"memBANKun JANnah di bhUMI"
by : Kang SundaRa
Saat ini informasi penciptaan manusia pertama yaitu Nabi Adam di dalam Surga, berdasarkan Al-Qur’an menjadi kontroversi sepanjang sejARAH. Karena ayat-ayat yang bercerita tentang penciptaan manusia tersebar dalam ratusan ayat. Maka butuh kepiawaian tertentu untuk menginterpretasikannya secara utuh. Kondisi ini diperparah oleh kecenderungan sebagian kita untuk menafsirkan (terjemah : tarjamah : rojama : rojim) ayat-ayat tersebut secara parsial (henteu paruntung hi hi hi ,,,, hi).
Demikian banyak misteri yang seakan-akan disamarkan oleh Allah di seputar penciptaan manusia. Mulai dari dimanakah manusia pertama itu diciptakan? kapan dia diciptakan? dari bahan apa badan pembentuknya? sekali jadi ataukah lewat proses yang panjang? kenapa ia turun dari surga? Dll.
Misteri seputar penciptaan manusia pertama, mari kita buka dan merekonstruksi ayat-ayat seputar tempat dimana Nabi Adam diciptakan? Benarkah Nabi Adam diciptakan di surga? Surga yang mana? Di Bumi ataukah di langit? ,,,,
Selama ini, cerita-cerita yang berkembang mengarahkan kita kepada suatu pengertian bahwa baginda Nabi Adam dan ibunda sRI Hawa diciptakan di surga.
"Surga" itu digambarkan terletak di suatu alam ghaib, di langit sana. Di sebuah ‘negeri atas awan’ yang tidak ada lagi penjelasannya.
Sebenarnya, pendapat ini terimbas oleh cerita-cerita tradisional bahwa ‘alam Tuhan’ itu berada di langit. Seiring dengan ‘alam dewa-dewa’ dalam cerita-cerita pewayangan yang diadaptasi dari agama di luar Islam.
Alam dewa dan alam Tuhan selalu dikaitkan dengan alam tinggi, yang dipersepsi berada di langit. Dalam arti ruang yang sesungguhnya. Sehingga, kita sering mendengar cerita-cerita tentang ‘turunnya’ para dewa-dewi, bidadari, atau bahkan ‘Tuhan’ sendiri dari langit NuN jauh di sana menuju ke Bumi "tanpa bertanya apa yang dimaksud sebenarnya"?
Konsep seperti ini bukan konsep pajajARAN ANYAR = ISLAM. Melainkan konsep agama-agama pagan (dikalangan yang bukan pendirinya/hanya di kalangan ummatnya saja) yang justru diluruskan oleh datangnya pajajARAN ANYAR = ISLAM yang dibawa oleh keluarga nabi Ibrahim - termasuk keturunan terakhirnya Baginda Nabi Muhammad SAW Aslama.
Agama pagan adalah agama yang menyembah dewa-dewi dan unsur-unsur alam. Di antaranya adalah agama penyembah Matahari, Bintang, Bulan, penyembah Api, penyembah pepohonan, gunung-gunung, dan lain sebagainya. Tanpa disadari, doktrin-doktrin agama kuno ini meresap dalam pemahaman umat Islam dalam banyak konsep keimanannya. Termasuk keimanan kepada Allah.
Banyak di antara kita, yang menganggap Allah adalah Tuhan yang bertempat di dalam Surga. Atau di alam akhirat atau di langit yang ke tujuh, di SIDratuL MUNTAha, atau berada di alam tinggi, di atas awan sana. Sebuah negeri dongeng jaman dahulu kala, yang tidak akan pernah anda temui ketika anda naik pesawat ruang angkasa sekalipun. (Apalah lagi sampai hari ini belum ada yang keluar angkasa selain para Nabi dan RasulNya, karena yang lain selain RasulNya hanyalah bisa membuat propaganda saja).
Karena itu, banyak di antara umat Islam yang berpendapat, untuk bertemu Allah kita harus mengarungi jarak ke langit, ke luar angkasa sana. Termasuk ketika Rasulullah SAW Aslama Mi'raj. Beliau datang ke Sidratul Muntaha itu dipersepsi untuk bertemu Allah. Sebab, dalam persepsi mereka, Allah itu tidak berada di Bumi. Allah itu di langit, jauh dari kita.
Ini bukan konsep Al-Qur’an. Ini bukan konsep Islam. Ini adalah konsep agama pagan (yang belum taMAT kajinya, kecuali yang sudah tamat kajiNYA). Dalam Islam dan Al-Qur’an, Allah digambarkan sebagai Dzat Maha Besar yang tidak menempati ruang. Justru Dia meliputi ruang. Sebesar apa pun ruang itu. Termasuk ruang alam semesta yang tidak diketahui tepinya hingga kini.
Termasuk ketika Rasulullah SAW Aslama melakukan Mi'raj, beliau bukan bertujuan untuk bertemu Allah di Sidratul Muntaha. Karena Allah memang bukan ‘tinggal’ di Sidratul MuntaHA. Allah adalah Dzat yang digambarkan Al-Qur’an ‘sangat dekat’ dengan kita. Bahkan lebih dekat daripada urat leher kita sendiri.
Di dalam berbagai ayat, justru Allah digambarkan memenuhi seluruh ruang. Bahkan ruang itu sendiri tidak muat untuk mewadahi DzatNya yang Maha Besar. Justru ruang itu yang berada didalam~Nya. Maka, di dalam pajajARAN ANYAR : ISLAM digambarkan bahwa Allah berada dalam Ketunggalan-Nya. Dan, kemana pun kita menghadap, kita akan berhadapan dengan WaJAH Allah itu.
QS. 50:16
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepada-nya dari pada urat lehernya.
QS. 2:115
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah kamu berhadapan dengan waJAH Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.
Salah satu kepahaman agama pagan yang sangat melekat pada kepahaman umat Islam - Sunda adalah tentang keberadaan SURGA. Kebanyakan kita mempersepsi surga sebagai suatu istana yang indah yang berada di atas langit. Jauh dari Bumi. Sebagaimana konsep dewa-dewi dalam agama pagan itu.
Sampai-sampai ada juga yang berpendapat bahwa Allah itu berada di surga. Yang ini adalah konsep agama Nasrani - berpendapat Tuhannya berada di Surga. Banyak di antara kita yang berpendapat bahwa untuk bisa bertemu Allah kita harus berada di surga (versi JIBTI). Selama masih di Bumi, pertemuan itu tidak akan pernah bisa terjadi.
Al-Qur’an justru mengatakan kepada kita bahwa untuk bertemu Allah kita tidak perlu harus ke surga dulu. Semenjak hidup di dunia ini kita sudah bisa bertemu Allah di mana-mana. Kemana pun kita menghadap kita akan bertemu dengan Allah.
Di dalam shalat bertemu Allah. Di dalam dzikir bertemu Allah. Saat puasa bertemu Allah. Saat haji pun bertemu Allah. Bahkan dalam seluruh aktifitas kita sehari-hari kita bisa bertemu Allah. Asalkan kita Ta_HU caranya, seperti yang diajarkan oleh Al-Qur’an, dan disampaikan oleh RAsulullah SAW Aslama kepada kita.
Kepahaman tentang hal ini perlu saya tegaskan kembali, karena kita akan membicarakan surga. Banyak umat Islam yang mempersepsi surga sebagaimana orang-orang yang beragama pagan itu. Bahwa surga adalah istana indah di alam dongeng, nun jauh di langit sana.
Padahal, oleh Al-Qur’an, surga dipersepsi dengan sangat realistik. Sangat dekat, sekaligus luas meliputi alam semesta. Sangat fisikal dengan gambaran keindahan khas Bumi, sekaligus keindahan batiniah yang menyentuh alam jiwa kita yang paling dalam. Sarat dengan berbagai kenikmatan duniawi, sekaligus kenikmatan yang bersifat ukhrawi.
Kekurang tepatan dalam memahami surga ini, pada gilirannya menyebabkan kita kurang tepat juga dalam mamahami surga dimana Adam dan Hawa pernah ditempatkan.
Terjadi distorsi pemahaman yang sangat jauh, dari konsep surga di dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Apalagi, kata ‘surga’ di dalam bahasa Indonesia memang memiliki konotasi yang berbeda dengan kata ‘Jannah’ dalam bahasa Al-Qur'an. kata surga diadaptasi dari pemahaman Hindu - swargaloka - yang menunjuk kepada negeri para dewa-dewi di langit sana (berbeda dengan sawaruga mani loka meNURut parahyangan). Sedangkan kata ‘Jannah’ menunjuk kepada taman indah.
Swargaloka mengarah kepada pemahaman yang bersifat fantastis dan jauh, sedangkan kata jannah lebih bersifat realistis dan dekat. Entah kenapa ‘jannah’ di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai surga yang justru diambil dari pengertian agama pagan. Di dalam Al-Qur’an yang berbahasa Inggris, terjemahannya justru lebih dekat yaitu: garden alias taman yang indah. Ambil contoh misalnya, ayat di bawah ini.
QS. 3:133
Be quick in the race for forgiveness from your Lord, and for a GARDEN whose width is that (of the whole) of the heavens and of the earth, prepared for the righteous.
[Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa]
Pemakaian kata ‘jannah’ alias ‘taman yang indah’ ini memang terkait erat dengan wilayah turunnya agama Islam di kawasan padang pasir. Sebuah kawasan yang sangat kering dan keras. Jauh dari rasa indah.
Maka Allah memperkenalkan konsep reward alias ‘hadiah kebaikan’ dengan simbol ‘taman yang indah’. Dimana kita bisa merasakan kesejukan, kesegaran, sumber mata air, makanan dan buah-buahan yang sangat berlimpah, dan berbagai macam kenikmatan fisikal lainnya. Sekaligus gambaran kenikmatan yang bersifat kejiwaan.
QS. 13:35
Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tidak henti-henti, sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa; sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka.
QS. 47:15
(Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?
Jadi, penggunaan kata ‘taman yang indah’ sebagai bentuk balasan kebaikan itu sesungguhnya bersifat perUMPAMAan. Bukan makna sesungguhnya. Ia lebih menggambarkan perasaan BAHAGIA seorang manusia yang biasanya berada dalam lingkungan padang pasir yang kemudian bertemu dengan taman dan mata air. Sungguh suatu karunia yang luar biasa nikmatnya. Akan tetapi, bagi orang Indonesia yang sangat sering bertemu dengan taman indah dan sumber mata air, hal itu tidak memberikan rasa SENANG yang luar biasa (Datar-datar saja).
Sebagaimana pernah disampaikan oleh seorang kawan dari Arab ketika berkunjung ke Indonesia. Ia mengatakan bahwa Indonesia ini adalah sepenggal surga yang diciptakan Allah di muka Bumi. Tapi itu bagi kita terasa biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa.
Jadi, kata surga alias jannah memiliki makna yang jauh lebih mendalam dari sekadar pengertian fisik seperti itu. Istilah itu lebih menunjuk kepada suasana batin kita saat memperoleh sesuatu yang memBAHAGIAkan yang tentu saja itu sangat TIDAK TERKAIT erat dengan hal-hal yang bersifat material seperti makanan, minuman, pakaian, rumah, persahabatan, kekeluargaan, lingkungan yang indah, dan sebagainya.
Maka, di sinilah KUNci pemahaman tentang kata jannah. Ia memiliki dua arti sekaligus yang terkait secara langsung. Bahwa jannah bisa bermakna harfiah TaMan (TAjali MANusia - TAjali MANah) yang indah secara sesungguhnya, tetapi yang jauh lebih penting adalah rasa BAHAGIA yang dimiliki oleh orang-orang yang tinggal di dalam TaMan itu. Mereka, di dalam Al-Qur’an, digambarkan sebagai orang-orang yang tidak punya rasa khawatir dan gelisah, tidak punya rasa takut, rasa benci, rasa dendam, rasa marah, dan berbagai perasaan yang menyebabkan penderitaan, Yang ada ialah rasa tentram, rasa kasih sayang, saling menghargai dan mencintai dengan sesama penduduk surga (SaWarga), rasa syukur yang mendalam, dan berbagai rasa yang mengantarkan kita pada suasana BAHAGIYA. Kombinasi antara perasaan dan suasana lingkungan yang seperti itulah yang akan mengantarkan kita kepada keBAHAGIAan puncak (TeNaNG tanpa BaTas sehingga berjumpa dengan Allah SWT).
QS. 15 : 45 - 49
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga (TaMan) dan (di dekat) mata air -mata air (yang mengalir).
(Dikatakan kepada mereka): "Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman".
Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.
Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya.
Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Itulah gambaran surga dalam Al-Qur’an, lantas, bagaimana kita mempersepsi surga pada jaman Nabi Adam? Apa bedanya dengan surga di akhirat kelak?
Kata jannah digunakan untuk dua hal yang hampir sama pada dua kondisi yang berbeda. Yang pertama adalah pada saat menggambarkan penciptaan Adam. Sedangkan yang kedua digunakan untuk menggambarkan situasi akhirat, dimana orang-orang yang memperoleh ridha Allah bakal ditempatkan di surga.
Surga untuk pengertian yang kedua, yang dimaksud itu adalah sebuah taman indah di muka Bumi.
Di fase akhirat, pada saat itu, seluruh dimensi langit yang tujuh telah dibuka oleh Allah. Sehingga orang-orang yang tinggal di TaMan-taman indah di muka Bumi bisa merasakan kualitas keindahan berlipat kali, yang tidak bisa digambarkan dalam ukuran duniawi. Kualitasnya berlipatkali tiada berhingga. Itulah perumpamaan surga yang diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa, sebagai balasan yang tiada berkeputusan.
Sedangkan surga dalam pengertian yang pertama, adalah surga dimana Adam & Hawa ditempatkan. Ia adalah sebuah taman indah di muka Bumi yang ditempati oleh mereka, ketika masih berada di fase dunia. Kita bisa mengukurnya dengan ukuran-ukuran duniawi (NagaRI NagaRA Nanjung panjang punjung Pasir Wukir Puseur Bumi Gemah Ripah Louh JannahBi Aman Tentrem Kerta RAHarja Tata Tintrim Mukti Wibawa MuRAH sandang MURah pangan BAHAGIA SalAlaWasnA.
Jadi, keduanya adalah sama-sama taman yang indah. Sama-sama di muka Bumi. Tetapi perbedaanya adalah pada fasenya. Yang pertama adalah fase dunia. Sedangkan yang kedua adalah fase akhirat.
QS. 2:35
Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu TaMan (surga) ini, dan makanlah makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zhALIM.
Pemahaman selama ini, Adam diciptakan di surga, dan diperintahkan untuk mendiami surga itu sampai masa dewasanya, akan tetapi, kalau anda mencoba mencari ayat yang secara eksplisit mengatakan bahwa Adam diciptakan di surga, anda akan kecewa. Sebab ternyata tidak ada satu ayat pun yang menceritakan hal itu. Bahwa Adam diciptakan di surga.
Ayat-ayat yang bercerita tentang surga terkait dengan Adam, bukan terjadi saat penciptaan. Melainkan, selalu ketika Adam sudah tercipta. Atau bahkan sudah dewasa. Bersama istrinya.
QS. 20:117
Maka kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah MUSUH bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.
Jadi, adalah terlalu spekulatif jika kita mengatakan bahwa Adam dan Hawa diciptakan Allah di surga. Apalagi jika kita memaknai surga itu sebagai sebuah negeri dewa-dewi di langit sana. Di luar angkasa yang jauh dari Bumi.
Yang lebih jelas dan bisa dipertanggungjawabkan sumber informasinya adalah, bahwa Baginda Nabi Adam (RAMA uRAng sadaya) dan Ibu Hawa (Ibunda kita terCINTA) diciptakan di Bumi. Dan setelah terlahir ke dunia, beliau ditempatkan Allah di sebuah TaMan yang indah di Bumi pula. Jannah dalam arti yang sesungguhnya. Yaitu, taman indah yang subur dan makmur.
QS. 23:79
Dan Dialah yang menciptakan serta mengembang biakkan kamu sekalian di bumi ini dan kepada-Nyalah kamu akan dihimpunkan.
Begitulah, Allah telah menciptakan manusia sejak awalnya memang di planet Bumi ini. Kemudian mengembangbiakkannya (berkembang baik) juga di muka Bumi. Dan suatu ketika nanti, kita semua bakal kembali kepada ilahi RabBi.
Sebagai manusia sudah menjadi hal yang wajar apabila kita mendambakan keBAHAGIAan. Baik yang bersifat pribadi, keluarga maupun masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Dalam hal ini, agama senantiasa menawarkan Surga sebagai tempat keBAHAGIAan yang kekal. Bagi siapa yang taat dan patuh kepada agamaNya, maka akan mendapatkan Surga sebagai imbalannya, apabila telah meninggal dunia.
Wacana perihal Surga yang demikian itu adalah suatu Surga yang ghaib atau abstrak. Sehingga karena sifatnya yang abstrak itu, maka setiap agama menggambarkan Surga sesuai dengan kepercayaan yang ditanamkan kepada masing-masing pemeluknya. Ada yang menggambarkan bahwa Surga itu suatu kehidupan yang abadi, dikelilingi para bidadari yang selalu perawan, tempat bersemayamnya para dewa. Demikian pula ada yang menyebutnya sebagai tempat tinggal tahta singgasana Tuhan Sang Bapa. Pendek kata, Surga benar-benar merupakan tempat (impian), kebahagiaan yang di dalamnya hanya ada kenikmatan semata.
Bagaimana sesungguhnya makna dan persepsi Surga bagi orang-orang yang beriman? Surga dalam konsepsi Al-Qur’an (pajajARAN ANYAR;Islam) disebut Al-Jannah berarti taman yang terTATA RApi nan indah. Surga/SaWarga/SaWaruga/SaBaRAGA yang akan menjadi milik orang yang dalam hidupnya selalu taat dan patuh dengan ajaran Allah ini, digambarkan bahwa di bawahnya senantiasa mengalir aneka sungai [min tahtihal-anhar]. Sehingga taman keBAHAGIAan tersebut merupakan taman yang subur dan menyejukkan. Siapapun yang tinggal di dalamnya tentu akan menuai kepuasan. Pohon-pohon yang ada di Surga adalah merupakan perwujudan dari kalimat thayibat, akarnya menghunjam ke dalam petala bumi dan cabang serta rantingnya menjulang ke ANGKAsa RAya [asluha tsabitun wa far ‘uha fi as-sama’].
Gambaran secara fisik tersebut, menurut teori sastra Al-Qur’an, perlu dilihat arti metaforisnya [wajHU sabHIn], agar dapat membantu kita dalam memahami makna Sorga [al-Jannah] yang sebenarnya. Apabila pohon-pohon yang ada di Surga tersebut menggambarkan masing-masing figur [sosok] orang beriman yang hidup di dalamnya, maka antara pohon yang satu dengan yang lainnya akan saling merindangkan panen. Juga saling menghidangkan hasil karyanya satu sama lain. Pohon mangga akan memberikan mangganya, pohon rambutan akan menghadiahkan rambutannya, demikian pula pohon-pohon lainnya. Inilah gambaran kehidupan manusia-manusia Surga yang demikian indah, adil dan saling memakmurkan,
(NagaRI NagaRA Nanjung Panjang Punjung Pasir Wukir Puseur Bumi Gemah Ripah Louh Jinnawi - Lauh Jannahbi, Aman Tentrem Kerta RAharja Tata Tintrim Mukti Wibawa MuRAH sandang MURah pangan BAHAGIA SalAlaWasnA.
Semua itu ditunjang oleh suatu sistem ekonomi yang senantiasa dapat memenuhi seluruh hajat hidup orang banyak dan terdistribusinya dengan lancar seperti halnya aliran aneka sungai yang selalu mengalir di bawah Surga.
Kalau kita perhatikan lebih cermat, maka ternyata Surga yang dijanjikan Allah tersebut berujud ganda. Yakni selain Surga yang ada di akhirat kelak juga ada SaWarga di dunia ini. Hal tersebut tergambar jelas dalam do’a sapu jagad yang sering kita panjatkan. Rabbana Atina fid-dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qiina ‘adzaban nAr. Surga dunia [fidunya hasanah] adalah dunia yang baik dan indah yakni Madinatul-Munawwarah. Suatu “negara kota” yang gilang gemilang karena dilandasi oleh cahaya Allah Cahaya Al-Qur’an- Cahaya SunNAH-Rasul Cahaya SinNUR dan Cahaya SunDa.
Adapun Surga akhirat [fil-akhirati hasanah], adalah Surga yang dijanjikan Allah apabila si Mukmin telah meninggal dunia, sebagai balasan atas segala amal ibadahnya. Jadi Surga akhirat adalah merupakan konsekuensi logis dari Surga Dunia, karena dunia adalah cerminan akhirat [Ad-dunya mir’atul akhirah].
Bukti lain yang menunjukkan bahwa selain di akhirat, Surga juga ada di dunia ini, antara lain adalah sabda Rasulullah SAW ... “Rumahku adalah Surgaku” [baiti jannati], demikian pula “Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu” [al-Jannatu tahta aqdamil-umahat.. Bukankah rumah tangga Rasulullah itu berada di dunia kita ini juga? Begitu pula jejak langkah kaum ibu di dunia ini sangat menentukan keBAHAGIAan/keSENANGan sebuah kehidupan. Hal ini terutama ditegaskan oleh Rasulullah SAW Aslama .. bahwa wanita itu tiang negara [an-nisaa’u ‘imaadul bilad].
Surga dunia sebagaimana tercermin dalam Madinatul Munawwarah telah dicapai oleh Rasulullah SAW Aslama. Dan para sahabatnya melalui “jalan yang lurus” [Shirathalmustaqim]. Yaitu suatu sistem jalan kehidupan Islam secara total [kaffah] (yang bisa dibuka dengan KUNci LAM) yang diraih dengan cara meREVOLUSIkan masyarakat dari kegelapan JAHILiyah [dzulUMAT] menuju pencerahan ILMIyah [an-Nur], [QS. 2: 257].
Surga yang seperti digambarkan tersebut bukan Surga yang jatuh begitu saja dari langit, akan tetapi suatu Surga yang harus diraih melalui perjuangan fisik [jihad], perjuangan mental [mujahadah] maupun perjuangan intelektual [ijtihad].
Dengan melalui kegiatan dakwah yang giat [intensif], mangkus [efektif] dan sangkil [efisien], Rasulullah SAW Telah berhasil membangun “Surga” di dunia. Sebuah rEVOLUSI keBUDAYAan paling cepat dalam sejARAH. Hanya dalam tempo kurang dari seperempat abad [23 tahun], padang pasir GerSang dan gunung-gunung batu yang keras lagi tandus telah berubah menjadi Surga. Yakni membebaskan manusia dari peradaban yang gelap gulita [dark ages] menuju perADABan yang terANG BENDERAng [enlightenment] diSINaRI oleh cahaya ilaHI [Al-Qur’an] melalui tauladan hidup Rasulullah SAW Aslama.
Untuk mencapai kondisi tersebut, berapakah harga yang harus dibayarkan? Yang pasti, harga sebuah Surga tidaklah murah. Menurut Allah bagi setiap mukmin [para pendukung cita-cita surgawi] haruslah mau menyerahkan diri dan hartanya sekaligus [anfusahum wa amwalahum] untuk ditukar dengan al-Jannah. Dan proses transaksinya harus diperjuangkan mati-matian sehingga setiap mukmin harus senantiasa siap tempur [ready use to combat] dalam rangka meraih dan mempertahankan Surga [yuqaatiluuna fi sabilillah fayaqtuluuna wayuqtaluun]. Harga inilah yang diminta Allah sebagaimana tersirat di dalam semua Kitab Suci, baik at-Taurat, al-Injil, maupun Al-Qur’an. [Q.S. 9:111].
Apa makna dari semua itu? Dengan dibayarkannya “diri” dan “harta” Mukmin kepada Allah, maka berarti simukmin tersebut telah menyerahkan “ego” (Emosi GOreng), ke-aku-annya dan hartanya menjadi milik Allah SeMaTa. Sehingga dengan demikian, setiap mukmin menyerahkan seluruh hidupnya untuk dikelola oleh Allah. Dengan kata lain, setiap orang yang menyatakan dirinya mukmin sudah semestinya mau dan rela sepenuh hati untuk hidup hanya menurut kehendak Allah. Mukmin yang demikian itulah Mukmin Haq (MH >=< HM ; Husnul Ma'ab ; Haq Malyah ; Haq Ma'rifat), mukmin yang menjadi pohon-pohon Surga, yang dari benih iman-nya telah tumbuh menjadi pohon yang kokoh kuat, akarnya menghunjam ke dalam petala bumi dan cabang serta rantingnya menjulang ke AngKaSA RAya serta berbuah di sepanjang musim (QS. Ibrahim : 24).
Pohon tersebut selalu menghidangkan panen ZAKAT yang di dalamnya ada infaq dan sadaqah bagi keMAKMURan dan keADILan keHIdupan. Aroma buahnya menciptakan ketenteraman dan keBAHAGIAan hidup tiada tara. Demikianlah Surga yang menjadi dambaan setiap insan. Sebuah model kehidupan, yang selain membahagiakan sekaligus juga menyehatkan. Ibarat manisnya madu yang selain lezat nikmat juga menyehatkan (QS. 16 : 68 - 69).
Itulah yang terjadi hampir hampir satu setengah milinium yang lampau di dalam masyarakat Madinatul Munawwarah, “negara kota” yang bermandikan caHAya IlaHI dengan tauladan indah para Nabi, yang kelak nantinya merupakan panen di akhirat (ad-dunya majra’atul akhirah). Singkatnya, suatu masyarakat dimana telinga kita belum pernah mendengar, mata belum pernah melihat, hati belum pernah merasai, Masyarakat mukmin yang seperti itulah, masyarakat di mana pandangan dan sikap hidupnya berdasar kalimat thayyibat, (Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya), yang akan memperoleh Surga yang dijanjikan.
Allah dengan melalui ilmuNya dalam Al-Qur’an, tidak pernah berdongeng, yang membuat ajaran Allah menjadi dongeng adalah distorsi pada perspektif atau sudut pandang manusia dalam menafsirkan ayat-ayatnya sehingga menjadi dongeng.
QS. 12 : 111, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengAJARAN bagi orang-orang yang menggunakan akal. Al-Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan Rah_MAT bagi kaum yang ber_I_Man”.
Membangun Surga Di bhUMI
Bagaimana membangun surga di bumi? Kebanyakan ummat Islam memahami surga adalah Jannah, sehingga dianggap tidak bisa diwujudkan di muka bumi. Padahal Rasul sendiri mengatakan kata jannah pada saat beliau hidup di muka bumi : "Baiti Jannati" (Rumah Tanggaku adalah Jannahku).
Jannah itu ada di muka bumi, perhatikan urutan ayat berikut; QS. 2 : 30 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."….terjadi dialog, sehingga pada ayat 35. Dan Kami berfirman: …uskun anta wazawjukal jannah…"Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu Jannah ini (istilah zawjuka tidak tepat diartikan istri, lihat pada QS 15 : 88)
Sebagai pembanding.
Jannah pun ada 2 jenis, Jannah yang diTata oleh penataan NURani atau Nur Allah, dan Jannah yang di Tata oleh penataan Dzu_lumat atau Hawa nafsu syaithan, perhatikan terjemah serta istilah kata Al-Qur'annya, QS. 18 : 32. QS 34 : 15-16 dan cermati istilah kata jannah dan karim di QS. 26 : 57-58, gamblang sekali, Fir’aun dikeluarkan dari System penataan jannah berikut kemuliaannya. Dalam QS. 66 :11, “….rabbi ibni lii 'indaka baytan fii al jannati wanajjinii min fir'awna wa'amalihi wanajjinii mina alqawmi alzhzhaalimiina…”. Kesimpulan ayat tersebut adalah : bahwa istri fir'aun memohon tegaknya sistem Jannah untuk melawan dominasi kekuasaan suaminya yaitu fir'aun, yang jelas itu terjadi di dunia.
Sayangnya, kebanyakan orang menterjemahkan menjadi “rumahku adalah surgaku” sehingga orang berlomba-lomba mengumpulkan segenap potensinya yang terkadang menghalalkan berbagai cara untuk membangun rumah yang megah yang dianggap sebagai surga yang identik dengan materialisme.
Kesalahpahaman ini bukan terjadi dengan sendirinya, tapi memang sebuah upaya untuk memutarbalikkan kedudukan dan fungsi Al-Qur’an sebagai 'Pencerah', sehingga wajar saja kebanyakan manusia merasa tidak perlu membangun Jannah di muka bumi dengan nilai-nilai keBAIKan dan keBENARan yang bertolak ukur pada Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Akibat kesalah pahaman ini maka orang tidak lagi menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan untuk memahami makna “Jannah” yang sebenarnya.
Perhatikan jawaban Al-Qur’an tentang makna Jannah berdasarkan dua versi :
Versi terjemahan Al-Qur’an terbitan Kemenag :
“Wabasysyiri alladziina aamanuu wa'amiluu alshshaalihaati anna lahum jannaatin tajrii min tahtihaa al-anhaaru kullamaa ruziquu minhaa min tsamaratin rizqan qaaluu haadzaa alladzii ruziqnaa min qablu wautuu bihi mutasyaabihan walahum fiihaa azwaajun muthahharatun wahum fiihaa khaaliduuna” (QS 2 : 25)
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya”.
Mari kita kritisi terjemahan ini : Terbukti kekurang tepatan sang penterjemah dengan menyamakan bahasa sastra dengan bahasa gamblang, padahal 'Jannah' itu adalah sebuah istilah yang maknanya tergantung kepada yang mengeluarkan istilah tersebut, yaitu Allah melalui Al-Qur’an, Allah berbicara dengan menggunakan bahasa sastra (Mutasyabihat) bukan dengan bahasa biasa (Mubin). Oleh karena itu, harus dipahami bahwa setiap berbicara pasti alam dalam Al-Qur'an, sebenarnya Allah berbicara bahasa kiasan atau ungkapan tersembunyi atas kehidupan sosial budaya manusia. Contoh : Zhalim terkenal panjang tangan sehingga ia sering keluar masuk bui, apakah kalimat itu bermakna si Zhalim memiliki tangan yang berukuran panjang? lalu apa kaitannya tangan berukuran panjang dengan konteks dia masuk penjara? itulah akibat ketidak tepatan memahami bahasa kiasan.
Begitu juga halnya dengan terjemahan di atas. Apakah bahasa yang digunakan oleh Allah pada ayat tersebut menggunakan bahasa biasa, sehingga maknanya sedangkal itu? Bisa jadi, dari sini pula para feodal (tuan tanah) bersikap serakah untuk menyerobot kebun-kebun orang lain karena menganggap jannah adalah kebun, dan dari sini juga orang menjadi berpikir bahwa Jannah itu adalah identik dengan materialisme itu bagi penganut Naturalisme (paham liberal), sedangkan bagi yang berpaham idealisme menjadi stempel tentang baik dan buruknya sesuatu yang ideal menurut kepentingan tertentu sehingga dia rela menjadikan orang-orang yang bodoh menjadi korbannya, ditindas oleh penguasa fasilitas (Pemerintah dan Pengusaha) karena menjadi pengkhayal yang merasa akan mendapat Kebun atau Surga di akhirat (dalam arti alam lain setelah meninggal).
Jadi kedua pola pikir ini merusak dan merugikan ummat manusia, oleh sebab itu mari kita perbaiki melalui perbaikan pola pikir. Coba kita perhatikan, jawaban Al-Qur'an menurut SunNAH Rasul.
"Gembirakanlah atau hiburlah mereka (dengan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul) yang telah menyatakan beriman yaitu yang telah berbuat tepat bahwasanya untuk kehidupan mereka itu adalah seperti taman yang dialiri sejenis aliran irigasi (begitulah hal nya mukmin yang tertata dan dialiri dengan sistem pendidikan Al-Qur'an), sehingga masing-masing mereka itu adalah hidup adil makmur menurut yang demikian (kehidupan pajajaran anyar = Jannah = Islam) sehingga adil makmur membuahkan hasil guna, selanjutnya mereka mengatakan "inilah kehidupan adil makmur yang sebelumnya mereka telah melakukan perbaikan diri (taubat dengan menjalankan Ruh Budaya ; ...., ....., ...., RAtil dan shALAT, PUASa, zAKAt, HAJI) dengan yang demikian (diungkap dengan bahasa sastra atau mutasyabihat), dan untuk kehidupan mereka itu didalamnya adalah partner-partner yang bersih dari motif jahat sedangkan mereka di dalamnya adalah abadi (konsisten) seabadi iman (pandangan dan sikap hidup yang mereka bangun)"
Jadi, ketika Allah membicarakan taman sebagai sebuah ungkapan pasti alam sebenarnya adalah sebagai sebuah kiasan atau perumpamaan atau ibarat. Coba perhatikan taman, bisa tidak jika tidak ditata diatur dibangun menjadi bersih dan rapi serta tumbuh berkembang dengan subur yang menyejukkan dan indah dipandang sehingga bisa menghasilkan berbagai jenis buah-buahan, seperti itu juga halnya mukmin. Bisa tidak membuahkan hasil yang hasanah, jika manusia tidak ditata isi hatinya, ucapan dan perbuatannya dengan sistem pendidikan yang sesuai dengan Al-Qur'an wa SUN_nah Rasul ?
Maka wajar sajalah, segala penyimpangan dari rakyat jelata hingga kaum elit sampai saat ini belum berakhir, karena masih terhipnotis dengan pendidikan jungkir balik yang otomatis telah menjungkir balikkan pandangan manusia tentang Al-Qur'an wa SunNAH Rasul, salah paham inilah sebagai sumber bencana. Padahal Jannah itu adalah hasanah di dunia dan hasanah di akhirat, dunia itu dipandang dari sudut pandang Al-Qur’an adalah cermin kehidupan akhirat (addunya mirorun akhirat) bahkan di dunia itulah tempat bercocok TaNam (TAjali NAMpak) iman (Insoen MANusia) agar menghasilkan kehidupan akhirat. Apakah akhirat itu adanya di alam lain selain di bumi ? Padahal telah Allah berfirman : “Di bumi itulah kalian dihidupkan dan dimatikan serta didalamnya itu pula dibangkitkan”. “Fiihaa tahyauna wa fiiha tamutunna wa minha tuhrajuun”. Tidak malukah kita yang mengaku Mukmin atau Muslim dan merasa percaya diri akan mendapatkan Jannah, sementara di muka bumi ini kita setengah hati untuk membangun kehidupan hasanah?
Jangankan mampu membangunnya, memahami peta kehidupan jannah saja kita tidak mau sepenuh hati, peta itu adalah petunjuk-Nya yaitu Al-Qur'an dan SunNah Rasul, sehingga benar kata Rasul : “Maa kunta tadri mal kitabi wa lal iman” . “Jikalau kamu tidak menguasai ISI (Insoen Soenda Islam) kitab Al-Qur'an NUR karIM niscaya tidak ada iman”, Hakekat iman itu adalah jannah. Dalam arti mereka yang beriman itulah bagaikan taman yang saling merindangkan kepuasan hidup indah, saling memanenkan atau membuahkan hasil guna buat yang membutuhkannya, seolah si mukmin itu sendiri tidak membutuhkan buahnya, dia hanya butuh tumbuh dan berkembang dan berdaya guna dengan pengAIRan (pangeran) yang tepat, sehingga mereka indah bagaikan taman yang RApi bersih dan menyejukkan, meneduhkan. Coba kaitkan dengan hadist Nabi : “Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling berdaya guna bagi manusia lainnya”
Coba perhatikan kondisi manusia zaman sekarang yang bersaing keras untuk saling merusak manusia lainnya demi kepentingan pribadinya sendiri. Mulai dari penguasa, ulama, pengusaha, dll, apakah itu wujud Jannah atau nAr, coba renungkan, semua ini akibat dari pemahaman tentang makna iman adalah sekedar percaya, kalau dianggap beriman cukup mempercayai saja, kalau itu yang terjadi, maka bodohlah DIRi inI. Tapi ingatlah “Afa laa ta'qiluun ?” “Apakah kalian tidak menggunakan aqal sesuai dengan Al-Qur'an dan SOENnah Rasul-Nya.
Pandangan Ahlul Thariqah tentang Jannah dan An nAr.
Surga berasal dari bahasa Sansekerta, Suar = Cahaya, dan Ga = pergi menuju. Sedangkan dalam Al- Qur'an, tidak ada kata Surga, yang ada adalah kata "Al Jannah" = tersembunyi.
Menurut Ahlul Ma'rifat, Al Jannah itu adalah Nurul Jannah = Cahaya Terang Yang Tersembunyi di Qalbu setiap Insan yang memunculkan rasa SUKA. Sedangkan An Nar adalah Cahaya Gelap Yang Tersembunyi di Qalbu setiap Insan yang memunculkan rasa DUKA.
"Hai orang yang beriman, peliharalah diri kamu dari derita An Nar yang bahan bakarnya dari manusia dan batu, yang dijaga oleh Malaikat yang Kasar dan Keras ,,,". (QS 66: 6).
An Naar = Cahaya Kegelapan, yang menimbulkan derita, yang disebabkan oleh mem-BATU-nya Qalbu manusia, yang selalu bertindak Kasar dan Keras.
"Benar benar akan datang kepada manusia suatu zaman, mereka mempelajari Al-Qur'an dan menghafalnya. Kemudian mereka berkata, "Kita telah menghafal dan memahaminya, maka adakah orang yang lebih baik dari kami?". "Apakah (menurut kalian) mereka ada kebaikannya?" Para sahabat berkata: "Siapakah mereka wahai Rasulullah ?" Rasulllulah menjawab: "Mereka itu termasuk dari kalian (umat islam). Mereka itu adalah bahan bakar An Nar." (HR Ath Thabrani, hasan lighairihi).
Kita mungkin merasa telah Memperjuangkan Islam.
Kita mungkin merasa telah banyak hafal Al-Qur'an dan Hadist. Kita mungkin merasa telah tinggi ilmu Agamanya, lalu kita merasa paling baik dan meremehkan orang lain.
Yang membuat amalan tersebut sia sia (ampunilah kami semuA Ya 4jIi Ya RAbBI)
Jika berbeda pandangan langsung menghujat orang lain dengan mengatakannya sesat atau bahkan kafir. Sesama muslim pun mereka bilang kafir, apalagi kepada yang bukan muslim.
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan."
(QS. 5:8).
Demikianlah sifat orang orang yang akan menjadi bahan bakar An Naar (A'udzu billaHI min Dzalik)
Kelemahan manusia yang paling pokok ialah pandangannya yang pendek, dan tidak mampu melihat jauh ke depan. Karena itu manusia mudah tertarik kepada hal-hal yang sepintas lalu menawarkan keSENANGan, padahal dalam jangka panjang membawa malapetaka. Adalah hati NURani yang memperingatkan manusia untuk waspada jangan sampai terjebak oleh hal-hal yang pendek yang menyenangkan, sementara melupakan jangka panjang yang lebih besar dan penting. Karena itu Nabi SAW Aslama menjelaskan, bahwa kebajikan adalah BUDI PAKARti luHUr, dan dosa ialah sesuatu yang terbETIK dalam hati yang berSANGKUTan dan tidak suka jika diketahui oleh orang banyak. Hadits ini menyangkut seorang sahabat Nabi bernama Wabishah al-Asadi : Qalbu adalah "Jendela Kaca" yang dengannya RUHani melihat Nur-Nya, apabila ada bercak hitam di dalamnya, maka akan menghalangi pandangan dalam melihat Nur-Nya. Apa yang menyebabkan bercak hitam? itulah "Dosa" yang diisyaratkan dalam Hadits :
Berkata Wabishah a-asadi, “Aku datang kepada Rasulullah SAW dan aku tidak akan mengesampingkan barang sedikitpun tentang kebajikan dan dosa melainkan mesti akan kutanyakan kepada beliau, dan beliau saat itu dikelilingi sejumlah kaum muslim untuk meminta nasehat dan aku pun melangkah melewati mereka, dan mereka berkata, “hai Wabishah, jangan mendekati Rasulullah SAW!” Aku katakan, “Biarkanlah aku! Aku akan mendekat kepada beliau. Karena beliau adalah orang yang paling aku cintai untuk saya dekati.” Beliau (Nabi) bersabda, “Biarkanlah Wabishah! Kemari, Wabishah! (dua atau tiga kali)” Kata Wabishah,” Akupun mendekat kepada beliau hingga aku duduk bersimpuh dihadapannya”. Lalu beliau bersabda,” Hai Wabishah, apakah kau mau aku beritahu atau engkau akan bertanya kepadaku?” Aku berkata,”Tidak, melainkan beritahulah aku. Beliau bersabda , “Engkau datang untuk bertanya kepadaku tentang kebajikan dan dosa bukan?” Wabishah menjawab,”Ya!” lalu beliau merapatkan jari-jari beliau (bertajali tingkat HM 1), kemudian dengan jari-jari itu beliau menepuk Qalbuku dan bersabda,”Hai Wabishah, mintalah fatwa (bertanyalah, berkonsultasilah) kepada Qalbumu! Mintalah fatwa kepada dirimu! (tiga kali), kebajikan ialah sesuatu yang QOLBU merasa TENTRAM/TeNang kepadaNya dan dosa ialah sesuatu yang terbETIK di dalam QALBUmu yang BERGEJOLAK dalam Shudur, sekalipun orang banyak memberi fatwa (membenarkan) kepadamu, sekalipun mereka memberi fatwa kepadamu! “. (HR. At Tabrani).
Jadi pertimbangan pertama dan utama dalam bertindak ialah NURani. Murni dan terANGnya hati nurANI akan membisikkan kepada kita tentang apa yang baik dan buruk, yang benar dan yang palsu. Namun karena kelemahan manusia tersebut tadi, kita tidak selalu dapat mendengar suaRA nurANI kita sendiri (karena jarang berSUA). Atau karena Qalbu kita sudah kehilangan caHAya-Nya disebabkan oleh dosa-dosa dan kejahatan-kejahatan kita. Karena itu dalam istilah Al-Qur’an, dosa disebut zhALIM, orang yang melakukan kegelapan. Maka orang yang banyak berbuat dosa, qalbunya tidak lagi bersifat teRAng (NURani), melainkan menjadi gelap (zhul_mani). Dan dalam stadium yang kronis dan paRAH, perbuatan dosa atau zhalim itu mungkin tidak lagi kita rasakan sebagai dosa atau kejahatan, bahkan terasa baik-baik saja. Inilah yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an bahwa adakalanya kejahatan pada sesorang ‘dihiaskan’ baginya, sehingga nampak indah bagi yang bersangkutan. Dan itulah stadium kebangkrutan RUHani, yang menyeret manusia keluar dari dalam “Paradiso” menuju “inferno”. Dalam Al-Qur’an terbaca isyarat kebangkrutan spiritual itu :
“Apakah (kamu risaukan, wahai Muhammad) orang yang dihiaskan baginya kejahatan amalnya sebagai ia pandang baik? Sebab sesungguhnya Allah menyesatkan siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendak-Nya Oleh karena itu, janganlah engkau menelantarkan dirimu dengan kesedihan tentang mereka itu. Sesungguhnya Allah maha TaHU akan segala sesuatu yang mereka perbuat ”. (QS. 35 : 8).
"kami adalah NURani, neraka dan surga kami adalah nurANI Dengan melakukan kejahatan, nurANI kamilah yang menghukum kami. Dengan melakukan kebajikan NURani kamilah yang memberi kurnia."
😍 SELaMAT menikMATI hIDup dan keHIdupan dalam keBAHAGIAan tanpa bATAS 😍
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
NOMOR 2
Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...
-
Tokoh pemimpin yang amat sangat Religius sampai sampai digambarkan bagaikan seorang Resi Begawan (PINANDITO) dan akan senantiasa bert...
-
☼ MENUJU CAHAYA ALLAH (NUR ILLAHI) Apakah sesungguhnya cahaya Allah itu ? Perlu dipahami bahwa jika sinar matahari itu terdiri dari ...
-
18 Agustus 2017, wanci 14:30 perjalanan itu Saya lakukan. Bandung - Semarang dengan mengendarai motor Bajaj Pulsar 135. Jalur tengah Band...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar