Selasa, 28 Agustus 2012

Menunggu Mati di Sampang

Oleh: Agnes Hening Ratri
Aku mendekap anak-anak siang ini, tepat pukul 11 siang. Sementara suara teriakan untuk membunuh dan membakar rumah terus mendekat. Suara-suara itu terus mendekati rumahku, tepatnya bekas rumah yang di bakar orang akhir tahun lalu. Di sisa puing-puing ini, aku tetap bertahan hidup dan menghidupi anak-anakku, sementara suamiku berada di penjara.
Siang tadi dentum kematian itu kian mendekati rumahku, di Nangkerenang, Kecamatan Omben, Sampang, Madura, suara teriakan berpadu dengan gemuruh batu terus mendekat. Makin dekat..aku merasa kematian sudah menjemputku dengan amat riuh. Tubuhku menggigil membayangkan semua itu, sementara tangis anakku berpacu seiring detak jantungku yang kian cepat. Aku memeluk mereka erat, meskipun tanganku terasa dingin dan menggigil. Hari ini kampungku diserang lagi, aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang aku tahu, siang ini anak-anak akan kembali ke pesantren diluar desa, mereka akan bersiap untuk sekolah lagi. Tapi rombongan mereka kembali ke kampung dengan ketakutan. Anak-anak perempuan yang berada di angkutan itu menangis, memanggil orang tua, menjerit karena di kejar oleh orang-orang yang membenci kami. Aku hanya mampu mengintip dari celah dinding bambu yang masih gosong. Ketika mereka masuk ke kampung ini, mereka berhamburan, berlarian mencari persembunyian yang aman. Namun dapat dibayangkan, tak ada celah sedikitpun untuk mereka bersembunyi. Rumah-rumah yang tinggal puing mulai terlihat berasap, suara jerit beradu dengan kobaran api. Siang tadi kampungku begitu mencekam, lebih miris dari kejadian Desember tahun lalu. Ribuan orang terus merangsek masuk kempung, mereka menuju ke arah rumahku, mereka semakin dekat dan terus mendekat. Tubuhku kian lunglai ketika membayangkan ibu mertuaku yang sudah tua berada di dapur sendirian..kemudian anak-anakku terus menangis memanggil nama bapaknya. Duh Gusti..aku sangat kacau hari ini. Tetangga depan rumah sudah berlarian entah kemana, sementara asap sudah mulai mengepung kampungku. Aku harus meyelamatkan anak-anak dan mertuaku. Harus..kekuatan itulah yang mendorongku berlari menyeret anak-anak dan mertuaku untuk keluar rumah, biarlah rumahku dibakar, asal keluargaku selamat. Biarlah… Mereka terus memburuku dan meneriakkan nama suamiku, mereka ingin membunuh kami. Itu yang terbayang hari ini. Sungguh aku tak pernah tahu apa sebenarnya yang terjadi, yang menyeret suamiku ke dalam penjara, kemudian membakar kampung dan membunuh beberapa orang. Aku tak pernah tahu alasan mereka. Yang aku tahu bahwa suamiku mengajari kami untuk tidak membunuh dan membalas kekerasan yang dilakukan oleh orang lain. Hal itulah yang akhirnya membuat ia masuk penjara dengan tuduhan penistaan agama. Aku juga tidak tahu, apa maksud dari tuduhan itu. Sejak aku menikah, suamiku telah menjadi guru ngaji dan apa yang diajarkan itu tidak pernah menyimpang dari apa yang aku ketahui selama ini. Tapi entahlah aku tidak tahu… Tubuhku mengejang, ketika aku akhirnya dapat bersembunyi agak jauh dari rumahku. Ibu mertuaku terduduk lemas dalam usia yang tak lagi muda, ia terenggah mengumpulkan nafasnya. Sementara anakku memeluk kakiku. Aku tidak tahu pasti berapa lama kami bersembunyi, mataku begitu perih menyaksikan api terus membakar rumah-rumah termasuk rumahku. Sementara jerit minta tolong dan mengaduh terus terdengar. Suara kematian itu telah menjemput di desaku hari ini…meskipun aku tahu bahwa tiap orang akan mati, tetapi apakah harus dengan cara seperti ini? Aku tidak tahu harus mengadu pada siapa. Suamiku pelindung keluarga, masih harus di penjara 2 tahun lamanya. Kepada polisi, aku takut untuk berbicara, jika nasibku apes bisa jadi aku menyusul masuk penjara. Kepada pemerintah, aku tak tahu mana yang baik, yang bisa melindungi atau justru menyalahkan kami. Kepada pimpinan agama, aku takut bertemu mereka..karena mereka menganggap kami sesat. Mungkin pada nasib saja kami terus menunggu…menunggu mati..seperti kematian yang menjemput Muhammad Kosim danThohir sementara , Mat Siri dan Abdul Wafi masih dalam kondisi kritis.(IRIB Indonesia / Kompasiana / SL) Jogja, 27 Agustus 2012 Buat keluarga Muslim Syiah di Sampang Madura

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...