Jumat, 28 Mei 2021

Dalil-dalil kewajiban Imamah

 

Ayat Ulil Amr

﴾یا أَیهَا الَّذِینَ آمَنُوا أَطِیعُوا اللَّهَ وَأَطِیعُوا الرَّسُولَ وَأُولِی الْأَمْرِ مِنْکمْ﴿

Dalam ayat ini Allah swt menyuruh untuk taat kepada Ulil Amr, maka Ulil Amr harus ada supaya mereka ditaati. [28] Taftazani dengan mengisyaratkan pada bukti ini berkata: kewajiban mentaati Ulil Amr menuntut perealisasian hal tersebut. [29]

Hadis Man Māta

Rasulullah saw bersabda:

﴾مَنْ ماتَ وَ لَمْ یعْرِفْ إمامَ زَمانِهِ ماتَ مِیتَةً جاهِلِیةً﴿

[30]

Sesuai dengan hadis di atas, barang siapa yang mati dan dia tidak mengetahui imam zamannya dia akan mati sebagaimana mati jahiliyah. Sebagian dari para teolog Islam meyakini bahwa hadis ini adalah dalil kewajiban Imamah, karena sesuai dengan hadis tersebut, mengenal dan mengetahui imam di setiap zaman adalah merupakan taklif syar'i dan kelazimannya adalah zaman tidak pernah kosong dari seorang Imam. [31]

Metode Praktis Kaum Muslimin

Sebagian dari para teolog menganggap metode praktis (sirah) kaum muslimin sebagai dalil atas kewajiban imamah, karena dari sirah kaum muslimin akan jelas bahwa mereka mengganggap kewajiban imamah sebagai perkara yang diterima dan hal yang tidak diragukan lagi. Perselisihan antara Syiah dan Ahlusunah juga berkaitan dengan permasalahan konkrit dan sosok imam yang mengemban imamah, bukan pada pokok permasalahan imamah itu sendiri. [32] Abu Ali dan Abu Hasyim al-Jubbai dan sebagian yang lainnya berdalih tentang kewajiban imamah dengan ijma' para sahabat. [33]

Kaidah lutf (karunia Allah)

Bukti rasional terpenting para teolog Imamiah tentang kewajiban Imamah adalah kaidah lutf atau karunia Allah swt. Para teolog Syiah meyakini bahwa Imamah adalah salah satu contoh konkrit dari karunia Allah swt dan menjelaskan bahwa karena Allah harus memberikan karunia kepada hamba-hamba-Nya dan melantik serta mengenalkan Imam juga adalah bentuk dari sebuah karunia, maka Imamah juga adalah suatu hal yang wajib.

Sayid Murtadha dalam menjelaskan bahwa Imamah adalah sebuah karunia berkata:

Kita tahu bahwa ada banyak sekali tugas logika bagi manusia dan kita juga tahu bahwa orang-orang yang mukallaf itu tidak maksum. Dengan memperhatikan dua poin ini, maka dalil Imamah adalah sebagai berikut bahwa setiap orang yang berakal yang mengenal dan tahu tentang uruf dan sirah uqala (sikap praktis orang-orang yang berakal) dia tahu bahwa di mana saja, di satu masyarakat ada seorang pemimpin yang layak dan benar-benar mumpuni untuk mencegah kezaliman dan kebatilan serta membela keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan, maka kondisi masyarakat akan lebih siap untuk pengembangan keutamaan-keutamaan dan nilai-nilai luhur dan ini tidak lain adalah sebuah karunia, karena karunia adalah sebuah motivasi yang mendorong para mukallaf menuju kepada ketaatan dan kebaikan dan menjauhi hal-hal yang buruk dan yang menjerumuskan. Oleh karena itu, Imamah adalah sebuah karunia bagi para mukallaf.[34]

Para teolog seperti Ibnu Maitsam Bahrani, Sadiduddin Hamshi, Khajah Nashiruddin Thusi dan tokoh lainnya juga sesuai dengan kaidah ini, telah memberikan penjelasan-penjelasan yang berbeda-beda dalam menggambarkan Imamah dan kewajibannya. [35]

Para teolog Mu'tazilah, walaupun menerima kaidah lutf, namun mereka dalam masalah ini tidak menerima penerapan kaidah ini dan tidak pula menerima bahwa imam adalah termasuk dari anugerah ini serta banyak keberatan-keberatan dalam hal ini yang mana Sayid Murtadha telah menjawabnya dalam kitab Al-Syāfi Fi al-Imāmah.

Falsafah Imamah

Sebagaimana yang diyakini oleh Ahlusunah bahwa imam hanya sosok seorang hakim bagi masyarakat, biasanya mereka mengenalkan falsafah keberadaan seorang imam dengan terbentuknya sebuah pemerintahan dan pelaksanaan tugas-tugas pemerintah dan pengaturan serta kepengurusan sebuah masyarakat. Sebagai contoh; dalam pandangan Mu'tazilah terlaksananya hukum-hukum agama seperti menegakkan hukum-hukum pidana, menjaga keberadaan umat Islam, mempersiapkan dan menertibkan kekuatan tentara pejuang untuk berjuang melawan musuh dan kepengurusan yang serupa, ini semua telah membentuk tujuan-tujuan terbentuknya imamah. [36]

Namun Syiah Imamiyah menjelaskan, ada dua macam tujuan untuk alasan keberadaan imam.

Pertama: Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahlusunah, yaitu memiliki tujuan-tujuan dan pemanfaatan-pemanfaatan praktis. Dengan dasar ini, menjaga sistem sosial masyarakat muslim, tegaknya keadilan sosial, terlaksananya hukum-hukum Islam terutama hukum-hukum yang memiliki aspek sosial, penerapan sanksi-sanksi Tuhan adalah termasuk salah satu bentuk dari tujuan-tujuan imamah. [37]

Tujuan kedua yang merupakan tujuan terpenting dari terbentuknya imamah adalah: Penukilan, penjagaan dan penjelasan syariat.

Penukilan Syariat

Dalam pandangan Imamiyah, Allah telah mewahyukan agama secara sempurna kepada Nabi saw dan diapun telah menyampaikannya secara sempurna juga kepada para Imam sehingga mereka secara bertahap menjelaskannya kepada masyarakat. Dengan dasar ini, hukum-hukum parsial yang berkaitan dengan peribadatan, transaksi, kontrak; baik yang sepihak atau dua belah pihak, warisan, hukum-hukum pidana, dan diat (denda) belum dijelaskan dalam Alquran dan sunnah Nabi saw. Namun yang ada dalam Alquran dan sunnah Nabi adalah hukum-hukum yang sifatnya global dan universal. Hukum-hukum yang sampai kepada kita dari jalan hadis-hadis Nabi saw adalah terbatas dan belum tentu seluruh hadis inipun dari sisi sanadnya valid.

Oleh karena itu, untuk menutupi kekurangan ini Ahlusunah terpaksa menggunakan sumber-sumber lain seperti Qiyas, Istihsan dan cara-cara lainnya yang tidak menghasilkan sebuah keyakinan, yang menurut pandangan Syiah tidak memiliki validitas dan kita tidak memiliki dalil akal atau syariat yang dengan bersandar kepada hal-hal tersebut mampu digunakan dalam proses pengambilan kesimpulan sebuah hukum darinya. Contohnya, puasa di hari akhir bulan Ramadhan adalah wajib dan puasa di hari pertama bulan Syawal adalah haram dan di hari keduanya dihukumi sunnah, padahal kalau secara zahir tidak ada perbedaan antara keduanya. Oleh karena itu, hanya sekedar keserupaan antara dua hal ini, maka hukum satunya tidak bisa berlaku pada yang lainnya.

Dalam pandangan Syiah, Nabi saw, telah menyampaikan ajaran agama secara sempurna dan dalam hal ini tidak ada kekurangan sama sekali sehingga untuk menutupi kekurangan itu dibutuhkan Qiyas atau Istihsan. Namun karena ketidaksiapan masyarakat dan tidak adanya perkara, kebanyakan dari hukum-hukum tersebut untuk masyarakat biasa dari dasar belum terlontarkan. Nabi saw mengajarkan hukum-hukum semacam ini kepada para imam setelahnya sehingga mereka yang akan menjelaskan kepada masyarakat secara bertahap.

Penjagaan Syariat

Satu lagi dari perkara dan urusan yang melazimkan keberadaan seorang imam dan termasuk dari falsafah-falsafah imamah adalah penjagaan syariat. Berdasarkan hal ini, wujud atau keberadaan imam akan menyebabkan agama terjaga dari perubahan dan penyimpangan (tahrif); karena selain Alquran secara terperinci tidak menjelaskan hukum-hukum parsial syariat, di sisi lain Alquran pula tidak menjelaskan atau berbicara dengan sendirinya, akan tetapi perlu penafsiran. Namun dikarenakan pemahaman orang lain tentang Alquran, setidaknya masih dimungkinkan adanya kesalahan dan kekeliruan, oleh karena itu, perlu ada orang-orang yang pemahaman mereka tentang Alquran terjaga dari kesalahan dan pengkhianatan. Keberadaan mereka adalah tolok ukur dan ukuran untuk menentukan kesalahan pemahaman orang lain. Tolok ukur dan timbangan tersebut apapun dia, pada hakikatnya adalah akan menjadi penyebab terjaganya syariat tersebut.

Selain itu, hukum-hukum dan pengetahuan-pengetahuan yang telah dikutip dan dinukil secara mutawatir atau sosial itu terbatas dan tidak mencakup semua hukum syariat. Ijma' yang tanpa disandarkan pada pandangan dan perkataan Maksumin as juga dengan sendirinya tidak memiliki validitas. Dengan demikian, jalan satu-satunya yang tersisa adalah syariat hanya akan terjaga dengan keberadaan imam yang maksum; karena pandangannya maksum maka terjaga dari segala kesalahan, dan dengan itu segala pendapat dan interpretasi tentang tafsir Alquran dan penjelasan syariat dapat dinilai.

Penjelasan Pengetahuan-pengetahuan Agama

Faktor lain yang mengharuskan adanya Imam adalah penjelasan bagian dari pengetahuan-pengetahuan dan hukum-hukum syariat yang belum sempat dijelaskan oleh Nabi saw, karena keadaan tidak memungkinkannya untuk menjelaskan hal itu atau tidak mempunyai kesempatan yang cukup, sehingga penjelasan hal-hal tersebut diberikan kepada para imam.

Kriteria-kriteria dan Kelaziman-kelaziman Imamah

Ismah (keterjagaan dari dosa)

Salah satu syarat dan kelaziman imamah adalah keterjagaan Imam dari dosa dan kesalahan dalam menjalankan tugas-tugas dan tanggung jawabnya. Alasan dari perkara ini adalah bahwa Imam adalah pengganti Nabi saw dan tempat rujukan keilmuan dalam hukum-hukum syariat, pengetahun-pengetahuan agama, tafsir Alquran dan sunnah nabi. Oleh karena itu, sudah merupakan sebuah kelaziman bahwa ia harus terjaga dari dosa dan kesalahan sehingga masyarakat bisa mempercayainya dan mendengar perkataan-perkataannya. Jika tidak demikian, maka kepercayaan masyarakat akan hilang dan tujuan Allah swt atas penentuan para imam sebagai petunjuk bagi manusia akan gagal dan sirna.

Ilmu Tuhan

Para Imam selain mendengar apa yang pernah disampaikan oleh Nabi saw baik secara langsung atupun melalui perantara, mereka juga memiliki ilmu-ilmu yang lain. Pengetahuan ini adalah dari jenis ilmu-ilmu yang berada di luar kebiasaan yang diberikan dalam berbentuk ilham dan tahdist (semacam wahyu) kepada mereka. Sebagaimana pula ilham yang pernah diwahyukan kepada Nabi Khidir, Dzulqarnain, Sayidah Maryam dan ibunda Nabi Musa as. Dengan ilmu semacam inilah sebagian para imam di usia belia dan kecil, sampai pada kedudukan Imamah. Dengan perantara ilmu ini, mereka tahu segala hal yang diperlukan mereka dalam memberikan petunjuk kepada hamba-hamba Allah dan menjalankan tugas dan misi imamah sehingga tidak perlu untuk belajar dari orang lain. [38]

Wilayah

Wilayah dalam Islam, Alquran dan pemikiran Syiah berarti perwalian dan kepemilikan dalam mengatur [39]

Wilayah (otoritas) ini terbagi menjadi dua bagian; takwini dan tasyri'i. Wilayah takwini atau wilayah terhadap alam adalah perwalian imam atas makhluk-makhluk di alam nyata dan di luar alam dan intervensinya pada mereka. Bagian lainnya dari wilayah adalah wilayah tasyri'i, dan yang dimaksud di sini adalah wilayah yang mencakupi perwalian imam untuk menafsirkan dan menjelaskan Alquran Al-Karim dan sunnah-sunnah Nabi dan juga membimbing dan memimpin umat dan masyarakat. [40]

Kehujahan Kata Imam dan Kelaziman Taat kepadanya

Kriteria ini memiliki arti demikian bahwa perkataan dan pembicaraan Imam dan tafsirannya adalah dari perkataan dan kalam Ilahi, valid dan wajib ditaati. kriteria ini disebabkan karena imam memiliki Ilmu laduni dan pengetahuan akan maksud Allah dalam ayat-ayat dari kitab-kitab langit.[41]

Imam-imam Syiah

Imam-imam Syiah berjumlah duabelas orang dari keluarga Nabi saw. Imam Ali as adalah Imam pertama dan imam-imam setelahnya adalah anak dan cucu-cucu Imam Ali as dan Sayidah Zahra sa. Para imam memiliki ilmu Ilahi dan kedudukan Ismah dan berhak memberi syafa'at dan dengan bertawasul kepada mereka seseorang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt. Mereka selain merupakan sumber rujukan keilmuan tentang ajaran-ajaran agama, tanggung jawab sebagai pemimpin politik sosial masyarakat juga diemban oleh duabelas orang ini.

Tidak sedikit hadis-hadis yang dinukil dari Nabi saw yang menggambarkan kriteria-kriteria para imam, dan menjelaskan jumlah dan penyebutan nama-nama mereka dan menunjukkan bahwa keseluruhan mereka adalah dari Quraisy dan Ahlulbait Nabi saw dan Mahdi yang dijanjikan juga dari mereka dan dia adalah imam yang terakhir dari mereka.

Terdapat riwayat-riwayat yang jelas dari Nabi saw mengenai keimamahan Ali as sebagai Imam pertama dan terdapat pula nas-nas "qath'i" (pasti) dari Nabi saw dan Ali as mengenai keimamahan imam yang kedua dan begitu seterusnya, dimana imam-imam sebelumnya menegaskan akan keimamahan imam-imam berikutnya. Berdasarkan teks-teks ini, imam-imam Islam adalah 12 orang dan nama mereka adalah sebagai berikut: [42]

Kritikan Ketidaksesuaian Imamah dengan Khatamiyah

Di antara kritikan-kritikan yang dilontarkan terkait masalah imamah itu sendiri adalah bahwa imamah dengan arti yang sudah dikatakan dan diyakini oleh para pengikut Syiah, tidak sesuai dengan khatamiyah (penutup kenabian); karena seseorang yang memiliki kriteria-kriteria imamah menurut pandangan para pengikut Syiah adalah tidak beda dengan Nabi. [43]

Ja'far Subhani menjawab kritikan tersebut sebagai berikut:

Perbedaaan antara kenabian dan pengembangan ilmu-ilmu Nabi yang mulia sudah jelas dan tidak perlu penjelasan. Karena esensi kenabian adalah bahwa nabi menjadi audien wahyu yang mendengar perkataan Allah swt, melihat utusan-Nya dan memiliki syariat yang mandiri atau orang yang menyiarkan syariat sebelumnya. Adapun Imam adalah gudang ilmu-ilmu Nabi dalam setiap perkara yang dibutuhkan umat, tanpa ia harus menjadi audien wahyu atau mendengar kalam Allah Yang Maha Suci atau melihat malaikat pembawa wahyu.[44]

Selain itu, sebagian orang meyakini bahwa imamah dengan arti yang telah dijelaskan merupakan buatan dan tindakan orang-orang Ghulat dari para pengikut Syiah yang mana dalam literatur-literatur asli awal Islam dan keyakinan-keyakinan para pengikut Syiah pada abad-abad pertama, tidak ada hal semacam itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...