleh misteri. Oleh karena itu perlu bagi Al-Qur'an untuk menjalani proses penurunan guna mencapai tingkat yang terendah dari manusia. Disinilah kunci kelemahan sebagian umat Muslim dewasa ini, mereka telah salah persepsi terhadap Al Qur'an, akhirnya mereka terpendam jauh ke lumpur kelupaan. Al Qur'an hanya dijadikan sebagai sebuah nyanyian (mengaji). Sebagaimana hadis qudsi berikut : "Saya tii'alaa ummatii zamaanun laa yabqaa diinuhum illaa ismuhuu walaa mina) qur aani illaa rasmuhuu "Akan datang pada waktuku, suatu masa di mana agama Islam tinggal namanya dan Al-Qur'an tinggal tulisannya". (HR. Ibnu Majah dan Ath Thirmidzi). Yang bisa berbahasa Arab, Al Qur'an itu dibaca maknanya, sejarahnya, kemudian dipermainkan diotaknya, lalu dikajinya sebagaimana proses pengkajian ilmu-ilmu filsafat. Tetapi Al Qur'an yang hakiki itu tetap tidak bisa dijangkau oleh akal. "Bawasannya AI-Qur'an ini satu ujungnya di tangan Allah dan satu lagi di tangan kamu hai Muhammad" (HR. Abu Syurairah Al Khuja'i). Yang satu ujungnya di tangan Nabi Saw, maksud hadits tersebut bukan lahirnya tetapi masih merupakan hakikat dan sangat tersembunyi di dalam diri Rasulullah Saw. "Al-Qur'an itu memiliki lahir dan batin, akhir dan awal" (Al Hadits). Al-Qur'an dan hadits itu suatu wujud ilmu Allah yang satu, yang tiada berkesudahan atau tanpa batas. Pikiran manusia adalah suatu penampilan jiwa yang sangat terbatas kepada empirik, tentang apa yang dilihat dan dirasakan, itu dihubung-hubungkan kemudian membuat satu hipotesa atau kesimpulan. Sangat perlu disadari bahwa apa yang ada di dalam pikiran itu merupakan pengandaian¬pengandaian. Ingatlah akan satu kesimpulan para filosof, bahwa ilmu filsafat tidak pernah terjadi titik temu antara satu dengan yang lainnya. Itulah sebabnya Imam Al Ghazali menuduh filsafat itu kacau balau. Demikian pula para ahli ilmu jiwa mulai dari Freud yang berbangsa Yahudi, mereka mengatakan menguasai tentang jiwa, padahal ilmu jiwa yang mereka kuasai adalah ilmu jiwa tanpa jiwa. Mereka hanya meraba-raba terhadap gejala-gejala jiwa dari empirik lewat perbuatan obyek yang diamati. Dalam kaitan dengan memahami Al Qur'an dan hadits hendaknya pola pikir atau gaya situasi para filosof dan psikiater itu ditanggalkan jauh jauh. Sebab Al-Qur'an itu adalah wahyu yang dimasukkan oleh Jibril ke dalam qalbu. la datang dari alam metafisik lalu hinggap di alam fisik. AI-Qur'an yang batin tidak bisa ditemukan Iewat pendidikan formal. la hanya bisa ditemukan Iewat wasilah-Nya dan lewat pengosongan diri dan dilanjutkan dengan melakukan metode liqo' Allah. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa Al Qur'an itu Nur yang dipancarkan oleh Jibril (Kekuatan Allah = Jabr Il) ke dalam hati Muhammad, lalu ia menjadi kekuatan yang tidak sebanding dengan bumi dan langit. Memperolehnya harus membersihkan diri. Adapun perenungan, olah pikir, atau olah rasa, semata-mata jalan untuk memperoleh karunia Allah, yang pada akhirnya kita akan mendapatkan Cahaya Al Qur'an atau Nurul Qur'an.
Minggu, 22 Oktober 2017
Curug Malela
Situs Megalitik Gunung Padang
Jumat, 20 Oktober 2017
Menyoal Entitas Tersembunyi Sang Guru Sejati
Kamis, 19 Oktober 2017
Ringkasan Kitab Misykatul Anwar
RINGKASAN KITAB MISYKATUL ANWAR Oleh : Imam Ghazali
Allah itu cahaya yang sebenarnya, dan yang lain dari Dia, bukanlah cahaya. Setiap cahaya adalah Dia, dan cahaya keseluruhan adalah Dia juga. Cahaya itu adalah sesuatu yang men-dzahirkan atau yang menampakkan yang lain atau lebih tinggi lagi yaitu sesuatu yang dengannya dan untuknya yang lain di-dzahirkan bahkan lebih tinggi dari itu lagi yaitu sesuatu yang dengannya untuk dirinya dan dirinya yang lain ter-dzahirkan. Cahaya yang sebenarnya ialah sesuatu yang dengannya, untuknya, dan diri yang lain itu ter-dzahirkan atau ternampakan. Cahaya ialah yang bercahaya dengan sendirinya. Cahaya itu timbul dalam dirinya, dari dirinya dan untuk dirinya. Cahaya tidak datang dari sumber yang lain. Cahaya yang demikian itu tidak lain tidak bukan hanya Allah saja. Bahwa langit dan bumi ini dipenuhi oleh cahaya, ada dua peringkat cahaya, yaitu pandangan mata dan pandangan akal. Cahaya yang pertama itu ialah apa yang kita lihat di langit seperti matahari, bulan dan bintang, dan apa yang kita lihat di bumi, seperti cahaya yang menerangi seluruh muka bumi, yang menampakkan semua warna dan bentuk, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya, dan jika tiada cahaya ini maka tidaklah kita melihat warna, atau tidak ada warna. Tiap-tiap bentuk dan ukuran besar atau kecil yang terlihat oleh kita adalah diketahui oleh warna, dan tidak mungkin melihatnya tanpa warna. Berkenaan cahaya Akal, maka ‘Alam tinggi’ itu dipenuhi oleh cahaya itu, yaitu seperti kejadian Malaikat, dan ‘Alam rendah’ ini pun dipenuhi oleh cahaya itu yaitu seperti hidup (Nyawa) binatang dan hidup manusia. Susunan atau keadaan Alam rendah ini didzahirkan dengan cahaya Malaikat. Inilah susunan atau keadaan yang disebut oleh Allah; “Dialah yang membentuk kamu dari tanah, dan menampakkan kamu di permukaan bumi, dan Dia menjadikan kamu sebagai Khalifah” Bahwa seluruh alam ini dipenuhi oleh cahaya pandangan dzahir dan cahaya Akal Batin, dan juga cahaya-cahaya tingkat rendah ini dipancarkan atau dikeluarkan dari satu kepada yang lain. seperti cahaya yang keluar dan muncul dari sebuah lampu, sementara lampu itu sendiri ialah cahaya Cahaya Kenabian yang tinggi. Ruh-ruh Kenabian itu dinyalakan dari Ruh-ruh yang tinggi, seperti lampu dinyalakan api tadi, dan ruh-ruh yang tinggi ini dinyalakan dari satu kepada yang lain. Susunan ini adalah bertingkat-tingkat keatas. Semua ini naik, dan naik ke atas sampai ke cahaya diatas segala cahaya. Sumber dan puncak segala cahaya yaitu Allah. Semua cahaya-cahaya lain adalah pinjaman dari Allah dan Dialah cahaya sebenarnya. segalanya datang dari cahayaNya, bahkan Dialah segala-galanya. Dialah yang sebenarnya ada. Tiada cahaya kecuali Dia. Cahaya yang lain hanya cahaya wajah yang menyertaiNya, bukan timbul dari diri mereka sendiri. dengan demikian, wajah dan segala sesuatunya menghadap kepada Dia Firman Allah; “Kemana saja mereka memalingkan muka, di situ ada Wajah Allah”. Tiada Tuhan selain Dia, karena perkataan “TUHAN” itu menunjukkan sesuatu yang kepada Nya semua muka menghadap dalam ibadah dan dalam penyaksian Dialah Tuhan. Saya (Imam Ghazali) mengartikan muka atau wajah manusia adalah hati manusia, karena hati itulah cahaya dan Ruh. Bahkan sebagaimana; “TIADA YANG DISEMBAH MELAINKAN DIA”, maka begitulah juga ; “TIADA YANG MENYEMBAH SELAIN DIA”, karena perkataan “DIA” itu membawa maksud sesuatu yang boleh ditunjuk Tetapi dalam tiap-tiap peristiwa dan keadaan kita boleh menunjuk saja. Setiap kali menunjuk sesuatu, tunjukkan itu pada hakekatnya adalah kepada Dia, meskipun tidak sadar oleh karena ketidak tahuan tentang hakekat dari segala hakekat, Seseorang itu tidak mungkin menunjuk cahaya matahari, tetapi boleh menunjuk matahari. Maka begitu juga halnya dengan hubungan semua makhluk dengan Allah. Perumpamaan hubungan makhluk dengan Allah adalah seperti hubungan cahaya matahari dengan matahari. Oleh karena itu, ucapan “TIADA TUHAN SELAIN ALLAH” adalah ucapan Tauhid kebanyakan orang. Tetapi ucapan tauhid sedikit orang (yang mempunyai Makrifat) ialah “TIDAK ADA DIA MELAINKAN DIA”. Yang pertama untuk orang awam, dan yang kedua itu untuk “orang khusus”. Yang kedua itu lebih benar, lebih tepat dan lebih sesuai. sudah sewajarnya orang yang mengucap demikian itu memasuki Alam Keesaan (Uluhiyah) dan Ketunggalan yang Maha suci dan Mutlak, Kerajaan Yang Maha Esa dan Maha Tunggal, dan inilah peringkat atau kedudukan terkahir kenaikkan manusia. Tidak ada tingkatan yang lebih tinggi dari itu lagi. karena “NAIK” itu melibatkan banyak tingkatan seperti melibatkan dua tingkatan naik “DARI” dan naik “KE”. Apabila jumlahnya tingkatannya telah lenyap, maka berdirilah Keesaan. Perbandingan tidak ada lagi, semua isyarat atau pengucapan dari “SINI” ke “SANA” pun tidak ada lagi. Tidak ada lagi “TINGGI” atau “RENDAH”. Tidak ada “ATAS” atau “BAWAH”. Dalam tingkatan tersebut, naik ke atas lagi bagi Ruh, tidak mungkin, karena tidak ada lebih tinggi daripada yang Paling tinggi. Tidak ada tingkat-tingkat di samping Esa dan Tunggal. Di sini tingkatan telah habis. Tidak ada kenaikkan ‘Mikraj’ lagi untuk jiwa dan ruh. Jika ada pun, itu adalah “Pertukaran disini”. Maka pertukaran itu ialah “Turun ke langit yang paling rendah” cahayanya dari atas turun kebawah, karena yang paling tinggi itu, meskipun tidak ada lebih tinggi lagi dari tingkat itu, tetapi ada yang rendah. Inilah matlumat (tempat paling tinggi) dari segala matlumat. Tempat paling tinggi ialah matlumat terakhir yang dicari oleh ruh, yang diketahui oleh mereka yang tahu dan kenal saja, tetapi dinafikan oleh mereka yang tidak tahu. Ini termasuk dalam bidang Ilmu Tersembunyi yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali orang yang mempunyai Makrifat. Sekiranya mereka menceritakan ilmu ini, maka ia akan dinafikan oleh orang-orang yang ‘jahil’ tentang Allah. Tidak ada salahnya orang-orang yang mempunyai Makrifat ini menyebut; “Turun ke langit yang paling rendah” yaitu turunnya seorang malaikat, meskipun seorang daripada mereka itu telah tuduh membuat keterangan yag kurang wajar. Dia tenggelam dalam Keesaan Allah, dan berkata, bahwa Allah telah “Turun ke langit paling rendah” bahwa penurunan ini adalah penurunannya, diibaratkan kepada cara-cara keadaan Alam dzohir, maka digunakan perumpamaan tersebut. Dia (orang yang tenggelam dalam Keesaan Allah itu) itulah yang dimaksudkan oleh sabda Nabi Muhammad saw.; “Aku menjadi telinganya yang dengannya dia mendengar, matanya yang dengannya dia melihat, lidahnya yang dengannya dia bercakap”. Jika Nabi itu menjadi telinga, mata dan lidah Allah, maka Allah sajalah yang mendengar, melihat, bercakap. Dialah juga yang dimaksudkan dengan dengan firmanNya kepada Nabi Musa; “Aku sakit, tetapi engkau tidak mengunjungi Aku”. Menurut ini, pergerakan badan orang-orang yang betul-betul beriman dengan Kesaan Allah itu adalah dari langit yang paling rendah itu, dan Akalnya dari langit yang lebih tinggi dari langit yang kedua itu. Dari langit Akal itu dia naik ke atas ke tempat di mana makhluk tidak boleh naik lagi, yaitu Kerajaan Ketuhanan Yang Maha Esa, Tujuh lapis dan setelah itu “Dia duduk di atas singgahsana” tauhid dan disitu “Memerintah” seluruh lapisan-lapisan langit itu. Orang telah tamat pengembaraan sedemikian rupa, maka ayat ini boleh dipakai kepada dia; “Allah menjadikan Adam menurut bayanganNya” Apabila ayat ini direnungi dan difikirkan secara mendalam, maka diketahulah bahwa maksudnya adalah serupa dengan kata-kata; “Akulah Yang Haq (Tuhan)”. “Maha suci Aku” atau sabda Nabi saw. bahwa Allah berfirman; “Aku sakit, tetapi engkau tidak mengunjungi Aku” dan “Akulah telinganya, matanya dan lidahnya”. Baiknya sekarang kita hentikan pembahasan ini karena saya (Imam Ghazali) pikir saudara belum pernah mendengar lebih dari apa yang telah saya sampaikan ini.
NOMOR 2
Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...
-
Tokoh pemimpin yang amat sangat Religius sampai sampai digambarkan bagaikan seorang Resi Begawan (PINANDITO) dan akan senantiasa bert...
-
☼ MENUJU CAHAYA ALLAH (NUR ILLAHI) Apakah sesungguhnya cahaya Allah itu ? Perlu dipahami bahwa jika sinar matahari itu terdiri dari ...
-
18 Agustus 2017, wanci 14:30 perjalanan itu Saya lakukan. Bandung - Semarang dengan mengendarai motor Bajaj Pulsar 135. Jalur tengah Band...