Lailatul
qadar adalah fenomena pengalaman spiritual yang melintasbatasi waktu dan
tempat. Meski teks-teks agama menyuratkannya sebagai “peristiwa alam” dan
“peristiwa waktu”. Tengok saja ayat lailatul qadar yang terkenal itu: Sesungguhnya
Kami menurunkan Al-Quran pada malam “qadar”. Malam itu (penuh) kesejahteraan
sampai terbit fajar (al-Qadr: 1 dan 5).
Bahkan, teks
hadis menunjuk lebih spesifik kapan “malam” itu terjadi. Rasul menyatakan, “Aku
pernah dipertemukan dengan lailatul qadar, hanya saja aku lupa kapan peristiwa
itu terjadi. Tapi, cobalah kalian mencarinya pada sepuluh hari terakhir
Ramadhan, terutama pada bilangan ganjil,” (HR Imam Bukhari).
Parasahabat
juga pernah mengalami peristiwa lailatul qadar pada waktu yang berbeda-beda.
Sebagian mengaku diperjumpakan dengan lailatul qadar pada tujuh hari terakhir
Ramadhan dan sebagian yang lain mengaku pada sepuluh hari terakhir. Kabar itu
kemudian sampai kepada Rasul. Rasul lalu menyimpulkan, seraya menganjurkan
kepada orang-orang yang belum pernah diperjumpakan dengan lailatul qadar, “Coba
kalian mencarinya pada tujuh hari terakhir Ramadhan,” (HR Imam Bukhari).
Dua
pernyataan berbeda dari Rasul itu diriwayatkan dua sahabat berbeda, yang
pertama oleh sahabat Abu Sa‘id dan yang kedua oleh sahabat Ibnu Umar. Keduanya
riwayat sahih, valid, dalam penelitian Imam Bukhari dan dikompilasikan dalam
karya besarnya, al-Jami‘ al-Shahih atau yang lebih masyhur dengan
sebutan Shahih al-Bukhari. Dalam kajian hadis, kita tahu, Imam Bukhari
dikenal paling ketat dalam meneliti dan menyeleksi hadis-hadis. Ia membuat
rumusan standar kesahihan paling tinggi, sehingga para ulama hadis meletakkan Shahih
al-Bukhari di tempat tertinggi dalam jajaran Kutub al-Sittah (Kitab
Hadis Enam Imam: Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa’i, Abu Dawud, Imam
Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Karena dua
riwayat di atas sama-sama berstatus sahih maka perbedaan sabda Rasul tersebut
bukan perbedaan-kontradiktif, bukan perbedaan yang saling menafikan, melainkan
perbedaan-variatif, perbedaan yang memperkaya pemaknaan dan pemahaman, yang
mengisyaratkan bahwa lailatul qadar adalah tema yang luwes, multi tafsir.
Jika dalam
teks sumber utama saja sudah terjadi perbedaan, perbedaan pendapat yang lebih
variatif terjadi di kalangan ulama. Di Fath al-Bari (kitab pengulas Shahih
al-Bukhari), Ibnu Hajar al-Asqalani mencatat ada lebih dari empat puluh
pendapat soal “tanggal main” lailatul qadar. Berikut saya sebutkan beberapa di
antaranya:
- Lailatul qadar dapat terjadi pada semua bulan, bukan hanya Ramadhan. Pendapat ini populer dalam Mazhab Hanafi.
- Lailatul qadar dapat terjadi pada semua malam pada bulan Ramadhan. Ini pendapat Ibnu Umar.
- Ada yang menyebut, lailatul qadar terjadi pada awal Ramadhan.
- Lailatul qadar terjadi pada sepertiga kedua Ramadhan. Pendapat ini dianut oleh sebagian penganut Mazhab Syafi’i.
- Lailatul qadar terjadi pada sepertiga pertama Ramadhan. Ini menjadi kecenderungan pendapat Imam Syafi’i.
- Lailatul qadar terjadi pada malam kedua puluh tujuh Ramadhan. Ini beredar di kalangan Mazhab Ahmad.
- Lailatul qadar terjadi pada bilangan witir sepuluh hari terakhir Ramadhan, dengan dukungan hadis riwayat Imam Bukhari dari Abu Sa’id di atas.
- Lailatul qadar terjadi pada kisaran tujuh hari terakhir Ramadhan, berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Umar di atas.
Perbedaan
pendapat soal lailatul qadar di antara Rasul, para sahabat, dan para ulama,
menurut saya menunjukkan bahwa lailatul qadar pada dasarnya adalah pengalaman
jiwa yang sangat pribadi. Karenanya, masing-masing orang bisa mengalaminya pada
saat yang berbeda-beda. Jika kemudian Rasul menyimpulkan, lailatul qadar
terjadi pada sepuluh atau tujuh hari terakhir Ramadhan, seperti dalam hadis di
atas, itu adalah berdasarkan pengalaman pribadi beliau dan pengalaman sebagian
sahabat yang secara kebetulan terjadi pada kisaran waktu-waktu tersebut.
Bahkan, Ibnu
al-Arabi, seorang ulama bermazhab fikih Maliki (bukan Ibnu Arabi [tanpa “al”]
yang terkenal dengan konsep wihdah al-wujud) sampai pada kesimpulan, “al-shahih
annaha la tu’lam”. Yang tepat, menurutnya, lailatul qadar tidak dapat
diketahui berdasarkan waktu tertentu. Seseorang tak perlu terobsesi dengan
waktu untuk mendapatkan lailatul qadar. Tapi,persiapkan diri, bersihkan jiwa,
sebab, lailatul qadar hadir dalam jiwa tanpa ikatan waktu dan tempat tertentu.
Dengan rahmat Allah, kapan pun dan di mana pun, seseorang dapat meraih spirit
lailatul qadar.
Keagungan
Tak Terjangkau Nalar
Lailatul
qadar adalah rahasia Tuhan. Tak ada yang dapat memastikan. Allah dan Rasul
memang memberikan informasi kebenaran lailatul qadar, tapi keduanya tidak
memberikan kepastian tentangnya. Inilah rahasia di balik diksi yang dipilih
Allah dalam surah al-Qadr: wa ma adraka ma lailatul qadr.
Tahukah kau apakah lailatul qadar itu?
Para pakar
tafsir, seperti Imam al-Syaukani dalam karya tafsirnya Fath al-Qadir,
menyebutkan, kata “ma adraka” adalah bentuk pertanyaan (istifham)
untuk menunjukkan bahwa yang menjadi objek pertanyaan adalah sesuatu yang sulit
dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh nalar manusia.
Contoh ayat
lain yang menggunakan redaksi “ma adraka” adalah tentang hari
kiamat dalam surah al-Infithar ayat 17: wa ma adraka ma yaumuddin? (Tahukah
kau apa hari pembalasan itu?) atau surah al-Qari’ah ayat 3: wa ma
adraka ma al-qari’ah? (Tahukah kau apa hari kiamat itu?). Berdasarkan ayat
Al-Quran, kita tahu kebenaran “hari pembalasan” dan “hari kiamat”. Namun, hanya
sebatas bahwa ia benar adanya, sedangkan hakikat “hari pembalasan” dan “hari
kiamat” hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
Demikian
juga dengan lailatul qadar. Kita hanya sebatas tahu akan kebenarannya,
sedangkan tentang hakikatnya dan siapa yang berhak memperolehnya adalah rahasia
Allah. Bahkan, saking rahasianya, barangkali seseorang takkan pernah tahu jika
dirinya pernah mengalami lailatul qadar.
Bukan Tujuan
Utama
Allah
memberikan beberapa keistimewaan kepada lailatul qadar ini, antara lain ia
lebih baik daripada seribu bulan. Artinya, amal ibadah seorang hamba yang
dikerjakan bertepatan dengan pengalaman lailatul qadar dihitung lebih baik
daripada amal yang dikerjakan selama pengalaman hidup seribu bulan yang tanpa
lailatul qadar.
Namun, angka
“seribu bulan” yang dimaksud bukanlah angka pasti, melainkan simbol untuk
menjelaskan bahwa amal apa pun yang dikerjakan tepat pada pengalaman lailatul
qadar memiliki keistimewaan tak terhingga. Angka itu juga lebih bersifat
kualitatif: kata “seribu” menggambarkan hampir tak terbatasnya kemungkinan
pemaknaan di baliknya.
Keistimewaan
lain adalah seperti dijanjikan Rasul, “Siapa yang menjalani puasa dan beruntung
mengalami laitatul qadar—dengan penuh keimanan dan semata-mata Allah yang
menjadi tujuan—maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu,” (HR Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah).
Penting di
sampaikan di sini, tiap kali Allah dan Rasul menganjurkan umat melaksanakan
ibadah-ibadah atau amalan-amalan, hampir selalu dibarengi dengan “iming-iming”
keuntungan ukhrawi, dengan harapan mereka terdorong melaksanakan anjuran
tersebut. Begitu pula dengan lailatul qadar dengan berbagai keistimewaannya.
Lailatul qadar ibarat “bonus” dalam beribadah kepada Allah agar umat semakin
giat dalam menjalankan ibadah. Sebagai bonus, tentu saja ia bukan tujuan, tapi
yang menjadi tujuan adalah penghambaan dan penghayatan nilai-nilai ilahi.
“Bonus” tak perlu dicari; ia datang sendiri. “Bonus” akan malu kepada dirinya
sendiri jika tak mendatangiorang-orang yang berfokus kepada tujuan.
Bukankah penghambaan tertinggi kepada Tuhan adalah
yang didasari oleh kesadaran diri sebagai makhluk serta kesadaran akan
rahmat-Tuhan yang tak terhingga, dan bukan penghambaan yang didasari atas
“bonus” pahala atau takut akan dosa, atau yang didasari “iming-iming” surga
atau takut akan neraka?! Wallahu a’lam.https://jumanrofarif.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar