Rabu, 23 September 2020

Membangun Budaya Organisasi

Membangun Budaya Organisasi

Budaya organisasi yang dominan dan sejalan dengan visi, misi dan dimensi organisasi serta selaras dengan tuntuan lingkungan akan mengarahkan individu di organisasi tersebut memberi kinerja yang terbaik untuk organisasi mereka.


Tulisan ini saya sampaikan di grup Whatsapp ODOJ MITI MJR SJS 7 dalam kuliah Whatsapp harian pada tanggal 9 Januari 2017.

Lewat kulsap pagi ini, saya ingin berbagi tentang sebuah konsep strategi manajemen sumber daya manusia yang saya pelajari selama saya mengerjakan kuliah tugas akhir di S1 Teknik Industri, Universitas Telkom.

Konsep yang saya bagi pagi hari ini adalah tentang “membangun budaya organisasi”. Tema ini menarik bagi saya, karena pada setiap organisasi yang selalu saya ikuti pasti selalu ada permasalahan atau intrik dalam membangun individu agar sesuai dengan budaya organisasi yang ia anut. Budaya organisasi ini juga merupakan sebuah tema yang sering dibahas pada kuliah-kuliah di Psikologi Industri dan juga pada kuliah di magister manajemen.

Mengapa kita harus membangun budaya organisasi yang baik di organisasi kita? Karena fungsi budaya sendiri itu adalah mengarahkan. Budaya organisasi yang dominan dan sejalan dengan visi, misi dan dimensi organisasi serta selaras dengan tuntuan lingkungan akan mengarahkan individu di organisasi tersebut memberi kinerja yang terbaik untuk organisasi mereka.

Jadi bisa diibaratkan, budaya organisasi ini adalah penekan bagi setiap individu agar mampu berfungsi sebagaimana yang diinginkan organisasi untuk meraih tujuan mereka.

Bagaimana budaya organisasi ini bekerja? Untuk menjelaskan ini, saya mencuplik sebuah teori dari Hofstede yang mengatakan bahwa budaya itu adalah sebuah mental programming (pemrograman mental).

Kata mbah Hofstede, otak manusia itu seperti komputer. Mengalami proses pemrograman baik disadari atau tidak disadari. Akan tetapi berbeda dengan komputer, manusia dapat menolak suatu pemrograman. Karena manusia memiliki akal dan juga nilai dasar yang diyakini masing-masing.

Sebagai contohnya, karyawan sebuah perusahaan yang memiliki nilai dominan pada nilai “relationship” (hubungan antar manusia) saat bekerja. Dia terkadang akan sulit menerima nilai “task oriented” (orientasi tugas) yang dibudayakan pada perusahaan lain yang mengadopsi nilai tersebut. Karena itu penting bagi organisasi untuk menerima seseorang yang dapat dibentuk sesuai tujuan organisasi tersebut agar bisa memajukan organisasi tersebut sesuai value yang dianutnya.

Tak usah jauh-jauh menengok perusahaan atau organisasi lain untuk menengok adanya perbedaan nilai dasar pada setiap manusia. Kita tengok organisasi yang kita ikuti saja.

Seperti contoh saya berikan kasus di organisasi lembaga dakwah kampus yang saya ikuti, yaitu Al Fath Universitas Telkom. Tanpa disadari atau tidak dalam agenda PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru), biasanya kita menyasar para adik-adik mahasiswa untuk diajak masuk dalam organisasi kita. Atau kita ajak orang-orang yang setidaknya sudah mempunyai value yang sama-sama kita anut untuk masuk ke dalam organisasi kita (contoh : anak-anak Rohis SMA).

Mengapa kita menyasar orang-orang seperti itu? Karena adik-adik mahasiswa tersebut  itu genuine, maka mereka bisa mudah dibentuk nilai-nilainya lewat pemrograman mental yang kita bentuk. Karena anak-anak Rohis SMA tersebut mereka sudah terbentuk sesuai dengan value kita, maka akan lebih mudah kita arahkan sesuai budaya organisasi kita. Ini juga sama halnya seperti sebuah perusahaan lebih suka menerima lulusan yang fresh graduated, karena mereka bisa dibentuk.

Nah, sekarang bagaimana kita membangun budaya organisasi di tempat kita? Sebelumnya saya ingin menjelaskan bagaimana kita membangun budaya organisasi, saya ingin terlebih dahulu menjelaskan elemen-elemen dari budaya organisasi agar kita semua tahu apa yang kita bangun.

Edgar Schein, seorang maestro dari konsep budaya organisasi ini pernah bersabda bahwa ada tiga elemen budaya organisasi.

  1. Artefak (Artifacts) merupakan bagian dari budaya perusahaan yang paling luar dan tampak. Ia dapat diamati baik oleh para karyawan dan juga oleh pihak luar. Tidak jarang artefak dipilih dipilih dan dimunculkan agar pihak internal organisasi atau pihak eksternal organisasi mempersepsikannya sebagai nilai yang ingin ditanam.

Berbagai contoh artefak adalah lambang-lambang dan berbagai benda yang dalam organisasi, seperti : logo, slogan, warna, dan bahasa.

Sebagai contoh artefak dari ODOJ MITI MJR SJS adalah slogannya : “Malam jadi Rahib, Siang jadi Singa”. Logonya pun menyerupai slogannya dengan munculnya lambang singa.

  1. Values berarti nilai-nilai yang kasat mata. Artinya nilai-nilai ini terletak pada ranah “bawah sadar manusia” yang secara tidak langsung mempengaruhi perilaku seseorang. Nilai-nilai ini biasanya terbentuk dari kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus.

Values sendiri dalam penerapan di budaya organisasi terbagi dua : Espoused values (nilai yang diharapkan), dan enacted values (nilai yang sudah ada)

Jika kita ingin mengubah budaya suatu organisasi, hal pertama yang kita perlu analisis adalah enacted values. Jadi, apa saja nilai-nilai yang sudah ada dalam diri anggota organisasi kita? Bagaimana mereka menerapkannya? Analisis ini bisa melalui kuisoner atau wawancara mendalam dengan anggota organisasi kita.

Setelah kita analisis enacted values, berikutnya yang harus kita analisis adalah espoused values. Espoused values ini perlu kita definisikan lebih lanjut secara operasional dengan dikaitkan dengan perilaku-perilaku organisasi yang ingin kita bentuk lewat mental programming yang kita jalankan. Biasanya kemudian nilai-nilai ini kita definisikan dalam the do’s dan juga the don’t. The do’s artinya hal-hal yang harus atau wajib anggota organisasi itu lakukan, dan the don’t artinya hal-hal yang tidak boleh anggota organisasi tersebut itu lakukan. Biasanya do dan don’t ini terdapat dalam aturan dan standar operasional organisasi.

Saya berikan contoh dalam organisasi lembaga dakwah kampus, terdapat sebuah nilai yang ingin kita budayakan yaitu “Lebih Dekat dan Lebih Bersahabat”. Nilai tersebut kemudian didefinisikan dalam  the do’s menjadi sebuah prinsip 6S (Senyum, Sapa, Salam, Sopan, Santun, Semangat) yang wajib dipatuhi oleh setiap anggotanya. The don’t nya ya kemudian berarti perilaku-perilaku yang berkebalikan dengan hal-hal tersebut.

Selain mendefinisikan perilaku-perilaku yang ingin kita bentuk, tugas kita sebagai leader atau manajemen sebuah organisasi adalah mengupayakan nilai-nilai ini masuk dalam tingkatan operatif. Artinya nilai-nilai ini tanpa harus diingatkan oleh kita sudah bisa dijalankan oleh anggota organisasi kita.

  1. Asumsi dasar (basic assumptions) adalah filosofi yang dianut seseorang atau sekelompok orang yang mempengaruhi pola piker, perasaan, emosi, mental-set mereka. Karena ia filosofi, maka letaknya jauh berada di dalam “kognitif” manusia yang dibentuk dalam waktu yang relatif panjang.

Jika sekelompok karyawan memiliki asumsi dasar bahwa kerja keras dan kejujuran adalah kunci keberhasilan maka nilai-nilai yang mereka anut adalah kerja keras dan kejujuran. Namun, dapat dibayangkan jika asumsi dasar para karyawan adalah bekerja didasari oleh pilihan yaitu memanipulasi atau dimanipulasi, maka nilai yang mereka anut adalah unfair competition.

Jadi, membangun budaya organisasi pada hakikatnya adalah membangun elemen-elemen budaya organisasi ini agar sesuai dengan visi, misi dan tujuan organisasi.

Setelah kita mengetahui adanya elemen-elemen budaya organisasi ini, kita juga harus mengetahui fungsi pemimpin dalam membangun budaya organisasi.

Fungsi pemimpin atau khalifah ini sangat penting karena ialah yang menggerakkan anggota organisasinya mencapai visi, misi yang diharapkan organisasi. Pemimpin juga setidaknya harus mampu menjalankan atau mencontohkan elemen-elemen budaya organisasi yang sudah ia bentuk kepada anggota organisasinya agar anggotanya bisa dan merasa harus untuk mengikuti. Disinilah ada sebuah keharusan bagi seorang pemimpin untuk bisa memberikan keteladanan bagi para anggotanya.

Berbagai ahli di bidang psikologi industry menyebutkan satu tipe leadership yang seharusnya menjadi focus kita bersama. Tipe leadership itu ialah tipe “transformational leadership”.

Transformational leadership adalah leader yang memiliki visi jauh kedepan, mengkomunikasikannya, dan memberi contoh untuk mentransformasi anggotanya.

Maka, dalam hal ini saya juga menasehati diri saya sendiri, bahwa menjadi pemimpin seharusnya menjadi teladan bagi yang lain. Karena itu, sangat penting bagi pemimpin untuk menjaga sikap dan kata-katanya. Sebagaimana quote yang saya dengar dari seorang jenderal di Indonesia-> “Perkataan seorang pemimpin itu ialah setengah dari kebijakannya”. Itulah yang harus kita cermati dan sadari saat menjadi pemimpin untuk menjaga kata-kata kita.

 

https://thedimasprabu.wordpress.com/2017/01/09/membangun-budaya-organisasi/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...