Oleh : Haidar Bagir
Dalam sejarahnya, tasawuf tak pernah lepas dari hujatan
orang. Menurut mereka, tasawuf adalah bid‘ah, mengada-adakan sesuatu
yang sebenarnya tidak ada dalam agama. Bahkan, tasawuf adalah suatu aliran yang
sesat dan menyesatkan, baik karena kejahilan, motif menutupi ketidaksetiaan
mereka kepada syariat, maupun malah untuk menghancurkan agama dari dalam. Apa
yang menyebabkan sikap-sikap bermusuhan seperti ini terhadap tasawuf? Yang pertama
adalah keyakinan tasawuf bahwa selain syariat, ada tharîqah dan
hakikat. Keyakinan inilah yang menyebabkan penolakan secara total terhadap
tasawuf. Sedang yang kedua adalah adanya kepercayaan-kepercayaan
tertentu yang diungkapkan sebagian sufi, seperti hulûl, ittihâd,
wahdah al-wujûd, dan sebagainya. Keberadaan-keberadaan kepercayaan
yang heterodoks (nyeleneh) dan rumit seperti ini menyebabkan para
penentangnya hanya mempersoalkan kepercayaan-kepercayaan ini tanpa mesti
menolak keseluruhan tasawuf—kecuali sekelompok orang yang memang cenderung
mengafir-ngafirkan kelompok lain yang bukan kelompoknya.
Mengenai sebab yang pertama, kaum sufi memang percaya
bahwa syariat—dalam makna melaksanakan kewajiban-kewajiban keagamaan secara
lahiriah dengan kriteria fiqh semata, dan bukan dalam makna agama itu
sendiri—tak akan mampu membawa seorang Muslim kepada tujuan puncak keberagamaannya.
Tujuan ini, menurut kaum sufi adalah hakikat (haqîqah), sesuatu
yang bersifat batiniah dan pada akhirnya berpuncak pada hilangnya ego (nafs)
dalam Tuhan secara total, serta menyatunya (tauhîd) manusia
kembali (ma‘âd ) dengan Tuhan yang juga sebagai sumber-awal (mabda’)-nya.
Untuk mencapai tingkat ini, orang harus menjalani tharîqah, yakni maqâmât
dan ahwâl yang merupakan esensi tasawuf itu sendiri. Seperti
“syariat” juga, istilah tharîqah bermakna “jalan”. Hanya saja, jika “syariat”
berarti jalan raya, “tharîqah” berarti jalan kecil atau sempit. (Hal ini
sekaligus menunjukkan bahwa menempuh tharîqah jauh lebih sulit ketimbang
menempuh “syariat”). Nah, dalam konteks ini, syariat “hanyalah” kendaraan
untuk tharîqah, dan tharîqah, pada gilirannya, adalah kendaraan
untuk mencapai hakikat. Nah, sebagai konsekuensi keyakinan seperti ini,
terkadang—dalam segala kesetiaannya kepada syariat—kaum sufi memiliki
pendapat yang berbeda mengenai fiqh dengan pendapat para ulama fiqih
itu sendiri.
Untuk membuktikan ketidak-Islaman tasawuf, biasanya
orang menggunakan dua cara. Pertama, istilah atau ilmu yang bernama
tasawuf itu tak terdapat, baik dalam Al-Quran maupun Sunnah. Kedua,
banyak di antara kepercayaan tasawuf bisa ditunjukkan sebagai berasal, atau
setidak-tidaknya sama, dengan sumber-sumber lain di luar Islam—baik sumber
Yunani, Kristen, Hindu, Buddha, maupun Persia.
Menanggapi pandangan-pandangan seperti itu, para
pendukung tasawuf biasanya mulai dengan menyatakan bahwa penamaan tasawuf
hanyalah sekadar suatu cara untuk menampilkan ciri-ciri khas kelompok ini. Persis
seperti Rasul dan para sahabatnya dulu menjuluki Bilal si orang Etiopia dengan
Al-Habsyi, atau Shahiba atau Suhail Al-Rumi (orang Romawi), atau Salman
Al-Farisi (orang Persia). Bahkan Al-Quran tak cukup menyebut orang-orang
Mukmin yang baik-baik dengan hanya menyebut mereka sebagai Mukmin, melainkan
terkadang menyebut sebagian di antara mereka al-tâ’ibîn, atau sebagian
yang lain al-mutashaddiqîn, al-‘âbidîn, al-hamidîn, al-shalihîn,
dan banyak lagi lainnya. Lagi pula, kenapa hanya penamaan shûfî
saja yang diperdebatkan padahal dalam sejarah kaum Muslim, umat ini dikelompokkan
di bawah nama-nama Mu‘tazili, Asy’ari, Maturidi, Salafi, Hanafi, Maliki,
Syafi‘i, Hanbali dan tak terhitung nama-nama kelompok lainnya. Selanjutnya,
jika asal kata tasawuf itu dipersoalkan karena tidak terdapat di dalam
Al-Quran, maka kita dapati banyak sekali ilmu yang tidak disebut di dalam
Al-Quran tapi tak pernah dianggap sebagai bid‘ah. Tentu saja kita harus mulai
dari fiqh karena, meskipun kata ini dipakai di dalam Al-Quran, ia tak
pernah dipakai untuk menunjuk ilmu tentang hukum-hukum ibadah seperti yang kita
kenal sekarang ini. Lalu ada ushûl al-dîn, mushthalah al-hadîts,
ilmu tafsir, ilmu nahwu (tata bahasa), ilmu al-kalam, dan
sebagainya. Apalagi jika argumentasi ini kita perluas hingga ke ilmu-ilmu nonagama
yang, dalam sejarah Islam awal diterima luas oleh kaum Muslim, seperti ilmu
falak, ilmu kedokteran, ilmu kimia, dan sebagainya. Argumentasi seperti ini
sekaligus menunjukkan bahwa sesuatu ilmu bisa saja berkembang melewati apa yang
secara eksplisit terkandung dalam Al-Quran dan Al-Sunnah, tanpa harus dianggap
sebagai bidah atau malah sesat.
Untuk menjawab keberatan orang mengenai asal-usul ajaran
tasawuf, para pendukungnya cukup sigap untuk menunjukkan sumber-sumber Qurani
paham ini. Tapi, sebelum itu kiranya mudah dipahami bahwa adanya kesamaan
antara ajaran-ajaran tasawuf tertentu dengan ajaran agama Kristen, Hindu,
Buddha, bahkan pemikiran Yunani sama sekali tak otomatis berarti bahwa
ajaran-ajaran tasawuf itu sesat. Karena, jika argumentasi seperti ini bisa
dibenarkan, maka hukum fiqih tertentu yang ternyata sama dengan hukum Kristen
haruslah dianggap sesat pula. Padahal kenyataan seperti ini amat banyak
terjadi. Demikian pula dengan kesamaan-kesamaan pandangan dalam ilmu Kalam
dengan teologi Kristen. Dan seterusnya. Lagipula, bukan hanya penganut
pandangan tasawuf yang berpendapat bahwa sesungguhnya hikmah itu tercecer di
mana-mana. Bukankah Rasulullah sendiri bersabda bahwa “Hikmah adalah
barang kaum Mukmin yang hilang” dan bahwa kita diperintahkan untuk
memungutnya di mana pun ia kita temukan? Belum lagi jika kita mempercayai
bahwa, sampai batas tertentu, ajaran-ajaran agama itu—bahkan mungkin juga
pemikiran Yunani tertentu—adalah peninggalan para Nabi dan Rasul yang
diturunkan Allah kepada berbagai bangsa. Apalagi agama Kristen, yang
jelas-jelas pada awalnya adalah memang merupakan wahyu Allah, sebagaimana juga
agama Yahudi dan agama-agama samawi lainnya.
Ada lagi yang bersikap antitasawuf karena dalam tasawuf
terdapat paham-paham atau pandangan-pandangan yang dianggap sesat. Terhadap
keberatan seperti ini, pendukung tasawuf akan balik bertanya: apakah kita
harus membuang hadis hanya karena di dalamnya menyusup hadis-hadis palsu, atau
mencampakkan ilmu tafsir karena di dalam sebagiannya terkandung isrâ’iliyyat,
atau ilmu fiqih karena adanya upaya-upaya manipulatif dalam bentuk
perumusan berbagai hîlah yang seringkali mengada-ada, tidak bertanggung
jawab, bahkan melecehkan syariat itu sendiri? Bahkan pun jika para pendukung
tasawuf sepakat mengenai kesesatan-kesesatan yang ada dalam sebagian paham
atau pandangan dalam tasawuf, maka yang perlu dilakukan adalah membersihkan
tasawuf—persis seperti yang kita lakukan terhadap ilmu-ilmu lain—dari
kesesatan-kesesatan, dan bukan mencampakkannya sama sekali.[islam indonesia]