Mangkunegara IV memiliki empat
ajaran utama yang meliputi sembah raga, sembah cipta (kalbu), sembah jiwa, dan
sembah rasa.
Sembah
Raga
Sembah raga ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak laku
badaniah atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersucinya sama
dengan sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan air (wudhu). Sembah yang
demikian biasa dikerjakan lima kali sehari semalam dengan mengindahkan pedoman
secara tepat, tekun dan terus menerus, seperti bait berikut:
Sembah raga puniku / pakartining wong amagang laku / sesucine
asarana saking warih / kang wus lumrah limang wektu / wantu wataking wawaton
Sembah raga, sebagai bagian pertama dari empat sembah yang
merupakan perjalanan hidup yang panjang ditamsilkan sebagai orang yang magang laku
(calon pelaku atau penempuh perjalanan hidup kerohanian), orang menjalani tahap
awal kehidupan bertapa (sembah raga puniku, pakartining wong amagang laku).
Sembah ini didahului dengan bersuci yang menggunakan air (sesucine asarana
saking warih). Yang berlaku umum sembah raga ditunaikan sehari semalam lima
kali. Atau dengan kata lain bahwa untuk menunaikan sembah ini telah ditetapkan
waktu-waktunya lima kali dalam sehari semalam (kang wus lumrah limang wektu).
Sembah lima waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan (setiap muslim)
dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton). Sembah
raga yang demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti (wantu)
seumur hidup. Dengan keharusan memenuhi segala ketentuan syarat dan rukun yang
wajib dipedomani (wataking wawaton). Watak suatu waton (pedoman) harus
dipedomani. Tanpa mempedomani syarat dan rukun, maka sembah itu tidak sah.
Sembah raga tersebut, meskipun lebih menekankan gerak laku
badaniah, namun bukan berarti mengabaikan aspek rohaniah, sebab orang yang
magang laku selain ia menghadirkan seperangkat fisiknya, ia juga menghadirkan
seperangkat aspek spiritualnya sehingga ia meningkat ke tahap kerohanian yang
lebih tinggi.
Sembah
Cipta (
Kalbu )
Sembah ini kadang-kadang disebut sembah cipta dan kadang-kadang
disebut sembah kalbu, seperti terungkap pada Pupuh Gambuh bait 1 dan Pupuh
Gambuh bait 11 berikut :
Samengkon sembah kalbu / yen lumintu uga dadi laku / laku agung
kang kagungan narapati / patitis teteking kawruh / meruhi marang kang momong.
Apabila cipta mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan atau
keinginan yang tersimpan di dalam hati, kalbu berarti hati , maka sembah cipta
di sini mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati, bukan sembah gagasan
atau angan-angan.
Apabila sembah raga menekankan penggunaan air untuk membasuh
segala kotoran dan najis lahiriah, maka sembah kalbu menekankan pengekangan
hawa nafsu yang dapat mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran dan dosa
(sucine tanpa banyu, amung nyunyuda hardaning kalbu).
Thaharah (bersuci) itu, demikian kata Al-Ghazali, ada
empat tingkat.
Pertama, membersihkan
hadats dan najis yang bersifat lahiriah.
Kedua, membersihkan
anggota badan dari berbagai pelanggaran dan dosa.
Ketiga, membersihkan hati
dari akhlak yang tercela dan budi pekerti yang hina.
Keempat, membersihkan hati
nurani dari apa yang selain Allah. Dan yang keempat inilah taharah pada Nabi
dan Shiddiqin.
Jika thaharah yang pertama dan kedua menurut Al-Ghazali masih
menekankan bentuk lahiriah berupa hadats dan najis yang melekat di badan yang
berupa pelanggaran dan dosa yang dilakukan oleh anggota tubuh. Cara
membersihkannya dibasuh dengan air. Sedangkan kotoran yang kedua dibersihkan
dan dibasuh tanpa air yaitu dengan menahan dan menjauhkan diri dari pelanggaran
dan dosa. Thaharah yang ketiga dan keempat juga tanpa menggunakan air. Tetapi
dengan membersihkan hati dari budi jahat dan mengosongkan hati dari apa saja
yang selain Allah.
Sembah
Jiwa
Sembah jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma ( Allah ) dengan
mengutamakan peran jiwa. Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan peran kalbu,
maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau al-ruh.
Sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa henti setiap hari dan
dilaksanakan dengan tekun secara terus-menerus, seperti terlihat pada bait
berikut:
Samengko kang tinutur / Sembah katri kang sayekti katur / Mring
Hyang Sukma suksmanen saari-ari / Arahen dipun kecakup / Sembahing jiwa
sutengong
Dalam rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut
terdahulu, sembah jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting. Ia disebut
pepuntoning laku (pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah akhir
perjalanan hidup batiniah. Cara bersucinya tidak seperti pada sembah raga dengn
air wudlu atau mandi, tidak pula seperti pada sembah kalbu dengan menundukkan
hawa nafsu, tetapi dengan awas emut (selalu waspada dan ingat/dzikir kepada
keadaan alam baka/langgeng), alam Ilahi.
Betapa penting dan mendalamnya
sembah jiwa ini, tampak dengan jelas pada bait berikut :
Sayekti luwih perlu / ingaranan pepuntoning laku / Kalakuan kang
tumrap bangsaning batin / Sucine lan awas emut / Mring alaming lama amota.
Berbeda dengan sembah raga dan sembah kalbu, ditinjau dari segi
perjalanan suluk, sembah ini adalah tingkat permulaan (wong amagang laku) dan
sembah yang kedua adalah tingkat lanjutan. Ditinjau dari segi tata cara
pelaksanaannya, sembah yang pertama menekankan kesucian jasmaniah dengan
menggunakan air dan sembah yang kedua menekankan kesucian kalbu dari pengaruh
jahat hawa nafsu lalu membuangnya dan menukarnya dengan sifat utama. Sedangkan
sembah ketiga menekankan pengisian seluruh aspek jiwa dengan dzikir kepada
Allah seraya mengosongkannya dari apa saja yang selain Allah.
Pelaksanaan sembah jiwa ialah dengan berniat teguh di dalam hati
untuk mengemaskan segenap aspek jiwa, lalu diikatnya kuat-kuat untuk diarahkan
kepada tujuan yang hendak dicapai tanpa melepaskan apa yang telah dipegang pada
saat itu. Dengan demikian triloka (alam semesta) tergulung menjadi satu. Begitu
pula jagad besar dan jagad kecil digulungkan disatupadukan. Di situlah terlihat
alam yang bersinar gemerlapan. Maka untuk menghadapi keadaan yang menggumkan
itu, hendaklah perasaan hati dipertebal dan diperteguh jangan terpengaruh apa
yang terjadi. Hal yang demikian itu dijelaskan Mangkunegara IV pada bait
berikut:
“Ruktine ngangkah ngukud / ngiket ngruket triloka kakukud / jagad
agung ginulung lan jagad alit / den kandel kumandel kulup / mring kelaping alam
kono.”
Sembah
Rasa
Sembah rasa ini berlainan dengan sembah-sembah yang sebelumnya. Ia
didasarkan kepada rasa cemas. Sembah yang keempat ini ialah sembah yang
dihayati dengan merasakan intisari kehidupan makhluk semesta alam, demikian
menurut Mangkunegara IV.
Jika sembah kalbu mengandung arti menyembah Tuhan dengan alat
batin kalbu atau hati seperti disebutkan sebelumnya, sembah jiwa berarti
menyembah Tuhan dengan alat batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa berarti
menyembah Tuhan dengan menggunakan alat batin inti ruh. Alat batin yang
belakangan ini adalah alat batin yang paling dalam dan paling halus yang
menurut Mangkunegara IV disebut telenging kalbu (lubuk hati yang paling dalam)
atau disebut wosing jiwangga (inti ruh yang paling halus).
Dengan demikian menurut Mangkunegara IV, dalam diri manusia
terdapat tiga buah alat batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh
(telengking kalbu atau wosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan urutan
kedalaman dan kehalusannya.
Pelaksanaan sembah rasa itu tidak lagi memerlukan petunjuk dan
bimbingan guru seperti ketiga sembah sebelumnya, tetapi harus dilakukan salik
sendiri dengan kekuatan batinnya, seperti diungkapkan Mangkunegara IV dalam bait
berikut:
Semongko ingsun tutur / gantya sembah lingkang kaping catur /
sembah rasa karasa wosing dumadi / dadi wus tanpa tuduh / mung kalawan kasing
batos.
Apabila sembah jiwa dipandang sebagai sembah pada proses
pencapaian tujuan akhir perjalanan suluk (pepuntoning laku), maka sembah rasa
adalah sembah yang dilakukan bukan dalam perjalanan suluk itu, melainkan sembah
yang dilakukan di tempat tujuan akhir suluk. Dengan kata lain, seorang salik
telah tiba di tempat yang dituju. Dan di sinilah akhir perjalanan suluknya.
Untuk sampai di sini, seorang salik masih tetap dibimbing gurunya seperti telah
disebut di muka. Setelah ia diantarkan sampai selamat oleh gurunya untuk
memasuki pintu gerbang, tempat sembah yang keempat, maka selanjutnya ia harus
mandiri melakukan sembah rasa.
Pada tingkatan ini, seorang salik dapat melaksanakan sendiri
sembah rasa sesuai petunjuk-petunjuk gurunya. Pada tingkat ini ia dipandang
telah memiliki kematangan rohani. Oleh karena itu, ia dipandang telah cukup
ahli dalam melakukan sembah dengan mempergunakan aspek-aspek batiniahnya
sendiri.
Di sini, dituntut kemandirian, keberanian dan keteguhan hati
seorang salik, tanpa menyandarkan kepada orang lain. Kejernihan batinlah yang
menjadi modal utama. Hal ini sesuai dengan wejangan Amongraga kepada
Tambangraras dalam Centini bait 156. Sembah tersebut, demikian dinyatakan
Amongraga, sungguh sangat mendalam, tidak dapat diselami dengan kata-kata,
tidak dapat pula dimintakan bimbingan guru. Oleh karena itu, seorang salik
harus merampungkannya sendiri dengan segala ketenangan, kejernihan batin dan
kecintaan yang mendalam untuk melebur diri di muara samudera luas tanpa tepi
dan berjalan menuju kesempurnaan. Kesemuanya itu tergantung pada diri sendiri,
seperti terlihat pada bait berikut:
Iku luwih banget gawat neki / ing rarasantang keneng rinasa / tan
kena ginurokake / yeku yayi dan rampung / eneng onengira kang ening / sungapan
ing lautan / tanpa tepinipun / pelayaran ing kesidan / aneng sira dewe tan Iyan
iku yayi eneng ening wardaya.
https://alangalangkumitir.wordpress.com/category/k-e-j-a-w-e-n/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar