Sabtu, 18 Januari 2014

Kebahagiaan, Apa dan Bagaimana?




ilustrasi 

Rubinstein, komposer dan pianis terkemuka abad 20, setiap hari selalu tampak ceria, optimis dan menebarkan aura kebahagiaan. Para sahabatnya penasaran; apa rahasianya?
Menjawab desakan para sahabatnya yang ingin tahu, di ulang tahunnya yang ke-80 dia pun mengungkapkan; setiap kali membuka matanya di pagi hari ia merasa seperti bayi yang baru terlahir. Sehingga, ia senantiasa merasa hidupnya penuh dengan hal-hal yang bisa dipelajari, yang dapat dieksplorasi. Maka, bagi Rubinstein,  hidup selalu menjadi arena yang menggairahkan dan menantang.  

Ketika usia Rubinstein melampui 80 tahun, sebagaimana manusia lazimnya, ia mengalami proses penurunan penglihatan. Hari demi hari, pandangannya kian kabur. Ia semakin kesulitan memainkan piano. Bagaimanapun matanya tidak lagi dapat mengontrol gerakan tangannya menekan tuts-tuts piano. Orang kemudian menyimpulkan, sebentar lagi Rubinstein akan habis riwayatnya sebagai pianis. Kamahirannya akan berakhir. Begitu juga, kebahagiaan yang selalu terlihat pada dirinya, diprediksi lambat laun akan sirna. Bukankah main piano adalah hidupnya? Di mata banyak orang, ini saatnya Rubenstein akan kehilangan keceriaan dan kebahagiaanya. Tapi, apa yang terjadi?

Rubinstein tetap Rubenstein. Ia memiliki keterampilan tingkat tinggi untuk bahagia. Cara pandangnya tidak dimiliki oleh banyak orang. Justru disaat penglihatannya kian kabur dan bahkan buta total, ia merasa hidupnya lebih bergairah. Ia merasa mendapatkan tantangan baru, anugerah baru dari Tuhan, setelah ia mencapai apa saja yang diinginkan dalam hidup. Apakah itu? Belajar main piano tanpa melihat! Berbeda dengan sangkaan orang, Rubinstein justru semakin bahagia, bahkan lebih bergairah dari sebelumnya. Rubinstein adalah  di antara sedikit orang yang mampu menjadikan hidupnya mengalirkan kebahagiaan, bahkan dalam kondisi yang paling sulit  sekalipun.

Apa dan Bagaimana Kebahagiaan itu?
Bahagia berarti damai, tenang, dan stabil. Orang yang bahagia dalam kesehariannya selalu merasa damai dan tentram. Jiwanya tetap stabil meski tak semua yang kita dambakan dalam hidup selalu bisa kita raih, meski berbagai problem satu per satu datang menderanya.
Jika itu makna kebahagiaan, lalu bagaimanakah cara untuk mengaktualkan dan  memelihara kebahagiaan dalam hidup kita? Kebahagiaan seseorang akan muncul ketika tidak ada gap antara apa yang kita dambakan dan hasil atau keadaan aktual kita.

Dalam kaitan ini, ada tiga bentuk usaha yang mungkin diupayakan manusia untuk mewujudkan kebahagiaan.

Pertama, berkerja keras untuk mengupayakan dan memenuhi apa saja yang kita dambakan dalam hidup ini. Sedikitnya ada 2 kelemahan dalam cara ini. Satu, ada banyak kemungkinan bahwa kita tak akan pernah bisa memenuhi seluruh kebutuhan kita. Dua, setiap kebutuhan kita terpenuhi, selalu muncul kebutuhan baru. Manusia tak akan pernah puas. Maka, cara ini hampir bisa dipastikan kita tak akan pernah merasa bahwa semua yang kita dambakan dalam hidup ini akan terpenuhi. Cara ini tak akan pernah membawa kebahagiaan.

Kedua, mengurangi atau menekan kebutuhan. Dengan berkurangnya kebutuhan, kemungkinan tak terpenuhinya kebutuhan kita menjadi makin kecil. Demikian pula kemungkunan ketidkbahagiaan kita. Masalahnya, manusia diciptakan Tuhan dengan dorongan untuk selalu rindu meraih pencapaian-pencapaian baru yang lebih baik. Ini adalah manifestasi dari sifat fitri manusia untuk mencapai kesempurnaan, betapa pun kesempurnaan ini tak mungkin benar-benar dicapainya. Jadi, sebelum benar-benar bisa mendatangkan kebahagiaan, cara ini sudah bertentangan dengan fitrah manusia. Dengan kata lain, cara ini tidak realistis. Dan semua yang bertentangan dengan fitrah manusia akan justru menjadi sumber ketidakbahagiaan.
Kedua cara di atas masih bersandar pada konsep kebahagiaan ekstrinsik. Yakni, bahwa kebahagiaan hanya dapat tercapai jika semua dambaan kita dalam hidup tercapai.

Ketiga, memiliki sikap batin sedemikian rupa sehingga apa pun yang terjadi atau datang pada diri kita selalu kita syukuri. Membangun suasana batin yang ditopang dengan sikap sabar dan rasa syukur yang kokoh seperti ini, akan mampu meredam kondisi-kondisi yang berpotensi menimbulkan kegelisahan dalam hidup. Poin ketiga ini sama sekali tak meniihilkan cara dalam poin pertama di atas. Mari kita bekerja keras, mari kita kejar kesempurnaan, sebatas kemampuan kita. Tapi, at any point in time kita bersabar dan bersyukur atas apa saja yang telah kita raih. Seperti Rubinstein. Kita akan menemukan kebahagiaan dengan selalu berpikir positif dalam keadaan apa pun.

Inilah cara untuk mencapai kebahagiaan sejati. Yakni kebahagiaan intrinsik, yang di dalamnya kebahagiaan kita bersandar pada kemampuan hati kita untuk bersabar dan mensyukuri apa saja yang terjadi dan dapat kita raih, bukan bersandar pada apa-apa yang bisa kita raih itu.

(Sumber : Haidar Bagir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NOMOR 2

Nomor Dua Oleh: Dahlan Iskan Kamis 15-02-2024,04:37 WIB SAYA percaya dengan penilaian Prof Dr Jimly Assiddiqie: pencalonan Gibran sebagai wa...