Oleh Parni Hadi
Serat Wedhatama karya Mangkunegara
IV, raja Purai Mangkunegaran, Solo, menasehati agar pembelajar tasawuf
“berpuruhita” (berguru) untuk menyempurnakan ilmunya, terutama dalam hal
pengendalian hawa nafsunya.
Serat Wulangreh karya
Pakubuwono IV, raja Kasunanan Surakarta, bab II, memberi pedoman untuk
memilih guru dalam bentuk tembang Dhandahanggula sbb:
Lamun sira anggeguru kaki,
Amiliha manungsa kang nyata,
Ingkang becik martabate,
Sarta kang wruh ing kukum,
Kang ngibadah lan kang wirangi,
Sokur yen oleh wong tapa,
Ingkang sampun mungkul,
Tan mikir pawehing liyan,
Iku pantes sira guranana kaki,
Sartane kawruhana.
Terjemahan bebasnya:
Jika engkau mencari guru,
Pilihlah manusia yang nyata,
Yang bagus martabatnya,
Serta yang tahu hukum (agama),
Yang menjalankan ibadah dan wirai,
Syukur (apalagi) dapat pertapa,
Yang sudah selesai dengan dirinya sendiri,
Tanpa berpikir pemberian orang lain,
Itu pantas engkau berguru kepadanya.
Sekali lagi, jelas warna, bahkan ruh Islam dalam Wulangreh,
yang berisi ajaran untuk pengendalian diri supaya orang bertindak
sabar, tidak terburu-buru, tidak menggebu-gebu, tapi dengan tenang dalam
melakukan sesuatu.
Sangat penting untuk dicatat adalah syarat
seorang guru yang mengerti hukum agama atau “sarak”. Ada ungkapan Jawa
yang berbunyi “murang sarak”, yang berarti kurang ajar. Itu pun
masih ditambah lagi dengan “yang menjalankan ibadah” dan “wirai”. Harap
maklum, banyak orang yang tahu hukum, tetapi tidak melaksanakannnya.
Kewajiban beribadah, demikian juga. Sudah tahu ada perintah agama,
terutama untuk mendirikan sholat lima waktu, tapi juga tidak dikerjakan.
“Wirai”
adalah orang yang menjalani laku “wara”, yang artinya sikap
berhati-hati, sampai tidak melakukan sesuatu meski halal, karena
khawatir kelewatan, sehingga melanggar, lalu jadi haram.
Perlunya mencari seorang guru atau mursyid yang mumpuni juga
disarankan untuk orang yang ingin menyelami ilmu spiritualitas oleh
Damar Sahashangka, penterjemah dan pengulas Wirid Hidayat Jati karya pujangga Ranggawarsita. Ia sangat menghargai Wirid Hidayat Jati dan menyebutnya sebagai induk Ilmu Kejawen.
Wejangan
itu dulu sangat dirahasiakan. Diajarkan tidak pada sembarang orang ,
tempat dan waktu. Demi menghormati leluhur yang menguasai ilmu itu, ia
menyarankan pembaca buku karyanya itu dalam keadaan bersuci dan
membacanya ditempat yang tepat serta menyimpannya di tempat yang bersih.
Dalam
pengantarnya, ia katakan, buku itu bukan pengganti guru, tapi hanya
sekedar untuk menularkan informasi berharga semata agar tidak hilang
oleh waktu.
Selasa, 15 November 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
NOMOR 2
Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...
-
Tokoh pemimpin yang amat sangat Religius sampai sampai digambarkan bagaikan seorang Resi Begawan (PINANDITO) dan akan senantiasa bert...
-
☼ MENUJU CAHAYA ALLAH (NUR ILLAHI) Apakah sesungguhnya cahaya Allah itu ? Perlu dipahami bahwa jika sinar matahari itu terdiri dari ...
-
18 Agustus 2017, wanci 14:30 perjalanan itu Saya lakukan. Bandung - Semarang dengan mengendarai motor Bajaj Pulsar 135. Jalur tengah Band...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar