Rabu, 19 Juli 2017

"RahAsia NagaRI shin"

"RahAsia NagaRI shin"
By : Kang SundaRa

* Aswrwb - Sampurasun *

Awal kisah terungkapnya "RAHASIA" ini berawal dari SABDA "Malaikat Jibril" (GabRI-El) Sang Batara Guru kepada "Nabi Muhammad" SAW Aslama Sang Manusia SOENda tentang Rahasia sebuah negeri yang telah memiliki teknologi peradaban maju dan juga telah memiliki ajaran yang luhur jauh beribu-ribu tahun yang lalu yang bernama "NEGERI SHIN".

Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Tuntutlah ilmu meskipun harus sampai di NEGERI SHIN" (HR. Al-Baihaqi) - Bae HAQ Insoen.

Dalam hadits tersebut, NEGERI SHIN ditulis dengan tiga aksara Arab, yakni: SHAD, YA dan NUN, dibaca "SHIIN" yang jika dilihat dari aspek etno-numerik-linguistik maka:

SHAD = memiliki nilai numerik 90.
YA = memiliki nilai numerik 10.
NUN = memiliki nilai numerik 50.
SHAD+YA+NUN (SHIN) = 90+10+50 = 150.

Ejaan aksara SHAD, YA dan NUN ini kemudian dilafalkan dengan aksara vokal menjadi "a-sha-ya-na" (dibaca: ashayana) yang artinya "dikelilingi sinar dengan sempurna" namun kemudian kata "ashayana" ini dilafalkan menjadi "ocean" yang disalah-artikan menjadi "SAMUDera".

Kata "SHIN" sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas sebagai "NEGERI SHIN" kemudian diadopsi ke dalam Bahasa Inggris menjadi kata "SHINE" yang artinya adalah:
Shining, Sheen (adjective)

Namun dalam terminologi kehidupan penduduk Nusantara, kata "SHIN" ini lebih banyak diucapkan dengan kata "SUNDA"

Sehingga kata "SUNDA" jika diartikan dengan pendekatan Bahasa Sansekerta, maka artinya dalam Bahasa Indonesia adalah "Bersinar", "Terang", "Putih", "NuR" atau "JanNAH".

Namun jika ia diartikan menggunakan kaidah hukum "sandi" dalam tata bahasa Sunda, maka kata "SUNDA" terdiri dari akar kata SU, NA dan DA yang artinya adalah:
** SU = Sejati, Abadi;
** NA = Seuneu, Api;
** DA = Besar, Agung;
** SU-NA-DA (SUNDA) = (NuR) sumber Api Besar yang Abadi.

Dan jika dilihat dari aspek etno-numerik-linguistik maka:

SU = memiliki nilai numerik 60.
NA = memiliki nilai numerik 50.
DA = memiliki nilai numerik 4.
SU-NA-DA (SUNDA) = 60+50+4 = 114.

Nah kode angka "114" ini jika dianalogkan menjadi jumlah komplitnya surat dalam Al-Qur'an, dan Surat yang ke-114 yakni Surat "An-Naas" yang artinya adalah "Manusia".

Jadi dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa kata "SUNDA" maknanya merujuk kepada "Manusianya" secara menyeluruh (SELuRUH dalam cahAYA) tanpa masuk ke dalam ranah et-nusa (etnis), suku ataupun ras tertentu yang terkait dengan kata "SUNDA".

Lalu, dalam sudut pandang etno-numerik-linguistik, apakah bisa kata "SUNDA" yang memiliki nilai numerik "114" dianalogkan dengan kata "SHIN" (Negeri SHIN) yang memiliki nilai numerik "150", sementara diantara kedua kata tersebut masih berselisih angka sebesar "36".

Mari kita kaji kembali bagaimana dengan makna selisih angka "36" ini? Nah angka "36" ini jika diterjemahkan menjadi aksara sunda dengan kaidah hukum sasandi, maka akan menjadi kata BA-LA-DA, dimana:

BA = memiliki nilai numerik 2.
LA = memiliki nilai numerik 30.
DA = memiliki nilai numerik 4.
BA-LA-DA = 2+30+4 = 36.

Dan kata "BALADA" ini artinya adalah "NEGERI" (analog dengan kata "AL-BALAD).

Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa NEGERI "SHIN" itu disebut sebagai "BALADA SUNDA" yang artinya adalah "NEGERI SUNDA" yang keduanya (baik Negeri SHIN ataupun Negeri SUNDA) memiliki nilai numerik yang sama yakni "150".

Kesimpulannya:
SHIN adalah NEGERI-nya.
SUNDA adalah MANUSIA-nya.

Dan jika dikaitkan dengan arti kata "SUNDA" dalam Bahasa Sang Saka Kreta - kereteg (Sansekerta/Sanskrit) ataupun dengan arti dari akar katanya yakni SU-NA-DA, maka
arti "SUNDA" menjadi "Manusia yang membawa Sinar/nir/nur terANG" atau "Manusia yang menjadi Penerang bagi Alam". Inilah RAH_ASIA (roh Aing, Suami, Istri dan Anak) yang sebenarnya dari makna kata "SUNDA".

Lalu, apakah ada rahasia tersembunyi lainnya dari kata "SUNDA" ini? Sangat banyak sekali.

Dalam penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa kata "SUNDA" memiliki nilai numerik "114" yang dianalogkan dengan Surat ke-114 dalam Al-Qur'an yakni Surat "An-Naas". Sehingga untuk mengungkap rahasia yang tersembunyi dari kata "SUNDA" maka kita harus mengungkapnya melalui kajian Surat "An-Naas" ini.

Namun sebelum melakukan kajian lebih lanjut terhadap Surat An-Naas ini, ada satu kaidah norma yang harus kita patuhi yang dijelaskan dalam ayat berikut,

"Maha Suci Tuhan (Allah) yang telah menCIPTAkan pasangan-pasangan seluruhnya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh Bumi, dan dari diri mereka, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui." (QS. Ya_asiin, 36: 36) [Ya_asin].

Lewat ayat di atas, akhirnya kita paham bahwa untuk dapat mengungkap rahasia apapun, maka kita dapat melakukan kajian terhadap pasangannya secara terpisah, atau bahkan melakukan kajian terhadap keterpasangan keduanya sekaligus. Karena faktanya adalah bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini meliliki sifat dualismenya masing-masing. Begitu pun halnya dengan Surat "An-Naas" yang ternyata memikiki sifat dualisme dengan Surat "Al-Fatihah".

Dan lewat dualisme atau keterpasangan Surat "An-Naas" dan Surat "Al-Fatihah" ini akhirnya Rahasia tersembunyi tentang ajar pikukuh "SUNDA" dapat terungkap dengan sempurna.

Ada tiga ayat pada Surat "An-Naas" ataupun Surat "Al-Fatihah" yang memiliki redaksi ayat yang serupa namun konteksnya berbeda dan keduanya memiliki sifat dualisme satu sama lain.

Dalam Surat "An-Naas", ketiga ayat tersebut adalah:
Ayat 1 : "Rabb (bagi) Manusia."
Ayat 2 : "Maalik (bagi) Manusia."
Ayat 3 : "Ilaah (bagi) Manusia."

Sedangkan dalam Surat "Al-Fatihah", ketiga ayat tersebut adalah:
Ayat 2 : "Rabb (bagi) Alam Semesta."
Ayat 4 : "Maalik (bagi) Hari Akhir."
Ayat 5 : "Hanya kepada-Mu kami meng-Abdi."

Nah ada frase kata yang serupa dari ketiga ayat dari masing-masing surat di atas, yakni kata: RABB, MAALIK dan ILAAH.

Dan lewat ketiga kata ini, akhirnya kita paham bahwa "Manusia" (Sunda) sebagai "Jagad Mikrokosmos" pada hakekatnya berpasangan dengan "Alam Semesta" sebagai "Jagat Makrokosmos" sehingga antara keduanya ada ikatan kebutTUHAN satu sama lain, maka dengan demikian seyogyanya antara "Manusia" dan "Alam Semesta" memiliki hubungan yang serasi, selaras dan dinamis.

Kembali kepada tiga kata yang serupa yang ditemukan lewat keterpasangan Surat "An-Naas" dan Surat "Al-Fatihah" yakni kata: RABB, MAALIK dan ILAAH, maka berikut makna dari ketiga kata tersebut,

"RABB" merupakan bentuk subyek yang artinya adalah "Pengatur", sedangkan bentuk kata bendanya adalah "RUBUBIYAH" yang artinya adalah "Aturan".

"MAALIK" merupakan bentuk subyek yang artinya adalah "Raja", sedangkan bentuk kata bendanya adalah "MULKIYAH" yang artinya adalah "Kerajaan".

"ILAAH" merupakan bentuk subyek yang artinya adalah "Sesembahan", sedangkan bentuk kata bendanya adalah "ULUHIYAH" yang artinya adalah "Rakyat" atau "Umat".

Dan ketiga kata inilah yang ternyata dijadikan sebagai dasar pemikiran dan dasar pijakan dalam merumuskan ajar pikukuh Sunda yang dikenal sebagai "TRI-TANGTU SUNDA" yang di-siloka-kan sebagai bentuk senjata "TRISULA" yang merupakan senjata pusaka milik "DEWA POSEIDON" dimana kata "POSEIDON" berasal dari kata "PASUNDAN" (Pa-Sunda-an) yang diadopsi ke dalam Bahasa Yunani menjadi "POSEIDON".

Berikut urut ajar pikukuh Sunda yang dikenal sebagai "TRI-TANGTU SUNDA":

RABB - MAALIK - ILAAH
RUBUBIYAH - MULKIYAH - ULUHIYAH
ATURAN - KERAJAAN - RAKYAT
TATA SALIRA - TATA NAGARA - TATA BUANA
AGAMA - NIGAMA - SUNDARIGAMA
RAMA - RATU - RASI
YUDIKATIF - EKSEKUTIF - LEGISLATIF
MANUSIA SUNDA (Rama ~ Nabi) - BATARA GURU (Ratu ~ Jibril Sang Penyampai Wahyu) - ORANG SUNDA (Rasi ~ Umat)

Ya itulah rahasia tersembunyi dari ajar pikukuh Sunda yg disebut sebagai "TRI-TANGTU SUNDA" yang ternyata dirumuskan oleh Leluhur kita lewat keterpasangan tiga buah ayat dari Surat "An-Naas" dan Surat "Al-Fatihah" yang rahasianya diperoleh dari Sang Batara Guru yakni Malaikat Jibril yang diberi tugas sebagai "Penyampai Wahyu" dari Sang Hyang Wenang (Tuhan) kepada para "Manusia Sunda" (Nabi) untuk diajar-luaskan secara umum kepada "Orang Sunda" (Umat).

Selain itu, keterpasangan ketiga ayat dari Surat "An-Naas" dan Surat "Al-Fatihah" juga memberikan kita informasi RAHasia lainnya, yakni lewat kode sandi dari nomor-nomor ayatnya.

Dari ketiga ayat dari Surat "An-Naas" kita mendapatkan kode sandi "1-2-3" sedangkan dari ketiga ayat dari Surat "Al-Fatihah" kita mendapatkan kode sandi "2-4-5".

Ada apa dengan kode sandi "1-2-3" dan "2-4-5" ini? Kode "1-2-3" jika dijumlahkan maka hasilnya adalah "6". Sedangkan kode "2-4-5" jika dijumlahkan maka hasilnya adalah "11".

Jika kita lakukan restrukturisasi terhadap kode "6" dan kode "11" ini maka akan menjadi:

6 = 1+5.
11 = 1+10.

Mari kita kaji makna angka-angka tersebut melalui kajian nuMERIK-linguistik aksara Arab sebagai berikut:

6 = 1+5.
Angka 1 = nilai numerik dari huruf "Alif".
Angka 5 = nilai numerik dari huruf "Ha Besar".
Sehingga kode "6" = 1+5 diterjemahkan menjadi huruf "Alif" dan huruf "Ha Besar" yang jika digabung maka akan dibaca "AH".

Sedangkan dalam aksara suara, huruf "Ha Besar" ini akan terbaca seolah-olah seperti dua huruf yg dibaca secara bersamaan sekaligus, yakni huruf "Ha" dan huruf "Ain" (dibaca NGA dalam bahasa Sunda/Jawa), sehingga huruf "Alif" dan huruf "Ha Besar" ini jika digabungkan dan dibaca dengan aksara suara maka akan dibaca sebagai "HANG" atau "HONG".

Kemudian untuk 11 = 1+10.
Angka 1 = nilai numerik dari huruf "Alif".
Angka 10 = nilai numerik dari huruf "Ya".
Sehingga kode "11" = 1+10 diterjemahkan menjadi huruf "Alif" dan huruf "Ya" yang jika digabung maka akan dibaca "AYA". Dan kata "AYA" dalam bahasa Sunda artinya adalah "ADA".

Selain itu huruf "Alif" dan huruf "Ya" ini jika dibaca dengan aksara huruf Yunani maka ia akan menjadi "Alfa" dan "Omega".
Alif = Alfa
Ya = Omega

Sehingga "Alif" dan "Ya" juga akan dibaca sebagai "Alfa" dan "Omega" yang diakronimkan menjadi kata "AOM" yang merupakan ucapan sakral dalam setiap ibadah Umat Hindu (analog kata "OM" atau "AUM").

Kemudian jika kita pasangkan kata "AH" atau "HONG" dan kata "AYA" atau "AOM/AUM" dan kemudian kedua kata tersebut digabungkan maka akan dibaca menjadi:

AH + AYA = AH-YA ~ AHYA.
HONG + AOM/AUM = AUM-HONG.

Gabungan kata "AUM-HONG" kemudian dikenal dalam konteks Agama Hindu sebagai "AUM-KARA" dan "HONG-KARA".

Sesangkan gabungan kata "AH-YA" kemudian dikenal dalam konteks Agama Islam ataupun Agama Yahudi/Nasrani sebagai "Ismul Azham" atau "Asma Agung" atau "Nama Tuhan yg Paling Agung" yang tidak dapat diucapkan secara sembarangan.

Kata "AHYA" yang berarti "AKU ADA" adalah nama Tuhan Bani Israil yang diperkenalkan ALLAH langsung kepada NABI MUSA (MOSES) dalam Bahasa Ibrani dengan kata "EHYE" dalam kalimat "EHYE ASHER EHYEH" yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi "I AM WHO I AM" dan dalam bahasa Arab menjadi "INNANI ANA" dan dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi "AKU ADA ADALAH AKU ADA".

Sedangkan Dalam Tafsir Al-Qurthubi, juz 4 halaman 267 disebutkan bahwa kata "AHYA" adalah salah satu ISMUL AZHOM (Nama Tuhan yg paling agung) yang biasa digunakan oleh para Nabi dan orang-orang sholeh BANI ISRAIL ketika melakukan hal-hal berkaromah. Beliau menyebutkan bahwa kata "AHYA" dalam bahasa Ibrani dirangkai menjadi kalimat "AYA HAYYA SYARAAHIYA" yang dalam bahasa Arab artinya sama dengan "AL HAYYU AL QAYYUM".

Senada dengan penjelasan Al-Qurthubi, Ibnu Katsir juga menjelaskan dengan dasar sebuah hadits Nabi, bahwa ketika NABI MUSA bertanya "apa yang harus saya katakan?" maka Allah menjawab "HAYYA SYARAHIYA" dimana arti dari kalimat "HAYYA SYARAHIYA" adalah "AKU YANG HIDUP SEBELUM SEGALA SESUATU DAN SETELAH SEGALA SESUATU TIADA".

Sedangkan dalam Kitab Tafsir Al-Munir disebutkan bahwa ketika Ashif bin Barkhiya (perdana menteri Nabi Sulaiman) memindahkan Singgasana Ratu Balqis, ia berdoa dalam bahasa Ibrani: "AHYA SYARAHIYA Adwana Ashba Utin Ala Syaday" yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi "YAA HAYYU YAA QAYYUM YAA DZUL JALALI WAL IKRAM" dan dalam sekejap mata kemudian singgasana tersebut pindah sebelum Nabi Sulaiman mengedipkan matanya.

,,, kesimpulannya adalah ,,,

Bahwa Kata "AHYA" ataupun kata "AUM-HONG" sesungguhnya berasal dari ajar pikukuh "Manusia Sunda" (Para Nabi) yang diajarkan secara rahasia dan turun temurun kepada "Orang Sunda" (umatnya) yang awal mulanya hanyalah berasal dari kata "AH" dan kata "AYA" (dalam bahasa Sunda artinya adalah "ADA") namun ketika kedua kata tersebut digabungkan maka ia akan menjadi "Ucapan Sakti Mandraguna" yang diucapkan ketika akan melakukan hal-hal berkaromah diluar nalar logika manusia.

Demikianlah RahAsia tersembunyi dari kode sandi-sindu-sunda "1-2-3" Surat An-Naas dan kode sandi "2-4-5" Surat Al-Fatihah yang dirumuskan oleh leluhur "Manusia Sunda" menjadi kode "6" dan kode "11" kemudian menjadi sandi "1+5" dan sandi "1+10".

Nah tidak hanya itu, masih ada satu lagi rahasia tersembunyi lainnya dari kedua kode sandi tersebut yakni kode "6" dan kode "11" yan jika dijumlahkan menjadi kode "17" yang kemudian diterjemahkan oleh leluhur "Manusia Sunda" sebagai kode sandi "8" dan "9" (17 = 8+9) dimana kode sandi ini terekam di dalam Kitab Veda milik Umat Hindu:

"Tempat kediaman malaiKAT ini mempunyai DELAPAN putaran dan SEMBILAN pintu." (Kitab Atharva Veda 10:2:31)

Dan kode sandi "8" (bermakna "DELAPAN putaran) dan kode sandi "9" (bermakna "SEMBILAN pintu") ini dibuat silokanya oleh leluhur "Manusia Sunda" dalam bentuk "ARUPADHATU" CANDI BOROBUDUR (can diboro bu duRI-duRA-duRU - badar).

"DELAPAN Putaran" adalah siloka dari MANDALA yang membagi Lingkaran menjadi 8 arah penjuru angin, sedangkan "SEMBILAN Pintu" adalah siloka dari "stupa-stupa kecil" yang ada di tiga undakan bertingkat "ARUPADHATU (A Rupa Dat Hu)" CANDI BOROBUDUR yang tersusun rapi dalam setiap arah penjuru angin dalam sistem "Delapan Putaran Mandala" dengan susunan berundak dari atas ke bawah:

Lingkaran Paling Atas = 2 stupa kecil
Lingkaran Kedua dari Atas = 3 stupa kecil
Lingkaran Paling Bawah = 4 stupa kecil

Sehingga kode sandi "SEMBILAN Pintu" dimaknai sebagai "9 stupa kecil" yang terdapat dalam setiap arah penjuru angin yang ada di "DELAPAN Putaran Mandala" yang tersusun dengan pola susunan stupa "2-3-4". Nah kemudian apa makna dari kode sandi "2-3-4" ini?

Makna dari Kode sandi "2-3-4" ini dibuat oleh leluhur kita sebagai Simbol "Hasaka Djawa" yang merupakan siloka (SILOu mun can kabuKA) manunggalnya "CAHAYA BESAR" (SUNDA BESAR" dan "CAHAYA KECIL" (SUNDA KECIL) dalam diri setiap manusia yang sudah mencapai tahapan sebagai "MANUSIA SUNDA" (Manusia Adi Luhung).

Demikianlah analisis "etno-numerik-linguistik" mengenai Rahasia Nama "SUNDA", Rahasia ajar piKUKUHnya dan juga Rahasia Ucap Saktinya.
Untuk makna kode sandi "2-3-4".

Semoga menjadi pencerahan - pancerRAH buat semua yang merasa dirinya sebagai "Orang Sunda", "Manusia Sunda" dan "Penduduk Negeri SHIN". PajAJARAN ANYAR.

SELaMAT berTAFAqur'an

1 komentar:

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...