Oleh: Reza, SH
Hubungan Agama /Tasawuf dengan
Kebudayaan
Budaya adalah hasil karya akal Budi
yang mempunyai nilai keindahan, atau tradisi yang mempunyai nilai-nilai luhur
suatu bangsa . Sedang Tasawuf ada karena untuk mengenal Allah melalui
agama. Studi Humaniora mempelajari manusia dalam hal “bagaimana manusia”
dan “bagaimana manusia seharusnya berbuat”, dan juga karena budaya, seperti
halnya keindahan, mengambil manfaat dari fitrah manusia. Posisi budaya dalam
pengetahuan manusia sangatlah penting. Sebab, budaya merupakan fondasi dasar
dalam berurusan dengan Sufisme . Tidak semua budaya yang disebut dalam
masyarakat manusia memiliki nilai sufistik. Budaya dengan nilai sufistik hanyalah
milik budaya yang dinamis dan berorientasi pada tujuan serta dapat menempatkan
manusia dalam wilayah gravitasi kesempurnaan.
Hubungan Agama, Budaya, dan Sejarah
Agama mengajarkan kita untuk
berperilaku mulia atau indah dengan tujuan untuk mengenal Allah, karena itu
kitab-kitab agama Islam yang merupakan hasil karya yang Maha Agung, adalah
suatu keindahan yang luar biasa, demikian juga beberapa kitab yang ditulis oleh
beberapa orang yang memiliki maqam (kedudukan) tinggi disisi Allah SWT,
yang telah mencapai derajat tinggi, misal kitab Negara Kertagama (karya
Mpu Prapanca), Pararaton (karya ), Serat Wulang Reh (Karya Paku Buwono II)
Suluk Linglung (Sunan Kalijaga), Kisah Bima Suci (Sunan Bonang), Jangka/Ramalan
Jaya Baya (karya Prabu Jayabaya Raja Kediri) dan lain –lain, Disamping itu
kitab tersebut bernilai sastra tinggi, juga mengajarkan tentang akhlak
mulia, sariat untuk mengenal Allah (sufisme), serta merupakan kisah para
khalifah dan Pahlawan di bumi Nusantara, demikian juga Kitab Al Quran kurang lebih
70 % berisikan sejarah masa lalu, mulai penciptaan dunia dan isinya, sampai
dengan keadaan hari akhir, kiamat, surga dan neraka.
Budaya Asyura adalah Budaya Nusantara
Bulan Muharam di Jawa di sebut
sebagai bulan Suro. Kata Suro berasal dari bahasa arab Asyura, yang
artinya sepuluh (10). Jadi Peringatan/ Perayaan bulan Muharram pada
hakikatnya adalah memperingati kesyahidan Sayyidina Al Husian Raja Syuhada
(Cucunda Nabi Muhammad SAW) pada tanggal 10 Muharram 61 Hijriah di Karbala
(Irak). Peringatan bulan Suro, selain merayakan pergantian tahun, sejatinya
adalah momentum merayakan sebuah kreatifitas dan menambah kearifan budaya di
negeri ini, yang dikembangkan sesuai kondisi daerah dengan berbagai kreasi dan
kearifan lokal setempat.
Tradisi dan kepercayaan di Nusantara
– secara umum – menjadikan Bulan Suro/ Muharam memiliki nilai Sakral (Karamat).
Bagi yang memiliki talenta sensitifitas indera keenam (batin) sepanjang bulan
Sura aura mistis dari alam gaib begitu kental melebihi bulan-bulan lainnya.
Tradisi selama bulan Sura, yang merupakan budaya Sufisme, yang tidak bisa
lepas dari Ritual agama, misalnya:
Ngayogyakarta Hadiningrat
memperingati Malam 1 Suro dengan cara mengarak benda
pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang khusyuk dan pikiran terpusat ke Allah (perenungan diri), makna ritual mubeng benteng tersebut melambangkan Tawaf Yang Agung adalah tawaf bulan Asyura, yaitu mengikuti ajakan Sayyidina Al Husain untuk bangkit melawan kezaliman, karena Allah itu ada di hati Yang suci, yaitu hati Sayyidina Al Husain. Sesuai Firman Allah di Al Quran dan di Injil antara lain:
pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang khusyuk dan pikiran terpusat ke Allah (perenungan diri), makna ritual mubeng benteng tersebut melambangkan Tawaf Yang Agung adalah tawaf bulan Asyura, yaitu mengikuti ajakan Sayyidina Al Husain untuk bangkit melawan kezaliman, karena Allah itu ada di hati Yang suci, yaitu hati Sayyidina Al Husain. Sesuai Firman Allah di Al Quran dan di Injil antara lain:
- Sesungguhnya kamu Telah membenarkan mimpi (Ibrahim) itu Sesungguhnya Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (meskipun hal tersebut diganti domba).(105) Sesungguhnya Ini benar-benar suatu ujian yang nyata(106). Dan kami ganti dengan sembelihan (Korban) yang Agung.(107). Yang akan digantikan untuk masa mendatang (108) – yaitu korbannya/Syahidnya Imam Husian di tepi Sungai Eufrad- Karbala, (37. As Saffat 105 – 108)
- Sebab Tuhan ALLAH semesta alam mengadakan korban Agung penyembelihan di tanah utara, dekat sungai Efrat. (Yeremia 46:10)
ASYURA
DI ISTANA KADARIAH KESULTANAN PONTIANAK
Di Pontianak, khususnya di Istana
Kadariah Kesultanan Pontianak, Peringatan Asyura secara rutin dilaksanakan
setiap tahunnya pada bulan Muharram (kalender Hijriah) yang diisi dengan
pembacaan syair duka dan penampilan rodad-hadrah yang memiliki nilai sastra
tinggi sebagai bentuk sakralisasi terhadap pengorbanan agung Sayyidina Al
Husain bersama keluarga dan para sahabat setianya di Karbala. Ini merupakan
budaya Sufisme yang berkembang sejalan dengan Peringatan Asyura. Selain itu,
Peringatan Asyura di Istana Kadariah juga diisi dengan khutbah dan pembacaan
tahlil bagi Sayyidina Al Husain dan pengikut setianya yang terbantai secara
keji di Karbala pada 61 H.
Budaya Hari Asyura mulai diperingati
secara massal di Istana Kadariah Kesultanan Pontianak sejak era Sultan Syarif
Muhammad bin Yusuf Alkadrie. Pada masa itu, Sultan Muhammad mengumpulkan para
yatim dan janda, terutama yatim-yatim dan janda-janda keluarga Bani Alawiyyin
(Habib/ Sayyid/ Syarif/ Syarifah; istilah yang diberikan kepada keturunan
Rasulullah dari jalur Sayyidina Al Hasan dan Sayyidina Al Husain), menghidangkan
bubur Syuro, memberikan wejangan/ ceramah serta hadiah kepada mereka. Notabene,
Sultan Syarif Muhammad Alkadrie sendiri merupakan keturunan Rasulullah SAW dari
jalur Sayyidina Al Husain, sehingga Peringatan Asyura yang dilakukan beliau
merupakan Peringatan Kesyahidan leluhur beliau, sehingga wajar kiranya
Peringatan Asyura menjadi budaya yang lekat dengan lingkungan Istana Kadariah
Kesultanan Pontianak.
Rodad-Hadrah merupakan budaya
tradisional yang telah lama berkembang di masyarakat Melayu Kalimantan Barat,
khususnya di Istana Kadariyah Kesultanan Pontianak. Para sesepuh Istana
Kadariah lazim menampilkan Rodad-Hadrah pada setiap kegiatan yang dilakukan di
Istana Kadariah. Bentuk tradisi ini mirip dengan Tari Saman di Aceh, Tari
Indang di Sumatera Barat, tetapi memiliki perbedaan, semisal pada bahasa yang
digunakan untuk melantunkan sya’ir, dikarenakan perbedaan sosiologis
masyarakat. Kesenian Rodad-Hadrah berisikan lantunan puji-pujian kepada
Rasulullah SAW beserta keluarganya (Ali, Fathimah, Al Hasan dan Al Husain).
Bisa saja sya’ir yang dibawakan dalam Rodad-Hadrah berisikan puji-pujian
terhadap Rasulullah SAW serta keluarganya secara bersamaan, namun bisa pula
sya’ir yang dibawakan hanya menceritakan salah satu tokoh dari lima (5) orang
tersebut. Namun dalam kondisi yang lain, sya’ir Rodad-Hadrah dapat berisikan
nasihat dan wejangan kepada khalayak ramai.
Dalam Peringatan Asyura, lantunan
yang disampaikan dalam penampilan kesenian Rodad-Hadrah berisikan kisah
kehidupan, keutamaan dan kemuliaan Sayyidina Al Husain. Kesenian Rodad-Hadrah
dimainkan dengan posisi duduk sebagai bentuk penghormatan kepada figur-figur
mulia seperti tersebut di atas.
Sementara sya’ir/maktam berisikan
lantunan-lantunan kisah perjalanan kehidupan Sayyidina Al Husain hingga meraih
syahadah di “tanah yang dijanjikan”. Sya’ir/maktam ini bisa dibawakan secara
berkelompok, dapat pula seorang diri, dengan diiringi musik tradisional yang
menyayat hati. Dalam titik tertentu, pembaca sya’ir/maktam secara tidak sadar
akan meneteskan airmata pertanda kesedihan dan kepiluan hati karena syahadah
Sayyidina Al Husain.
- a. ALASAN PELAKSANAAN KEGIATAN
Budaya Asyura; Budaya Sufisme, Milik
semua Agama dan Bangsa
Budaya Suro adalah budaya
dunia yang merupakan budaya Sufisme yang membuahkan karomah,
membangkitkan kepahlawanan, membentuk identitas dan karakter masyarakat, serta
membangkitkan masyarakat untuk menggubah Syair yang indah untuknya
seperti pernah diucapkan oleh banyak Tokoh dunia:
-
Ir. Soekarno, Pendiri dan pejuang
kemerdekaan Indonesia, merupakan tokoh Politik paling berpengaruh di NKRI , :
“Husein adalah panji berkibar yang
diusung oleh setiap orang yang menentang kesombongan di zamannya, dimana
kekuasaan itu telah tenggelam dalam kelezatan dunia serta meninggalkan
rakyatnya dalam penindasan dan kekejaman.”
-
Adolf
Hitler, Ia pernah mengatakan kepada
tentaranya saat sebagian dari mereka berlatih dalam persiapan ke suatu
peperangan:
“Wahai pahlawan-pahlawan perang,
contohlah Husein manusia dengan ketekunan mampu mengguncang pilar-pilar
kekuatan dan setelah itu mengirim mereka ke dalam jurang kehancuran dan itu
semua dilakukan oleh kelompok kecil yang memiliki keteguhan dan penuh nilai
kepahlawanan.”
-
Sir Mercy
Molesworth Sykes, Sejarawan Inggris terkenal, banyak
karyanya di bidang sejarah dan telah diterjemahkan dalam banyak bahasa.
“Sungguh keberanian dan kepahlawanan
yang dipertontonkan kelompok kecil ini telah sampai mendorong siapapun untuk
memberikan pujian dan empatinya kepada semua yang mendengar tanpa disengaja dan
menjadikan semua yang terlibat dalam tragedi itu sebagai selebriti dunia, kekal
dan abadi selamanya.”
-
Antoine
Bara, seorang Wartawan Kristen Syria,
“Sesunggunya pribadi Husein
menggetarkan hati, merasuk jiwa dan bertengger disela-sela relung qalbu, ia
muncul dari pancaran Sang Pencipta melalui anugerah-Nya dimana ia sebagai
tauladan yang terbentuk melalui pancaran kenabian, dan tak ada hati kecuali
tersentuh olehnya dan tidak ada pikiran kecuali terinspirasi olehnya.”
-
Berkat Kearifan Wali Sanga dalam
berdakwa maka budya Asyuro bisa menyatu dengan masyarakat Jawa, sehingga
Asyuro menjadi milik Orang Jawa, Ritual Asyuro dilaksanan bermacam-macam,
antara lain adanya bubur syuro, Siraman malam 1 Sura, Tapa Mbisu, Ziarah Kubur
pada bulan Sura, dan Jamasan pusaka, Pantang melakukan hajatan/Pernikahan
selama bulan Suro, Pagelaran Wayang Kulit. Menyatunya budaya Asyura dengan
masyarakat jawa, maka umat Nasrani di Jawa pun ikut menghormati bulan Asyuro,
seperti;
Gereja Katolik di DIY, misalnya,
memaknai 1 Suro dengan misa khusus 1 Suro di Gereja Hati Kudus Ganjuran,
Bantul. Gereja tersebut mengadopsi peringatan 1 Suro dan menjadikannya sebagai
bagian dari acara keagamaan yang khusus di Jogja.
Dari pembahasan singkat di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa menolak ritual agama berarti juga menolak budaya
Sufisme, atau dapat dikatakan sebagai penolakan terhadap adanya Direktorat
Sejarah dan Nilai Budaya, serta menolak Direktorat Pembinaan Kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisional, sebegai konsekwesi ini adalah,
tidak menerima peradaban berarti mendistorsi budaya, mendistorsi budaya
berarti menolak prinsip hubungan tasawuf (Agama) dengan kebudayaan yang
merupakan satu kesatuan, maka hal ini akan menjauhkan manusia dari dirinya sendiri,
kemudian menjauhkan dari hubungannya dengan Tuhan.
Daftar Pustaka
10 HARI YANG MENGGERTAKAN DUNIA,
Karya : Saed Zomaezam, Diterjemahkan dari buku asli berbahasa Arab berjudul Al-Imam
al-Husain Shaghil ad-Dunya, Penerbit Papyrus Publishing dan unduh Internet,
Tafsir Holistik kajian seputar Relasi Tuhan, Manusia dan Alam Semesta dialih
bahasakan dari Man and Universe karya Murtadha Munthahari terbitan Ansariyan
Publication, Qum Iran. 1997/1417. Penerjemah Ilyas Hasan. Penerbit Citra,
cetakan pertama 2012.
Sumber : http://lembagapedulicagarbudayakalbar.wordpress.com/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar