Imamah (bahasa Arab: الإمامة ) dalam pandangan Syiah adalah kepemimpinan sebuah komunitas Islam dengan pelantikan Ilahi dan penganti Nabi Islam saw dalam urusan agama dan duniawi. Ajaran ini, termasuk dari dasar-dasar mazhab Syiah dan termasuk sisi-sisi perbedaan akidah antara Syiah dan Sunni. Urgensitas permasalahaan imamah di sisi kaum Syiah menyebabkan mereka dijuluki dengan mazhab Imamiyah.
Menurut ajaran-ajaran Syiah, Nabi mulia saw semenjak awal misinya, memberikan perhatian khusus pada urusan pelantikan dan pengenalan khalifahnya dan imam kaum muslimin setelah wafatnya. Tindakan-tindakannya dalam merealisasikan hal ini, dimulai sejak awal dakwah terang-terangannya, dengan mengenalkan Imam Ali as sebagai khalifah dan pengganti setelahnya dan hal ini terus berlanjut hingga hari-hari akhir hayatnya, dalam perjalanan pulang dari Haji Perpisahan pada tanggal 18 Dzulhijjah di Ghadir Khum.
Kaum muslimin dari kalangan Ahlusunah menegaskan kelaziman akan adanya imam dan keharusan mengikuti perintah-perintahnya, namun mereka meyakini bahwa seorang imam harus dipilih oleh masyarakat dan Nabi saw sama sekali tidak mengenalkan seseorangpun sebagai khalifah setelahnya.
Kaum Syiah memiliki perbedaan pendapat dalam penentuan jumlah dan sosok konkrit para imam. Jumlah para imam Syiah adalah duabelas orang. Imam pertama dari mereka adalah Imam Ali as dan Imam yang terakhir dari mereka adalah Imam Mahdi as. Setelah Imam Ali as, Imam Hasan as dan kemudian saudara laki-lakinya Imam Husain as(salam sejahtera kepada mereka) yang mengemban jabatan imamah dan setelah tiga Imam ini, sembilan orang dari anak keturunan Imam Husain as secara tertib yang mengemban tugas jabatan ini.
Falsafah keberadaan imam adalah menukil, menjaga agama Islam dan menjelaskan secara benar pengetahuan-pengetahuan agama. Oleh karena itu, supaya imam lebih baik dalam menjalankan tugasnya maka harus maksum, memiliki Ilmu Ladunni dan kewenangan wilayah dari sisi Tuhan.
Konsep dan Terminologi
Imamah dalam bahasa berarti kepemimpinan. Dalam bahasa Arab, kata Imam berarti seseorang atau sesuatu yang diikuti. Atas dasar ini, kata imam bisa memiliki beberapa contoh kongkret seperti: Alquran, Nabi Islam Yang mulia saw, Pengganti Nabi saw, imam salat jamaah, panglima tentara, pemandu parawisata, pemandu unta dan seorang cendikiawan yang diikuti.[1]
Para teolog mendefinisikan imamah dalam dua bentuk: Definisi pertama bersifat umum dan mencakup kenabian. Dalam definisi ini imamah adalah kepemimpinan umum dalam permasalahan-permasalahan agama dan duniawi.[2] Definis kedua dengan definisi khusus mendefinisikan imamah dengan pengganti Nabi dalam urusan-urusan agama.[3]
Definisi imamah dengan "kepemimpinan umat Islam dalam urusan agama dan duniawi sebagai pengganti Nabi saw" merupakan hal yang disepakati oleh semua aliran-aliran Islam.[4]
Kata Imam dalam Alquran
Alquran al-Karim, menggunakan kata imam untuk sebagian manusia dan makhluk lainnya. Penggunaan-penggunaan kata imam pada selain manusia adalah: Lauh Mahfudh, [5] jalan yang terang, [6] dan kitab suci Nabi Musa as. [7] Sedangkan penggunaan kata imam untuk manusia memiliki dua bentuk, yaitu imam yang haq (benar) dan imam yang batil (tidak benar). Contoh-contoh imam yang haq adalah para Nabi yang diutus oleh Allah, [8] hamba-hamba Allah yang layak, [9] dan orang-orang yang lemah. [10]
Dalam sebuah ayat Alquran kata "imam" digunakan sedemikian rupa sehingga mencakupi semua penggunaan-penggunaan di atas, sebagaimana firmannya:
Kedudukan Imamah dalam Syiah
Dalam pandangan Syiah, Imamah termasuk dari pokok-pokok akidah Islam, namun Mu'tazilah dan Asya'irah juga mazhab-mazhab Islam lainnya menganggap hal itu sebagai cabang agama. Dalam literatur Syiah, masalah Imamah selain mencakup permasalahan khilafah juga mencakup janji Ilahi dan menjadi faktor penyempurna agama.
Imamah dan Khilafah
Dilihat dari kacamata sejarah, Imamah adalah permasalahan terpenting yang menjadi pembahasan dan dialog, setelah Nabi Besar Islam saw. Tidak ada satupun dari ajaran-ajaran agama, yang menjadi pembahasan dan konflik dalam sepanjang waktu seperti pembahasan Imamah. [12]
Dilihat dari berbabagai sudut pandang, kepemimpinan umat Islam setelah Nabi saw disebut dengan beberapa nama, diantaranya adalah "imamah" (kepemimpinan) dan "khilafah" (kekhalifahan). Jabatan ini dikatakan Imamah karena memiliki sisi kepemimpinan dan dikatakan khilafah karena sebagai pengganti Rasulullah saw. Atas dasar ini, imam dalam syariat Islam adalah khalifah dan pengganti Rasulullah saw. Tentunya dalam hal ini apakah dia dapat juga dinamakan sebagai khalifatullah? Di dalam pandangan Ahlusunah ada dua pendapat: Sebagian meyakini bahwa title seperti ini diperbolehkan dan sebagian lagi meyakini bahwa hal ini tidak dapat dibenarkan. [13] Riwayat-riwayat Ahlulbait as juga meyakini bahwa Imamah adalah khalifah Allah dan Rasul-Nya. [14]
Imamah; Janji Ilahi
Alquran al-Karim, meyakini bahwa kedudukan Imamah (kepemimpinan) lebih unggul dari kedudukan nubuwah, karena telah diingatkan tentang Nabi Ibrahim as, bahwa dia setelah meraih jabatan nubuwah dan risalah serta sukses dalam menjalani cobaan-cobaan dan ujian-ujian Allah, baru kemudian Allah memberinya posisi imamah.[15] Berdasarkan ayat 124 surah Al-Baqarah, Allah melestarikan Imamah sebagai janji dan ikatan ilahi. Dan riwayat-riwayat Ahlulbait as juga menunjukkan akan hal tersebut. [16]
Imamah; Faktor Kesempurnaan Agama
Dari hadis-hadis yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat Ikmaluddin dapat disimpulkan juga kedudukan tinggi jabatan Imamah.[17] Menurut riwayat-riwayat ini, ayat ikmaluddin turun berkenaan dengan peristiwa Ghadir Khum, yang mana Nabi saw dengan perintah Allah ditugaskan untuk mengenalkan Ali as sebagai pemimpin umat Islam setelahnya. [18] Dengan demikian, agama Islam, melalui Imamah sampai pada kesempurnaan yang dikehendaki.
Ayat Tabligh [19] juga penjelas hal ini, karena sesuai dengan ayat ini dan dengan memperhatikan beberapa riwayat mengenai sebab turunnya ayat tersebut, Imamah begitu memiliki kedudukan yang sangat tinggi sehingga jika Nabi saw tidak menyampaikan masalah ini, seakan-akan dia tidak menyampaikan risalah Ilahinya dan usaha serta jerih payahnya akan sia-sia. [20]
Urgensitas Imamah di Hari Kiamat
Menurut Alquran al-Karim, pada hari Kiamat setiap orang akan pergi menuju pemimpin dan imamnya. Allah swt berfirman:
(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; [21]
Pembahasan ini juga disinggung dalam sebuah hadis dari Imam Ridha as yang dinukil oleh Syiah dan Ahlusunah. Dengan demikian, kelak di hari Kiamat setiap kelompok akan dipanggil dengan nama kitab samawi, sunah nabi dan imam zamannya. [22]
Amirul Mukminin Ali as berkata:
- Para imam adalah para pemimpin dan pemberi hidayah bagi hamba-hambanya dan seseorang tidak akan masuk surga, kecuali dia mengenal mereka dan mereka juga mengenalnya dan seseorang tidak akan masuk neraka, kecuali dia mengingkari mereka dan dan mereka juga mengingkarinya. [23]
Dalam beberapa hadis yang diriwayatkan oleh para imam Syiah as diterangkan bahwa salat, zakat, puasa, haji dan wilayah adalah termasuk dari rukun-rukun Islam dan diantara kelima rukun tersebut, wilayah (kepemimpinan) memiliki kedudukan yang lebih unggul, karena hal itu merupakan kunci dan petunjuk bagi rukun-rukun lainnya. [24]
Keharusan Keberadaan Imam
Dalam pandangan para teolog Imamiyah, Imamah adalah sebuah kewajiban dan kewajibannya adalah kewajiban teologi; yaitu kewajiban bagi Allah dan bukan bagi manusia. Makna dari kewajiban ini adalah bahwa hal ini merupakan tuntutan keadilan, hikmah, kebijaksanaan, kedermawanan dan sifat-sifat kesempurnaan lainnya dari Allah swt dan karena pengabaian tindakan ini melazimkan suatu kekurangan dalam zat Allah swt yang hasilnya adalah kemustahilan maka pelaksanaan pekerjaan tersebut adalah hal yang wajib dan darurat. Tentunya kewajiban ini muncul dari sifat-sifat kesempurnaaan Allah dan bukan berarti seseorang mewajibkannya kepada Allah. Sebagaimana Ia telah mewajibkan kepada diriNya sebagai pemberi rahmat dan petunjuk:
Khajeh Nashir dalam hal ini berkata:
- Imamiyah meyakini bahwa pelantikan imam adalah sebuah karunia; karena mendekatkan masyarakat untuk melakukan ketaatan dan menjauhkan mereka dari perbuatan maksiat; dan karunia bagi Allah adalah hal yang wajib. [25]
Mazhab-mazhab selain Syiah
Kebanyakan dari mazhab-mazhab Islam, mewajibkan permasalahan Imamah walaupun mereka berselisih pendapat dalam menentukan posisi pembahasan ini apakah kewajiban secara hukum fikih atau teolog dan kewajiban tekstual (naqli) atau rasional (aqli).
- Wajib secara tekstual (naqli): Kelompok Asya'irah juga mewajibkan permasalahan Imamah, namun dikarenakan mereka tidak meyakini baik-buruk bersifat rasional (aqli) dan tidak ada hal yang wajib bagi Allah swt, maka mewajibkan imamah itu kepada masyarakat dan meyakini bahwa kewajiban itu sifatnya adalah tekstual sesuai dengan riwayat dan tidak secara rasional. Adhududdin Eiji meyakini bahwa menurut Asya'irah pelantikan imam wajib secara teks, [26] dan ini dalam artian bahwa karena Allah swt berkata, 'keberadaan imam dan pelantikannya adalah wajib bukan karena akal kita dapat memahami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar