slamindonesia.id – KAJIAN – Tuhan Ingin Dikenali Sebagai Penyayang dan Penutup Aib
Salah satu hadis Nabi yang populer di kalangan sufi ialah “Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u`rafa fa khalaqtu ‘l-khalq li-kay u’raf”.
Jika diterjemahkan, hadis ini berbunyi, “Keadaan Aku dulu adalah khazanah tersembunyi. Aku mendambakan untuk dikenal maka Kuciptakan makhluk sehingga dengan-Ku mereka mengenal-Ku.”
Menurut Penulis Epistemologi Tasawuf, Haidar Bagir, makna kata dulu dalam konteks ini bukan tergolong waktu yang digunakan manusia sehari-hari. “Ini bukan dalam arti waktu fisik, tapi ada satu titik di mana keadaan Allah merupakan perbendaharaan yang tersembunyi,” kata Haidar dalam kajian Irfan di Pesantren Tasawuf Virtual Nur al-Wala. “Karena tersembunyi, tidak ada sesuatu pun yang dapat melihat. Inilah yang disebut sebagai martabat gaibul guyub (Yang Gaib dari semua yang gaib).”
[Baca juga: Martabat Tuhan yang Tak Dapat Diungkap dengan Bahasa]
Karena Allah ingin dikenali, Dia menciptakan sesuatu di luar zat-Nya. Tanpa sesuatu selain diri-Nya, tidak akan ada yang dapat mengenali-Nya.
Dengan demikian, Dia menciptakan makhluk atau memancarkan sesuatu dari zat-Nya.
Dengan demikian, Dia menciptakan makhluk atau memancarkan sesuatu dari zat-Nya.
Namun timbul pertanyaan di sini: mengapa Allah mendambakan untuk dikenali padahal Dia Maha Kaya sehingga mustahil memerlukan sesuatu?
Menurut Haidar, pertanyaan ini sejatinya dapat dijawab dengan konsep konsekuensi logis. Dosen Filsafat Islam dan Tasawuf ini menjelaskan, esensi Ilahi yang paling dominan mendekatkan kita pada konsep Allah ialah sifat-Nya Yang Maha Penyayang dan Pengasih.
Allah adalah Arrahmaan dan Arrahiim sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an dan berbagai riwayat. Karena itu, ketika kedua sifat itu disebut, kita akan merujuk pada pemilik sifat, yaitu: Allah.
Namun, kata Haidar memberikan analogi, bagaimana mungkin orang bernama Ali dikenal sebagai penyayang tapi tak ada sesuatu atau seorang pun yang pernah menerima kasih sayangnya. Ali dapat disebut sebagai penyayang karena ada orang atau sesuatu lain yang pernah menjadi objek kasih sayangnya. “Demikian juga dengan Allah,” ujarnya.
Jadi, kata Haidar, terciptanya makhluk itu bukan berarti Allah kekurangan dan butuh pada sesuatu yang lain. Terciptanya makhluk merupakan konsekuensi logis dari esensi Ilahiyah: Arrahman dan Arrrahim.
Esensi inilah yang mengharuskan diri-Nya memancarkan sesuatu dari martabat gaibul guyub hingga terjadilah penciptaan makhluk. Pancaran ini, dalam dunia tasawuf, dikenal sebagai tajalli atau manifestasi Ilahi.
“Jadi, memang Allah harus memancarkan diri-Nya,” kata Haidar. “Namun siapa yang yang mengharuskan? Tentunya Allah sendiri.”
Riwayat lain juga turut menguatkan pandangan di atas. Di antaranya hadis yang memiliki redaksi sama dengan di atas namun diikuti dengan kalimat, “Aku ingin dikenali sebagai Pengasih, Penyayang, Pengampun, dan Penutup Aib.”
YS/Islamindonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar