Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Tulisan ini sebenarnya adalah sebentuk permenungan pribadi, namun
demikian ada korelasinya dengan tulisan sebelumnya, Mengenal Imu Sejati [1] dan Mengenal Ilmu Sejati [2]. Tulisan ini sekaligus merupakan
jawaban atas beberapa email yang masuk yang kurang lebihnya menanyakan, Siapa
toh sebenarnya Guru Sejati itu?
Bicara tentang Guru Sejati, selain yang
ada didalam diri kita sendiri, sebenarnya siapapun bisa menjadi Guru Sejati
kita, tentu dengan catatan apabila ada kerendahan hati kita untuk belajar dan
mendapatkan pengajaran. Jujur, mendapatkan pertanyaan dari email yang masuk
tersebut membuat saya tersadarkan, siapakah guru sejati saya selama ini?
Di antara banyak guru _ siapa saja
didalamnya _selama ini, yang sungguh-sungguh sejati adalah diri saya sendiri.
Di antara sekian tulisan yang ada semuanya mengalir untuk menasehati dan
mengajari diri sendiri. Tidak lebih dari itu, apalagi mengguri sampeyan yang
membaca tulisan di akarasa ini. Adapun saya berbagi di akarasa ini, semua tak
lebih dari sekedar pengingat semata.
Kadang didalam sunyi diriku dan 'diriku'
saling berdialog. Karena sesungguhnya diri kita yang satu ini terdapat dua
makhluk. Yakni makhluk yang berupa jasmani dan terlihat mata dan makhluk
spiritual yang tak terlihat. Jadi didalam tubuh kita yang palsu ada didiami
makhluk spiritual yang abadi, yang merupakan diri kita yang sejati, yang
hakiki.
Dialah sumber ilmu kita yang tertinggi,
dan itulah yang seharusnya kita cari dan gali untuk menuntun kehidupan kita.
Agama adalah sarana atau jalan bagi kita untuk menemukan dan untuk mengenali
diri kita. Karena setelah dengan sungguh-sungguh mengetahui dan mengenal diri
kita sendiri, maka pada akhirnya adalah kita dapat mengenal Tuhan kita sebagai
Sang Pencipta.
Mengapa selama ini, kita seakan
melupakan atau menelantarkan diri kita yang sejati yang setiap hari tak
berhenti mengajari? Mungkin karena tidak mengetahui atau tidak mau menyediakan
waktu saat guru kita ini mau mengajari. Karena dalam hidup ini, kita terlalu
sibuk dengan urusan duniawi dan lebih terpesona dengan hal-hal yang berbentuk ,
yang sesungguhnya palsu.
Lebih tertarik kepada guru-guru
spiritual yang punya kesaktian tinggi atau minimal sudah terkenal. Keinginan
duniawi/jasmani lebih besar daripada keinginan spiritual /rohani. Kita lebih
tertarik mendandani tubuh kita dengan rapi dan warna - warni daripada
mendandani hati kita.
Kita lebih mendahulukan memberi
wewangian kepada tubuh kita daripada memberikan wewangian pada hati kita.
Karena apabila kita lebih membuat wangi hati kita, maka yang terpancar adalah
perbuatan baik yang dapat memberikan manfaat, dan aromanya bisa menyebar
kemana-mana.
Itulah sebabnya kita tertipu dan tidak
maju-maju dalam dalam mengenal diri sendiri. Selanjutnya kita lebih
mementingkan hidup dengan diri kita yang palsu. Susah payah mencari nafkah demi
memberikan makan pada tubuh ini. Akan tetapi makanan bagi rohani terlupakan.
Akhirnya kekurangan gizi dan kelaparan. Tapi kita sepertinya santai dan
tenang-tenang saja. Seakan tak ada beban.
Saya merasakan sedikit keberuntungan,
saat mulai mau mendengarkan dan merenungkan pengajaran dari Guru Sejati didalam
diri ini. Yang selama ini, karena begitu lembut dan halus bisikannya seakan tak
terdengar. Ditambah lagi akibat kebisingan kehidupan dunia yang penuh
ketegangan. Terkadang suara itu datang dan hilang tanpa bisa didengarkan.
Syukurlah alunan suara ini tak berhenti untuk hadir memberikan pengajaran dan
selalu mau mengingatkan langkah-langkah hidup kita.
Apakah sudah selesai? Seandainya ketika
kita mau untuk sedikit merendahkan hati, banyak sekali guru-guru sejati
disekitar yang telah, sedang dan siap memberikan pengajaran kepada kita. Sekali
lagi kalau kita ada memiliki kerendahan hati untuk menjadikan siapa saja sebagai
guru. Orang gila sekalipun!
Bahkan kepada musuh kita sekalipun bisa
menjadi Guru Sejati! ini tak boleh kita lupakan tentunya. Dua hal yang membuat
kita gagal untuk menjadikan siapa saja sebagai guru dalam hidup kita adalah
karena kepintaran sekaligus juga karena kebodohan kita sendiri. Kenapa?
Kepintaran menyebabkan kita sudah merasa penuh, dan tak mau belajar lagi pada
yang kita anggap bodoh. Kebodohan juga sama, menyebabkan kita enggan untuk
belajar karena kita merasa tidak ada gunanya.
Itulah sebabnya kita suka menertawakan
orang lain yang sesngguhnya bijak. Padahal ia sedang mengajari kita. Sungguh
sayang memang, apabila kita selalu menutupi diri dari pengajaran orang lain,
siapapun itu! Nuwun.
Bumi Para Nata, Kaliurang, Ngayogyokarto
Hadiningrat, Poso Kaping Rolas
http://www.akarasa.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar