Oleh Muhammad Ainun Nadjib 21 Maret 2014 Esai
Kalau kita makan, kita punya
kekuasaan terhadap yang kita makan. Kalau kita memilih makan nasi uduk, itu
kita perhitungkan kita membelinya di suatu warung yang kita mampu
mengontrolnya. Kalau nasinya ada krikilnya kita protes, dan kita punya
pengetahuan apakah nasi ini beracun atau tidak, basi atau tidak.
Setiap pilihan resikonya adalah
harus disertai kesanggupan untuk mengontrol sesuatu yang kita pilih. Di situlah
kelemahan kita sebagai bangsa Indonesia. Kita harus memilih pemimpin tanpa
sedikit pun ada kesanggupan untuk mengontrol pemimpin yang kita pilih itu.
Bahkan lebih dari itu, bukan hanya
tidak sanggup mengontrol, kita bahkan tidak punya pengetahuan yang mencukupi
sama sekali mengenai sesuatu yang kita pilih. Kita tidak tahu sebenarnya caleg
ini kualitasnya bagaimana, hidupnya bagaimana, istrinya berapa, akhlaknya
bagaimana, kita tidak tahu sama sekali. Bahkan tokoh-tokoh terkenal pun rakyat
tidak tahu. Bapak ini, Gus itu, orang nggak tahu sebenarnya. Dan kalau pun
mereka tahu, mereka tak punya daya kontrol terhadap yang dipilihnya ini, tapi
mau tak mau harus memilih. Ini saya kira dilema kita bersama se-Indonesia.
Jadi, sederhana saja sebenarnya.
Kalau anakmu naik kapal merantau ke luar pulau, maka selama naik kapal akan ada
kemungkinan ada badai, ada kemungkinan dibunuh orang, ada kemungkinan dia
bertengkar dengan orang, ada kemungkinan dia di ancam bahaya. Kepada siapakah
engkau menyerahkan anakmu yang engkau tak bisa mengontrolnya di perjalanan,
kepada siapa? Kamu titipkan pak Camat? Kamu titipkan nahkoda? Tidak ada jalan
lain kecuali engkau titipkan pada Allah SWT. Kalau yang kau pilih di pemilu
nanti kau tidak tahu siapa dia, kamu tidak bisa mengontrol dia, kenapa tidak
kau serahkan pada Tuhan? Jadi serahkan pada Tuhan.
Kalau dalam Islam
sederhana. Kalau misal anda tidak memilih, kalau nanti anda berdoa supaya
bangsa kita sejahtera, nanti Tuhan mengejek juga “Lha kamu nggak milih aja kok
minta bangsamu sejahtera”. Tapi kalau memilih bingung juga mau memilih yang
mana, sedangkan kalau memilih tidak bisa mengontrol juga. Ya kalau begitu
serahkan pada Tuhan.
Kalau dalam Islam caranya jelas.
Jadi malamnya shalat dulu kek, kalau nggak sempat ya dalam hati saja
berdoa, “Ya Tuhan, gimana mosok saya nggak nyoblos, saya kan warga negara. Saya
pilih lah yang kira-kira paling bagus. Cuma kan saya ndak bisa mengontrol dia,
Tuhan. Jadi, tolong dong, ini saya pilih satu. Setelah saya pilih dan coblos,
saya serahkan kepada-Mu. Kalau dia pemimpin yang baik, panjangkan umurnya. Beri
dia kekuatan, dan bantulah urusan-urusannya. Tapi kalau yang aku pilih ini
ternyata pengkhianat, penjilat, penindas rakyat dan sama sekali tidak punya
cinta kepada kami-kami yang di bawah ini, mbok dilaknat dengan cepat, mbok
cepat-cepat diberi tindakan, Tuhan. Terlalu lama lho kami rakyat Indonesia
kayak gini terus bingung nggak habis-habis. Terus kepada siapa dong aku
mengeluh? Kepada siapa dong rakyat Indonesia mengeluh? Kepada DPR? Wong
mereka itu yang justru kami keluhkan kepada-Mu ya Allah. Jadi tolong, Tuhan….”
Bisa juga ditambahi ayat-ayat.
Sebelum masuk kotak atau bilik bilang di dalam hati, begitu mau mencoblos baca “Wa
makaruu wa makarallah wa-llahu khoirul maakirin”. Kalau mereka makar pada
nilai-nilai Allah dan nilai rakyat, maka Allah akan makar pada mereka. Dan yang
paling jagoan untuk makar adalah Allah. Kalau mereka khianat pada rakyat,
berarti mereka khianat pada Tuhan. Maka Tuhan juga akan makar pada mereka. Wa-llahu
khoirul maakirin. Jejak bumi tiga kali, baru dicoblos. Nanti kalau dia
khianat, dia sakit kudis.
Dokumentasi Progress