Selasa, 29 April 2014

Memilih Presiden




Oleh Muhammad Ainun Nadjib 21 Maret 2014 Esai

Kalau kita makan, kita punya kekuasaan terhadap yang kita makan. Kalau kita memilih makan nasi uduk, itu kita perhitungkan kita membelinya di suatu warung yang kita mampu mengontrolnya. Kalau nasinya ada krikilnya kita protes, dan kita punya pengetahuan apakah nasi ini beracun atau tidak, basi atau tidak. 
Setiap pilihan resikonya adalah harus disertai kesanggupan untuk mengontrol sesuatu yang kita pilih. Di situlah kelemahan kita sebagai bangsa Indonesia. Kita harus memilih pemimpin tanpa sedikit pun ada kesanggupan untuk mengontrol pemimpin yang kita pilih itu.

Bahkan lebih dari itu, bukan hanya tidak sanggup mengontrol, kita bahkan tidak punya pengetahuan yang mencukupi sama sekali mengenai sesuatu yang kita pilih. Kita tidak tahu sebenarnya caleg ini kualitasnya bagaimana, hidupnya bagaimana, istrinya berapa, akhlaknya bagaimana, kita tidak tahu sama sekali. Bahkan tokoh-tokoh terkenal pun rakyat tidak tahu. Bapak ini, Gus itu, orang nggak tahu sebenarnya. Dan kalau pun mereka tahu, mereka tak punya daya kontrol terhadap yang dipilihnya ini, tapi mau tak mau harus memilih. Ini saya kira dilema kita bersama se-Indonesia.

Jadi, sederhana saja sebenarnya. Kalau anakmu naik kapal merantau ke luar pulau, maka selama naik kapal akan ada kemungkinan ada badai, ada kemungkinan dibunuh orang, ada kemungkinan dia bertengkar dengan orang, ada kemungkinan dia di ancam bahaya. Kepada siapakah engkau menyerahkan anakmu yang engkau tak bisa mengontrolnya di perjalanan, kepada siapa? Kamu titipkan pak Camat? Kamu titipkan nahkoda? Tidak ada jalan lain kecuali engkau titipkan pada Allah SWT. Kalau yang kau pilih di pemilu nanti kau tidak tahu siapa dia, kamu tidak bisa mengontrol dia, kenapa tidak kau serahkan pada Tuhan? Jadi serahkan pada Tuhan.

Kalau dalam Islam sederhana. Kalau misal anda tidak memilih, kalau nanti anda berdoa supaya bangsa kita sejahtera, nanti Tuhan mengejek juga “Lha kamu nggak milih aja kok minta bangsamu sejahtera”. Tapi kalau memilih bingung juga mau memilih yang mana, sedangkan kalau memilih tidak bisa mengontrol juga. Ya kalau begitu serahkan pada Tuhan.

Kalau dalam Islam caranya jelas. Jadi malamnya shalat dulu kek, kalau nggak sempat ya dalam hati saja berdoa, “Ya Tuhan, gimana mosok saya nggak nyoblos, saya kan warga negara. Saya pilih lah yang kira-kira paling bagus. Cuma kan saya ndak bisa mengontrol dia, Tuhan. Jadi, tolong dong, ini saya pilih satu. Setelah saya pilih dan coblos, saya serahkan kepada-Mu. Kalau dia pemimpin yang baik, panjangkan umurnya. Beri dia kekuatan, dan bantulah urusan-urusannya. Tapi kalau yang aku pilih ini ternyata pengkhianat, penjilat, penindas rakyat dan sama sekali tidak punya cinta kepada kami-kami yang di bawah ini, mbok dilaknat dengan cepat, mbok cepat-cepat diberi tindakan, Tuhan. Terlalu lama lho kami rakyat Indonesia kayak gini terus bingung nggak habis-habis. Terus kepada siapa dong aku mengeluh? Kepada siapa dong rakyat Indonesia mengeluh? Kepada DPR? Wong mereka itu yang justru kami keluhkan kepada-Mu ya Allah. Jadi tolong, Tuhan….”

Bisa juga ditambahi ayat-ayat. Sebelum masuk kotak atau bilik bilang di dalam hati, begitu mau mencoblos baca “Wa makaruu wa makarallah wa-llahu khoirul maakirin”. Kalau mereka makar pada nilai-nilai Allah dan nilai rakyat, maka Allah akan makar pada mereka. Dan yang paling jagoan untuk makar adalah Allah. Kalau mereka khianat pada rakyat, berarti mereka khianat pada Tuhan. Maka Tuhan juga akan makar pada mereka. Wa-llahu khoirul maakirin. Jejak bumi tiga kali, baru dicoblos. Nanti kalau dia khianat, dia sakit kudis.

Dokumentasi Progress

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...